Chapter Text
Hidung Lara mampat, bisa-bisa ia pingsan di tengah sesi latihan basket. Segumpal tisu dijejalkannya ke dalam tas sebelum ia menginjak pedal starter motornya. Ibunya terburu-buru memasukan sekotak bekal ke dalam tas Lara yang setengah terbuka itu. Jarum jam dengan tega nyaris menunjuk ke angka tujuh. Lara berdecak di tengah perjalanannya, tak memperhatikan sebuah polisi tidur, dan motornya melonjak, membuat kendalinya oleng ke kanan dan ke kiri. Gadis tujuh belas tahun itu kewalahan, dengan hidung mampatnya, dengan motornya, dengan bayangan gerbang sekolah yang perlahan menutup. Ia hanya punya waktu setidaknya lima menit lagi.
“Jangan deket-deket!” teriakan Eca menyambutnya di parkiran motor sekolah. Eca memasang kuda-kuda yang entah dari bela diri apa, barangkali dari film-film selestial yang gemar ia tonton. Lara bersin, dan makin menjauhlah Eca dari Lara. Lara memakai masker yang ia dapat dari tasnya secara kebetulan, rambutnya yang menyentuh bahu ia ikat, menampilkan lehernya yang jenjang. Kulitnya yang berwarna sawo matanya diterpa bercak sinar matahari yang melewati dedaunan. Tunggu, tunggu! Stop dengan deskripsi latarnya. Siapa, sih, Lara?
Lara, gadis SMA 1 Bogor, yang baru saja mendapatkan KTPnya dua minggu lalu melalui kurir. Ibu dari suku Batak, Ayah dari suku Sunda, dari sana juga ia mendapat julukan TakSu – Batak Sunda – oleh teman-temannya. Gadis itu juga mendapat posisi sebagai player maker di tim basket sekolahnya, yang tak henti-hentinya ia banggakan di depan adiknya. Lara, remaja tanggung biasa, yang dunianya hanya tentang basket dan basket. Dan kini gadis itu harus berhadapan dengan flu berat tepat dimana tes fisik tim basket dijadwalkan.
“Alay lo jauh-jauh gitu” kesal Lara pada Eca, temannya yang memakai kacamata bulat itu. Eca mencibir, tetap menjaga jaraknya dengan Lara.
“Lo sakit tuh ke dokter ya, bukannya masuk sekolah, tar gue ketularan” Lara hanya membalas omelan Eca dengan bersin yang kesekian kalinya. “Ke UKS deh lo, daripada ikut upacara” Eca menarik lengan Lara, tak peduli dengan protes gadis itu. Ruang UKS terletak di lantai satu dan dua gedung sekolah, dan karena seluruh Kelas 11 berada di lantai dua, maka Eca menyeret sahabat kecilnya itu ke ruang UKS lantai dua. Ruangan yang kurang layak bagi orang sakit untuk beristirahat, hanya sebesar 5x6 meter, dengan meja resepsionis tak berpenghuni, dua buah ranjang khas rumah sakit yang dipisahkan oleh bilik bertirai dan lemari obat yang jelas-jelas sudah kadaluarsa.
Lara duduk di salah satu ranjang yang tak terisi, di sampingnya tertidur seorang siswi yang Lara tidak kenal siapa. Tas miliknya dibuka, dan ia mengeluarkan kotak bekal tiga tingkat dari ibunya tersebut. Tingkat pertama untuk sarapan, sisanya untuk makan siang. Melihat Lara membuka kotak makanannya membuat Eca berbalik badan, kembali mendekati Lara. Mau, dong, sesuap, dan Lara patuh menyuapi sahabatnya itu. Eca membuka keripik yang ia bawa di tasnya, dan ruangan UKS yang sunyi itu dipenuhi oleh suara keripik Palembang dan alat makan berbahan plastik yang saling berbenturan.
“Emak lo kalo masak enak ya, gak pengen ngangkat gue jadi anaknya” ucap Eca acuh tak acuh, Lara hanya menanggapi seadanya sebelum meminta Eca untuk membantunya meminum obat berbentuk tablet. Eca menghancurkan tablet kecil itu dengan sendok, membuatnya menjadi butiran serbuk, lalu melarutkannya dengan air sebelum menyuapi Lara dengan serbuk berwarna putih itu. Wajah Lara mengkerut, dan ia terbatuk-batuk. Bola basket bisa ia taklukan, tetapi, tablet yang besarnya tidak melebih jari kelingkingnya itu membuatnya takut bukan kepalang.
