Chapter 1: Intro
Chapter Text
Halo halo aku joz yang lagi numpang di akun ini. Sy berterimakasih atas kebaikan kak vi untuk berinisiatif meminjamkan akunnya agar saya bisa mengikuti 30 DWC secara leluasa :D
Dengan saya disini datang dan membawakan sebuah Project Challenge! (つ≧▽≦)つ
Project kali ini adalah sebuah project 30 Days Writing Challenge dengan judul "Halcyon"
yah karena ini 30 Days Writing Challenge, maka sudah dipastikan tiap hari akan ada update, jangan bosan ya! (。・ω・。)ノ♡
Berikut adalah List manusia yang mengikuti Project ini:
1. MTXT Fandom || @Vi-kun / LizAlvi [AO3]
2. Orific || @reindn
3. RitsuMao [Enstar] || @-Lyviarx
4. YukiBanMomo [Idolish7] || @Pesimba
5. AludrAtria [Orific] || @hitambiruu
6. Bleach, Haikyuu || @kiyo_omin
7. BNHA, Haikyuu || @Ryou_8413
8. JSHK || @AyariFujii162
9. Blainneth [orific] || @LizAlvi [AO3]
10. JJK || @hypochondria
11. Orific || @JochaTara
12. EveSou [EveSou] || @Rararara_Tring
13. Orific || @racads12
14. Paralive, Aoppella, Hypmic, Tougen Anki || @TQKIES
15. Aoppella, Paralilve, Enstar, SnK || RAMXXS_
16. WangXian/WangXiao || @andiniapotter
Jangab lupa cek punya yang lain ya! (つ≧▽≦)つ
Mereka semua ada di wattpad! Silakan kunjungi ya!(>y<)
Chapter 2
Summary:
Day 1: Embrace
em·brace
/əmˈbrās/ (verb)
hold (someone) closely in one's arms, especially as a sign of affection.
Chapter Text
***yaampun ini writing prompt apaan***
Malam hari, hujan yang deras terdengar samar di kamar Anneth. Gadis itu masih menghabiskan waktunya di depan komputer bersama permainan video yang masih dipertahankannya.
"Kenapa gacha-ku selalu ampas." keluhnya sambil menahan diri untuk tidak gebuk layar.
Dia menatap angka '08:34' di pojok bawah layar, teringat batas main yang ia buat sendiri dan langsung mematikan komputer.
Anneth melangkah ke dapur, agak terhuyung karena terlalu lama duduk. Kulkas benar-benar kosong seperti perutnya sekarang. Stok makanan ringan di laci juga habis.
Sekali lagi, ia menghela napas kesal. Dia terlalu malas untuk pergi keluar rumah, apalagi kalau hujan seperti ini.
Pada akhirnya, gadis itu memilih untuk berbaring di ranjang sambil melanjutkan draft yang belum selesai di laptop.
"Perut kosong, otak pun kosong."
Setelah 10 menit menatap barisan kata yang ia ketik sendiri ditemani oleh suara hujan, tiga kali suara ketukan pada kaca jendela menyadarkan lamunannya.
Matanya membulat, tak bisa membayangkan cara seekor rubah berbulu hitam bisa naik ke kamar apartemennya yang berada di lantai 4, lewat jendela pula.
Anneth melihat kantong plastik penuh makanan ringan yang dibawa mulut rubah itu dan langsung membuka kaca jendela di sampingnya dengan tergesa-gesa.
Rubah itu melompat masuk, membasahi ranjang dengan satu injakan.
"Ayy Shawty." rubah itu menjadi sosok pemuda yang basah kuyup, dia menggigit bibir bawahnya, menyipitkan mata dan mengangkat alis secara swag.
"Bagaimana kau bisa naik kesini? Kenapa tidak lewat pintu depan saja?" tanya Anneth.
"Memanjat kan lebih cepat." jawab Blaise.
"Astaga ranjangku basah."
"Gpp."
Anneth menahan amarahnya karena Blaise sudah membawakan makanan sebagai ganti.
