Actions

Work Header

Sunlit Rooms and Lingering Echoes

Summary:

They marry because they’re told to.
One forgets how it started.
The other remembers more than he says.

In a quiet house made of tea, shadows, and shared silence,
something soft begins to grow between them—
even as the past lingers just beyond the door.

Chapter 1

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

‎Gemini duduk diam di ruang tamu, cahaya sore menyoroti debu-debu halus yang melayang di udara. Ujung jarinya mengetuk lututnya dalam irama yang tak sabar, ketukan kecil yang nyaris tenggelam dalam suara berat ayahnya yang memenuhi ruangan.

‎"Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan reputasi perusahaan. Empat dari tujuh dewan direksi bilang mereka akan mundur kalau skandalmu muncul lagi. Titicharoenrak Group membangun gedung-gedung pencakar langit, tapi fondasinya goyah sejak pewarisnya lebih dikenal di klub malam daripada ruang rapat.”

‎Gemini tidak benar-benar mendengarkan.

‎Dia tahu namanya sudah hancur. Skandal, pesta, ciuman di sudut-sudut kelab dengan orang-orang yang tidak ia ingat namanya, tangan-tangan yang mencengkram lengannya di bawah cahaya neon. Foto-foto yang bocor ke publik, komentar sinis yang menyertainya. Dia tahu semua itu.

‎Tapi yang tidak dia mengerti adalah—mengapa dia harus menikah dengan seseorang yang bahkan tidak dia kenal?

‎"Dia anak yang baik," ibunya berkata dengan nada sehalus sutra. "Orang-orang akan lebih mudah percaya kalau kalian menikah karena cinta. Itu yang kita butuhkan sekarang, bukan?"

‎"Namanya Fourth," ayahnya menambahkan, meletakkan berkas di atas meja.

‎Gemini menarik napas, membiarkan matanya jatuh ke atas foto yang tertera di sana.

‎Wajah asing.

‎Mata lembut, senyum tipis yang terlalu tenang untuk seseorang yang akan menikahi pria seperti dirinya.

‎"Jangan khawatir," ibunya menambahkan, senyumnya seperti bayangan samar di cermin yang berembun. "Kami sudah memastikan dia setuju."

‎Gemini menyeringai miring. "Oh? Jadi dia memang ingin menikahi orang sepertiku?"

‎Ayahnya mendesah. "Jangan buat ini lebih sulit dari yang seharusnya, Gemini. Kamu hanya perlu menyetujui pernikahan ini. Dia akan menjadi citra bersih yang kita butuhkan."

‎Gemini mendongak, menatap langsung ke mata ayahnya. Ada sesuatu yang aneh dalam semua ini.

‎Mengapa Fourth tidak menolak?‎

Mengapa dia setuju?

‎Tapi dia tidak bertanya.

‎Karena bagi Gemini, itu tidak penting.‎

‎Ini hanya pernikahan bisnis. Itu saja.

‎. 

‎Gemini tidak pernah membayangkan dirinya menikah seperti ini.

Di bawah cahaya lampu yang terlalu terang, kilat kamera yang berkedip seperti bintang-bintang palsu, dan suara tawa yang terdengar lebih seperti skrip yang dihafal daripada kebahagiaan yang sungguh.

Aula besar itu penuh dengan bunga putih berlebihan, gaun dan jas yang dirancang untuk menyempurnakan kebohongan ini—seolah mereka benar-benar dua jiwa yang saling melengkapi.

Dan di sampingnya, seseorang yang baru ia temui hari ini.

"Coba kita lihat pasangan barunya!" Suara MC menggema di dalam aula. "Gemini dan Fourth, bisa saling menatap sebentar?"

‎‎Gemini menoleh, bertemu dengan mata Fourth untuk pertama kalinya hari itu.

‎‎Dan anehnya, Fourth tidak tampak gugup.

‎‎Tidak ada kecanggungan, tidak ada ketegangan di sudut bibirnya. Hanya senyum tipis, seolah dia telah mempersiapkan diri untuk momen ini sepanjang hidupnya.

‎‎Senyum yang terlalu luwes untuk seseorang yang baru saja menikahi pria sepertinya.

‎‎"Kalian ini pasangan yang serasi sekali," MC kembali berbicara, suaranya penuh semangat. "Bagaimana rasanya akhirnya menikah?"

‎Gemini membuka mulut, tapi sebelum dia sempat menjawab, Fourth sudah lebih dulu menyandarkan kepalanya ke bahunya.

‎"Aku masih gak percaya," Fourth berbisik, cukup dekat hingga mikrofon menangkapnya. "Rasanya seperti mimpi."

‎Ruangan meledak dalam gemuruh suara. Tepuk tangan, sorak-sorai, tawa kecil yang terdengar seperti bagian dari naskah.

‎Gemini menatap Fourth, separuh dirinya ingin menjawab dengan sarkasme, ingin mengatakan sesuatu yang sinis hanya untuk membalas permainan ini.

‎Tapi Fourth menatapnya dengan sorot mata yang terlalu jernih, terlalu percaya diri.

‎Gemini tertawa kecil.

‎"Ya… aku juga masih gak percaya," katanya, separuh jujur, separuh main-main. "Tapi katanya cinta itu datang di saat yang tidak terduga, kan?"

‎Gemuruh semakin besar. Kamera semakin banyak mengarah ke mereka.

‎Dan Fourth?

‎Fourth tersenyum sedikit lebih lebar, sedikit lebih puas, seolah dia sudah tahu Gemini akan menjawab seperti itu.

‎. 

‎Mereka menari di tengah aula, langkah-langkah mereka sehalus gelombang yang merayap ke tepian pantai.

‎Gemini bisa merasakan mata-mata yang mengikuti setiap gerakan mereka, penilaian yang menggantung di udara seperti debu halus yang tak terlihat.

‎Dan Fourth tahu itu.

‎Saat Gemini hendak melangkah mundur, Fourth justru menariknya sedikit lebih dekat.

‎Lembut, tapi cukup kuat untuk memastikan Gemini tidak bisa menjauh.

‎"Jangan buru-buru," Fourth berbisik, nyaris seperti desiran napas di atas kulit. "Kita masih harus membuat mereka percaya, kan?"

‎Gemini tertawa kecil. "Memang kamu tahu caranya?"

‎Fourth mengangkat bahu, matanya tenang. "Aku bisa pura-pura mencintaimu lebih baik dari siapa pun."

‎Gemini tidak tahu kenapa, tapi kata-kata itu terasa… aneh.

‎Bukan dalam cara yang buruk.

‎Tapi seperti sesuatu yang memiliki makna lebih dari yang seharusnya.

‎Seperti kebohongan yang terlalu sering diulang hingga hampir menjadi kebenaran.

‎Dan saat lagu berakhir, Fourth menatapnya dengan mata berbinar, dan tangan mereka masih saling menggenggam.

‎Gemini berpikir—jika ini hanya permainan, maka Fourth memainkannya dengan sangat baik.

‎Mungkin terlalu baik.

 

‎Gemini terbiasa sendirian.

Bahkan di antara orang-orang, dia selalu punya jarak yang tidak bisa dijembatani. Sebuah ruang kosong yang tidak pernah benar-benar bisa diisi oleh siapa pun.

Tapi Fourth… Fourth tidak mencoba untuk mengisi ruang itu.

Dia hanya ada.

Malam pertama mereka di rumah baru, Gemini berdiri di ambang pintu ruang tamu. Fourth sedang menyusun buku, jarinya menyusuri punggung buku seperti sedang membaca dengan sentuhan.

"Kenapa diam?" Fourth bertanya tanpa menoleh.

Gemini mengangkat bahu, padahal dia tahu Fourth tidak melihat. “Sedang berpikir."

Fourth tertawa pelan, suaranya ringan. "Jangan terlalu keras. Kamu bisa pusing sendiri."

Gemini mendengus, tapi untuk pertama kalinya, dia tidak merasa ingin membalas dengan sarkasme.

Dia hanya memperhatikan Fourth menutup buku terakhir, lalu berbalik dengan ekspresi santai seolah mereka sudah tinggal bersama selama bertahun-tahun.

Itu aneh.

Tapi untuk malam itu, Gemini membiarkan dirinya tidak terlalu banyak berpikir.

‎Pernikahan mereka terlalu mudah.

‎Gemini sudah mendengar banyak cerita dari temannya yang menikah—tentang bagaimana pasangan bisa bertengkar hanya karena cara melipat handuk, atau bagaimana ada ribuan kebiasaan kecil yang baru terlihat setelah berbagi rumah dengan seseorang.

‎Tapi dengan Fourth? Tidak ada masalah. Tidak ada bentrokan.

‎Fourth tahu di mana dia meletakkan barang-barangnya. Fourth tahu bagaimana dia suka tehnya, bagaimana dia suka suhu kamarnya, bagaimana dia suka sentuhan di antara mereka—tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk menghangatkan udara di sekitar mereka.

Dan Gemini tahu... harusnya ia bertanya.

Kenapa Fourth tahu semua itu?

‎Tapi dia malah merasa… ini nyaman.

‎Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia berpikir bahwa mungkin memang begini seharusnya pernikahan itu.

‎Mungkin Fourth bukan sekadar seseorang yang berbagi atap dengannya.

‎Mungkin Fourth bukan sekadar aktor yang mahir dalam kebohongan.

‎Mungkin, hanya mungkin—Fourth memang seharusnya ada di sini sejak awal. 

‎Gemini pulang lebih lambat hari itu. Hari yang panjang, penuh rapat, penuh tuntutan dari ayahnya.

Saat dia melangkah masuk, rumah sudah tenang. Lampu ruang tamu menyala temaram—cahaya hangat yang mengambang pelan di udara, membungkus dinding dan sudut-sudut dalam semacam rasa nyaman yang terlalu rapi untuk benar-benar tulus.

Fourth duduk di sofa, punggungnya sedikit membungkuk, sweater longgar yang ia kenakan jatuh di bahunya seperti ia lupa tubuhnya punya bentuk. Laptop masih menyala di pangkuannya, jari-jarinya diam di atas keyboard, tapi tak satu pun huruf ditulisnya.

Setelah menikah, Fourth memilih bekerja dari rumah.

Bukan karena dia malas, bukan juga karena tidak mampu.

Tapi karena dia lelah—lelah untuk membuktikan apa pun kepada dunia yang tak pernah melihatnya benar-benar.

Dia tidak lagi ingin meroketkan kariernya, tidak lagi ingin menanjak terlalu tinggi.

Toh, suaminya sudah cukup tinggi untuk mereka berdua.

Calon pewaris perusahaan.

Anak dari keluarga besar.

Gemini.

Dan di tengah semua itu, Fourth memilih diam. Memilih ruang sunyi di antara dinding putih dan layar laptop.

Tidak ada suara selain dengung mesin yang nyaris mati.

Dan napas pelan yang terasa seperti sisa dari hari yang terlalu panjang.

‎Dia menoleh begitu mendengar pintu terbuka. "Dari tadi belum makan, ya?"

Gemini menggumam. Melempar jas ke sofa, lalu duduk di sebelah Fourth. Kepalanya jatuh ke bahu pria itu. Tanpa berpikir. Tanpa basa-basi.

‎Fourth tidak bergerak.

‎Tidak kaku. Tidak terkejut.

‎Seolah… ini memang tempatnya.

‎Gemini menghela napas, membiarkan kepalanya tetap di sana. Fourth selalu tahu kapan dia butuh diam. Kapan dia hanya butuh kehadiran seseorang tanpa kata-kata.

‎"Dua menit aja," gumamnya.

‎Fourth tidak menjawab.

‎Tapi dia juga tidak bergerak sedikit pun.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Gemini membiarkan dirinya diam dalam kehadiran orang lain—tanpa merasa harus mempertahankan apa-apa..

Gemini berjalan menuju kamar mandi, menyalakan keran tanpa berpikir. Jemarinya menyentuh air yang sudah menggenang di bathub, dan saat itu juga, langkahnya terhenti.

‎Hangat.

‎Tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin.

‎Pas.

‎Gemini mengernyit, mengangkat wajahnya, seolah mencari jawaban dari ubin kamar mandi yang mengilat.

‎Dia selalu berpikir dirinya sulit dipahami. Terlalu spesifik dalam kebiasaan-kebiasaannya, terlalu perfeksionis untuk urusan kecil seperti seberapa panas kopi harus disajikan, atau bagaimana suhu air harus terasa saat menyentuh kulitnya. Tidak ada yang pernah benar-benar bisa menebaknya dengan tepat.

‎Tapi Fourth bisa.

‎Seolah itu hal yang mudah.

‎Gemini menarik napas pelan, mengusir pikirannya sendiri. Tidak penting. 

‎Dia duduk di bathtub, airnya pas. Seperti selalu. Seperti sudah lama tahu tubuhnya. Dan entah kenapa, itu membuatnya ingin bertanya, tapi tak tahu kepada siapa. 

‎. 

‎Udara malam masih menyisakan sedikit kelembaban di jendela, sisa dari hari yang terlalu penuh. Kamar tidur terasa lebih sunyi dibanding ruangan lain di rumah, seolah menjadi tempat di mana semua hal yang ribut diredam menjadi diam.

‎Gemini menarik selimutnya, melirik ke samping.

‎Fourth sudah ada di sana.

‎Awalnya, mereka tidur di sisi masing-masing. Ada garis tak kasatmata yang mengukuhkan bahwa meskipun mereka berbagi tempat tidur, mereka tetap dua orang asing.

‎Tapi seiring waktu, batas itu mulai kabur.

‎Fourth selalu tertidur menghadapnya, meski jaraknya tetap ada.

‎Fourth selalu bangun lebih pagi, tapi entah kenapa, dia tidak pernah meninggalkan tempat tidur sebelum Gemini lebih dulu terjaga.

‎Fourth selalu tahu kapan Gemini terlalu lelah untuk bicara sebelum tidur, kapan dia hanya menginginkan keheningan, kapan yang dia butuhkan lebih dari sekadar keberadaan seseorang di ruangan yang sama.

