Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandoms:
Relationships:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2025-02-01
Updated:
2025-06-06
Words:
95,972
Chapters:
8/?
Comments:
15
Kudos:
116
Bookmarks:
1
Hits:
3,628

In Her Footsteps

Summary:

Bagas Mahendra, a family medicine doctor, is transferred to a remote village as part of a volunteer program, where he unexpectedly reunites with Laras Ayu Prameswari, a woman he once met in college.

Chapter 1: Beyond the Hills, There's You.

Summary:

Bagas Mahendra, a family medicine doctor, is transferred to a remote village as part of a volunteer program, where he unexpectedly reunites with Laras Ayu Prameswari, a woman he once met in college.

Notes:

Cerita ini merupakan fan-fiksi, di mana karakter, latar, kejadian, jabatan dan lembaga yang ada di dalamnya bersifat fiksi dan tidak berhubungan dengan individu atau peristiwa di dunia nyata. Cerita ini mengandung berbagai isu—harap membaca tag line dengan cermat. Semua istilah medis dijelaskan berdasarkan riset pribadi saya untuk kebutuhan cerita, dan pembaca diharapkan untuk membacanya dengan bijak.

Karena latar cerita berada di sebuah provinsi di Pulau Jawa yang dikenal dengan bahasa daerahnya, saya memilih untuk tidak menggunakan bahasa daerah secara langsung agar pembaca internasional bisa lebih mudah mengikuti cerita. Sebagai gantinya, saya menggunakan huruf miring pada kalimat yang dimaksudkan dalam bahasa daerah, sambil tetap memakai bahasa Indonesia yang tepat agar lebih mudah diterjemahkan.
:::::
This is a fan-fiction story, where the characters, settings, events, and positions involved in the story are fictional and not related to real-life individuals or events. The story contains various issues—please read the tagline carefully. All medical terms are explained based on my research for storytelling purposes, and readers are advised to approach them cautiously.

Since the story is set in a province on the island of Java, which is known for its regional language, I decided not to use the regional language directly, so international readers can follow the story more easily. Instead, I use italics for sentences meant to be in the regional language, while still using proper Indonesian for easier translation.

(See the end of the chapter for more notes.)

Chapter Text

Terdengar suara ketukan halus di pintu kamar berbahan kayu jati yang kokoh, mengisi keheningan kamar yang didominasi dengan warna hitam dan abu-abu. Bagas, yang tengah berdiri di walking closet tepat di depan cermin besarnya, hanya menoleh sekilas.

Tatapannya bertemu dengan bayangannya sendiri—kemeja hitam dari brand ternama yang membalut tubuhnya dengan nyaman, dipadukan dengan celana bahan hitam dan pantofel kulit asli berwarna hitam yang membuatnya terlihat rapi meskipun sederhana. Ia menarik napas panjang, memastikan dirinya telah siap sebelum akhirnya melangkah menuju pintu.

Begitu ia membuka pintunya, seorang pria muncul dari baliknya, wajahnya membawa ekspresi penuh keraguan, seakan ada sesuatu yang ingin ia tanyakan namun ragu untuk mengungkapkannya.

“Mas Bagas, Mas pesan taksi, ya? Itu… ada taksi yang datang untuk menjemput Mas.”

Bagas tersenyum tipis, “Oh, sudah datang? Kalau begitu, tolong masukkan barang-barang saya ke bagasi, ya. Bilang tunggu dulu ke supirnya, saya mau pamitan sebentar.” ucapnya sambil menunjuk ke arah dua koper besar di depan walking closet-nya yang telah ia persiapkan.

Mas Yunus, yang selama ini menjadi supir pribadi keluarga Mahendra, mengangguk dan bergerak mengambil koper-koper berat itu. Namun, saat tangannya menyentuh gagang koper, dia mendadak bingung. “Baik, Mas... Barangnya banyak banget, Mas? Mau liburan, ya? Padahal saya bisa antar, loh.”

Bagas tertawa kecil, mencoba mengurangi ketegangan yang terasa, meski hatinya penuh dengan keraguan dan ketegasan yang sudah terambil. “Hahaha, bukan... Saya mau kabur.” jawabnya sambil bercanda, tangannya mengambil ransel di ruang kerjanya yang menyatu dengan area kamar, memastikan semua keperluannya untuk perjalanan jauh nanti sudah tersedia di sana semua.

Mas Yunus, yang mengenal Bagas dengan baik, menatapnya sejenak, merasa seakan mendapat perasaan yang berbeda dari biasanya. “Ah, bisa aja bercandanya, nih. Kalau begitu, saya turun duluan, ya, Mas…”

“Oke, Mas… Terima kasih, ya.” jawab Bagas dengan senyum kecil, meskipun di dalam dirinya ada perasaan yang sulit dijelaskan. Keputusan ini membuatnya merasa lega sekaligus penuh gugup. Namun, ia sudah terlalu jauh untuk mundur.

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Bagas kembali melihat ke sekeliling kamarnya yang besar dan mewah. Lampu gantung kristal dan LED light yang memancarkan cahaya keemasan, menerangi setiap sudut kamarnya yang tertata sempurna. Tempat tidur king-size di tengah ruangan tampak begitu rapi—selalu seperti itu, karena asisten rumah tangga akan segera merapikannya begitu ia bangun. Di pojok kamar, ada lorong kecil menuju walking closet yang didominasi oleh pakaian berwarna netral, dan kamar mandi luas dengan marmer dingin dan bathub yang besar.

Keheningan menyelimuti ruangan itu. Bagas berdiri diam, memperhatikan setiap detail yang seharusnya akrab, tetapi justru terasa jauh. Di kamar inilah ia tumbuh dan dibesarkan, tetapi entah kenapa, ia tidak pernah benar-benar merasa memiliki tempatnya sendiri.

