Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2023-02-12
Words:
1,571
Chapters:
1/1
Comments:
5
Kudos:
11
Bookmarks:
2
Hits:
94

Equality

Summary:

Monster itu selalu memiliki logika, tindak-tanduk, dan verbal beracun di luar nalar. Namun kini, penalaran dalam realitas berbicara, Johan menyampaikan cacat logikanya pada dr. Tenma Kenzou atas :

"Hanya dalam satu hal terdapat kesederajatan untuk semuanya, yaitu kematian."

Notes:

Monster © Naoki Urasawa. All rights reserved. Non-profit piece.

This piece was made to be the closing of the lost feeling someone felt upon witnessing how everything went from the beginning to the end in a mega master-piece called Monster.

(See the end of the work for more notes.)

Work Text:

Tirai panggung peragaan utama telah ditutup.

Setelah kompilasi observasi dan wawancara dari seorang jurnalis digulirkan sebagai konsumsi media massa, kisah ini memiliki prelude berupa :

  • Ada sebuah tempat bernama Rumah Mawar Merah. Tempat itu menciptakan cikal-bakal monster untuk jadi alat kepentingan elitis oligarki dalam pertikaian politik antar-negara.
  • Monster yang tercipta tak diberi nama.  
  • Pada generasi terakhir, sepasang cikal-bakal monster melarikan diri. Mereka bertransformasi menjadi :
    1. Satu diberi nama dan menjadi manusia.
    2. Satu mencuri nama dan menjadi monster.
  • Monster yang mengambil nama untuk dirinya, memulai misi mengakhiri pabrik produksi monster.
  • Bola-bola perkara skenario pun menggelinding, menggelembung panas seperti kontraksi gunung berapi; dengan banyak letupan vulkanik, dan akhirnya mencacap titik nadir erupsi.
  • Induk monster menitipkan nama anak manusia pada seseorang yang mulia.

 

 

Interlude resmi dimulai dengan :

 

  • Seseorang yang mulia itu tiba-tiba tiada.
  • Sepasang nama yang dititipkan padanya, menjadi tak ada.

 

Hal yang terjadi dan akan diterangkan semua di sini adalah postlude

 

Angin berembus seperti seseorang tengah berbisik-bisik pada kawannya, tentang bau napasmu dan parutan luka yang telah mengering rompel di kulit lenganmu; mengenai kegagapan seseorang berbicara berkorelasi dengan rendahnya tingkat intelektualitasmu. Sesekali hening, kemudian menyambitmu pelan seakan menyelip dan berpura-pura berteman baik denganmu.

Jangkrik musim panas memulai debutnya saat pepohonan memakai segala kesempatan untuk menikmati masa muda. Klorofil mereka menyerap terik cahaya dan berfotosintensis untuk merona kehijauan. Kembang-kembang bermekaran lebih banyak dari musim sebelumnya. Banyak rangkaian dan buket bunga di pelukan orang-orang.

Awan cirrus dan stratus melebur, dan Tuhan sapukan mereka tipis-tipis pada kanvas biru sehingga membentuk untaian yang halus dan lembut. Awan yang datang ketika matahari panas-panasnya untuk berkata, “Hujan akan datang.”

Hari yang indah untuk berpisah.  

Di hari ini, seseorang yang tersayang untuk orang-orang tiada. Usia, penuaan, trauma berat, dan tekanan mental menghabisinya.

Dokter Tenma Kenzou mati begitu saja dalam tidurnya. Mereka bilang tidak ada yang tahu mengapa. Hasil autopsi menunjukkan hipertensi, depresi mayor, dan serangan jantung membuat kondisi gagal napas. Ia tak sempat tertolong. Wasiatnya ditemukan dan menyatakan bahwa seluruh peninggalannya ia wariskan untuk beasiswa calon paramedis dan riset ilmiah di bidang kedokteran.

Orang-orang yang mengenal Tenma Kenzou berkonklusi dangkal perihal alam memilih menunjukkan penampilan terbaik di hari terakhir mereka melihat dr. Tenma. Dengan romantisme untuk menghangatkan perang dingin yang tengah berlangsung dan perang pribadi dr. Tenma Kenzou yang resmi usai, mereka tak henti berkata tentang orang baik datang ke pelukan bumi untuk beristirahat selamanya.

Seseorang berdiri di atas bukit. Tertutupi bayang-bayang pepohonan. Mengamati seorang remaja tanggung dan dua wanita berbeda jauh usia. Eva, mantan istri dr. Tenma Kenzou; dan Anna atau orang lebih sering mengenalnya Nina, seseorang yang dipertanyakan keberadaannya di sisi Tenma Kenzou apakah dia seorang anak atau kekasih.

“Apa Kenzou… paling tidak, merasa tenang di saat ia hampir tidak ada?” Eva menatap tulisan di batu nisan mantan kekasihnya itu.