‎Dan malam ini, Gemini tidak bisa tidur.

‎Dia berguling, menatap Fourth yang sudah terlelap.

‎Lampu tidur memancarkan cahaya keemasan, membentuk bayangan lembut di sepanjang garis wajah Fourth. Napasnya teratur, matanya tertutup rapat, seolah tak ada satu hal pun di dunia ini yang bisa mengganggunya.

‎Gemini mengamati detil-detil kecil yang biasanya tidak ia pedulikan.

‎Cara rambut Fourth jatuh sedikit berantakan di dahinya. Cara jemarinya menggenggam ujung selimut, seolah mencari sesuatu yang bisa dipegang dalam tidurnya. Cara napasnya yang tenang terasa lebih dekat daripada yang seharusnya.

‎Ada sesuatu tentang Fourth yang terasa… terlalu pas.

‎Terlalu cocok

‎Terlalu familiar dalam hidupnya.

‎Seharusnya tidak seperti ini.

‎Tapi Gemini tidak berpikir panjang.9

‎Dia hanya menarik selimutnya lebih tinggi, bergeser sedikit lebih dekat, membiarkan jarak yang dulu ada perlahan menghilang.

‎Matanya perlahan terpejam.

‎Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama—Gemini tertidur tanpa mimpi.

‎. 

‎Gemini mulai memperhatikan sesuatu.

Bagaimana Fourth tahu ia suka buku ditata berdasarkan warna, bukan genre. Bagaimana Fourth selalu tahu kapan Gemini ingin bicara, dan kapan hanya ingin ditemani diam.

Bahkan cara Fourth tahu dia mengetuk meja tiga kali setiap kali berpikir.

Itu bukan hal-hal yang bisa ditebak.

Bukan hal-hal yang bahkan Gemini sadari tentang dirinya sendiri... sampai orang lain menunjukkannya.

Gemini mulai mencuri pandang lebih sering. Bukan karena tertarik secara romantis.

Tapi karena penasaran.

Siapa sebenarnya Fourth?

‎Tapi setiap kali Gemini mencoba bertanya balik, mencoba membuka celah untuk mengenal Fourth lebih jauh, dia selalu dihadang oleh sesuatu yang hampir tak terlihat.

‎Bukan karena Fourth pendiam. Tidak. 

‎Fourth bisa berbicara panjang lebar tentang apa saja—politik, film yang baru saja ia tonton, berita terbaru yang sedang ramai dibicarakan orang.

‎Tapi ketika pertanyaannya lebih personal?

‎Jawabannya selalu mengambang.

‎Dan semakin lama, semakin Gemini menyadari pola itu.

‎Malam itu, mereka makan malam di rumah keluarga Gemini.

‎Fourth terlihat begitu mudah berbaur. Membantu ibu Gemini menyiapkan meja, menanggapi obrolan ringan dengan para kerabatnya, tersenyum sopan seperti seseorang yang sudah lama menjadi bagian dari rumah ini.

‎Gemini duduk di meja, memperhatikan dari kejauhan.

‎Dia sudah terbiasa melihat Fourth berbicara dengan begitu nyaman, seolah tidak ada hal yang bisa membuatnya goyah.

‎Tapi kali ini, dia mencoba melihat lebih dalam.

‎"Jadi, Fourth," suara seorang kerabat terdengar di sela-sela makan malam. "Kamu gak cerita banyak soal keluargamu. Mereka tinggal di mana sekarang?"

‎Fourth berhenti sesaat—tidak lama, nyaris tak terlihat.

‎Lalu, dengan tenang, ia tersenyum kecil, menyesap air putih sebelum menjawab, "Mereka sudah lama gak bareng aku."

‎Gemini mengerjap.

‎Jawaban itu terdengar… akrab.

‎Karena Fourth selalu mengatakannya setiap kali seseorang bertanya tentang keluarganya.

‎Tidak ada nama.

‎Tidak ada detail.

‎Hanya sepotong kalimat yang cukup sopan untuk tidak menimbulkan pertanyaan lebih lanjut.

‎Dan untuk pertama kalinya, Gemini merasa itu aneh.

Saat semua orang selesai dengan makannya, saat suara tawa perlahan meredup dan piring-piring kosong mulai ditumpuk seadanya oleh para asisten rumah tangga, yang tersisa hanya mereka.

Duduk berdampingan di ujung meja makan yang panjangnya seperti meja billiard—dingin, kosong, terlalu luas untuk dua orang yang pernah begitu dekat tapi kini tak tahu harus saling menyapa dari mana.

Lampu gantung di atas kepala mereka menggantung rendah, cahayanya jatuh lembut di atas sisa makanan dan garis rahang yang tegang.

Fourth duduk tegak tapi tidak tenang. Untuk pertama kalinya, dia tampak gugup—dan bukan karena takut, bukan karena marah. Tapi karena ada sesuatu dalam udara malam ini yang terasa berbeda. Terlalu dekat. Terlalu personal.

Jarinya sibuk memilin ujung kain serbet, menggulungnya pelan hingga membentuk spiral kecil yang tak pernah selesai.

Matanya menatap ke depan, tapi jelas tidak melihat apa-apa.

Kepalanya dipenuhi dengan sesuatu yang berat dan mengambang.

Kenangan, mungkin. Atau hanya keheningan yang terlalu padat.

Gemini menelan sisa makanannya perlahan. Ada jeda.

Lalu, dia berdehem pelan—nyaris ragu, nyaris seperti ingin menarik suaranya kembali. Tapi dia tetap menatap Fourth.

Bukan tatapan dingin, tapi juga bukan hangat.

Seperti seseorang yang masih mencari letak luka, takut menyentuhnya, tapi ingin tahu seberapa dalam.

‎"Dulu kamu kuliah di mana?"

‎Pertanyaannya terlontar begitu saja, ringan seperti kapas. 

‎Fourth menoleh, sedikit mengangkat alis. "Kenapa tiba-tiba tanya?"

‎Gemini mengangkat bahu. "Baru sadar aku gak tahu banyak soal kamu."

‎Fourth tertawa kecil, nada suaranya ringan. "Baru sadar sekarang?"

‎Gemini menatapnya, menunggu.

‎Fourth meletakkan sumpitnya, menatap balik dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kenapa ingin tahu?"

‎"Karena kamu tahu banyak tentang aku," jawab Gemini santai.

‎Fourth tersenyum tipis. Ada sesuatu yang samar dalam matanya, seperti seseorang yang menyembunyikan sesuatu di balik tirai yang terlalu rapi.

‎Perlahan, ia mengambil serbet yang tadi dipilinnya, mengelap tangannya dengan gerakan yang hampir terlalu tenang.

‎"Mungkin karena aku lebih suka mendengar daripada bicara."

‎Dan Gemini—Gemini tidak bisa menyangkalnya.

‎Karena jawaban itu terlalu mulus, terlalu halus untuk bisa diperdebatkan.

 

 

‎Sepulang dari rumah orang tua Gemini, mereka duduk di sofa, TV menyala tanpa benar-benar ditonton.

‎Fourth bersandar dengan santai, jemarinya memegang remote, membolak-balik saluran dengan malas.

‎Gemini melirik sekilas.

‎"Kenapa kamu setuju menikah denganku?"

‎Fourth tidak langsung menjawab.

‎Gemini menoleh, mencoba membaca ekspresinya.

‎"Apa kamu butuh uang? Atau ada alasan lain?"

‎Fourth tertawa kecil, suara itu terdengar ringan, tapi tidak sepenuhnya main-main. "Aku gak bilang aku butuh uang. Tapi menikah dengan seseorang sepertimu jelas bukan keputusan yang buruk, kan?"

‎Gemini menyipitkan mata.

‎Jawaban yang terlalu… diplomatis.

‎"Kamu tahu banyak tentang keluargaku. Tapi aku gak tahu apa-apa soal kamu," katanya pelan. "Gimana kalau ternyata kamu punya motif lain?"

Fourth menghela napas, menaruh remote di pangkuannya.

"Kalau aku punya niat buruk, bukannya seharusnya udah kelihatan dari awal?"

‎Gemini terdiam. 

‎Fourth ada benarnya. Jika ia memang memiliki rencana lain, seharusnya sudah ada sesuatu yang berantakan sejak lama.

‎Tapi tetap saja.

‎Ada sesuatu tentang Fourth yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.

‎Dan semakin lama, semakin ia menyadari bahwa rasa penasarannya tumbuh lebih besar daripada yang seharusnya.

Gemini mulai mencoba mengamati Fourth lebih dekat.

Bukan dengan cara yang mencolok—dia bukan tipe orang yang akan bertanya langsung. Tapi setiap kali Fourth berbicara, dia mulai mendengarkan lebih dalam, mencari celah dalam kata-kata yang biasanya terlalu mulus untuk bisa dipertanyakan.

"Lagu favoritmu apa?"

Pertanyaannya muncul begitu saja saat mereka duduk di ruang tamu, masing-masing dengan segelas teh di tangan.

Fourth mengangkat alis, lalu mengangkat bahu. "Aku suka banyak lagu."

Jawaban yang sangat Fourth. Tidak menjawab, tapi juga tidak bisa disanggah.

Gemini mendengus. "Tapi kalau harus pilih satu?"

Fourth berpikir sebentar, lalu tersenyum tipis. "Mungkin sesuatu yang tidak terlalu banyak orang tahu."

Gemini tidak membalas.

Tapi malam itu, saat dia mencari tahu lebih banyak tentang Fourth, tidak ada satu pun jejak online tentangnya.

Itu aneh.

Dan itu membuat Gemini semakin ingin tahu.

 

Notes:

Hi! This is my first fic on AO3, so thank you so much for stopping by.

This story is soft, a little slow, and mostly lives in the quiet moments between people who are still learning how to stay.

I’d be so grateful for your thoughts, reactions, or just a little hello.
Every bit of support means the world.

Thank you for being here—and I hope this story keeps you warm for a while.

Chapter 2

Summary:

Rutinitas baru terasa lebih tenang dari yang Gemini duga.
Mungkin terlalu tenang.
Ada hal-hal yang Fourth tahu tanpa pernah ia katakan, dan Gemini mulai bertanya-tanya:
sejak kapan keintiman bisa terasa seperti jebakan yang manis?

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Gemini duduk di pojok ruangan yang dibungkam lampu-lampu hangat dan harum parfum mahal. Tapi tubuhnya dingin.

Seolah AC merembes masuk ke tulangnya.

Seolah malam tahu dia datang bukan untuk tertawa, tapi untuk mengingat.

Kaca gelasnya berembun, airnya sudah menyentuh bagian bawah telapak tangannya. Tangannya diam, tapi kepalanya penuh.

Suara tawa Perth meledak seperti botol champagne yang terlalu lama diguncang. “Lo nikah. Masih surreal sih. Gue kira lo yang terakhir di antara kita yang bakal nurut.”

“Gue juga mikirnya gitu.” Gemini menelan ujung kalimat yang sebenarnya ingin dia tambahkan: tapi ternyata kenyataan gak nunggu gue siap.

Perth, Pawat, Mark Pakin, dan Neo duduk berhadapan dengannya. Anak-anak dari para konglomerat, pewaris kekacauan dan pesta larut malam. Semuanya pakai jam tangan mahal, tapi nggak satu pun dari mereka tahu sekarang pukul berapa.

“Bokap lo yang minta, ya?” tanya Mark.

Bukan basa-basi, tapi irisan.

Seperti ujung kartu remi dilempar terlalu tajam.

Gemini mengangguk sekali. Pelan. Berat.

“Dia gak minta. Dia bilang.”

Hening sebentar. Musik jazz di background seolah ikut menunduk, malu.

“Katanya, investor pada cabut. Karena nama gue. Karena skandal gue, dan... ya, lo semua tahu sisa ceritanya.”

Pawat tertawa tanpa suara. “Jadi lo nikahin... PA bokap lo? Gila juga. Gimana rasanya?”

Gemini tak langsung menjawab. Matanya menyapu pantulan lampu gantung di meja. Lalu berkata, nyaris seperti gumaman, tapi mengiris tajam:

“Fourth itu kayak sekretaris yang dijadiin pengantin. Rapi. Terlalu rapi. Dia kerja di lantai lain waktu gue masih urus divisi kecil. Jadi gue gak pernah tahu dia siapa—sampai nama dia keluar dari mulut bokap gue, pas makan malam beberapa hari sebelum nikah.”

Perth bersandar, gelas di tangan kanannya bergoyang sedikit, seperti tubuhnya sendiri tidak tahu harus percaya atau tertawa. “Dan lo terima?”

“Memang ada pilihan lain?” suara Gemini terdengar... letih. Bukan karena pekerjaan, tapi karena harus menjelaskan hal-hal yang bahkan dia sendiri belum sempat pecahkan.

“Perusahaan bokap bisa runtuh kalau investor kabur terus. Dan lo tahu gue—gue gak bisa pura-pura cuek soal itu. Gimana pun, gue masih pengen buktiin kalau gue bisa punya posisi di sana bukan cuma karena nama keluarga.”

Mark Pakin, yang biasanya diam dan hanya jadi siluet tajam di sisi ruangan, menyela. “Dan dia? Fourth?”

Gemini mendengus pelan. “Dia lebih paham hidup gue daripada gue sendiri. Gila, kan? Dia tahu gue suka kopi tanpa gula, tahu sabun mandi gue yang mana, tahu gue alergi lateks—bahkan gue lupa pernah ngomong itu ke siapa.”

“Lo takut?” Neo bertanya, suaranya serak, seperti batang korek yang nyaris patah.

“Gue curiga,” Gemini mengakui. “Tapi capek juga kalau harus terus curiga sama orang yang tiap hari nyelametin gue dari jadwal yang berantakan, PR yang numpuk, dan reputasi yang terus ngelupas.”

Hening lagi. Udara jadi lengket. Antara parfum musk dan pertanyaan-pertanyaan yang nggak ada yang berani ajukan.

“Lo bahagia, Gem?” bisik Perth.