"E siapa bilang itu untukmu. Aku hanya menumpang di sini." katanya ketika gadis itu mengambil sebungkus mie gelas jumbo rasa ayam krenyes.
"Ya karena kau menumpang, setidaknya bayar kebaikanku dengan memberiku sebungkus mi instan saJA KAU PELIT SEKALI." ketus Anneth dengan memberi tekanan pada akhir kalimat.
"Eh? Siapa bilang begitu? Aku tadinya hanya ingin berada di luar jendela. Aku mengetuk kaca jendela hanya untuk menyapa, tapi langsung kau buka. Apa boleh buat?"
Anneth lagi-lagi dipojokkan dalam adu opini tak jelas ini.
"Memangnya kau sangat lapar?"
"Apakah perlu dipertanyakan?"
Setelah menjawab ketus dengan dahi yang mengernyit, pemuda di hadapannya malah terkekeh.
Suaranya yang berat menggelitik indra pendengaran Anneth, tak biasanya nada bariton dihasilkan pita suara Blaise.
Tanpa ching chong lagi Anneth pergi ke dapur.
"Sebentar lagi hujan sudah mulai reda, pulang, ya." ucapnya sambil meniup makan malamnya.
"Oh, jadi kau mengusirku?"
"Ya, tepat sekali."
":(((("
"Apa? Kau kan punya rumah."
"Aku belum memberimu syarat :(((("
"KAN TINGGAL PULANG AJA RIBET AM*@*@*#---"
Tanpa aba-aba anjin- rubah itu merangkul pundaknya, kira-kira setengah memeluk dan wajah mereka hanya tersisa jarak 5 senti horee.
Ternyata tangan Anneth yang tegar menekan dadanya ke depan supaya bocah prik ini tidak bisa merangkulnya secara leluasa.
"Kamu basah nyot."
Ketusnya.
Blaise menggigit bibir bawahnya, pertanda ia kesal meski sorot mata tidak menunjukan emosi itu.
Dan ketika orang ini memunculkan tanda kesal, dunia terasa tidak tenang bagi Anneth.
"Dasar pemaksa." dia sedikit berjinjit, tangannya pada awalnya hanya merangkul kedua bahu pemuda itu, namun ia malah ditarik paksa ke dalam dekapannya.
"Pelukan persahabatan."
Lah kok jadi pelukan D:<
Chapter 3: Day 2: Laugh
Summary:
Bambank
Chapter Text
Day 2: Laugh
Bagi Percival, ia tidak ahli dalam hal itu. Orang-orang sering berasumsi kalau Percy tidak memiliki selera humor. Dia menolak untuk tertawa palsu atas candaan temannya karena tidak ingin terlihat munafik.
Melayani 3 tuan sebagai mata-mata membuatnya cenderung tak bersosialisasi dengan banyak orang.
Menurutnya hal itu tidak masalah karena ia sendiri juga tidak merasa membutuhkan orang lain. Di tengah-tengah kerumunan ia selalu menganggap dirinya bukan makhluk sosial.
"Workshop?"
"Menurutku kau cocok untuk ini," ucap Anneth menyodorkan selembar formulir di depan wajah datar itu. Mereka tengah berhadapan di depan loker masing-masing yang bertetangga. "Kelas kita membutuhkan satu orang yang menjaga workshop merangkai bunga. Biasanya workshop ini diminati oleh para wanita.. dan kau mengerti, kan? Laki-laki di kelas kita kelakuannya seperti bocah."
"Kecuali kamu." lanjut Anneth tersenyum kecil entah mengapa keceriaannya bertambah setiap kali menatap iris emas pemuda itu.
"Entahlah, uh, kurasa aku tidak ada waktu untuk hal ini…" gumam Percy, buku-buku jarinya mengetuk pintu loker.
Sejujurnya dia memang tidak punya waktu. Dia memiliki 3 pekerjaan rahasia yang penting setiap hari setelah jam pelajaran. Benar-benar tidak ada semenitpun untuk hal ini. Di sisi lain, ia ingin membantu kelasnya sekali-sekali, takut dikatai tak berguna.
"Kalau tidak sempat.. tak masalah. Aku bisa merekrut diriku sendiri." ujar Anneth memecah keheningan di antara mereka.