Namun, tak lama lagi, ia akan meninggalkan semua kemewahan yang selama ini membelenggunya. Pergi ke tempat yang jauh, di mana ia bisa menentukan jalannya sendiri, tanpa ada yang mengatur dan menghakimi. Untuk pertama kalinya, ia akan benar-benar bebas—atau setidaknya, itulah yang ia harapkan.

Bagas menarik napas dalam-dalam, merasakan beban yang menggantung di dadanya. Tangannya meremas tali ransel yang kini terasa lebih berat dari seharusnya. Lalu, tanpa ragu lagi, Bagas membuka pintu dan melangkah keluar. Meninggalkan kamar yang selama ini menjadi sangkar emasnya.

Kakinya terus menyusuri koridor rumahnya, bahkan telinganya dapat mulai mendengar namanya ramai disebut di tengah keramaian yang berasal dari ruang tamu yang terletak di lantai utama karena kedatangan tamu sejak pagi tadi. Bagas dengan cepat menuruni anak tangga besar yang bertemu dengan kedua orang tuanya, bersama tamu-tamu dari keluarga Aryasatya menyambut kedatangannya.

Begitu Bagas menginjakkan kaki di lantai utama, percakapan yang semula riuh perlahan mereda. Beberapa tamu masih tersenyum ramah kepadanya, mengira ia baru saja turun untuk bergabung dalam acara. Namun, ekspresi kedua orang tuanya berbeda—sang ibu menatapnya dengan cemas, sementara sang ayah mulai menyipitkan mata, seolah membaca niat di balik kehadiran putranya yang turun dengan membawa ransel.

“Eh, Bagas baru turun. Itu… Ada Nadine udah nunggu dari tadi, loh!!”

Mendengar itu, Bagas hanya memberikan senyumannya—ia tidak ingin membuang waktu. Dengan satu tarikan napas, ia berdiri tegap di tengah ruangan.

“Halo, semua. Maaf mengganggu acaranya, tapi saya mau pamit.” ucapnya, suaranya jelas dan mantap.

Keheningan langsung menyelimuti ruang tamu. Tatapan heran dan terkejut langsung mengarah padanya, mencoba memahami apa maksud dari salam perpisahan yang ia bicarakan.

“Pamit?” Suara pria paruh baya dengan bingung, ia melirik ke arah pria yang tak lain adalah Ayah dari Bagas.

“Bagas, apa maksudnya?” ucap sang ayah dengan penuh tekanan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang tumbuh dalam didikan keras seorang Arsana Mahendra—ayah Bagas.

Bagas mengangguk, menatap ayahnya lurus-lurus. “Saya akan pergi menjalani program sukarelawan selama setahun. Dan dengan ini, saya menolak perjodohan ini.” Bagas melirik ke arah Nadine—calon tunangannya, yang turut menatapnya dengan sinis, lalu melanjutkan, “Saya sudah bicarakan ini dengan Nadine, meskipun jawabannya tidak sama dengan saya. Intinya, perjodohan ini dibatalkan.”

Ruangan seketika menjadi lebih sunyi dari sebelumnya. Tidak ada tawa, tidak ada suara piring beradu, tidak ada yang berani berbicara lebih dulu. Hanya ada Bagas, berdiri tegak di tengah-tengah lingkaran keluarganya, bersiap-siap menerima reaksi yang sudah ia duga sejak awal.

“Program sukarelawan apa maksudnya? Kenapa kamu nggak pernah bilang-”

“Aku sudah bilang sejak hari pertama, kalau kalian terus memaksaku, aku akan pergi.” Bagas memotong perkataan ayahnya dengan tenang. Ia melirik ke arah ibunya yang tampak menahan rasa malu, wajahnya memerah. “Dan bukannya semalam, aku bilang kalau aku nolak pernikahan ini, Ma?” tanya Bagas dengan nada yang tajam.

Bagas melirik ke arah orang tua Nadine—termasuk Nadine, yang kini terlihat masam, wajah mereka menunjukkan perasaan tersinggung, seolah merasa direndahkan.

Bagas tidak ingin memperpanjang ketegangan, maka dengan sikap yang tetap tenang, ia sedikit menundukkan kepala untuk menunjukkan rasa hormat. “Maaf, saya sudah berkali-kali menyatakan belum siap untuk menikah, jadi ini bukan urusan saya lagi…” ucapnya, nadanya kini lebih datar, lebih lelah. Seperti seseorang yang telah mencapai batas kesabarannya.

“Dan juga, maaf kalau sikap saya tidak sopan, tapi tolong cari orang lain.”

Sebelum membalikkan tubuhnya untuk pergi, Bagas menatap orang tuanya sekali lagi. Di wajah mereka, ia melihat sesuatu—kekecewaan. Tapi kali ini, Bagas tidak lagi merasa bersalah, ia berhak menolak.

Ia menghela napas panjang, sebelum akhirnya berkata, “Saya tidak bisa lama-lama. Barang-barang saya sudah di taksi, saya harus pergi sekarang.” Ia melirik ke arah kedua orang tuanya, sorot mata ibunya mengisyaratkan ribuan kata yang tidak bisa diucapkan, sementara sang ayah hanya berdiri dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.

“Aku pamit dulu, Pa… Ma...”

Tidak ada jawaban. Tidak ada satu pun suara yang menghentikannya. Jadi, tanpa ragu lagi, ia membalikkan badan dan melangkah pergi—meninggalkan tamu-tamu yang masih terdiam karena keputusannya.