“Bahagia tuh... kata yang terlalu abu-abu buat gue sekarang,” kata Gemini, menatap cairan bening di gelasnya. “Tapi Fourth... dia kayak plester transparan. Gak nyembuhin, tapi nutup luka, biar nggak berdarah terus.”

Perth bersiul. Mark membuang napas pelan. Neo cuma mengangguk, seperti dia juga tahu rasanya berdamai dengan luka, tanpa pernah benar-benar menyentuhnya.

Dan di atas meja, gelas-gelas mereka berdenting. Tapi Gemini tidak ikut minum.

Karena malam ini, rasa alkohol terlalu jujur. Dan Gemini sudah lelah jujur sendirian.

Rumah sudah gelap saat Gemini membuka pintu. Sepatu kulitnya beradu pelan dengan ubin, satu lepas lebih dulu, menyentuh lantai dingin dengan bunyi thok kecil yang terasa terlalu nyaring di rumah yang terlalu sunyi.

Udara di dalam rumah lembap dengan bau eucalyptus dari diffuser yang dibiarkan menyala sepanjang malam. Dingin yang lembut merambat naik dari lantai ke mata kaki, menyusup di sela-sela celana kerja yang belum sempat digulung.

Gemini menendang sepatunya ke samping, malas. Jasnya disampirkan di lengan, lalu dilempar ke sandaran sofa tanpa berpikir. Kancing kemejanya terbuka satu, dua, lalu tiga, napasnya mulai melambat, seperti tubuhnya baru sadar kalau hari sudah berakhir.

Dapur menyala tipis. Cahaya hangat dari lampu gantung memantul di permukaan marmer. Di sana—duduk nyaris tak bersuara—Fourth.

Gemini berhenti diantara dapur dan ruang tengah yang tak memiliki sekat, mendadak ragu harus bicara atau tidak. Tapi Fourth tidak bereaksi. Hanya menoleh sedikit, cukup untuk membuktikan bahwa dia tahu. Bahwa dia menunggu, meski tidak pernah bilang.

“Oh kamu udah pulang,” katanya akhirnya.

“Jam berapa?” suara Gemini terdengar serak oleh udara malam. Tangannya menyapu rambut yang mulai lepek karena lembap.

“Lewat jam dua.”

Gemini masuk dapur. Langkahnya pelan, diseret ke depan wastafel. Air dingin menyentuh telapak tangannya saat keran diputar, gemericiknya mengisi ruang yang terlalu hening.

Dia mencuci tangannya lama, seolah bisa menghapus sesuatu yang tidak terlihat. Lalu mengambil gelas, menuang air dari dispenser, dan baru menoleh.

“Gak perlu nungguin,” katanya sambil menyeruput cepat, sensasi dingin menyentak langit-langit mulutnya.

Fourth tidak menjawab langsung. “Aku gak nungguin, cuma belum selesai kerja.”

Gemini menarik kursi barstool, duduk menghadapnya. Udara di antara mereka menghangat tapi tidak mengendap—seperti uap dari teh yang sudah hampir habis, menyebar tapi tak cukup kuat meninggalkan aroma.

“Nikah sama aku ternyata gak cukup melelahkan, ya?” Gemini setengah menyindir.

Fourth tidak menoleh. Tapi bahunya naik sedikit, seperti mendengar sesuatu yang terlalu familiar untuk direspon berlebihan.

“Aku di sini karena pekerjaan, Gemini. Dan aku selalu selesaikan pekerjaan.”

Gelas di tangan Gemini nyaris terpeleset, tapi ia menahannya. Suara “pekerjaan” yang diucapkan Fourth terdengar terlalu bersih. Terlalu mapan. Seolah pernikahan mereka bisa diringkas ke dalam file presentasi PowerPoint.

“Kamu tahu gak kenapa aku akhirnya setuju nikah?”

Fourth mengalihkan pandangan dari tabletnya. Matanya jernih, terlalu tenang untuk jam segini.

“Karena ayahmu yang minta.”

“Kalo kamu, kenapa setuju aja?”

“Aku gak punya alasan buat nolak.”

“Harusnya kamu bisa, kalau kamu mau.”

Fourth menatapnya langsung sekarang. Wajahnya tanpa kerutan. Tanpa gugup. Bahkan tidak ada riak kecil di matanya.

“Aku gak mau.”

Gemini diam.

“Aku tahu nilai yang bisa aku kasih ke perusahaan,” lanjut Fourth. “Aku tahu kapan kehadiranku dianggap krusial. Aku tahu saat aku diminta tinggal di posisi tertentu. Aku tahu saat aku perlu dipindahkan ke posisi baru.”

Gemini menatapnya lama. Wajah Fourth bersih, bayangannya jatuh rapi di atas meja karena cahaya lampu gantung.

“Jadi kamu ngelamar jabatan manajer, bukan pasangan hidup.”

“Aku gak lihat banyak bedanya.”

Gemini meneguk air lagi, kali ini tanpa merasa haus. Suara tenggakannya terlalu jelas, karena Fourth diam terlalu dalam.

“Kamu mau kita bikin peraturan?” akhirnya Gemini bertanya. “Kontrak. Batasan. Apa pun yang bikin ini... jelas.”

Fourth hanya menunduk sedikit, lalu menatapnya lagi. “Kalau mau ada aturan, kamu bisa bilang. Aku bakal ikutin.”

“Kamu gak khawatir aku bakal minta yang aneh-aneh?”

“Aku tahu batasan yang dimiliki ayahmu. Aku tahu dia gak akan biarin sesuatu yang gak menguntungkan dibiarkan gitu aja. Jadi, aku gak khawatir.”

Gemini menyandarkan dagu di punggung tangannya yang masih basah. “Kamu tahu banyak ya.”

Fourth tidak menjawab.

“Apa yang kamu tahu tentang aku?”

“Cukup banyak,” katanya. “Tapi tidak semuanya.”

“Kenapa?”

Fourth akhirnya tersenyum. Sedikit. Rapi. Terlalu sopan untuk disebut hangat.

“Karena sisanya, aku mau tahu langsung dari kamu. Kalau kamu mau bicara.”

Matahari sudah tinggi ketika Gemini membuka mata. Cahaya pagi menyelusup masuk lewat celah tirai, hangat tapi tak cukup mengusir dingin yang tertinggal di ujung jari kaki.

Udara kamar lembap, selimut setengah terlipat di sampingnya, dan suara paling pertama yang ia dengar adalah... tidak ada. Hanya denting sendok logam dari arah dapur. Pelan. Teratur.

Fourth.

Gemini duduk perlahan, mengusap wajah, lalu bangkit dan berjalan ke luar kamar. Lantai marmer dingin menyentuh telapak kakinya. Rumah itu tenang seperti hari Minggu, dan ternyata memang hari Minggu.

Di dapur, Fourth berdiri membelakangi kompor. Uap naik pelan dari panci. Wajan kecil berkilau. Aroma nasi dan tumisan ringan mengisi ruangan—aroma rumah.

Kemeja putih Fourth digulung di lengan, rambutnya sedikit berantakan di belakang telinga. Gemini berhenti di ambang pintu, memperhatikan sesaat sebelum bicara.

“Kamu selalu masak?”

Fourth tidak menoleh. “Kalau hari libur, iya.”

“Kenapa?”

“Karena aku tahu kamu gak suka delivery untuk makan siang.”

Gemini mengambil segelas air dari dispenser, meneguknya sambil bersandar di meja dapur. “Kamu tahu terlalu banyak.”

“Kamu belum pernah bilang ada yang salah.”

 

Mereka makan di meja kecil dekat jendela. Mangkuk-mangkuk disusun rapi: telur dadar iris tipis, sup hangat yang tak kalah hangat dengan nasinya, satu mangkuk kecil sambal buatan sendiri yang tidak terlalu pedas. Gemini makan dalam diam, lalu menatap Fourth yang duduk di seberangnya dengan cara yang hampir sopan.

“Enak,” katanya.

“Terima kasih.”

“Mau keluar hari ini?”

“Belanja,” kata Gemini. “Kulkas kita udah kayak museum. Kosong, tapi masih dipertahankan buat berdiri.”

Fourth menahan tawa—hanya sedikit, seperti embun yang tak jadi hujan. “Oke.”

Langit cerah tapi tidak terlalu panas, mereka keluar setelah jam dua siang, dan mobil mereka berhenti di parkiran bawah tanah supermarket langganan yang biasanya sepi jika bukan jam sibuk.

Gemini pakai topi dan hoodie. Fourth seperti biasa: tenang, rapi, dan terlalu netral untuk diperhatikan... sampai mereka berdua terlihat bersama.

Mereka masuk ke supermarket, dan baru lima langkah sejak pintu otomatis terbuka, Gemini berkata, “Troli atau keranjang?”

“Troli. Kamu pasti akan ambil es krim di akhir nanti.”

Gemini berhenti sejenak. Matanya menyipit pelan. “Aku belum bilang mau beli es krim.”

Fourth menatapnya singkat. “Aku tahu maksudmu kulkas kosong itu berarti eskrim sudah lenyap habis.”

Gemini menahan senyum. “Kamu observatif.”

Mereka jalan pelan menyusuri lorong produk segar. Fourth ambil wortel, tanpa ditanya. Lalu letakkan apel fuji ke dalam kantong, satu per satu. Gemini memperhatikan diam-diam. Ada sesuatu yang terlalu hafal dalam urutan gerakan Fourth.

Di lorong cemilan, tangan Fourth terulur otomatis ke rak kedua dari bawah. Mengambil bungkus kopi favorit Gemini—yang tidak pernah dia sebut, tidak pernah dia posting, dan pasti tidak pernah ada di daftar belanja.

Gemini berdiri di sampingnya, memandangi bungkusan itu dalam troli.

“Aku suka yang itu,” katanya.

“Aku tahu.”

“Kamu tahu dari siapa?”

Fourth tidak menoleh. “Gak ada.”

Gemini terdiam.

Mereka terus berjalan. Melewati barisan saus. Lalu mi instan. Lalu produk beku.

Dan saat mereka sampai ke freezer section, Gemini—nyaris seperti refleks—mengambil satu boks es krim, memutar tumitnya dengan pelan, lalu meletakkannya di troli.

Fourth hanya melirik.

“Rasa cokelat,” katanya. “Berarti kamu lagi frustrasi.”

Gemini tertawa. “Kamu sebenernya pengamat atau stalker?”

Fourth tidak menjawab. Tapi senyumnya terlalu kecil untuk disebut defensif. Terlalu tenang untuk dianggap bercanda.

Di lorong terakhir, Gemini ambil alih dorongan troli. Fourth tidak protes. Mereka berhenti sebentar di depan rak teh, Fourth ambil satu kotak, menimbang-nimbang.

“Kita perlu beli yang jenis chamomile lagi. Kamu suka yang itu,” katanya.

Gemini menyipitkan mata. “Kamu nyatet semua kebiasaanku?”

Fourth mengangguk, sederhana. “Yang penting, iya.”

Dan entah kenapa, supermarket yang dingin itu terasa lebih pengap.

Bukan karena gugup. Tapi karena terlalu banyak hal kecil yang terasa... sudah diketahui.

Di lorong buah-buahan, ada seorang perempuan muda yang berhenti setengah detik terlalu lama, matanya bolak-balik antara Gemini dan layar ponsel. Lalu jemarinya mulai bergerak—foto.

Gemini menghela napas pelan.

“Mereka mulai notice,” katanya lirih.

“Aku tahu,” jawab Fourth tanpa menoleh. “Muka kamu susah disembunyikan.”

Beberapa jam kemudian, saat mereka duduk di mobil dengan bagasi penuh bahan makanan dan tubuh sedikit lelah, Gemini membuka ponsel dan melihat beberapa postingan semi-viral.

“‘Gemini Titicharoenrak belanja bahan makanan bareng suami, hmm kedengeranya humble’” Dia membacakan, nadanya sarkastik. “Netizen sekarang terlalu optimis.”

“Akan bisa lebih humble kalau kamu yang dorong troli.”

“Maaf, aku alergi kerja fisik.”

Fourth menoleh. “Gak kelihatan waktu kamu ngangkat dua dus air mineral tadi.”

“Itu karena aku egois. Gak mau kamu capek.”

Fourth hanya tersenyum, dan di dalam mobil yang beraroma jeruk dari tas belanja, dalam keheningan sore yang keemasan, Gemini berpikir: mungkin ini bukan awal dari sesuatu yang besar.

Tapi ini bisa jadi awal dari sesuatu yang cukup.

Saat menjelang malam, rumah kembali seperti semula: tenang, rapi, terlalu bersih untuk menyimpan kenangan.

Gemini duduk di sofa, kaki dilipat, satu bantal kecil dipeluk malas di perutnya. Satu cup es krim sudah terbuka di pangkuan, sendok stainless mengkilat di tangan, dan film di TV diputar hanya untuk jadi latar suara.

Fourth duduk di sisi lain sofa, tubuhnya setengah miring, tangan masih memainkan remote sambil sesekali mengintip notifikasi di tabletnya.

Di antara mereka, meja kecil berisi dua gelas infused water, beberapa biskuit asin, dan satu mangkuk anggur beku yang mulai berkeringat.

“Ini baru kali pertama kita kayak gini, ya?” Gemini berkata, suaranya terdengar santai tapi tidak benar-benar ringan.

Fourth meliriknya. “Maksudnya?”

“Ya... duduk di sofa, ngemil, nonton film random. Selama sebulan nikah, rasanya lebih sering lihat kamu berdiri depan laptop daripada depan TV.”

Fourth mengangguk sedikit. “Biasanya weekend kamu pergi ke rumah ayah.”

Gemini mendesah. “Iya. Diarahin buat bantu atur investor, meeting board, rapat strategi, segala macam. Katanya disiapin buat posisi tinggi. Apa aku ini bagian dari proses grooming... rasanya kayak dikulitin pelan-pelan.”

Fourth tidak menjawab, tapi matanya tidak lepas dari layar. Seolah menyerap informasi lebih dari yang bisa dijelaskan.

“Kamu gak pernah ngantor lagi ya?” tanya Gemini, mengganti topik.