“Lo gak takut bolos upacara gini?” tanya Lara. “Yaelah telat berapa menit sih, paling masih pada baris” balas Eca sembari membetulkan kacamatanya itu. Lara mangut-mangut. Eca dengan perutnya yang telah penuh beranjak dari ranjang dan tubuhnya hilang dibalik pintu UKS. Tanpa teman untuk mengobrol, Lara memilih untuk terlelap sejenak. Ia membaringkan badannya di ranjang, pening di kepalanya membuat rasa kantuknya mulai datang.
Sayup-sayup terdengar isakan seorang gadis, berdiri bulu kuduk Lara dibuatnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia bersumpah tak pernah mengencingi pohon manapun sebelumnya, atau membuang sampah sembarangan di saluran air, atau mengatakan kata-kata kotor di komplek TPU. Lara komat-kamit membaca doa yang ia ingat, dan isak tangis itu tak berhenti, nyaris diikuti oleh isak tangis Lara sebelum ia tersadar bahwa ia tak berada sendirian di ruangan UKS yang kecil ini. Lara membalikan badannya, dan terlihat gadis di sebrangnya yang meringkuk sembari terisak. Iba, Lara mendekati gadis itu, menyentuh lengannya lembut. Gadis itu berkulit putih pucat, matanya kecil, hidungnya mancung dan garis bibirnya panjang. Lengannya melingkar pada perutnya.
“Sakit mens” ucapnya lirih ketika Lara bertanya keadaan wanita itu. Lara memutar otak, bagaimana ia membantu gadis ringkih itu, setidaknya hingga tangisnya berhenti. Ia melirik tasnya yang teronggok di kaki ranjang. Ah! Botol minumnya sudah setengah kosong. Ditenggaknya sisa air di dalam botol minumnya itu, lalu gadis itu mengendap-ngendap berjalan ke kelasnya yang berada tepat di samping Ruang UKS.
Tak sampai dua menit, Lara kembali ke Ruang UKS dan menyerahkan botol minum plastiknya yang telah terisi air panas itu kepada gadis yang tak henti-hentinya merintih. Langsung saja lengan gadis itu memeluk botol minum berwarna biru khas Tolipware itu. Lara menepuk lengan gadis itu lembut sebelum kembali ke ranjangnya, berharap kram yang dialami gadis itu cepat-cepat reda. Ia sendiri bisa sampai pingsan apabila masa menstruasinya datang, maka dari itu Lara begitu sigap menolong gadis yang tak dikenalnya itu.
Lelapnya terasa begitu sebentar ketika pundaknya diguncang oleh Eca. Lara menguap, dengan malas mengalungkan tasnya dan melangkah masuk ke ruangan kelasnya. Baru saja beberapa langkah melewati daun pintu kelas, Lara tiba-tiba melempar tasnya pada Eca.
“Mau ke kamar mandi gue, beser!” terbirit-birit Lara keluar dari ruang kelas.
Hari Senin ini diisi dengan pelajaran mematikan, apalagi kalau bukan mata pelajaran sains yang datang sepaket itu; Fisika, Biologi dan Kimia. Pusing tujuh keliling Lara dibuatnya. Eca yang duduk disampingnya layaknya seonggok daging tak bernyawa, energinya terkuras akan rumus dan hafalan tentang bagaimana alam bekerja.
“Sumpah gue capek banget! Semoga nanti mapel indo enggak ngapa-ngapain deh” keluh Lara. Seakan hari ini tidak bisa lebih buruk, guru Bahasa Indonesia mengumumkan bahwa tugas praktek semester ini akan dilakukan dengan mengadakan penampilan drama. Lara benci drama, sandiwara, lakon, dan sebagainya. Karena ia benar-benar terlihat memalukan. Lebih baik ia bersusah payah berebut satu bola dengan sepuluh orang di lapangan daripada harus berpura-pura menjadi sebuah karakter.