Di luar, Bagas berdiri di samping taksi yang mesinnya sudah menyala, koper-koper besar telah dimasukkan ke bagasi, sementara ranselnya masih ia gendong erat. Bagas berpamitan dengan Mas Yunus yang menatapnya dengan raut wajah campur aduk—antara keterkejutan dan ketidakpercayaan tergambar jelas di wajah pria itu. Sejak pertama kali mendengar Bagas bercanda tentang ‘kabur’, ia tak benar-benar menganggapnya serius. Tapi kini, melihat Bagas berdiri di depannya dengan raut wajah tenang namun penuh tekad, ia hanya bisa menggeleng pelan.

“Mas, ternyata beneran kabur, nih? Hati-hati di jalan, ya, Mas.”

“Hahaha… Iya, Mas. Saya titip orang tua saya, ya.”

Pak Yunus mengangguk dan tersenyum kecil, ia hanya tidak menyangka akan membuat gebrakan baru untuk melawan orang tuanya. “Jaga diri baik-baik, ya, Mas.”

Bagas hanya tersenyum mendengarnya, lalu berjalan menuju taksi yang sudah menunggu di dekatnya. Namun, sebelum ia sempat membuka pintu, ia merasakan tangannya ditarik dengan lembut oleh seseorang yang membuatnya menoleh ke belakang. Ibunya berdiri di sana, tatapannya berat, namun penuh kasih sayang. Tangannya yang hangat menggenggam erat tangan anak semata wayangnya, seakan tak ingin melepaskannya.

“Bagas… kamu benar-benar mau pergi, Nak?” Suaranya bergetar, tetapi ia berusaha tetap tegar. Di belakangnya, ayahnya menghampiri mereka dengan langkah lambat, napasnya yang berat terdengar jelas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia berhenti di samping ibu Bagas, matanya tertutup sejenak sebelum membuka lagi, fokus penuh pada anaknya. “Kamu kenapa bisa kepikiran ikut volunter, sih? Kalau kamu kenapa-kenapa di sana, bagaimana?”

Bagas menatap ayahnya, matanya tegap dan penuh keyakinan. “Sudah tiga bulan.” jawabnya dengan suara tegas, berusaha memberi penegasan bahwa ini bukan keputusan yang dibuat tiba-tiba.

Ibunya terkejut mendengarnya, “Tiga bulan?”

Bagas mengangguk, matanya berkilat dengan tekad di dalam dirinya. “Iya, aku mempersiapkan semuanya selama tiga bulan setelah perjodohan ini dibicarakan. Sejak hari itu, aku memutuskan untuk keluar dari sangkar yang kalian buat untukku.” Kata-katanya yang terdengar sederhana, seolah benar-benar ingin menandakan bahwa ini adalah akhir dari segalanya.

Ibunya akhirnya bersuara lagi, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar. Ada ketegangan yang nyata di matanya, seolah masih berharap bisa mengubah keputusan putranya.

“Tapi, Bagas…” Ia menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Kamu dan Nadine bisa mencoba dulu, kan? Nggak harus buru-buru, kok. Mama yakin, kalau kalian diberi waktu, kalian bisa saling menyukai.”

Bagas menatap ibunya, kali ini dengan sorot yang sedikit lebih lembut, meskipun keteguhan hatinya tetap tidak tergoyahkan.

“Yang akan menikah siapa, Ma?” tanyanya pelan. “Aku atau kalian?”

Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, suaranya sedikit bergetar meskipun tetap tegas. “Dan… aku masih menyukai Laras. Kalian tahu itu.”

Ibunya terdiam, wajahnya berubah. Seakan diingatkan kembali pada sesuatu yang selama ini sengaja ia abaikan. Sementara, Ayah Bagas hanya mengepalkan tangannya, rahangnya mengatup erat menahan sesuatu yang sulit ia ungkapkan.

“Bagas, dengar—” Suaranya terdengar tersendat, ada sesuatu di sana—bukan hanya kemarahan, tetapi juga rasa kehilangan yang begitu dalam.

Namun, Bagas memotongnya sebelum sang ayah sempat melanjutkan.

“Aku sudah hidup seperti yang kalian mau.” ucapnya mantap, seakan tidak ada keraguan dalam hatinya. “Menjadi anak yang pintar, tidak pernah rewel, selalu patuh, menjadi dokter seperti yang kalian inginkan… Aku sudah melakukan semuanya.”

Ia menghela napas panjang, membiarkan kata-katanya menggantung sejenak sebelum kembali menatap kedua orang tuanya. “Tapi menikah?” Ia menggeleng pelan. “Aku tidak bisa.”

Hening.

Bagas menelan ludah, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, namun tetap penuh ketegasan.

“Karena ini keputusanku. Ini hidupku… dan aku akan pergi.”

Ia menatap kedua orang tuanya dalam-dalam, ingin mengingat wajah mereka untuk terakhir kalinya sebelum ia benar-benar melangkah keluar dari kehidupan yang selama ini membelenggunya.

“Usiaku sudah 35 tahun…” katanya, kali ini lebih tenang, lebih dalam. “Dan aku tidak ingin hidupku diatur oleh orang lain lagi.”

Ayahnya hanya terdiam, matanya penuh kecemasan, sementara ibu Bagas menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Bagas lebih erat, mencoba menyimpan setiap detik bersama anaknya.

“Aku pergi dulu, jaga diri kalian.” Bagas beralih memeluk ibunya dengan lembut, merasakan kehangatan yang hampir hilang, sementara sang ibu menelan kekecewaan yang mendalam karena gagal melihat anaknya menikah dengan sosok menantu yang ia idam-idamkan.

Bagas melepaskan pelukannya, lalu melirik ke arah taksi yang masih menunggu di luar. Waktunya sudah hampir habis.