“Tidak ada yang tahu.” Anna menggeleng. Sudut bibirnya naik sepintas ketika melihat Eva memakai sapu tangan sendiri untuk menyeka wajah Dieter.

“Paling tidak, dia sekarang bisa mengobati Grimmer-san, dr. Reinchwein, dr. Gillen, Inspektur Lunge, dan semua pasien yang sudah duluan ke sana.” Dieter sedikit berkelit dari Eva. Namun ia terceguk. Duduk memeluk lutut dan memandangi hamparan bunga yang bertumpukan di atas gundukan tanah baru.

“Ya kalau sudah mati, apalagi yang perlu diobati?” Eva tertawa. Tawanya melengking antara pekik dan isak. “Kenzou… mesti seperti inikah caramu pergi?”

“Eva-san!” Anna bergegas ke sisi Eva. Merangkul wanita yang rambutnya pun awut-awutan, merosot persis di depan batu nisan. Ia biarkan Eva meremas dan mencakar punggungnya. Anna diam mendengar Eva tersedu menangisi pegangan dari sisa pillar masa lalu dan kebahagiaan yang telah jadi semu, yang kini telah terserpih dan terkubur.

“Mengapa mesti Tenma?” Dieter tergeragap, pengap karena susah payah membendung banyak hal tak terluapkan. “Hasil otopsi menyatakan hippocampus otak yang menyusut, hormon estrogen yang berlebihan mengintervensi endorfin dan menyabotase dopamin bahkan acetylcholin sekadar untuk Tenma merasa tenang.”

“Memori akumulatif dari semua yang dia alami menstimulus semua itu. Mungkin Tenma masih…” Terpaku pada segala yang sudah usai. Tidak, tidak ada yang usai apabila Johan belum ditemukan. Anna tertunduk. Seluruh rambutnya luruh menutupi tubuh bagian depan.

Eva balas merangkumnya dalam pelukan, tangan lainnya meraih tangan Dieter untuk digenggam.

Seseorang yang mengamati diam-diam berpikir. Mungkin apabila ibu diberi kesempatan untuk memperkenalkan mereka ke makam investor 50% DNA lain dari sepasang anak kembar yang pernah dinamai Anna dan Johan Liebert sembarangan, mungkin pemandangannya akan seperti Eva mengonsolasi Anna dan Dieter saat ini di hadapan peristirahatan akhir dr. Tenma Kenzou.

“Anna, semua itu bukan salahmu, dan tidak akan pernah jadi salahmu.” Eva membiarkan Anna tersedu-sedu dalam pelukannya. Lengan lain terentang untuk memeluk Dieter serta. “Kalian tahu? Kalau saja pada malam itu saat kami makan malam berdua, aku tidak pernah berkata padanya bahwa setiap nyawa tidak bernilai sama, mungkin…”

Liuk geli muncul di bibir Johan Liebert.

Tenma belum tentu pula manut menyelamatkan walikota. Seorang istri pekerja konstruksi, dokter-dokter yang mencukil bendungan emosi dan moral Tenma sampai dokter itu pun menyumpah, dan mantan kepala rumah sakit yang maruk. Semua debris berbaris rapi dan Evalah yang menjentik, meruntuhkan rantai-rantai nilai moral Tenma secara berurutan. Debris ortodoks Tenma pecah dan melahirkannya sebagai seorang pesimis aliran realis.

Tiga orang itu tertatih-tatih pergi dua jam kemudian. Persis seperti gambaran anatomi badan dan formasi keluarga kecil kehilangan kepala dan rangka penyanga mereka. Mereka masih memiliki agenda wawancara, yang akan ditangguhkan karena ingin menambah luka kolektif dengan mengunjungi pula pusara Inspektur Lunge, Grimmer, dr. Gillen, dan dr Reinchwein.

Di balik pohon, awan stratus, cumulus, dan cirrus berfusi menjadi nimbus. Bentuknya mirip kayu yang terbakar, hampir menjadi arang; abu-abu gelap, menggumpal tebal dan merata. Mengulum sinar matahari. Angin menyambit sisi bawah mantelnya sementara ia menggumamkan nama-nama mereka yang pernah bersamanya di Kinderheim 511 seperti tengah merapal doa di katedral. Perlahan, tenang, jelas, dan dengan segenap kebajikan.

“Dokter Tenma.” Johan meletakkan satu dari tiga benda yang ia bawa hari ini khusus untuk sang dokter. Stetoskop tampak ganjil di depan buket bunga untuk Tenma.

Ia merogoh saku mantel. Mengeluarkan botol berisi air untuk membasuh nisan yang masih baru, meski kemudian, nimbus pun merintik air dan membasahi tiap-tiap batu berukir lebih dulu. Dengan adil dan merata pada seluruh area yang ternaung olehnya. Di dunia, hanya benda-benda alam semesta dalam kesimetrisan dan keteraturan sistem saja yang memiliki keadilan. Mereka tak pernah memilih ingin mengalir, bersinar, menaungi, atau berembus untuk siapa.