“Aku kerja dari rumah. Lebih efisien. Ayahmu juga tahu aku bisa standby kapan pun diminta.”

Gemini menatapnya. “Kamu tuh terlalu patuh ya.”

“Aku tahu posisiku,” jawab Fourth, tetap tenang. “Dan aku gak keberatan.”

Satu kalimat. Lurus. Rapi. Tapi seperti dibungkus kaca tipis yang sewaktu-waktu bisa retak.

Gemini menyendok es krim lagi, diam-diam memperhatikan Fourth dari ujung matanya. Mereka hanya terpisah beberapa jengkal. Tapi jaraknya seperti dua orang yang saling kenal dari puing-puing, bukan dari percakapan.

“Berarti kamu gak pernah pergi weekend?”

“Pernah. Dulu. Sekarang nggak terlalu.”

“Capek?”

Fourth menggeleng. “Fokus.”

Mereka diam beberapa saat. Suara TV mengisi kekosongan, tapi tidak ada yang benar-benar memperhatikan.

Gemini menyendok lagi, kali ini lebih besar. Rasa cokelat meleleh cepat di mulutnya. Manis yang lembut tapi menyengat di akhir. Tangannya hampir bergerak lagi untuk menyendok, ketika suara Fourth muncul:

“Jangan terlalu banyak. Bisa kena sugar rush, jadi susah tidur malam.”

Sendok berhenti di udara.

Gemini menoleh perlahan.

“Apa?”

Fourth tetap melihat layar TV. Tidak sadar—atau berpura-pura tidak sadar—kalimat barusan terdengar seperti... sesuatu yang terlalu akrab untuk seseorang yang tidak pernah diajak tidur serumah tiap malam.

Gemini memiringkan kepala, menyipitkan mata. “Kamu tahu aku susah tidur kalau kebanyakan gula?”

“Hmm.”

“Padahal aku nggak pernah cerita soal itu ke kamu.”

Fourth tidak menjawab. Hanya mengatur bantal di belakang punggungnya, lalu bersandar sedikit lebih nyaman.

Gemini masih menatapnya.

Fourth tersenyum kecil, tapi tak bergeming.

Gemini tidak mengulang pertanyaannya. Hanya menyendok lagi, pelan-pelan, sambil mencoba menenangkan suara kecil di kepalanya yang mulai bergumam: ada sesuatu yang gak dia ngerti di sini.

Di layar, aktor utama film melempar punchline. Gemini tidak tertawa.

Karena rasa manis di lidahnya baru saja berubah jadi pahit yang lama larut.

Hari-hari berlalu seperti air di punggung kaca.

Mereka tidak pernah benar-benar bicara banyak, tapi Gemini mulai terbiasa melihat Fourth di dapur tiap pagi, menuang teh hangat dan kopi dengan cara yang terlalu tenang untuk seseorang yang belum pernah diajak bicara soal preferensi suhu air.

Fourth tidak pernah bertanya, tapi dia selalu tahu kapan Gemini bangun lebih lambat dari biasanya, dan mengganti kopi hitam dengan lemon infused water. Katanya biar gak banyak konsumsi kafein. 

Di meja kerja, tiap ada presentasi penting, slide-nya selalu sudah siap. Bukan buatan Gemini. Tapi versinya lebih rapi, lebih ringkas. Lebih dia. Fourth tidak pernah mengaku membuatnya, tapi Gemini tahu. Dari cara judulnya ditulis pakai huruf kapital hanya di awal. Dari cara highlight-nya berwarna abu, bukan kuning.

Malam-malam, jika Gemini pulang telat, lampu ruang tamu selalu dinyalakan hanya setengah. Cukup terang untuk melihat, cukup redup untuk tidak terasa ditunggu.

Kadang dia menemukan sabunnya sudah diganti dengan yang baru—merk yang sama, wangi yang sama. Padahal dia tidak pernah bilang sudah habis. 

Suatu malam, dia lupa menaruh power bank miliknya. Besok paginya, benda itu sudah ada di dalam tas kerjanya, terisi penuh.

Hal-hal kecil. Selalu hal-hal kecil. Tapi terlalu sering, terlalu tepat.

Gemini mulai merasa seperti hidup di rumah yang mengenalnya lebih baik daripada dirinya sendiri.

Dan Fourth… Fourth seperti bayangan di belakang semua rutinitas itu. Tidak menekan, tidak memaksa, hanya selalu ada. Selalu tahu. Selalu diam.

Pernah, saat Gemini mendesah pelan setelah telepon dari ayahnya yang penuh target dan tekanan, Fourth hanya datang membawa gelas kecil madu hangat dan menaruhnya tanpa suara di meja kerja. Lalu pergi. Tidak berkata apa-apa.

Sejak itu, Gemini mulai memperhatikan cara Fourth berjalan di dalam rumah—senyap, stabil, seperti dia belajar menghindari suara karena tahu Gemini tidak suka ribut. 

Semua itu membuat hari-hari terasa lebih ringan. Tapi justru karena itu, Gemini jadi takut.

Tidak ada yang seharusnya semudah ini.

Tidak ada yang tahu sebanyak ini.

Dan pada satu titik, dia mulai mencatat. Diam-diam. Di kepala. Di detak jantungnya. Di kedipan yang tertahan tiap kali Fourth tahu sesuatu yang tidak mungkin diketahui tanpa pengamatan yang sangat, sangat dekat.

Gemini tidak bertanya.

Tapi pikirannya tidak berhenti menggali.

Gemini mulai curiga.

Fourth tahu terlalu banyak. Terlalu presisi.

Dan semakin ia mencoba memecahkannya, semakin sulit menarik batas antara perhatian dan pengintaian.

Itu sore yang biasa. Langit sendu, matahari malu-malu menyelinap di antara sela tirai, dan udara di rumah sedikit terlalu diam untuk hari yang tidak hujan.

Gemini hanya ingin mencari gunting.

Meja kerja Fourth selalu rapi. Terlalu rapi. Lacinya tertutup sempurna, tidak dikunci, tapi tertutup seperti meminta izin. Gemini tidak berniat mengacak-acak, hanya membuka sedikit, cukup untuk menyelipkan tangan dan mengambil apa yang ia butuhkan.

Tapi jari-jarinya menyentuh kertas. Lembut, agak hangat, tidak seperti dokumen kantor.

Gemini menariknya pelan, satu lembar. Foto.

Pinggirannya sudah melengkung. Ada lipatan kecil di pojok kanan bawah, bekas lama disimpan. Gambar itu buram sedikit, warna-warnanya mulai pudar. Tapi wajah-wajah di dalamnya sangat jelas.

Phuwin.

Tersenyum, seperti biasa. Mata yang menyipit sedikit kalau sedang senang, gigi yang rapi, bahu yang santai.

Dan di sebelahnya: Fourth. Lebih muda. Lebih kurus. Tapi tatapan matanya—tidak berubah. Selalu penuh tahu, tapi tidak pernah bicara.

Gemini terpaku. Tangannya diam, tapi jantungnya tidak.

Foto itu seperti pintu rahasia yang tiba-tiba terbuka tanpa diketuk.

Wajah mereka berdekatan. Pose yang tidak diminta. Tapi nyaman. Terlalu nyaman. Lengan Phuwin menyentuh bahu Fourth dengan cara yang tidak bisa dibantah: ini bukan kenalan. Ini bukan teman lewat.

Gemini menatap lama. Dunia tidak berputar, tapi rasanya tanah bergeser.

Fourth—yang selama ini tahu terlalu banyak tentangnya, yang selalu hadir tanpa ditanya, yang tidak pernah bercerita tentang masa lalunya—ada di sebelah kakaknya.

Dekat.

Gemini menaruh foto itu di meja, tepat di atas tumpukan dokumen yang belum sempat dia baca. Dia tidak tahu harus duduk atau berdiri, bicara atau diam.

Tapi satu hal jadi jelas.

Semua “kebetulan” yang selama ini dia pikir sebagai bentuk perhatian… mungkin bukan karena dia.

Mungkin karena orang lain yang dekat dengan dia. 

Gemini menatap foto itu lagi, jari-jarinya mengepal tanpa sadar.

Sampai sekarang, dia tidak pernah berpikir bahwa ada hubungan antara Fourth dan Phuwin.

Tapi ini—

Ini mengubah semuanya.

Karena Phuwin sudah lama tidak ada.

Dan Fourth… Fourth tidak pernah sekalipun menyebut namanya.

 

"Kamu kenal Phuwin?"

Fourth, yang sedang duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya, hanya mengangkat alis. "Hmm?"

Gemini mendekat, lalu menjatuhkan foto itu di antara mereka.

Fourth melihatnya sebentar.

Gemini mengawasi reaksinya.

Tidak ada keterkejutan. Tidak ada kepanikan. Tidak ada perubahan ekspresi sama sekali.

Hanya keheningan sejenak sebelum Fourth mengangguk. "Oh. Iya, dia kakak kelasku dulu."

Gemini menunggu lebih lanjut.

Fourth tidak mengatakan apa pun lagi.

Biasanya, dia akan bicara lebih banyak. Akan mengalihkan pembicaraan, bercanda, membuat Gemini lupa akan pertanyaannya.

Tapi kali ini, Fourth tetap diam.

Dan itu lebih mencurigakan daripada seribu kebohongan yang bisa dia lontarkan.

"Hanya kakak kelas?"

Fourth menoleh, tersenyum kecil. "Memangnya harus jawab apa lagi?"

Gemini menatap foto itu lagi. "Kalian kelihatan dekat."

"Ya, lumayan," Fourth menjawab ringan. "Dia orangnya baik."

Sangat netral.

Biasanya Fourth akan mengalihkan, bercanda, sibuk cari alasan. Tapi malam itu, dia tidak melakukan apa-apa.

Dan buat Gemini—justru itu yang paling berisik.

Gemini menggigit bibirnya, pikirannya berputar.

Fourth selalu memiliki jawaban yang sempurna. Selalu tahu bagaimana cara menghindari sesuatu tanpa membuatnya terasa seperti menghindar.

Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain dalam caranya menjawab. Sesuatu yang tidak ia tunjukkan secara langsung, tapi terasa dalam keheningannya.

 

Dan Gemini tiba-tiba sadar.

Fourth bukan hanya tahu banyak tentangnya.

Fourth tahu Phuwin.

Fourth tahu kakaknya.

Fourth mengenalnya dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Gemini tidak bisa berhenti memikirkannya.

Fourth yang selalu menghindari pertanyaan tentang dirinya sendiri.

Fourth yang tidak pernah berbicara banyak soal siapa yang pernah ia cintai.

Fourth yang setuju menikah dengannya begitu saja, seolah keputusan itu tidak membawa beban apa pun.

Seolah… dia sudah pernah melalui ini sebelumnya.

 

Langit-langit kamarnya kosong.

Tapi Gemini terus menatapnya seolah menunggu sesuatu muncul di sana. Sebuah jawaban, mungkin. Atau sekadar alasan.

Dia belum tidur.

Atau mungkin—dia tidak mau.

Karena setiap kali ia memejamkan mata, pikirannya mengalir ke satu tempat yang sama.

Ke satu nama yang kini terasa terlalu rumit untuk diucapkan.

Fourth.

Wajahnya. Suaranya.

Caranya diam ketika seharusnya bicara.

Caranya bicara ketika seharusnya diam.

Caranya tahu—terlalu banyak, terlalu dalam, terlalu diam-diam.

 

Gemini tidak tahu kapan semuanya jadi seperti ini.

Tapi malam ini, pikirannya tidak memberinya ruang untuk pura-pura baik-baik saja.

Tangan Gemini masih menggenggam selembar foto yang sudah mulai lemas karena terlalu sering diremas.

Phuwin menatap dari selembar kertas—datar, senyum yang biasa.

Dan di sampingnya, Fourth.

Terlalu dekat. Terlalu nyaman. Terlalu tidak asing.

Gemini tidak tahu apa yang lebih menyakitkan: ekspresi Fourth yang tidak berubah saat melihat foto ini, atau fakta bahwa dia—Gemini—tidak tahu apa-apa.

 

Jika memang ada sesuatu di masa lalu mereka, kenapa Fourth tidak pernah bicara?

Kenapa foto ini disimpan?

Dan kenapa Gemini merasa seperti sedang digeser keluar dari sebuah cerita yang bahkan bukan miliknya?

Dia menggigit bibir, punggungnya bersandar ke kepala ranjang. Kamar ini terasa terlalu sunyi. Terlalu sempit.

Dan terlalu penuh dengan hal-hal yang belum sempat dia proses.

Dia tidak ingin melihat Fourth malam ini.

Tidak ingin berada di ruangan yang sama. Tidak ingin mendengar alasan.

Jadi dia mengunci pintu.

Bukan untuk menghukum.

Tapi untuk bertahan.

 

Lalu terdengar ketukan.

Pelan, ragu, tapi cukup jelas untuk menggema di antara dinding yang terlalu tipis untuk kebisingan pikiran.

Gemini menoleh ke arah pintu, tapi tidak bergerak.

Suaranya datang beberapa detik kemudian.

“Gemini.”

Dia memejamkan mata.

“Aku tahu kamu belum tidur.”

Nadanya tidak lembut, tidak menuntut.

Tapi terdengar seperti suara yang sudah lama tahu cara menyelinap masuk, walau tidak pernah dipersilakan.

Gemini tetap diam.

Dia tidak ingin Fourth tahu isi kepalanya sekarang—berantakan, curiga, penuh rasa kehilangan yang lama disangkal.

Dia tidak ingin terlihat rapuh. Tidak di depannya.

Dia pikir Fourth akan pergi setelah itu.

Tapi waktu ia akan menggulingkan tubuhnya ke sisi lain—

Dia mendengarnya.

Suara tubuh yang perlahan bersandar ke sisi luar pintu.

Gesekan kain melawan kayu.

Ketukan napas yang ditahan.

Fourth belum pergi.

Gemini menahan napas.

Dan seperti takdir kecil yang diulang, suara itu kembali:

“Gem, aku diluar kalau kamu mau bicara.”