“Ma, Pa…” suaranya sedikit lebih lirih sekarang. “Aku pamit.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik. Langkahnya mantap, meskipun ada beban berat yang menggantung di hatinya. Ia tahu, setelah malam ini, ia mungkin tidak akan pernah bisa kembali ke rumah ini dengan cara yang sama lagi.

Sekar—Ibu Bagas masih terisak pelan, kedua tangannya bergerak memeluk suaminya, seakan itu bisa menahan perasaan yang meluap-luap dalam dadanya. Matanya yang basah menatap kosong ke arah jalanan di mana taksi yang membawa Bagas pergi sudah menghilang di kejauhan.

Ibu Bagas masih menunggu… masih berharap anaknya akan berubah pikiran, meskipun ia tahu bahwa Bagas bukan seseorang yang akan menarik kembali kata-katanya.

Yang ia inginkan selama ini hanyalah melihat Bagas melupakan cinta pertamanya, melupakan masa lalu yang sudah terlewatkan, dan mulai menjalani hidup dengan seseorang yang pantas—seseorang yang sesuai dengan harapan keluarga mereka. Bukankah itu yang terbaik? Bukankah itu seharusnya membuat hidup Bagas lebih mudah?

Tapi ia salah.

Ia tidak pernah benar-benar berpikir bahwa Bagas akan memilih pergi sejauh ini. Ia pikir semua ancaman itu hanya gertakan. Ia pikir, pada akhirnya, Bagas akan tetap patuh seperti biasanya. Namun kini, semuanya sudah terlambat.

“Dia benar-benar pergi…” bisiknya lirih, seolah masih tidak percaya bahwa anak satu-satunya kini telah memilih jalannya sendiri—tanpa mereka.

“Laras lagi… Sudah belasan tahun berlalu, hatinya belum berubah hikss-”

Ayah Bagas menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di pundak istrinya, menepuknya dengan lembut. “Anak kita sudah besar, Ma…” ucapnya dengan suara yang dalam dan berat. “Bagas benar, kita tidak bisa mengaturnya selamanya.”

Sang istri menoleh dengan sorot mata terluka. “Tapi, bagaimana kalau dia tidak kembali?” Suaranya bergetar. “Bagaimana kalau dia benar-benar membuang kita dari hidupnya?”

“Tidak perlu berpikir seperti itu, Bagas hanya pergi setahun untuk menjalankan tugas baktinya… Ini rumahnya, dia pasti akan kembali.”

Ayah Bagas berusaha menenangkan istrinya. Namun dalam lubuk hatinya, ia juga takut—takut bahwa ketegasan anaknya pagi ini bukan hanya bentuk perlawanan. Sebagai seorang ayah, ia juga tahu tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu luka di hati sang anak sembuh.

“Kalau dia tidak kembali…” ucapnya pelan, “maka kita harus percaya… bahwa dia baik-baik saja di luar sana.”

:::::

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan dari Jakarta melalui jalur udara, Bagas akhirnya tiba di salah satu bandara besar di Yogyakarta. Bagas mengecek ponselnya sekali lagi. Setelah memberitahu rincian ciri-cirinya di sebuah whatsapp group yang berisikan dokter sukarelawan dan perwakilan desa, ia tinggal menunggu kendaraan yang dijanjikan akan menjemputnya dan membawanya ke desa.

Berbeda dengan dokter relawan lainnya, Bagas datang tiga hari lebih lambat. Ia tidak bisa meninggalkan pasiennya yang sudah ia rawat sejak awal dirinya mendapatkan gelar spesialis—sebuah hubungan profesional yang telah melampaui sekedar kewajiban praktik medisnya. Ia tahu betul betapa pentingnya janji temu itu bagi pasiennya, dan ia memilih untuk tetap memberikan pemeriksaan dan perawatan terakhirnya sebelum ia pergi. Sebagai gantinya, biaya perjalanan Bagas akan dialokasikan untuk desa, sedangkan ia akan membayar biaya perjalanannya sendiri dan meminta dijemput hingga ke desa.

Tanpa sadar, ada sesuatu yang membuatnya gelisah, padahal segala sesuatunya terlihat biasa saja dan dirinya sudah sepenuhnya siap untuk melaksanakan tugas baktinya.

Bagas telah mengabdikan dirinya sebagai dokter spesialis kedokteran keluarga selama sekitar 5 tahun, dia sering berhadapan dengan pasien yang memiliki berbagai masalah kesehatan jangka panjang dari berbagai usia, dan tentu sudah menjadi tugasnya untuk memberikan pelayanan medis dan perawatan secara menyeluruh.

Pilihannya untuk menekuni spesialisasi ini ditentang oleh kedua orang tuanya—ayahnya adalah guru besar sekaligus dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, sementara ibunya adalah profesor dan dokter spesialis penyakit dalam. Tentu, ia memiliki alasan sendiri mengapa memilih spesialis yang lebih sering dianggap enteng oleh kebanyakan orang, termasuk oleh kedua orang tuanya sendiri.

Itulah mengapa perjodohan itu terjadi. Nadine, seorang dokter spesialis bedah plastik estetika, terlahir dalam keluarga terpandang di dunia kedokteran—sebuah keluarga yang tidak berbeda jauh dengan keluarga Bagas. Keduanya telah saling mengenal sejak lama karena memang hubungan keluarga mereka yang cukup dekat. Keluarganya berpikir, setidaknya memiliki menantu yang berasal dari latar belakang yang sama, seseorang yang dianggap ‘layak’ untuk mendampingi anak semata wayang mereka. Namun, kepribadian Nadine dengan kehidupan berkelasnya dan sifat kasarnya, justru membuat Bagas merasa tidak ada kecocokan sama sekali.