"Bukankah kau akan menangani 3 workshop?" tanya Percy, masih terpaku pada lingkaran biru di mata gadis berambut merah itu.
"Jangan terlalu sering mengorbankan dirimu, nanti kau dimanfaatkan oleh orang lain." lanjutnya sambil membuka loker.
"Aku tidak akan melakukan ini kalau tidak demi nilai," bisik Anneth, membuat Percy tersenyum tipis. "Tapi terus terang, belum ajang saja aku sudah mati-matian. Tidak ada yang mau menjadi sedikit munafik untuk membantuku."
Gerakan tangan Percy yang sedang menata buku terhenti. "Kau menguras niat baikku untuk membantumu." gumamnya.
"Hah, kau akan membantuku?"
"Ya. Tapi, ada syarat."
Anneth menghela napas gusar, "kau mengingatkanku pada Blaise."
Ekspresi datarnya tidak berubah.
"Carikan buku komedi."
Esoknya saat ajang openhouse akademi Havenshore, setiap gedung jurusan sama ramainya. Di gedung jurusan elemen setiap koridor ramai akan kesibukan, dan ini pertama kalinya Percival kepanasan seperti ini.
Workshop merangkai bunga tidak setenang yang mereka bayangkan. Percival agak menyesal menerima kemunafikan dirinya. Dirinya risih ketika beberapa orang perempuan mengerumuninya, menanyakan hal tak penting demi konversasi. Bahkan ada yang melakukan kontak fisik tanpa izin.
Namun karena ia menguasai elemen tumbuhan, tak ada kesulitan dalam menjalani workshop ini.
Ketika jarum jam menunjukan angka dua, ia baru bisa bernapas lega, duduk bersandar di tangga panggung kelas.
"Melelahkan, ya?"
Anneth meuncul di pintu bersama setumpuk buku yang ia pungut entah darimana. "Kupikir novel-novel ini lucu dan genrenya cocok untukmu."
"Hah? Kemarin aku hanya bercanda." ujar Percival. Wajahnya memerah karena lelah, rambutnya lepek dan berantakan.
"Benarkah?! Kau tidak terlihat seperti bercanda, oh, ya ampun!" seru Anneth duduk di sampingnya, menaruh tumpukan buku itu di pangkuan sang pemuda. "Kalau bercanda seharusnya kau jangan terlihat serius! Aku jadi salah nangkap."
"Begitu, kah?" tukas Percival.
"Percy, Percy, kau lahir dimana?" Anneth menepuk dahinya.
"Di Karsvill. Aku dibesarkan nenekku."
"...kau tidak perlu menjawabnya."
Lagi-lagi keheningan terjadi. Kedua insan tenggelam dalam lamunan masing-masing selama 3 menit, hingga akhirnya mulailah percakapan baru.
"Kalau lelah seperti ini, bagaimana caramu untuk menghibur diri?"
Pertanyaan itu dicerna benak Percy sampai matang. "Entahlah, baca buku. Aku juga tidak ada banyak waktu untuk itu."
.
.
.
.
Matanya langsung membola ketika Anneth tiba-tiba tertawa lepas.
"K-kau kenapa?"
"TERTAWA."
"Apa yang lucu?"
"Knock, knock."
"?????"
"HAHSHAHHDKACKANRLQJDMAN."
Ini juga adalah pertama kalinya Percy melihat Anneth tertawa seperti orang gila. Dia bahkan tak pernah menyangka ini, tak sesuai dengan kepribadian Anneth.
Gadis itu bangkit berdiri dan berkacak pinggang. "Coba tertawalah, ini sangat bekerja."
"...." mata Percy masih membelalak, dahinya mengernyit, pikirannya masih loading.
Entah mengapa tatapan Percy membuat kepercayaan dirinya runtuh, Anneth merasa konyol. Merasa telah mempermalukan diri di depan seorang teman, bukannya menyemangati.
Tapi.
"Ha.. ha ha.."
Apakah itu tawa palsu?
"AHAHAHAHAHHAHAHA."
"......AHAHA????"