Tidak ada respons.

Beberapa detik. Lalu menit.

Dan tetap, tidak ada jawaban dari Gemini.

Kepalanya dipenuhi hal-hal yang tidak bisa dijelaskan.

Kecurigaan yang tak punya bentuk.

Kemarahan yang tidak meledak.

Dan rasa kehilangan—yang seharusnya sudah selesai.

 

Phuwin.

Selalu menjadi pusat.

Selalu lebih dicintai, tapi tidak pernah membuat Gemini merasa kecil.

Selalu tahu caranya membuat Gemini merasa cukup.

Dan sekarang... Fourth tahu tentang dia. Terlalu banyak.

Tanpa pernah bilang apa-apa.

Gemini merasa dikhianati oleh keheningan.

Dan rasa itu tidak bisa dijelaskan dengan marah-marah.

Hanya bisa dirasakan lewat detak jantung yang terlalu cepat saat mendengar namanya disebut.

 

Beberapa ketukan lain datang.

Lebih pelan.

Lalu hilang.

Gemini menggenggam seprai.

Dingin.

Mungkin Fourth akhirnya menyerah.

Tapi saat ia mengintip dari celah antara korden dan dinding, matanya menangkapnya.

Fourth masih di sana.

Duduk di lantai. Punggung bersandar ke dinding luar kamarnya. Kepala tertunduk sedikit. Jemari mengepal ringan di atas lutut.

Gemini memperhatikan—meski dia benci dirinya sendiri karena memperhatikan.

Rambut Fourth sedikit berantakan.

Bahunya bergerak naik-turun halus, menandakan napas panjang yang ditahan.

Matanya terpejam, tapi bukan dalam tidur.

Dia menunggu.

Untuknya.

Dan entah bagaimana, Gemini ingin Fourth berhenti menunggu.

Ingin Fourth menyerah.

Jika dia terus bersikap seolah Gemini adalah seseorang yang pantas ditunggu.

Gemini tidak yakin bisa terus berpura-pura bahwa dia tidak peduli.

Tapi tetap, dia tidak membuka pintu.

Pagi itu sepi. Matahari menggantung rendah di jendela dapur, mewarnai ubin dengan pantulan pucat yang tidak benar-benar hangat. Udara di rumah dingin, bukan karena cuaca, tapi karena sesuatu yang tidak selesai semalam.

Gemini duduk di meja makan dengan tangan melingkar di sekitar mug yang tidak dia minum. Di seberangnya, Fourth baru saja duduk, masih mengenakan kaus longgar dan rambut yang belum sepenuhnya rapi. Tanda-tanda tidur di sofa masih terlihat dari garis merah samar di pipinya.

Mereka makan dalam diam. Roti panggang, selai kacang, dan dua cangkir teh yang perlahan kehilangan uapnya. Suara hanya datang dari sendok yang menabrak sisi cangkir, atau gemerisik kertas tisu yang dilipat terlalu pelan.

Tapi meski semuanya terasa seperti rutinitas, Gemini tahu—ada sesuatu yang tidak biasa hari ini.

Bukan pada Fourth.

Tapi pada dirinya sendiri.

“Gemini?”

Suara itu menariknya kembali. Fourth menatapnya, alis sedikit berkerut.

“Kamu kenapa?”

Gemini menggeleng, lalu mengambil tisu dan mengelap tangannya yang tiba-tiba berkeringat.

Fourth, di seberangnya, tetap terlihat sama seperti biasa.

Terlalu sama.

Dan Gemini tahu lebih baik.

Dia menatap Fourth, lalu berkata, tanpa terlalu memikirkan:

“Kamu pernah pacaran sama Phuwin?”

Pertanyaannya keluar seperti batu kecil yang dilempar ke danau pagi. Tenang, tapi menciptakan riak yang langsung terasa dingin.

Fourth, yang sedang menuangkan teh, berhenti.

Air panas terus mengalir, menciptakan bunyi kecil saat menabrak dasar cangkir. Tapi tangan Fourth menegang—sedikit saja. Jemarinya mencengkeram gagang teko dengan gerakan yang terlalu cepat dikontrol.

Lalu dia menoleh.

Ekspresinya hampir netral, kalau saja alisnya tidak tertarik sedikit. “Kenapa tanya itu?”

Gemini menyandarkan diri ke kursi, tubuhnya kaku meski dia berusaha terlihat tenang. “Karena kamu nggak pernah cerita banyak soal dia.”

Fourth mengangkat bahu, kembali menuangkan teh ke cangkirnya yang lain. Gerakannya tampak santai.

“Aku nggak pernah cerita banyak soal banyak hal.”

“Persis,” Gemini menyahut cepat. “Kamu tahu banyak soal aku. Tapi aku nggak tahu apa-apa soal kamu. Jadi sekarang aku tanya.”

Fourth tidak langsung menjawab.

Dia menatap Gemini—lama—lalu menyeruput tehnya, pelan. Tapi dalam diam itu, Gemini merasakan sesuatu menegang di dalam dadanya.

Lalu Fourth tersenyum.

Senyum kecil. Bukan ramah. Bukan lembut. Lebih seperti... sesuatu yang tidak seharusnya berada di antara mereka.

“Kalau aku bilang iya…” katanya pelan,

“…memangnya akan mengubah sesuatu?”

Gemini terdiam.

Dadanya terasa berat. Terlalu berat untuk pagi yang seharusnya ringan.

Dia tidak tahu kenapa. Tidak tahu kenapa jawabannya—yang bahkan belum tentu jujur—terasa seperti kerikil yang menyangkut di tenggorokannya.

Seharusnya dia tidak peduli.

Tapi kenyataannya, kata-kata Fourth tenggelam dalam dirinya seperti batu jatuh ke danau tenang. Dan Gemini bisa merasakan riaknya, pelan-pelan menghapus batas antara sekarang dan kenangan.

 

Fourth berdiri, membawa cangkirnya ke bak cuci piring. Biasanya dia akan membilasnya, mengeringkannya, lalu menaruhnya kembali ke rak—semuanya teratur, rapi, nyaris seperti ritual.

Tapi pagi itu, dia meletakkannya begitu saja. Masih ada sisa teh di dalamnya. Masih hangat. 

Lalu dia pergi.

Tanpa bicara.

 

Gemini tidak langsung bangkit.

Dia hanya duduk di sana, matanya menatap cangkir itu—dan kosongnya kursi di seberangnya.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, dia tidak tahu apa yang dia rasakan.

.

Gemini berdiri di depan cermin, diam.

Cahaya pagi membias lembut di permukaan kaca, membingkai wajahnya dalam siluet yang nyaris asing. Ia menatap bayangannya sendiri seperti menatap seseorang dari masa lalu yang tidak sepenuhnya ia kenali.

Garis rahangnya. Tulang pipinya. Cara matanya menangkap cahaya.

Phuwin dulu punya tatapan yang serupa—lebih lembut, mungkin. Tapi cukup mirip untuk membuat cermin terasa seperti museum kecil yang memajang kenangan-kenangan yang belum selesai.

Dan di dalam dada, sesuatu bergeser.

Perasaan yang terlalu samar untuk disebut sakit, tapi terlalu nyata untuk diabaikan.

 

Bagaimana kalau...

Bagaimana kalau Fourth tidak benar-benar melihatnya sebagai dirinya sendiri?

Bagaimana jika yang Fourth lihat selama ini—dalam tiap teh yang disajikan, tiap hal kecil yang ia tahu tanpa ditanya—bukan Gemini, tapi jejak orang yang sudah pergi?

Bagaimana jika pernikahan ini bukan tentang mereka?

Bukan tentang pilihan.

 

Tapi tentang kehilangan.

Tentang seseorang yang tidak bisa kembali—dan seseorang yang terlalu mirip untuk tidak dipakai sebagai tempat tinggal sementara.

Bayangan, pikir Gemini. Bukan seseorang.

Sisa dari sesuatu yang pernah ada.

 

Tangannya menggenggam sisi wastafel, jari-jari memutih. Tapi cermin tetap diam. Dan bayangannya tetap menatap balik—tenang, tapi rapuh.

Ia menelan ludah. Tapi rasa sesaknya tidak hilang. Hanya berpindah tempat, menelusup ke sela tulang rusuk. Menjadi getar kecil yang tidak tahu harus berdiam di mana.

 

Seharusnya dia tidak peduli.

Ini hanya pernikahan.

Hanya kontrak.

Hanya strategi bisnis.

 

Tapi pikiran itu tidak bisa bertahan lama, tidak di tengah suara di kepalanya yang terus-menerus bertanya:

Kalau dia benar-benar mencintai Phuwin... lalu aku ini siapa?

Dan di tengah udara yang terlalu tenang, Gemini merasa sesuatu di dalam dirinya—halus, tak terlihat—mulai runtuh.

Bukan karena jawaban.

Tapi karena ketidaktahuannya sendiri.

 

 

 

Notes:

thank you so much for reading and sticking with this fic — it really means a lot.

your support, comments, and quiet presence keep this story going.

if you ever want to catch up or scream about the angst together,
you can find me on @ujayakii.

(come say hi — i don’t bite. unless you ask nicely.)

Chapter 3

Summary:

Some truths can only surface when the lights go out.
A night of applause ends in silence—and silence, as always, says more than anyone dares to admit.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

 

 

Matahari masih menggantung malas di jendela dapur, cahayanya merambat perlahan ke ubin seakan enggan benar-benar masuk. Aroma kopi masih tersisa di udara, tipis seperti bayangan yang belum sempat disapu waktu. Di antara ketenangan yang rapuh itu, Fourth berbicara.

“Sabtu malam, akan ada gala tahunan perusahaan,” katanya datar, suaranya lurus seperti garis penggaris, tanpa lekuk perasaan. Tangannya sibuk merapikan berkas di meja makan. “Ayahmu akan hadir. Kita harus datang berdua.”

Gemini berhenti sejenak, tangannya masih menggenggam pintu kulkas yang terbuka. Ia menoleh perlahan, seperti enggan memberi respons tapi tak bisa diam.

“Jadi kita harus pura-pura harmonis?” suaranya pelan, tapi tajam.

Fourth tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap—tenang, wajahnya bersih dari amarah ataupun iba. Netral, seperti awan yang belum memutuskan akan hujan atau tidak.

“Ya,” katanya akhirnya. “Seperti biasanya.”

Gemini nyaris tertawa. Tapi yang keluar hanya helaan napas kecil dari hidung—kering, terputus, seperti tali yang diputus tanpa aba-aba.

Seperti biasanya, pikirnya.

Seperti biasa Fourth tahu caranya menjawab tanpa memberi ruang untuk membantah.

Dia menutup kulkas. Terlalu keras. Tapi tidak berkata apa-apa lagi.

Hanya mengangguk. Pasrah—tidak ada pilihan. 

 

 

Sabtu malam, lima menit sebelum mobil datang menjemput, mereka berdiri di lorong depan cermin.

Gemini merapikan kerah jasnya dengan gerakan pelan, mekanis. Fourth mengecek ponselnya, cahaya layar memantul di wajahnya yang tenang.

Keheningan menggantung di antara mereka seperti asap rokok yang lama mati tapi baunya enggan pergi.

“Aku tahu aku gak sehebat kamu dalam urusan pura-pura,” kata Gemini tiba-tiba, suaranya seperti bisikan yang menyusup lewat celah pintu.

Dia menarik napas, menatap bayangannya sendiri di cermin. “Tapi di hubungan kepura-puraan ini... aku juga mau dikasih kredit.”

Fourth menoleh. Tidak sepenuhnya mengerti nada itu.

Gemini tersenyum tipis. Bukan sinis. Tapi juga tidak lembut. “Kamu bukan satu-satunya yang tahu caranya pura-pura, Fourth.”

Dan meski kata-kata itu terasa dingin saat keluar, ada sesuatu yang hangat berdenyut pelan di dadanya—bukan manis. Tapi rindu.

Karena ternyata jarak bisa melahirkan keinginan untuk mendekat, walau tak tahu caranya.

Tapi mereka tak bicara lagi.

Mobil akhirnya datang.

Dan malam pun menunggu.

 

Mobil melaju pelan di bawah langit kota yang belum sepenuhnya gelap, seperti malam yang belum berani jatuh sepenuhnya. Di dalam mobil, sunyi menggantung seperti udara pendingin yang disetel terlalu rendah—diam tapi menggigit.

Gemini duduk bersandar, menatap jendela. Fourth di sampingnya, tenang seperti patung marmer—rapi, kokoh, dan terlalu dingin untuk disentuh.

Beberapa menit berlalu sebelum Gemini membuka suara.

“Perth, Neo, Mark... mereka bakal dateng malam ini,” katanya datar. “Anak-anak dari pemilik perusahaan lain yang kerja bareng Titicharoenrak Group.”

Fourth mengangguk. Tidak terkejut. Tidak bertanya.

Gemini menoleh setengah. Mata sipit, nyaris tak terlihat dari balik sorotan lampu jalan. “Kamu pasti udah tahu, ya?”

Fourth mengangguk lagi, kali ini lebih pelan. “Aku sering komunikasi sama mereka sejak kita nikah.”

Gemini mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

Fourth menoleh sejenak, suaranya tetap datar—bukan dingin, tapi profesional, seperti orang yang menjawab karena sudah tahu kesimpulan apa yang akan muncul.

“Ngobrol biasa. Update proyek, pertemuan informal. Mereka invest karena temenan sama kamu. Dan kamu... sibuk.”

Gemini mengembuskan napas kecil. Seperti tawa yang tidak jadi. “Tentu saja kamu yang urus.”

Fourth diam sebentar. “Kalau hubungan kamu sama mereka memburuk, perusahaan bisa goyah. Jadi kupikir lebih baik aku yang menjaga garisnya tetap ada.”

Gemini kembali menatap ke depan. Kata-kata itu—aku yang menjaga—menggema di kepalanya.

Dia tidak menjawab. Tapi di balik dada yang tenang, sesuatu berdenyut lagi:

Pertanyaan lama yang tak pernah mau mati.