Sekitar tiga bulan yang lalu, ketika rasa muaknya terhadap kendali orang tuanya mencapai puncaknya, Bagas menemukan sesuatu yang terasa seperti mimpi di siang bolong—sebuah tawaran untuk menjadi sukarelawan.

Ia tidak butuh waktu lama untuk memutuskan, tak peduli akan ke mana dirinya ditugaskan. Tanpa sepengetahuan keluarganya, Bagas segera mendaftar. Di antara jadwal praktiknya yang padat dan tuntutan keluarganya yang semakin berat, ia meluangkan waktu untuk mengisi formulir, mengirimkan dokumen, dan menjalani proses seleksi tanpa memberi tahu siapa pun.

Dan ketika akhirnya pemberitahuan diterima masuk ke dalam pesan masuk e-mail-nya, Bagas hanya menatap layar ponselnya untuk beberapa saat, meresapi perasaan yang sulit dijelaskan. Karena untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa memiliki kendali penuh atas keputusannya sendiri.

“Permisi, Mas Bagas Mahendra, ya?” Tiba-tiba, seseorang menghampiri Bagas dengan langkah cepat, berbicara dengan logat Jawa yang kental. “Perkenalkan, nama saya Damar. Saya spesialis bedah umum, nanti bersama Mas menjalani sukarelawan di desa Tegalrejo. Kebetulan saya ada urusan ke kota, jadi sekalian ikut jemput Mas.”

“Oh… Halo, iya… saya Bagas.” Bagas sedikit terkejut mendengar sambutan yang ramah dengan logat jawa yang khas. Seorang pria memperkenalkan dirinya dan mengulurkan tangan untuk mengajaknya berjabat tangan. "Terima kasih sudah menjemput saya…" lanjutnya, berusaha tersenyum meskipun sedikit canggung.

Damar tersenyum, matanya berbinar. “Tidak masalah, Mas. Senang bisa membantu. Ayo, saya antar ke mobil.” Dengan langkah santai, Damar mulai memimpin jalan menuju di mana sebuah minibus terparkir di tepi dengan seorang supir yang berdiri di samping melambaikan tangannya, sementara Bagas mengikuti di belakang sambil menarik dua koper besarnya.

“Halo, Mas Bagas. Nama saya Bagus, nama kita mirip, loh… Bagas dan Bagus, hahaha. Maaf, saya hanya bercanda. Saya warga desa Tegalrejo yang biasa mengantar warga desa ke kota kalau ada keperluan.” ucap sang supir—Bagus namanya, mengajak Bagas untuk berjabat tangan.

Bagas tertawa, meskipun hanya sedikit mengerti, ia paham maksud dari candaan itu. “Halo, Pak Bagus. Saya Bagas, mohon bantuannya.”

“Ah… tidak perlu pakai Pak, panggil Mas saja, saya masih muda, hahaha.”

“Begitu, ya? Baik, Mas Bagus.”

Bagus tertawa lepas, tangannya menjabat Bagas dengan erat. “Nah, gitu dong, biar nggak terasa terlalu kaku. Di desa nanti juga nggak usah sungkan, kita semua di sana kayak keluarga, kok.”

Bagas mengangguk kecil, sedikit lega dengan suasana yang lebih santai dari yang ia bayangkan. “Baik, Mas. Terima kasih sudah mau repot-repot jemput saya.”

“Ah, nggak repot, Mas. Saya malah senang ada dokter-dokter dari jauh yang mau datang ke desa, apalagi aduh… seganteng Mas Bagas, gadis-gadis desa pasti banyak yang suka.” ucap Mas Bagus dengan sumringah sambil mengangkat koper Bagas dan memasukkannya ke dalam bagasi minibus dengan cepat.

Bagas hanya bisa mengangguk kecil. Namun, telinganya menangkap sesuatu dalam ucapan Mas Bagus yang membuat dahinya berkerut samar. Bahasa Jawa yang digunakan pria itu tidak sepenuhnya ia bisa pahami artinya. Bagas pun melirik Damar yang berdiri di sampingnya, berharap pria itu bisa membantunya memahami maksud perkataan Mas Bagus.

Damar, yang menyadari kebingungan di wajah Bagas, tertawa kecil sebelum akhirnya menjelaskan, “Loh, nggak ngerti, ya, Mas? Kata Mas Bagus, dia malah senang kalau ada dokter yang mau datang ke desa, apalagi kalau ganteng kayak Mas Bagas, pasti banyak gadis desa yang suka.”

Bagas mengangguk paham, lalu tersenyum kecil. Ia tak terbiasa menerima pujian langsung seperti itu, apalagi dari orang yang baru dikenalnya.

Sementara itu, Damar sudah lebih dulu masuk ke dalam minibus dan duduk di bangku tengah dengan posisi santai. Ia melemaskan bahunya dan melirik ke arah pintu, memastikan Bagas tidak berlama-lama berdiri di luar. “Ayo, Mas Bagas, kalau kelamaan nanti keburu kabutnya turun dan pemandangannya jadi nggak keliatan.”

Bagas menghela napas, lalu memastikan koper-kopernya telah masuk ke bagasi dengan bantuan Mas Bagus sebelum akhirnya masuk dan duduk di depan Damar. Ia menyandarkan punggungnya, menyadari bahwa perjalanan panjangnya baru saja dimulai.

Mas Bagus menyalakan mesin minibus, sementara Damar sudah terlihat nyaman di kursinya, memandang ke luar jendela dengan santai.