“Ceritanya bebas! Bisa dari cerita rakyat yang ada, atau original script. Tiap kelas dibagi jadi lima kelompok, dan tiap kelompok dalam tiap kelas akan bergabung dengan kelas lain, mengerti?” tanya guru Bahasa Indonesia itu berbelit-belit yang membuat kerut di dahi Eca semakin dalam.
“Jadi maksudnya gimana, Pak?” tanya salah satu siswa di kelas Lara. Bapak guru itu menghela napas sebelum melanjutkan diskusi.
“Jadi, maksudnya, kalian bikin kelompoknya campur sama kelas lain, Dina” Dina masih linglung, dan badannya disikut oleh teman di sampingnya, mencoba membuat Dina diam sebelum Bapak Guru Bahasa Indonesia itu mengomel.
“Bapak harap kalian mengerjakan tugas praktek ini dengan serius” Lara menghela napas panjang. Meriah sekali tugas praktek mata pelajaran Bahasa Indonesia ini, pikir Lara, sampai Guru Bahasa Indonesia menyewa GOR sekolah, seminggu penuh pula.
“Gue aus dah, liat botol minum gue gak, Ca?” tanya Lara selepas Guru Bahasa Indonesia itu pergi, ada urusan penting, kata beliau. Eca menggeleng, tak melepas pandangannya pada barisan kartu remi yang melekat pada genggamannya. Dua siswi yang duduk di belakang Lara pun melakukan hal yang sama, di meja mereka berserakan kartu remi yang telah terbuka. Bukannya merangkum materi di buku paket, ketiga siswi ini malah asyik bermain blackjack, atau Bahasa Indonesianya sih permainan kartu 21.
“Maen gak, Ra?” Lara menggeleng ketika ditanya oleh Eca. “Mikirin botol minum gue, bisa mati gue sama emak gue kalo itu botol minum ilang” keluh Lara sambil menopang kepalanya dengan tangannya di atas meja. “Apa gue beli aja kali yang KW-nya di toko kelontong?” pikir Lara pada diri sendiri.
“Lo beli KW ntar ketauan, Ra. Kena air panas langsung melempem itu botol” timpal Eca, tidak membantu Lara mengusir rasa gelisahnya. Lara berdecak.
“Udah, lah. Gue mau ke lapangan basket” Lara memasukkan barang-barangnya ke dalam tas begitu bel sekolah berbunyi. Tubuh kecilnya menyalip kerumunan siswa dan siswi yang keluar dari masing-masing kelas mereka. Turun ia dari tangga dan segera menuju lapangan yang ditutupi oleh pagar berjaring setinggi empat meter yang berada di tengah bangunan sekolah. Terlihat satu per satu wajah yang dikenalnya datang ke lapangan, menyapa Lara. Hidungnya sudah tidak mampat, tetapi tubuhnya masih belum sehat betul.
“Lo mau minggu depan lo tes fisik sendiri?” tanya Ratna, teman satu tim basketnya, ketika Lara berpikir untuk izin dari tes fisik hari ini. Lara menggeleng, ia pasti menderita harus berlari keliling lapangan selama dua belas menit, sedangkan teman-temannya sedang bermain di lapangan.
“Eh, Ra. Ada yang nyariin lo, tuh” Lara menoleh mendengar namanya dipanggil oleh salah satu temannya yang menghampirinya. Terlihat di pintu masuk lapangan basket, tubuhnya tinggi menjulang, rambutnya dikuncir kuda dan kacamata oval tersampir di wajahnya. Lara berlari kecil menghampiri gadis yang belum dikenalnya itu.
“Ada apa, ya?” tanya Lara. Gadis itu menyerahkan botol minum birunya yang sudah terisi penuh. “Tadi aku yang di UKS bareng kamu, ini botolnya. Makasih, ya” ucapnya tersenyum yang Lara bersumpah lebih manis dari es teh manis Mpok Kokom dengan gula dua sentimeter itu. Lara ikut tersenyum kikuk, diambilnya botol minum yang menentukan hidup dan matinya itu.
“Sama ini” gadis itu kembali menyodorkan sesuatu, sebuah snack bar rasa stroberi. “Kamu anak basket, kan? Tadi aku ke kelas kamu, nyariin kamu, terus kata temen kamu, kamu disini. Ya udah aku beli snack bar aja” Lara hendak mengambil snack bar itu, tetapi tiba-tiba dirinya ingin sekali bersin, ia tahan bersin yang sudah mendesak keluar dari tenggorokannya itu. Hidungnya kembang-kempis. Ah, pasti sangat memalukan penampilan Lara sekarang.