Sebenarnya Fourth betulan peduli padanya atau pekerjaannya, atau malah ada hubungannya dengan Phuwin? 

Mobil terus melaju.

Dan di dalamnya, dua orang duduk berdampingan.

Begitu dekat. Tapi seperti hidup dalam cerita yang tak pernah mereka tulis bersama.

 

 

Blitz kamera menyala bahkan sebelum mobil berhenti.

Fourth turun lebih dulu. Tangannya melambai ke arah Gemini—sebuah gerakan kecil yang, dari sudut tertentu, tampak romantis. Tapi Gemini tahu: itu hanya sinyal.

Sandiwara dimulai.

Fourth meraih lengannya—tenang, tapi cukup kuat untuk membuat Gemini berhenti sejenak.

Sentuhan itu hangat, rapi, dan terlalu pas untuk disebut spontan.

Jemarinya tak bergerak, hanya diam di sana, seperti tanda tangan di atas kontrak yang tak pernah dibaca.

Mereka melangkah ke karpet merah.

Kamera menyambut, lampu menyambar seperti badai kilat yang terlatih.

Langkah mereka selaras.

Kepala menoleh di waktu yang sama.

Senyum Gemini... nyaris sempurna, barisan giginya yang rapih terpampang nyata. 

Hanya saja, tidak ada yang tahu:

Senyum itu bukan untuk siapa-siapa.

Itu hanya tameng.

Fourth berdiri di sampingnya—serasi, setenang potongan puzzle yang pas di tempatnya.

 

Mereka tidak bicara sepanjang jalan menuju ballroom. Tapi saat mereka berdiri di tengah kerumunan, jari Fourth menyentuh punggung Gemini—ringan, seolah tak sengaja.

Tapi cukup terlihat kamera.

Dan cukup untuk Gemini merasa... kesal.

Karena Fourth sangat mahir.

Selalu tahu kapan harus tersenyum.

Begitu ahli dalam kepura-puraan.

Apa yang lebih menyebalkan dari seseorang yang bisa memerankan perannya lebih baik daripada dirimu sendiri? 

 

“Eh—Gemini!”

Suara itu datang dari sisi kanan ballroom.

Gemini menoleh—refleks.

Dan benar saja.

Perth, diikuti Neo dan Mark, berjalan mendekat.

Mereka tampak seperti biasa: setelan mahal, sepatu mengilap, dan percaya diri yang turun-temurun.

Tipe kehadiran yang tidak perlu diumumkan—karena ruangan tahu mereka datang.

Gemini tersenyum.

Lebih tulus dari senyum-senyum sebelumnya malam ini. Tapi tetap asing di bibir. “Bro!” serunya, masih menggandeng lengan Fourth.

Begitu mereka tiba, Gemini menunjuk sisi tubuh nya memiringkan badannya.

Setengah pamer, setengah pembelaan. “Guys, ini suami gue.” Perth langsung tertawa, keras dan tanpa beban.

“Gila lo, baru sekarang ngenalin? Kita udah kenalan, kok.”

Dia sudah tahu Fourth mengenal mereka, tapi tetap... rasanya beda saat melihatnya terjadi begitu alami.

Mark menyambung, suaranya ringan. “Dia hubungin kita beberapa kali abis kalian nikah. Sekedar ngajak makan atau ngobrolin proyek.”

Neo ikut angguk. “Dia tahu arahnya lo mau bawa proyek ke mana... seolah lo nyuruh dia langsung. Tapi lo gak pernah ada. Itu yang bikin gue mikir—ini orang ngerti lo lebih dari yang lo sadari.”

Gemini diam sejenak.

Matanya melirik Fourth, cepat—berharap ada tanda tanya di wajahnya.

Tapi Fourth hanya tersenyum. Kecil. Rapi. “Public image penting,” katanya tenang. “Dan mereka penting buat kamu. Jadi kupikir... lebih baik aku yang jaga jalurnya tetap terbuka.”

Ada jeda.

Cuma sedetik. Tapi cukup untuk Gemini merasa semua percakapan ini seperti film yang dia tonton dari luar tubuhnya sendiri.

Sesuatu di perutnya menegang.

Gemini ingin bilang sesuatu—sarkas, mungkin. Menuduh.

Tapi lidahnya kering.

Yang keluar hanya:

“Oh.”

Perth tertawa lagi. “Lo beruntung sih, bro—punya suami yang tau apa mau lo.”

Gemini tersenyum.

Tapi sudut bibirnya gak naik penuh. Ada sedikit goyah yang gak sempat ia sembunyikan.

Dan saat itu, dia sadar—

Dia gak tahu harus senang, marah, atau bingung.

Karena untuk pertama kalinya, dia merasa seperti tamu dalam relasinya sendiri.

Setelah obrolan ringan, Gemini sempat menoleh cepat ke arah Fourth—satu lirikan sebelum seseorang dari panitia menyentuh lengannya.

“Waktunya sudah dekat,” bisiknya.

Gemini mengangguk dan berjalan ke panggung.

Langkahnya tenang.

Lampu sorot menyapu tubuhnya, menguak setiap detail senyum yang dilatih bertahun-tahun.

“Good evening, everyone.”

Dan malam pun diam, menunggu.

Pidatonya ringan—naskah yang ditulis untuk didengar, bukan dirasakan.

Sampai pada bagian ini:

“Sebelum saya menutup, izinkan saya menyampaikan apresiasi khusus untuk seseorang yang, meski tidak sering tampil di depan publik, kontribusinya tidak kalah besar dibanding siapa pun di ruangan ini.”

Gemini berhenti sebentar.

Ruang menjadi diam. Tepat seperti yang ia harapkan.

“Fourth.”

Lampu tak menyala ke arahnya, tapi semua kepala menoleh.

Fourth duduk tenang, mengangguk kecil.

Gemini melanjutkan, nadanya tenang, begitu profesional. “Selain perannya di internal perusahaan, dia juga menjadi sosok yang memastikan stabilitas tetap terjaga di tengah berbagai transisi. Keberadaan dan dedikasinya, meski tidak selalu terlihat, menjadi salah satu alasan saya bisa berdiri di sini malam ini dengan keyakinan penuh terhadap arah yang kita tuju.” Tepuk tangan terdengar. MC di ujung ruangan berseru pelan, setengah bercanda,

“Wah, pasangan baru yang solid ya... Keren banget.” Gemini tersenyum. Resmi. Sopan.

Tapi hanya dia yang tahu, seberapa banyak dari kalimat itu yang ditulis... untuk menyamarkan yang tak terucap.

Saat turun dari panggung, langkahnya santai.

Fourth akhirnya berdiri untuk menyambutnya. 

Gemini mendekat. Tak bicara.

Lalu—tanpa aba-aba—dia mencium pipi Fourth.

Ringan.

Dingin di bibir.

Hangat di hati.

Tangannya menyentuh punggung Fourth—sebentar.

Pelukan yang terlihat nyata untuk basa-basi, tapi terlalu singkat untuk disebut pelukan.

Saat ia menarik diri, ia berbisik: “Kamu bisa pura-pura nggak terpengaruh. Tapi aku tahu kamu denger semuanya.”

Fourth menatapnya. Tenang.

Tapi matanya sedikit lebih gelap dari biasanya.

Dan itu cukup.

Gemini menyeringai tipis, puas. 

Lalu dia duduk di sebelah Fourth.

Menarik napas pelan, membetulkan postur, dan mengenakan kembali topeng kepura-puraan yang sempat dia lepas.

Senyumnya kembali muncul—pas, rapi, tanpa cela.

Seolah ciuman barusan hanyalah bagian dari skenario.

Dan Fourth di sampingnya... diam, dengan pipi yang belum sepenuhnya dingin dan dada yang terlalu sesak untuk disuarakan.

Gemini berdiri lama di depan pintu sebelum akhirnya memutar gagangnya. Logam dingin itu berputar lambat di tangannya, menciptakan bunyi klik yang terdengar terlalu nyaring di tengah sunyi. Langkah kakinya di atas marmer bergema kecil, seperti suara orang lain yang membuntuti dari kejauhan. Udara di rumah dingin dan statis, seperti tak ikut pulang bersama mereka dari gala.

Dia tidak mabuk. Tapi matanya merah—basah. Makeup-nya masih ada, tapi mulai retak di sudut mata. Napasnya berat, seolah melewati celah sempit di dada yang sudah terlalu penuh. Bahunya kaku, naik sedikit tiap kali ia menarik napas. Tubuhnya lelah—jenis lelah yang bukan datang dari berdiri terlalu lama, tapi dari harus terus tersenyum saat hatinya ingin diam saja. Ada sesuatu yang nyaris meledak di dalam dirinya. Tapi belum. Belum sekarang.

 

Fourth duduk di sofa. Kancing jasnya sudah dibuka. Dasi sedikit longgar. Tapi posturnya masih tegak, seperti belum sepenuhnya selesai jadi ‘tamu penting’.

Tubuhnya bergerak sedikit saat mendengar pintu terbuka, seperti seseorang yang sudah terlalu lama menunggu sesuatu yang tidak pernah datang. “Gemini…”

Tapi Gemini tidak menjawab. Dia hanya berdiri di ambang ruang tamu, diam.

Matanya menatap Fourth. Bukan marah. Bukan tajam. Tapi... lelah.

 

Perlahan, Gemini melepas jasnya. Gerakannya kaku, nyaris kasar. Kain itu masih menyimpan panas ruangan gala—mewah, tapi melelahkan. Jas miliknya jatuh ke sofa tanpa suara, tapi gesturnya... seperti membuang sesuatu yang tidak ingin disentuh lagi.

Gemini duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan. Salah satu tangannya menggenggam sisi bantal, jemarinya mencengkram kain seperti sedang menahan sesuatu agar tidak pecah dari dalam. Matanya menatap Fourth. “Aku mau nanya lagi,” kata Gemini pelan, suaranya mengambang di antara dinginnya ruangan. “Tentang Phuwin.”

Fourth mengalihkan pandangan. Tidak kaget. Tidak tegang. Hanya... diam.

“Kamu kenal dia dari mana sebenarnya?” lanjut Gemini. “Sebelum aku.”

Fourth tidak langsung menjawab.

“Kita pernah bahas ini,” katanya akhirnya.

“Kita pernah,” Gemini mengangguk. “Tapi jawabannya selalu setengah.”

Fourth, yang sejak tadi duduk di sebelahnya, mendongak pelan. Lalu berdiri. Tanpa menjawab, dia melepas jasnya. Gerakannya tenang, amat tenang. Kain itu jatuh ke sandaran sofa dengan bunyi halus. Tapi Gemini justru mendengarnya seperti denting peringatan.

Dia berdiri membelakangi Gemini. Satu tangan meremas ringan kerah bajunya, tangan lain menyentuh pelipis. Nafasnya panjang, tapi pelan. Seperti sedang mengukur batas dirinya sendiri. “Dia kakak kelasku. Itu udah cukup jadi alasan buat aku tahu soal dia.”

Gemini mendongak dari tempat duduknya. Lehernya tegang, rahangnya mengeras. Sorotnya menusuk punggung Fourth, seperti ingin memaksa tubuh itu berbalik. Tapi Fourth tetap tidak menoleh. Gemini menghela napas. Panjang. Berat. Lalu—diam-diam, dengan suara hampir tak terdengar, dia melanjutkan. “Dan temen-temenku?”

Fourth diam.

“Kamu jaga hubungan sama mereka. Kamu tahu kapan mereka online, kapan mereka free buat meeting, bahkan kamu tahu gaya bales chat-nya Mark yang suka pake emoji aneh itu.” Nada Gemini mulai berubah. Lebih cepat. Lebih tajam. “Kenapa kamu segitunya? Itu bukan cuma relasi kerja. Itu—”. Dia berhenti, dadanya naik-turun.

Fourth menoleh. Akhirnya. Tapi tak sepenuhnya. Hanya cukup untuk menunjukkan bahwa dia mendengar—bukan bahwa dia ingin menjawab. “Karena itu penting buat perusahaan.” Kalimat itu... datar.

Dingin.

Dan di kepala Gemini, suara itu menggema terlalu kencang.

Dia tertawa kecil. Sekali. Tipis. “Oh,” katanya. “Right. Lupa. Kamu kan budak perusahaan.”

Fourth menoleh. Tangannya terangkat separuh—ingin mendekat, mungkin. Tapi tidak jadi. “Gemini, aku—”

Gemini mengangkat tangan. Gerakannya kecil. Tapi cukup untuk membelah ruang. “Kalau kamu gak mau jujur, gak apa-apa.” Suaranya pelan, tapi dingin.

Dingin seperti logam yang baru keluar dari air. “Cuma... jangan terus bersikap seolah aku gak tahu apa-apa.”

Fourth lagi lagi terdiam.

Napasnya terdengar—sedikit berat. Tapi tidak ada jawaban. Tidak ada pembelaan.

Dan justru itu yang membuat Gemini menunduk sebentar, menarik napas lewat hidung seperti sedang mencoba menelan amarah yang terlalu padat. “Aku gak tahu lagi, ini semua nyata atau cuma... akting yang terlalu bagus.” Tawanya keluar kecil. Tapi bukan tawa. Lebih seperti suara serak yang tertahan di tenggorokan.

Seperti cegukan dari emosi yang tidak sempat jadi kata. “Atau memang betulan ternyata kamu gunain aku buat ganti posisi Phuwin.”

Fourth tetap tidak menjawab.

Gemini berdiri perlahan. Gerakannya seperti menarik tubuh dari lumpur. Berat. Terlambat.

Langkahnya membawa dia mendekat—satu demi satu.

Marmer berderak kecil di bawah telapak kakinya. Setiap suara terdengar seperti pisau yang mengiris tenang.

Dia berhenti.

Dekat. Terlalu dekat.

Napasnya bisa terasa di wajah Fourth sekarang—pendek, tajam, tidak stabil.

Tangan Gemini mengepal. Buku-buku jarinya menegang sampai pucat.

Matanya menatap tanpa berkedip. “Kamu gak mau ngomong apa-apa?”