“Perjalanannya bakal makan waktu sekitar tiga jam, Mas Bagas. Kalau ngantuk, tidur saja dulu” ujar Mas Bagus sambil memutar setirnya. “Oh iya, Desa Tegalrejo itu ada di wilayah perbukitan atas, Mas. Jadi nanti sepanjang perjalanan jalannya naik turun, banyak belokan juga. Kalau mual, bilang saja, ya.”

Bagas mengerutkan kening. “Mual?”

“Iya, toh.” Mas Bagus tertawa kecil. Damar menjelaskan, “Kata Mas Bagus, Desa Tegalrejo itu ada di wilayah perbukitan atas, Mas. Nah, kan Mas Bagas ini terbiasa di Jakarta yang jalannya selalu mulus. Takutnya nggak biasa sama jalanan yang berkelok-kelok dan naik turun, jadinya mabuk perjalanan.”

Bagas mendengarkan Damar dengan seksama dan seketika mengangguk paham, lalu tertawa kecil. “Ohh… saya paham. Oke, nanti saya kabari kalau mulai mabuk.”

Damar menengok Bagas sekilas dan tersenyum tipis. “Tenang aja, Mas. Kalau mabuk, kita bisa berhenti sebentar. Di atas nanti hawanya sejuk banget, bisa buat nyegerin kepala.”

Bagas hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, lalu mengalihkan pandangannya pada pemandangan dari balik jendela.

Dalam perjalanannya, Bagas menjumpai banyak hal yang jarang ia temui di kota kelahirannya. Ia melihat begitu banyak aktivitas warga yang mengundang perhatiannya. Di sepanjang jalan desa, ia melihat warung-warung kecil dan toko kelontong dengan bangku kayu sederhana, seorang ibu duduk di depan rumah yang sederhana sambil mengayun-ayunkan bayinya, sementara anak-anak berlarian tanpa alas kaki—tertawa riang di antara perkarangan luas yang ditanami berbagai macam sayur.

Matanya bertemu dengan pemandangan yang indah dan beragam, jalanan berkelok naik turun, menyusuri bukit-bukit hijau yang seakan tak berujung. Seperti anak kecil, ia melihat dengan penuh antusias.

Pandangannya bertemu dengan dua gunung yang menjulang megah di kejauhan, sebagian puncaknya tertutup kabut tipis yang lembut. “Itu gunung apa?” tanya Bagas sambil menunjuk ke arah luar jendela, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Damar, yang duduk di sebelahnya, mengikuti arah telunjuk Bagas dan tersenyum. “Ohh… itu dekat dengan kampung saya, Mas. Yang kiri itu namanya Gunung Sumbing, dan kanannya itu Gunung Sindoro.”

Bagas mengangguk pelan, mencoba menghafalkan nama kedua gunung yang tampak begitu kokoh. “Berarti kamu orang sini?”

“Hahaha, iya… saya orang Parakan. Rumah saya nggak terlalu jauh dari kaki Gunung Sumbing.” jawab Damar dengan nada santai, matanya berbinar sedikit saat berbicara tentang kampung halamannya.

“Wah, pasti seneng banget ya setiap pagi bisa lihat gunung. Rasanya adem gitu…” komentar Bagas, matanya masih terpaku pada pemandangan di luar. “Kalau saya, cuma bisa lihat Gunung Salak dari kejauhan, itu pun kalau lagi nggak ketutupan polusi Jakarta.”

Damar tertawa kecil. “Ah… nggak juga, Mas. Malah kebalikannya, saya sudah bosan tiap hari lihat gunung. Dari kecil sampai sekarang, yang saya lihat ya itu-itu aja. Saya malah pengen lihat Monas atau gedung-gedung tinggi di Jakarta, rasanya lebih keren.”

Bagas menggeleng sambil tersenyum. “Lah, saya juga bosan kalau itu. Hampir setiap pagi saya lihat Monas setiap saya berangkat dan pulang kerja. Monas itu bagus kalau dilihat sesekali, tapi kalau setiap hari? Ya… nggak terlalu menarik juga.”

Damar tertawa lebih lepas kali ini. “Hahaha, bener juga sih. Mungkin kita emang suka yang kita nggak punya, ya?”

Bagas terdiam sejenak. Kata-kata itu terasa begitu familiar, seakan menariknya kembali ke potongan kenangan yang tersimpan rapi di sudut pikirannya.

“Bagas, kamu emangnya nggak bosen, ya? Jalan-jalannya ke mal terus... Ujung-ujungnya kamu cuma buang uang untuk hal yang nggak berguna.” ucap seorang perempuan dengan nada heran, lalu menoleh sekilas pada pria yang sibuk dengan karet rambut di pergelangan tangannya.

Laras, yang tampak cantik hari ini dengan rambut ikal panjangnya yang selalu menggoda tangan Bagas untuk memainkannya. Jemari mungilnya tampak sibuk mengaduk gudeg di hadapannya, sementara Bagas seperti biasa menaruh perhatiannya pada rambut Laras.

Tanpa perlu diminta, seakan seperti menjadi kebiasaan, Bagas dengan cekatan mengambil karet rambut dari pergelangan tangannya, lalu mulai menguncir rambut Laras agar rambut panjangnya tidak mengganggunya saat makan.

Si pemuda hanya mengangkat bahunya santai, “Loh, Ras? Emang di Jakarta kita bisa ke mana lagi?” Ia menghembuskan napasnya kasar. “Bahkan karena kamu, aku jadi tahu ternyata makanan pinggir jalan enak kayak gini. Aku nggak pernah makan makanan pinggir jalan di Jakarta, katanya nggak higienis.”

Selesai dengan urusannya, Bagas menepuk lembut kepala Laras. “Nah, udah rapi rambutnya. Makan yang banyak, ya, Laras.”