“Makasih” ucap Lara. Gadis itu mengucapkan kalimat sama-sama dan kalimat semacam semangat basketnya. Lara tidak mendengar karena kepalanya sudah dihantam oleh bola basket yang melaju kencang. Benturan suaranya memekakan telinga Lara, dan tubuhnya tersungkur menimpa tubuh gadis itu.
“Eh, Lara! Maaf, Ra! Sakit gak?” MENURUT LO!, rasanya Lara ingin berteriak. Di bawahnya, gadis manis itu mengaduh. Cepat-cepat Lara membantu gadis itu berdiri. Rok keduannya kotor dengan debu, siku gadis itu lecet dan telapak tangan Lara pun tergerus permukaan lapangan basket berbahan beton dan semen ini. Lutut kiri Lara ngilu, dan ia yakin punggung gadis itu pun sama.
“Maaf ya…eh, nama kamu siapa?” tanya Lara. “Ava” jawab gadis itu sembari menepuk-nepuk bagian belakang roknya. “Ke UKS bareng aku, yuk? Itu siku kamu luka” tawar Lara, dan gadis itu mengangguk. Digandengnya lengan Ava oleh Lara menuju ruang UKS di lantai satu bangunan sekolah.
“Tar ya, aku cari revanol” Lara menyusuri rak lemari obat-obatan dan memastikan tanggal kadaluarsanya tidak terlewat. “Aku bisa sendiri kok” ucap Ava. Lara menghentikan aktivitasnya.
“Eh, oke deh, sori” ucap Lara salah tingkah. Ava mengambil revanol dan menuangkannya pada selembar kapas. Ditepuknya dengan lembut luka di sikunya, sebelum mengoleskan betadine. Ava melirik Lara yang hanya memperhatikannya dari tadi, duduk gadis yang lebih pendek darinya itu di ranjang UKS. Ava menghampiri Lara dan meraih telapak tangannya yang terluka.
“Sini, sekalian aku bersiin” Lara menurut, terasa dinginnya revanol di kulitnya yang tergerus. Diam-diam, aroma parfum Ava tercium oleh dirinya. Tidak terlalu menyengat, rasanya seperti ia sedang berada di kamar mandi hotel bintang lima, sekalipun belum pernah ia merasakan hal seperti itu. Atau mungkin rasanya seperti pengharum ruangan sebuah kafe yang harga makanannya dapat menghabiskan jatah jajannya selama satu minggu. Apa ya, yang dapat mendeskripsikan parfum Ava? Ah, nyaman dan tenang.
“Kepala kamu gak apa-apa? Aku izin pegang ya” Lara mengangguk, membiarkan Ava meraba bagian belakang kepalanya yang berdenyut. Mengaduh Lara ketika jemari Ava menekan benjolan di kulit kepalanya, dan Ava mengusap-usap pundak Lara sebagai permintaan maaf.
“Wangi” kata Lara, tak sadar ia berbicara seperti itu. Ava menatapnya bingung. “Kamu suka bau revanol?” tanya Ava. “Bukan, parfum kamu wangi” jelas Lara sembari menunduk malu. Ava terkekeh, jemarinya masih tersampir di pundak Lara yang rasa-rasanya mempercepat laju aliran darah di tubuh Lara dan membuat jantungnya berdegup kencang.
“Gak balik?” tanya Ava, yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Lara, pandangannya masih menunduk. “Mau latihan basket” ucap Lara.
“Udah jatoh gini, masih mau latihan basket?” tanya Ava sembari bercakak pinggang. Agaknya, ia gemas dengan tingkah Lara.
“Ya udah, aku duluan ya. Jangan maksain kalo masih sakit” Ava melangkah ke arah pintu UKS. Lara mengangkat kepalanya dengan cepat, lalu menoleh ke arah Ava.
“Makasih, Va!” ucap Lara. Ava membalikkan badannya.
“Sama-sama, Lara” ada sedikit rasa antusias ketika Ava memanggil nama Lara.