Tenma Kenzou yang keberadaannya merupakan anugerah untuk banyak orang. Lain hal dengan Johan. Saat ini pun, filsafat eksistensialisme yang pernah dilesakkan padanya di Kinderheim 511 mengantarkan konklusi mengenai asal-muasal terbentuknya monster. Proyek procreation Rumah Mawar Merah dari pro Nazi dan pasca Perang Dunia II sejatinya tercela dan immoral.  Kenyataan bahwa eksistensi Johan Liebert mewujud setelah hilang sekejap mata dua kali di rumah sakit; bahkan sesudah Dokter Tenma menyelamatkannya dua kali, memberi arti bahwa keberadaannya adalah yang paling tidak diberi konsensi untuk berada di sini : memberi penghormatan terakhir pada satu-satunya manusia yang menolongnya. Seperti orang dewasa yang mau anak-anak melakukan hal senakal apa pun, mereka akan tetap mengulurkan tangan.

Johan berkontemplasi di tengah depersonalisasi yang ia alami. Monster dalam dirinya ia coba tepis habis hari ini, hanya mengkhidmati dua hal yang pasti :

  1. Johan Liebert hanya salah satu pasien yang pernah merasakan keajaiban pertolongan Dokter Tenma Kenzou.
  2. Dokter Tenma Kenzou tidak akan pernah tahu, bahwa ialah satu-satunya orang yang (baik secara harfiah mau pun literal) menyelamatkan Johan Liebert.

Johan mengetuk pelipisnya. Tatapannya mengandung melankolia yang membuat orang biasa merasakan dingin di kaki dan getar hebat di sekujur tubuh. “Dua kali operasi kau lakukan, mengapa selalu saja ada yang bertambah salah?”

Derap hujan melahap suara tenang itu. 

 “Omong-omong, Dokter Tenma… sudahkah kau merasakan disposisi Tuhan perihal ketetapan persidangan amal atas pahala dan dosa? Apabila itu kau, kau dengan idealismemu tentang kesederajatan tiap-tiap manusia akan baik-baik saja. Surga telah lama menunggumu, bukan begitu?”

Hujan dan angin menampar tubuh pemuda itu. Dalam sekejap, mengempaskan dan memberantaki kembang yang ditebarkan beberapa jam yang lalu. Seakan akhir musim semi bermekaran di tengah hujan.  Johan menata setiap buket bunga yang terguling, membentuk pagar rapi presisif mengelilingi tempat peristirahatan terakhir Tenma.  Kemudian, seperti seseorang tengah datang ke galeri seni, Johan memandangi deretan apresiasi orang-orang yang ditaruh di pusara Tenma hingga menenggelamkan pusara-pusara di sekitarnya. Senyumnya tampak santun.

Johan berlutut, meletakkan dahi di samping batu nisan. Matanya terpejam beberapa waktu. Kemudian, kepalanya mendongak dan ia memandang langit. Gelap-gulita. Deras hujan menamparnya. Ruang terbuka yang hening. Hujan yang bising seperti merobek labirin membran dalam daun telinga.  Warna-warna bunga yang tajam terlihat tidak tepat di tengah semburat abu-abu. Johan meletakkan bunga yang ia bawa di depan ukiran nama salah satu manusia yang dianggap paling mulia oleh semua yang mengenalnya.

Sang monster beranjak. Merekam memento mori dari batu nisan Tenma yang kini tampak membeku. Suatu hari, ia pun akan menjadi begitu. Tanpa satu pun bunga di sisi pusara. Sambil melenggang, ia berpikir, ah… nama apakah yang harus ditulis di atas batu nisan untuk eksistensi seorang monster?

Monster tak punya nama.

Nama hanya untuk anak manusia yang menerima cinta kasih orang tua dan dilahirkan dengan bahagia oleh seorang Ibu.

Batu nisannya hanya akan jadi batu tanpa nama.

Johan menoleh untuk terakhir kali pada penanda selamanya yang berukirkan serangkaian tulisan.

 

[Dari dan Untuk segala cinta kasih atas lahir dan tiadanya :

Tenma Kenzou. (19xx-19xx)]

 

 

“Dokter Tenma, aku perlu meralat ucapanku. Ternyata, tidak ada kesederajatan bahkan ketika manusia mati.”

 

 

 

Jauh setelah hari itu, setiap kali Anna atau siapa pun datang berkunjung pada penanda Tenma, mereka selalu termangu. Ketika ditanya, tak satu pun penjaga tahu siapa yang selalu membersihkan dan merapikan pusara Tenma Kenzou.

Hanya ada setangkai hydrangea biru dan selembar kartu. Tanpa nama.  

 

May peace upon be you.    

Notes:

Sampai suatu ketika, kartu dan bunga biru itu tidak lagi ada. Tanpanya, toh, pusara Tenma Kenzou tetap berwarna dengan bunga-bunga yang orang-orang bawa kepadanya.

 

[Blue hydrangea symbolized gratitude]