Laras terkekeh pelan, seolah bangga berhasil membawa Bagas keluar dari zona nyamannya. “Makasih, ya...” ucapnya. “Ya... jangan diam di Jakarta aja, dong?” lanjut Laras setelah menyuapkan sesuap gudeg ke mulutnya. “Pergi ke sekitar Jakarta aja, Bogor misalnya? Jangan-jangan kamu cuma tahu Jakarta doang?”

Bagas tertawa kecil, menyesap es teh manisnya sebelum menjawab. “Iya, aku lahir di Jakarta, terus kuliah di Yogyakarta. Kalau kuliahnya di Bogor, baru deh bisa jalan-jalan di Bogor.” katanya bercanda. “Aku jarang pergi ke luar kota karena orang tua aku sama-sama sibuk, mau pergi sendiri juga bingung mau ke mana.”

Laras menatapnya sebentar, lalu tersenyum penuh maklum. “Yaudah… Kalau gitu, mulai besok aku ajak dan temenin kamu jalan-jalan. Kalau kamu punya tempat yang mau kamu kunjungin, bilang ke aku aja, ya, Gas.”

Bagas menaruh sumpitnya, lalu menatap Laras dengan senyum miring. “Oke. Hmm… Aku penasaran sama Hutan Pinus itu, deh.”

“Oh… Mangunan, ya?”

“Iya, kamu tahu?”

Perempuan itu mengangguk antusias. “Iya, aku pernah diajakin sama Kak Yoga, pergi ke sananya juga rame-rame sama teman. Bagus, kok. Nanti kita ke sana, ya.”

Bagas mendecakkan lidah, pura-pura cemberut. “Sebut Yoga aja, kating caper kayak gitu nggak perlu dipanggil pakai ‘Kak’.”

Laras tertawa kecil, menutup mulutnya agar tidak menyembur makanannya. Bagas menatapnya jengkel, lalu menambahkan, “Emang, ya? Manusia emang secara alami lebih suka sesuatu yang kita nggak punya.”

Laras mengangkat alisnya, ekspresinya terlihat pura-pura bingung. “Maksudnya?”

Mendengar jawaban itu, Bagas langsung mencondongkan tubuhnya mendekat. “Si Yoga itu ngedeketin kamu terus, tapi aku nggak bisa apa-apa. Soalnya, kamu punya aku, tapi aku nggak punya kamu. Aku mau marah, juga nggak bisa…”

Laras melanjutkan makannya, pura-pura tidak mendengar apa yang elukan Bagas. Ia sudah terbiasa mendengar rengekannya itu, namun kali ini terdengar lucu sekali.

“Pacaran sama aku yuk, Ras.” lanjut Bagas, kali ini dengan nada menggoda. “Emangnya kamu ga liat giginya? somplak gitu… Jelek. Mending sama aku, iya, kan?”

“Ishh… Nggak boleh ngomong gitu!! Pacarannya kapan-kapan aja, kita kan baru kenal.”

Bagas terdiam sesaat, sebelum tertawa geli. “Udah seminggu kamu kenal aku, masih belum suka juga?”

“Ssstt~ Udah habisin dulu makanannya, Bagas!!” seru Laras dengan salah tingkah, pipinya terasa menghangat ketika mendengar pertanyaan seperti itu.

“Aduh, diomelin cewek manis.” sahutnya sambil terkekeh, lalu meraih sendoknya lagi. “Oke! Aku habisin gudegnya, biar kamu bisa cepetan suka sama aku.”

Laras hanya tertawa, lesung pipinya yang tampak merona terlihat jelas di bawah cahaya lampu. Bagas memandangnya dengan senyuman yang tak bisa disembunyikan, merasakan hangatnya setiap tawa yang keluar dari bibir Laras.

Bagas hanya terdiam, matanya kembali menatap ke luar jendela di mana Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro yang masih terlihat dikelilingi embun tipis. Gelak tawa Laras yang lembut dan terdengar manis di telinganya, pipinya yang terkadang memerah jika ia terus menggodanya, kini hanya ada dalam ingatan Bagas.

Mungkin benar, manusia memang selalu menginginkan sesuatu yang tidak bisa mereka miliki.

Bagas tidak tahu kenapa, hatinya terasa diremas kencang. Jawa Tengah—provinsi yang telah menjadi saksi dalam perjalanannya terasa mulai menjelma menjadi ikatan simpul yang terikat kuat menekan dadanya. Satu-satunya hal yang paling membekas dari tempat ini bukanlah bangunan bersejarah, bukan pula aroma khas dari kuliner yang menggoda. Tapi seseorang.

Seseorang yang tanpa sadar telah mengubahnya.

Seseorang yang membawanya ke dunia baru, yang tak pernah disangka akan menyanjung hatinya.

Dan kini, meskipun waktu telah berjalan, meskipun dirinya telah berusaha menghapus jejak itu… sosoknya tetap hinggap di hatinya, menetap bersama jiwanya.

Tak tergantikan.

Tak tergoyahkan.

Ia tidak tahu di kota mana Laras berada sekarang. Apakah masih di tempat yang sama atau sudah berpindah ke tempat lain, tidak mengubah fakta bahwa dunia Bagas telah terhenti di satu tempat bersama bayangan Laras selalu menghantuinya.

Dalam tatapan kosong dari balik jendela, di antara desiran angin yang membawa aroma tanah basah—Laras kembali hadir.

Bodoh, pikirnya. Mereka sudah berpisah selama bertahun-tahun. Harusnya, semua ini sudah berlalu. Harusnya, perasaan itu sudah mati bersama waktu yang terus berlari tanpa menoleh ke belakang.