Fourth menatapnya. Tenang.

Gemini menghela napas—cepat. Helaan yang hampir terdengar seperti tawa kecil. “Kenapa kamu gak bisa ngomong? Jelasin. Bantah. Apa aja!” Nada suaranya naik—tapi tidak meledak. Lebih seperti kaca yang retak dari dalam, terus-terusan. “Atau kamu emang lebih milih aku nebak-nebak sampai gila?”

Fourth menarik napas.

Tapi sebelum dia sempat membuka mulut, Gemini bicara lagi. “Karena selama kamu diam, kamu gak harus jujur. Gak harus ngakuin apa-apa. Gak harus bilang kalau mungkin... aku cuma pengganti. Cuma nama lain buat ngisi ruang kosong yang ditinggalin Phuwin.”

Dan saat itu—ada sesuatu yang patah.

Ekspresi Fourth tidak pecah—tapi bergeser. Kelopak matanya berkedip cepat. Lehernya menegang. Jarinya mengepal, terlalu kencang. Tapi mulutnya tetap menutup rapat.

Dan itu—itu yang membakar Gemini.

 

Dia maju setengah langkah. Napasnya mendesak. “Kenapa sih kamu selalu diam?” Suara itu datang dari tempat yang terlalu dalam. Lirih. Tapi getarnya terasa sampai ke ujung ruangan. “Apa karena kalau kamu ngomong, kamu harus jujur? Harus ngakuin hal-hal yang kamu gak mau aku tahu?”

Fourth tetap tidak bergerak. Matanya terlalu tenang.

Tapi Gemini bisa lihat: itu bukan damai. Itu bertahan.

Dia tahu. Dia sudah menekan sesuatu yang seharusnya tidak disentuh. Tapi dia tidak peduli.

“Mau pura-pura gak denger? Silakan. Diam terus juga gak masalah. Tapi jangan pikir kamu bisa ngelak dari ini selamanya.”

Lalu, dengan suara yang nyaris tidak terdengar, ia menambahkan—seperti bisikan yang menusuk:

“Aku benci kamu... lebih dari siapa pun di dunia ini.”

 

Fourth menghembuskan napas. Pelan. Nyaris tak nyata.

Gemini tidak langsung bicara. Dia hanya berdiri di sana, menatap seseorang yang tak pernah ia pahami, bahkan setelah semua yang dibagi.

Udara di ruangan itu berubah. Bukan karena suhu. Tapi karena sesuatu yang tidak bisa kembali ke tempat semula.

Gemini akhirnya duduk.

Perlahan.

Dia jatuhkan punggung ke sofa, seolah sedang menahan berat yang baru ia sadari.

Suara detik jam di dinding terdengar terlalu jelas.

Dada Gemini naik-turun cepat, tapi matanya tetap tertutup.

Dia tidak tahu lagi harus marah atau hanya diam.

Tapi satu hal yang ia tahu dengan pasti:

Dia... lelah.

Lelah dengan semua yang tidak pernah dikatakan.

 

Tapi lalu, Fourth akhirnya membuka mulut. Dan kata-katanya—lebih menusuk daripada diamnya. “Kenapa harus seserius ini?” Nada suaranya ringan, nyaris terdengar seperti bercanda. “Bukannya kita nikah cuma formalitas? Kenapa kamu ribut soal hal sepele kayak gini?”

Gemini menatapnya.

Lalu tertawa kecil.

Tawa yang kosong. Bukan karena lucu—tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang patah, dan tidak tahu harus pecah ke mana.

“Masalah sepele?” Suaranya nyaris bergetar. “Buat kamu, ini cuma itu?”

Fourth mengangkat bahu. “Ya... bukannya memang begitu?”

Gemini diam, menatap seseorang yang selama ini hadir dengan tenang, mendengarkan tanpa tanya, tinggal tanpa suara—dan saat akhirnya bicara, suaranya lebih tajam dari ketidakpedulian.

Dan itu... menghancurkan sesuatu di dalam dirinya dengan cara yang bahkan dia tidak sangka mungkin.

“Aku tahu kamu gak pernah benar-benar anggap aku penting,” katanya pelan. Suaranya bukan marah, tapi dingin. Terlalu tenang untuk dibilang aman.

“Aku tahu aku cuma... sesuatu yang harus kamu jaga. Karena Phuwin udah gak ada.” Dia tertawa lagi—tipis, getir.

“Tapi aku gak nyangka kamu bisa ngomong kayak gini. Seolah semuanya cuma formalitas. Seolah aku cuma... figuran dalam cerita yang kamu udah hafal.”

Fourth diam untuk yang kesekian kalinya.

Tapi sorot matanya... berubah.

Gemini menarik napas, dadanya naik cepat. “Aku benci kamu,” katanya. Lirih. Tapi tegas. “Bukan karena kamu lihat aku sebagai pengganti. Tapi karena kamu bersikap seolah aku gak berhak ngerasa apa-apa soal itu.”

Fourth membuka mulut, tapi Gemini langsung mengangkat tangan. “Jangan,” katanya.

“Jangan kasih aku alasan.

Jangan kasih aku versi yang udah disusun rapi.

Jangan kasih aku apa pun yang bisa bikin aku percaya kalau aku lebih dari itu buat kamu.”

Fourth menutup mulutnya. Dan kali ini, dia benar-benar tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan.

Gemini menatapnya sekali lagi.

Lalu berbalik.

Dan untuk pertama kalinya... dia yang pergi lebih dulu.

 

 . 

 

Setelah malam itu, mereka tidak bicara lagi.

Bukan karena kelelahan. Bukan karena tidak ada yang perlu dikatakan.

Tapi karena semua yang bisa dikatakan... terasa berbahaya.

Gemini bangun setiap pagi dengan tubuh yang utuh, tapi rasa yang kosong. Rumah tetap sama. Tata letaknya. Suaranya. Bahkan kopi yang menunggu di meja. Tapi rasanya seperti berjalan dalam replika dari hidup yang pernah ia kenali.

Fourth masih ada.

Diam. Lembut. Menyediakan ruang.

Tapi Gemini tidak menyentuh kopi itu.

Tidak mengangkat wajah saat melewati lorong.

Tidak menjawab saat pintu tertutup terlalu pelan.

Fourth berhenti bertanya.

Lalu berhenti mencoba.

Dan waktu perlahan berubah bentuk: dari hari menjadi jeda, dari jeda menjadi jarak.

Minggu itu berjalan seperti sesuatu yang tidak pernah dimulai.

Gemini berhenti menatap jam.

Fourth berhenti duduk di sisi meja yang sama.

Rumah itu tidak ribut. Tidak gaduh. Tapi setiap sentuhan, setiap bunyi sendok pada gelas, setiap pintu yang ditutup tanpa suara—semuanya terdengar seperti serangan.

Dan pada satu malam yang tak berbeda dari sebelumnya, Fourth menyerah.

Dia menemukannya di balkon dengan langit gelap. Udara terlalu diam. Gemini berdiri di sana, memegang rokok yang belum dinyalakan—seperti kebiasaan yang tak pernah tumbuh menjadi keputusan.

Fourth berdiri di ambang pintu, diam beberapa saat sebelum akhirnya bicara. “Aku mau kita cerai.” Suara itu bukan ancaman. Bukan ledakan. Hanya sesuatu yng rapuh, disusun pelan, lalu dikeluarkan tanpa pelindung. “Kalau keadaan kita terus seperti ini… lebih baik berhenti.”

Gemini tidak bereaksi.

Fourth menghembuskan napas pelan. “Aku sudah mencoba bertahan,” katanya, suaranya datar, nyaris tak terdengar. “Tapi kalau aku cuma jadi hantu di rumah ini... lebih baik akhiri saja.”

Gemini akhirnya bergerak. Dia menoleh, pelan, menatap Fourth dengan mata yang tenang—amat tenang. Seperti permukaan danau malam hari yang menyembunyikan kedalaman yang tak terukur. “Capek?” bisiknya. “Akhirnya kamu menyerah juga.”

Fourth menatap balik. Matanya tidak tajam, tidak datar.

Hanya... kosong.

Tapi bukan kosong yang gelap.

Kosong yang terlalu lelah untuk menyimpan bentuk.

“Kita gak bisa terus kayak gini.” lirihnya.

Gemini mengangkat dagu sedikit, seperti sedang menimbang seberapa jauh ia bisa menyakiti tanpa benar-benar menyentuh.

Lalu ia tersenyum. Tipis. Beracun. “Kenapa?” tanyanya pelan. “Kamu gak tahan? Hidup dalam perang yang gak bisa kamu menangkan? Tidur di rumah yang gak bisa kamu sebut rumah?”

Jemari Fourth mengepal di sisi tubuhnya. Pelan, tapi kencang. “Aku cuma gak lihat alasan lagi buat terus pura-pura.”

Gemini tertawa kecil. Rendah. Nyaris seperti dengungan di antara gigi yang tak sepenuhnya terkatup. “Oh?” Ia menyipitkan mata. “Bukannya kamu bilang berpura-pura itu keahlian kamu?”

Fourth memejamkan mata sesaat. Ada sesuatu dalam cara dia menarik napas—panjang, berat, dan... gemetar. Tangannya naik menyentuh tengkuk, lalu jatuh lagi, seperti kehilangan daya. “Gemini—”

“Tidak.” Gemini memotong, cepat. Suaranya tajam, tapi tidak tinggi. Dia melangkah. Pelan. Tapi setiap langkahnya terasa seperti palu di atas lantai marmer.

Dia mendekat—sampai Fourth bisa mencium samar aroma tembakau yang belum menyala, menggantung seperti ancaman yang belum ditegaskan. “Kamu gak akan pergi semudah itu.”

Angin malam menyusup lewat sela balkon. Dingin. Membungkus kulit mereka seperti tangan yang tidak kelihatan. Keheningan di antara mereka mulai berdesir, rapuh.

Gemini menatap wajah Fourth—dan untuk sedetik, hanya sedetik, dia melihatnya:

Mata yang biasanya jernih dan stabil—kini redup.

Binar yang hilang.

Tatapan yang tidak mencoba menang.

Dan di balik bahu yang masih tegak, ada sesuatu yang sedang patah, pelan.

Dan Gemini... merasa sesuatu di dalam dadanya ikut retak.

Tapi hanya sedetik.

Dia menarik napas tajam, menyadarkan diri, seperti menarik tubuhnya kembali dari jurang yang hampir membuatnya goyah. Dia tersenyum lagi. Tipis. Lebih tipis dari sebelumnya. “Aku sudah cukup lelah jadi satu-satunya yang terus dibohongi,” ucapnya, nyaris seperti bisikan rahasia. “Jadi kalau aku harus bertahan di pernikahan ini, kamu juga harus. Kamu juga harus ngerasain ini.”

Fourth menatapnya. “Jadi ini balas dendam?”

Gemini mengangkat bahu. Satu gerakan ringan yang terdengar seperti cemoohan. “Kalau iya, lalu kenapa?”

Fourth menunduk. Menarik napas dalam. Tangannya menyentuh tengkuknya lagi, kali ini lebih keras, seolah ingin menyingkirkan beban yang tak terlihat. Lalu... dia tertawa. Pendek. Kosong. “Kamu memang kejam.”

Gemini tidak berkedip. Dia memandang Fourth seolah sedang memastikan luka itu benar-benar terbuka.

Lalu ia menjawab—pelan.

Lembut.

Menyayat. “Bagus,” katanya. “Aku belajar dari kamu.”

 

Fourth tidak membalas.

Dia hanya berdiri di sana.

Dan Gemini tetap menatapnya. Tidak bergerak. Tidak mundur.

Dan di antara keduanya, tidak ada yang tersisa malam itu—selain luka yang tidak diobati, dan keinginan untuk menang yang tidak ada pemenangnya.

Notes:

Thank you so much for reading and sticking with this fic—I really appreciate all the support and kind words. If you ever want to catch up or just scream about these two with me, you can always find me on Twitter: @ujayakii. See you there!

Chapter 4

Summary:

Some wounds are quiet. Some silences heavier than screams.
When the past slips into the present uninvited, it’s not the noise that breaks them—
it’s the moments where no one speaks, and yet everything is said.

Notes:

Hi! I know it’s been a while—almost a month since my last update 🥲
Writing these two complicated, emotionally repressed men really took a lot out of me.
But someone left a comment that really got to me (yes, you!) and I realized I couldn’t let this story sit in limbo. So here we are. Back.

Thank you so much for your patience, your kindness, your words—they keep this story alive.

If you want to catch up or scream about SRLE with me, you can find me over at
@ujayakii

Chapter Text

 

Langit di luar kantor menggantung rendah, mengguratkan cahaya oranye yang tampak lebih seperti luka daripada senja. Warna jingganya mengalir malas di balik kaca jendela yang mulai berembun, menyinari ruangan yang perlahan ditinggalkan waktu. Meja-meja sudah kosong, hanya tersisa gemerisik kecil kipas pendingin dan suara nyaris mati dari mesin fotokopi yang sudah lama tak disentuh.

Gemini masih duduk di kursinya, seolah tubuhnya ditanamkan ke sana. Punggungnya sedikit bungkuk, kemejanya kusut di kerah, dan matanya terpaku pada layar laptop yang menyala dengan spreadsheet penuh angka yang tak benar-benar dia baca. Cahaya monitor memantulkan bayangan matanya yang sayu—bukan kosong, tapi seperti wadah yang terlalu lama ditinggal penuh.

Empat minggu.

Sudah empat minggu sejak kata itu terlontar dari mulut Fourth dengan nada terlalu datar untuk tidak menyakitkan: cerai.

Dan anehnya... tidak ada sedih yang menggumpal. Tidak ada amarah yang menggelegak. Hanya perasaan hampa yang tumbuh seperti jamur dalam ruang lembap—pelan, diam-diam, tapi menyesakkan. Rasanya seperti sebuah pintu dalam dadanya ditutup dengan lembut, dikunci dari luar, lalu ditinggalkan tanpa aba-aba.