"AHAHAHSHAHHAHAHAHAHAHA."
"AHAHAHAHAHAHAHHA."
Percival mengusap matanya yang berair, "dua hal tak terduga yang terjadi, bukan?"
"Ya!"
Percival menatap lama manik biru yang didominasi oleh cahaya senja dari jendela itu, tak menyadari kalau dirinya tengah tersenyum lebar, seakan menemukan kesenangan baru dalam hidupnya.
Hingga akhirnya, getaran ponsel terasa di saku celananya. "Aku harus pergi."
"Oh, baiklah. Terimakasih banyak untuk membantuku."
"Tidak," potong Percy. "Aku yang seharusnya berterimakasih."
Anneth membusungkan dada bangga kepada dirinya sendiri. Dia tidak pernah merasa sebangga ini saat mendapatkan prestasi. Tidak, menurutnya, ini lebih dari prestasi.
Dia berhasil mewarnai hidup seseorang dengan menambahkan satu unsur yang penting bagi manusia, tertawa.
Chapter 4: Day 3: 购物
Summary:
Nihao
Chapter Text
Ketika melewati toko coklat, aku jadi teringat kalau temanku sangat menyukainya. Apakah aneh memberikan hadiah berupa makanan? Entahlah. Aku juga bingung menguak apa yang makhluk itu sukai selain coklat.
Setengah menit kemudian keputusanku matang. Sepasang pintu kaca yang menempel pada tiang emas itu terbuka sendiri. Teknologi. Toko ini memberi kesan yang… elegan. Dan mahal.
Sekali masuk, aku tidak bisa keluar karena itu akan mempermalukan diriku sendiri. Tapi bukan itu yang ada di benakku. Setidaknya sekotak coklat mewah yang bisa membalas kebaikan seorang teman.
Toko ini tiba-tiba diramaikan oleh segerombolan anak-anak yang masuk dan mendatangi apapun yang menarik perhatian mereka. Aku berdiri di dekat kasir, kembali terpikat pada figuran bentuk-bentuk coklat yang ada di lemari kaca.
"10 gild," aku mendongak, baru menyadari keberadaan seorang pemuda yang menunggu kepekaanku. "Per buah."
Blaise lalu menyeringai, menatapku lamat-lamat. Dia mungkin seorang karyawan disini. Pakaiannya formal, dengan dasi biru tua yang tebal di belakang tuxedo, dan mantel kelabu di pundaknya cocok dengan rambut gelapnya.
Tema pakaiannya selalu bernuansa gelap.
"Cukup mahal untuk… makanan secuil." candaku datar, membuatnya terkekeh geli.
"Tapi rasanya membuatmu ketagihan."
"Itu kata-kata klise yang sering dipakai iklan. Sudah tidak memanipulasi."
"Begitu, kah?"
Dia terlihat nyaman berbasa basi denganku.
"Kalau begitu aku harus mengganti slogan toko-ku," lanjutnya. "Kembali padamu, Neith," namaku Anneth. "Dulu di Lauxandria, coklat biasanya diberikan sebagai penghinaan."
Tunggu. Tokonya?
Aku mengangkat alis, "masa?"
Blaise tampak merasa berhasil menarik perhatianku dengan dongengnya. Sikunya bersandar pada laci kaca, "tapi coklat yang kujual adalah tanda cinta dan kasih sayang." ujarnya.
Aku berusaha menghindari kontak mata dengannya, kutunjuk asal coklat berbentuk kelinci gembul sambil berdengus. "Yang ini lucu--"
"Tuan, apakah ada coklat yang cocok untuk ulang tahun nenekku?"
Seorang anak laki-laki bertopi biru memotong kalimatku, berjinjit pada laci kaca. Blase begitu tinggi sehingga dibuatnya begitu. Dia tersenyum sekilas lalu mengambil sekotak coklat berwarna ungu dari balik lemari. Bagaikan sulap.
"Dia langgananku." katanya setelah anak itu mengucapkan terimakasih dan pergi.
"Oh? Dia tidak membayar?" tanyaku heran.
"Ayahnya bekerja disini."