Namun, tidak bagi hatinya.

Tidak bagi Bagas.

Rasa cinta yang tak pernah hilang, kerinduan yang tak pernah surut, dan penyesalan yang selalu membayanginya melebur menjadi satu—mengubahnya menjadi sosok seperti sekarang. Seseorang yang terlihat tenang dari luar, tapi diam-diam menyimpan badai di dalam dadanya.

Namun, inilah hukumannya.

Bagas tahu, ia tidak bisa menyalahkan siapa pun kecuali dirinya sendiri. Ia yang menghancurkan segalanya. Ia yang mengkhianati seseorang yang mencintainya tanpa syarat. Dirinya yang… entah karena kebodohan atau keserakahan, membiarkan dirinya terseret terlalu jauh, jatuh ke dalam dosa yang membuatnya kehilangan segalanya—seseorang yang paling ia cintai pergi tanpa menoleh, meninggalkan luka yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan.

Keheningan di dalam minibus mendadak hilang ketika nada dering nyaring dari ponsel Damar. Damar merogoh saku jaketnya, melihat nama yang tertera di layar, lalu segera mengangkat panggilan tersebut.

“Assalamualaikum, Mbak. Ada apa?”

Suara perempuan di seberang terdengar samar, tapi Bagas bisa menangkap nada sedikit tergesa. Damar mendengarkan dengan saksama, lalu menjawab, “Tadi saya titip ke Pakde Yanto, Mbak. Udah ditanya ke sana belum? Ini saya lagi jalan balik habis dari kota, sekalian jemput dokter relawan satu lagi.”

Bagas tidak terlalu memperhatikan pada awalnya. Ia masih sibuk mengamati jalanan sempit yang menanjak, sesekali melihat pepohonan yang menjulang di kiri dan kanan, tapi ada sesuatu dalam cara Damar turut menyinggungnya membuat telinganya lebih awas.

“Iya, ini Mas Bagus yang nyetir, Mbak… Kenapa?”

“Ohh… oke, Mbak. Sama-sama, Mbak! Wa’alaikumussalam.”

Damar menutup panggilannya dan menyimpan ponselnya kembali ke saku jaketnya.

Dari kursi kemudi, Mas Bagus meliriknya sekilas lewat kaca spion. “Siapa, Mas?” tanyany dengan santai.

“Mbak Laras yang telepon, Mas. Dia nanyain kunci klinik, terus nanyain Mas Bagus juga.”

DEG—

Bagas merasa dunia seolah berhenti berputar. Tangannya yang bertumpu di paha mencengkeram celana bahannya tanpa sadar.

Ia bahkan lupa bernapas untuk beberapa detik. Nama itu...

Laras.

Matanya perlahan bergerak menatap Damar yang masih berbicara dengan Mas Bagus tanpa menyadari nama yang ia sebutkan berhasil membuat sesuatu dalam diri Bagas seperti meledak.

“L… la- Laras?”

Tiba-tiba, Mas Bagus menepuk jidatnya sendiri. “Astagfirullahh! Aku lupa…” gumamnya. “Si Laras minta dianterin ke desa sebelah…”

“Gapapa, Mas. Katanya dia nanti bakal diantar Mas Awan aja.” ucap Damar. Sementara itu, Bagas masih berusaha mengendalikan napasnya yang terasa semakin berat.

“Damar.” Suaranya serak, hampir berbisik. “Laras… dia siapa?”

Damar menoleh ke arahnya, sedikit bingung dengan pertanyaan tersebut. “Ohh… Mbak Laras yang anaknya Pak Kades. Dia yang bakal bantu kita di desa buat komunikasi sama pihak rumah sakit terdekat, terus urusan obat-obatan dan lainnya.”

Damar berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Oh iya, Mbak Laras itu dokter hewan, Mas.”

Bagas membeku di tempat. Napasnya tercekat, seolah udara di dalam minibus tiba-tiba menjadi lebih tipis. Ia menelan ludah dengan susah payah.

“D- dokter hewan, ya…” katanya pelan dengan sedikir gemetar. Matanya perlahan beralih menatap Damar yang masih tidak menyadari keterkejutan di wajahnya. “Namanya… Laras Ayu?”

Damar mengangguk cepat. “Iya, Mas… Loh? Mas kenal, ya? Dia alumni Universitas Gadjah Mada angkatan 2008… seingat saya. Kalau seangkatan, bisa aja kalian udah kenal.”

Bagas tidak menjawab. Ia membuang muka, memalingkan pandangannya ke luar jendela, berusaha meredam kekacauan yang kini meledak di dadanya. Di luar, kebun-kebun sayur yang ditanam secara terasering terbentang luas di bawah langit yang perlahan mulai berubah warna. Angin pegunungan berhembus, membawa hawa sejuk yang menusuk kulit, tapi tidak cukup untuk menenangkan gejolak dalam dirinya.

Laras.

Jadi selama ini, dia berada di sini?

Matanya mulai terasa panas, lalu ia menunduk sedikit, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Ia tidak tahu harus bersyukur atau merasa takut.

Apa yang harus ia lakukan ketika bertemu dengan Laras nanti?

Apakah dia benar-benar Laras yang selalu ia cintai?

Dan bagaimana… bagaimana kalau Laras masih membencinya?

Beribu-ribu pertanyaan berputar di kepalanya. Rasa lega bercampur dengan rasa bersalah yang selama ini tidak pernah benar-benar hilang.

Aku akhirnya menemukanmu, Laras. Tapi, aku harus apa, Ras?

 

Notes:

kindly check out the spotify playlist i made for In Her Footsteps's thread on X to get the vibes. Find me on X, @kiddowanttoeat. <3