Bukan urusanku, sih. Aku melanjutkan kalimatku tadi. Dia mengambil sendok penjepit dan nampan, menaruh lima kelinci kecil di atasnya dengan hati-hati dan seperti yang diduga, "ada lagi? Aku sarankan kau beli 12 buah, kuberi potongan harga."
"Karena kita teman." lanjutnya, sementara aku sibuk memilih.
Percival tidak memberikan jawaban yang detail padaku. Dia hanya menyebut coklat. Terlepas dari warna, coklat memiliki beraneka rasa dan isi.
"Ini rasa apa?" tanya sambil menunjuk ke sebutir coklat berwarna hijau gelap, mengingatkanku pada rambut Percival.
"Oh," dia membungkuk, mengamati. "Teh hijau."
Telinga rubahnya bergerak-gerak, menunggu keputusanku. Lalu membuatku mempertimbangkannya. "Dulu coklat hijau diberikan kepada orang yang kita benci."
"Dulu," sahutku. "Ribet sekali. Siapa juga yang menghafal maknanya, sudahlah. Yang ini."
Bibirnya kembali membentuk kurva, "Ada lagi?"
"6 6."
"Baiklah, nona."
Setelah menyusunnya dengan rapi ia menutup kotaknya dengan terampil, lalu mengikatkan pita berwarna merah. Semerah rambutku.
"Memangnya kau ingin memberikannya pada siapa?" tanya Blaise ketika memasukkan kotak itu ke dalam paperbag.
"Seorang teman."
Dia mencodongkan tubuhnya ke depan. Dari jarak ini aku bisa melihat matanya yang ternyata agak kebiruan. Tidak sepenuhnya hitam.
"Percival?"
Dia terkekeh ketika melihat ekspresiku yang keheranan. "Mataku ada di mana-mana, Neith." tangan kanannya menyodorkan paperbag berisi belanjaanku, dengan senyuman ramah khas penjaga kasir toko.
"Terimakasih."
Dan seperti biasa, penjual dan pembeli kompak mengucapkannya.
Chapter 5: Day 4: Harta
Summary:
Gatau
Chapter Text
Harta, tahta, Sisca Kohl.
Saya ingin kerja jadi babu di rumah Sisca Kohl :(((
Halu dulu ah.
Suatu hari Shrek menawarkan pekerjaan babu kepada saya, saya harus tinggal di rumah Sisca Kohl.
Lalu saya pergi ke perpustakaan rumah dan melihat dari kaca pintu—kak Sisca dan adiknya sedang belajar bahasa Rusia. Saya tidak ingin mengganggu. Saya pergi ke dapur.
Saya membuka salah satu kabinet dan menemukan 30 lembar uang 100 ribu rupiah. "Kak, ini uang kakak, ya?" tanya saya kepada kak Sisca yang berjalan menuju kamar mandi.
"Gpp itu buat kamu aja, bonus gaji kamu." jawab kak Sisca yang baik hati. Tidak hanya itu, beliau juga menambahkan 30 lembar lagi.
Lalu saya teleport ke Kinokuniya dan memborong buku-buku di sana.
Yey.
Chapter 6: Day 5: Mimpi Buruk
Summary:
Bosen
Chapter Text
Mimpi adalah tipuan.
Kepalsuan yang terasa nyata, yang dihasilkan pikiran. Memimpikan hal yang tak akan pernah terjadi itu pedih. Tapi mimpiku selalu tentang apa yang akan datang. Terkadang aku terbangun lupa, dan terkena deja vu ketika semua skenario benar-benar terjadi.
Tak jarang juga aku terbangun subuh karena mimpi buruk. Tubuhku diguyur keringat dingin, bulu kudukku berdiri, dan perlahan ingatan itu memudar tanpa jejak, tenggelam di lautan pikiranku.
Mimpi begitu kejam, begitu kubenci.
Dan pada akhirnya, aku juga membenci tidur.
firefliesz on Chapter 2 Thu 01 Apr 2021 02:20AM UTC
Comment Actions
firefliesz on Chapter 3 Fri 02 Apr 2021 03:27AM UTC
Comment Actions