Dia tidak tahu kenapa ia masih tinggal di rumah itu. Kenapa masih bangun setiap pagi berharap Fourth akan mengetuk pintu kamar hanya untuk bertanya apakah ia tidur nyenyak. Kenapa bahkan setelah ditinggal dalam dingin, dia masih ingin Fourth memarahinya, mengguncangnya, menyadarkannya bahwa semua ini bukan ilusi.

Bukankah dia harusnya lega? Bukankah ini akhir dari kontrak pura-pura yang menyakitkan itu? Bukankah ia sudah cukup menghancurkan untuk merasa menang?

Tapi bukan itu yang dirasakannya.

Itu bukan kemenangan. Bukan dendam. Bukan bahkan perlawanan.

Itu... adalah kekosongan yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Dan Gemini—yang biasanya begitu fasih dalam menggubah sarkasme dan senyum tajam—mendadak tak punya bahasa untuk melawannya.

Karena kalau Fourth bisa marah, bisa kehilangan kendali, bisa menunjukkan sedikit retakan... maka semua ini terasa lebih nyata. Lebih adil. Karena saat ini, Fourth tetap—selalu—tenang. Tetap mematikan lampu ruang tengah sebelum tidur. Tetap menyisakan kopi yang tidak disentuh. Tetap mencuci bajunya seperti tak ada yang berubah.

Lalu, siapa yang sebenarnya lebih kejam?

Gemini menarik napas panjang, tapi rasanya seperti mengisi paru-paru dengan air. Ia belum sempat menghela saat suara muncul dari belakang, memotong keheningan seperti pintu yang terbuka terlalu cepat.

“Aduh, sorry, ganggu.”

Archen.

Dengan dua gelas kopi di tangan dan senyum yang tampak ragu, seperti seseorang yang sudah terlalu sering ditegur tapi tetap nekat mendekat.

Gemini menoleh pelan, tatapannya seperti pisau tumpul—tidak memotong, tapi menyakitkan karena menolak memberi reaksi.

“Lo kayak... orang yang abis disuruh ngelupain mantan tapi masih buka-buka galeri,” ujar Archen sambil mendekat, meletakkan kopi di tepi meja tanpa diminta.

Gemini tidak menjawab. Tapi matanya mengarah ke gelas itu sejenak, seolah sedang menimbang apakah pahit kopi bisa lebih mengganggu daripada pahit yang sudah tinggal di lidahnya sejak lama.

Archen duduk di tepi meja sebelah, kakinya menggantung pelan. “Mau ngajak lo ikut acara kantor. Bukan yang formal-formal banget kok. Semi-casual lah. Ada live music, makanan enak... mungkin bisa bantu lo... enggak se-hantu ini.”

Gemini menaikkan satu alis. Matanya mengerut, bukan karena tersinggung, tapi karena... malas membalas.

“Emangnya gue kenapa?”

Nada suaranya datar. Tapi tidak ada cemooh. Tidak ada lelah. Hanya suara orang yang sudah terlalu lama menunggu sesuatu berubah.

Archen masih nyengir, walau agak menunduk. “Gue pikir... lo perlu ganti pemandangan. Atau minimal... suara lain di kepala lo yang semrawut itu.”

Yang semrawut itu.

Gemini tidak bertanya apa yang dimaksud, hanya menatap kembali layar laptop, tapi jari-jarinya tidak bergerak.

Lalu, seperti gerakan refleks yang tidak direncanakan, dia mengangguk kecil.

Satu kali.

Tak lebih. Tapi cukup.

Mungkin... sedikit musik bisa menenggelamkan suara Fourth yang tak pernah benar-benar pergi dari kepala.

Mungkin... sedikit alkohol bisa menenggelamkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak sempat ia ajukan.

Mungkin... yang ia butuhkan bukan melupakan. Tapi jeda.

Jeda dari perasaan yang tidak bernama.

Jeda dari diri sendiri.

Dan kali ini, dia tidak menolak. Karena bahkan saat terluka pun, kadang butuh lampu redup dan segelas apapun untuk tetap tenang.

 

Tempat itu lebih hangat daripada yang ia kira.

Langit-langit rendah, lampu kuning temaram yang meleleh lembut ke perabotan kayu, suara gelas bersinggungan dari kejauhan—cozy, seperti deskripsi katalog restoran yang ditulis dengan niat menggoda keintiman. Tapi buat Gemini, suasananya tetap terasa dingin. Bukan karena suhu—AC bekerja terlalu pelan untuk itu. Tapi karena berpasang mata yang menyambar begitu dirinya melangkah masuk. Tajam dalam sepersekian detik, lalu berpaling pura-pura tak peduli. Tapi dia sudah tahu. Sudah hafal.

Seperti jeda kecil dalam lagu yang semula mengalun tanpa gangguan.

Gemini hanya mengangguk tipis, senyum samar yang tak menyentuh mata. Gerakan kecil di sudut bibir, lebih karena refleks sosial daripada niat ramah.

Dia tidak sering datang.

Bukan karena jadwal. Tapi karena dia tahu: di tempat seperti ini, dia tidak pernah hanya datang. Dia menjadi pusat—sadar atau tidak. Dan karena dia datang... semua kehilangan topik pembicaraan karena dialah tokoh utama dalam setiap gosip.

Langkahnya terarah, halus, tanpa terburu, seperti seseorang yang tahu di mana harus berdiri agar tidak terlalu mencolok tapi juga tidak terlalu tak terlihat. Tangannya menjangkau gelas dari nampan seorang waiter—sparkling water, tak beraroma, tak mengganggu. Dia tidak bicara. Tak ada salam, tak ada basa-basi.

Beberapa wajah muncul. Rekan kerja yang cukup sering dilihat tapi tak cukup akrab untuk diingat namanya. Mereka menyapa, membawa senyum yang terlalu tipis, basa-basi yang terlalu akrab. Gemini membalas. Sepatah. Setengah. Satu-dua tawa kecil yang hampa, lebih mirip udara di hidung yang lolos tanpa suara.

Dia mencoba blend in.

Tapi pikirannya memantul. Berkali-kali.

Wajah Fourth, seperti layar yang tak bisa dimatikan.
Nada bicara saat bilang ingin cerai—terlalu netral untuk tidak menyakitkan.
Tatapan yang tak pernah meminta maaf, tapi juga tak pernah menawarkan pembelaan.

Kenapa bisa seprofesional itu?
Kenapa, justru dia yang minta pergi?

Dan kenapa... Gemini masih di sini—masih berharap Fourth membalikkan ucapannya? Masih berharap ini hanya strategi, bukan akhir?

Suaranya mulai ramai. Musik makin kencang. Tawa di pojok ruangan makin keras. Semuanya terlalu... penuh. Terlalu menyala. Terlalu mengganggu.

Gemini keluar.

Tangannya menyentuh pintu kayu yang bergeser perlahan, dan udara malam menyambut seperti tangan asing yang dingin tapi lega. Di luar, balkon sempit menyembunyikan diri dari lampu utama—hanya satu lampu gantung kecil menggantung di tengah, cahayanya kuning pudar, menari pelan diterpa angin.

Ada dua bangku rotan yang tampak terlalu sepi. Dan tanaman dalam pot yang sudah layu sejak minggu lalu—dia yakin, tak ada yang peduli pada detail itu.

Gemini duduk. Perlahan. Menaruh gelasnya di sisi lutut. Bahunya jatuh, seperti beban tak terlihat baru saja dilepaskan dari tulang belikatnya. Dia menutup mata. Hanya sebentar.

Lalu pintu terbuka lagi.

Archen—lagi. Kali ini membawa gelas yang berbeda. Gelas tinggi dengan lingkaran embun di badannya, cairan berwarna amber yang tidak menyembunyikan niatnya.

“Gue tahu lo datang bukan buat gue ajak ngobrol,” katanya, tenang. Duduk di bangku sebelah, menyisakan jarak tapi tidak terlalu jauh. “Tapi tetap, kayaknya lo butuh ini.”

Gemini tidak menjawab. Hanya melirik. Menatap gelas itu sebentar—seperti menimbang seberapa jauh dia ingin jatuh malam ini.

Lalu dia mengambil.

Archen tidak bertanya. Tidak memaksa. Tidak sok tahu.

Dia hanya berdiri lagi setelah beberapa detik. “Kalau memang mau sendiri, gue bisa bilang waiternya buat kesini ngasih pilihan minuman buat lo.”

Dan dia pergi.

Gemini sendiri lagi.

Lampu di atasnya bergoyang sedikit, angin membawa bayangannya menari di lantai balkon. Udara malam mengisi celah di kerah kemejanya, dingin samar yang terasa menenangkan di kulit lehernya.

Dan setiap kali waiter mendatanginya—dengan nampan dan minuman baru—tangannya terulur, nyaris otomatis. Satu. Dua. Tiga. Dia tidak menghitung.

Mungkin karena dia tidak ingin tahu.

Mungkin karena dia masih berharap ada gelas keberapa yang cukup untuk membuat semuanya berhenti berdengung.

Tapi sejauh ini belum ada.

Kepalanya mulai terasa ringan—bukan pusing, tapi mengambang. Seperti detik-detik sebelum tertidur, ketika realitas menjadi lembut dan sedikit bergelombang. Matanya tidak bisa fokus penuh. Tapi tak masalah.

Karena untuk pertama kalinya malam itu, suara di kepalanya... mulai diam.

Dan ketika dunia mulai terasa seperti karpet yang sedikit bergeser dari bawah kakinya, Gemini tahu—dia tidak lagi mencari jawaban.

Malam ini... akhirnya terasa cukup sunyi.

 

Pintu rumah terbuka pelan, mengayun seperti rahasia yang enggan dibuka. Suara engsel berderit samar, bercampur dengan aroma dingin malam dan sisa alkohol yang belum benar-benar pergi dari tubuh Gemini.

Langkahnya terhuyung dengan sepatu yang tak sepenuhnya menapak karpet, tubuhnya hampir jatuh ketika satu tangan—kukuh, hangat, sangat familiar—menangkapnya sebelum sempat menyentuh lantai.

Fourth.

Gemini hanya sempat melihat bayangan samar—Fourth berdiri di dekat meja makan, berbicara dengan seseorang yang tak sempat dia kenali, lalu dengan cepat menghampirinya, merengkuhnya dengan gerakan refleks dan tanpa tanya.

Sofa menjadi titik akhir dari tubuhnya malam itu. Dada terengah, kepala berat, dan dunia berputar pelan seperti langit-langit yang tak yakin mau tetap berdiri.

Suara-suara di sekelilingnya mengabur, tapi kehadiran Fourth... tetap terang. Sangat terang dan begitu dekat.

Saat jemari Fourth mulai membuka dasi dari leher Gemini—gerakan yang lembut tapi tepat, seperti suatu kebiasaan lama yang belum dilupakan—Gemini memaksa membuka matanya. Cahaya lampu ruang tengah menyilaukan, tapi dia menahan diri untuk tidak memejamkannya kembali, karena yang dilihatnya di hadapan... bukan hanya wajah yang dikenalnya, tapi seseorang yang bertingkah seolah tidak ada luka di antara mereka.

Seseorang yang tidak marah. Tidak bertanya. Tidak menyalahkan.

Dan itu yang membuat Gemini jengkel—bukan karena Fourth kasar, tapi karena Fourth sangatlah baik. Selalu diam. Terlalu tetap di tempat, seolah tak peduli bahwa semua ini semestinya sudah hancur.

“Kenapa kamu gak marah?” suara Gemini nyaris tak terdengar, separuh gumaman, separuh napas.

Fourth tidak menjawab. Hanya terus membuka kancing jasnya, pelan, rapi, matanya nyaris tak menatap.

Gemini, dengan kepala yang masih berat, mengangkat tangannya, meraih jemari Fourth yang masih sibuk di dekat dadanya—sentuhannya tidak kuat, tapi cukup untuk membuat Fourth berhenti sejenak, menoleh.

Tatapan mereka bertemu, dan untuk sesaat, ruangan terasa jauh lebih sunyi.

Dan ketika Gemini menyadari seberapa dekat mereka—hidung mereka nyaris bersentuhan, napas mereka beradu, dan wajah Fourth terlihat begitu... lelah, begitu rapuh—dia tidak tahu kenapa tubuhnya memutuskan untuk bergerak sendiri. Bahunya bersandar ke sofa, tubuhnya tenggelam sedikit, dan dalam gerakan yang terlalu lembut untuk disebut agresif tapi terlalu sengaja untuk disebut tak disengaja, dia menarik Fourth lebih dekat—cukup dekat sampai dada Fourth hampir sepenuhnya bersandar di atas miliknya.

Fourth membeku. Tangan yang tadi sibuk kini menggantung di udara kini jatuh menahan dada Gemini. Matanya terbuka lebar, penuh keterkejutan yang jarang dia tunjukkan.

Dan Gemini hanya memandanginya, diam, dalam, seperti ingin menelusuri tiap garis kelelahan di wajah itu, tiap kerutan kecil di antara alis yang hanya muncul saat Fourth kelelahan untuk berpura-pura tenang. Dia ingin bicara—tentang betapa dia menyesal tapi kesal, tentang betapa dia ingin semuanya berhenti menyakitkan, tentang betapa dia, mungkin, masih peduli... selalu peduli.

Tapi sesuatu melintas di kepalanya.

Phuwin.

Secepat kilat, kenangan—atau mungkin hanya potongan emosi—menyeruak, dan kemarahan lama kembali menyeruak dari celah-celah luka yang belum kering. Tangannya yang menggenggam pinggang Fourth mengencang tanpa sadar, gerakannya lebih kasar dari sebelumnya, bukan karena benci, tapi karena takut kehilangan kendali.

Fourth menahan napas. Sedikit goyah. Tapi masih diam.

Dan Gemini membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu—entah permintaan maaf atau tuduhan atau hanya nama Fourth yang ingin dia panggil pelan—tapi yang keluar bukan suara.

Yang keluar adalah muntah.

Hangat. Pahit. Lengket.

Dan langsung mengenai piyama Fourth, merembes ke bajunya yang terlihat begitu pas ditubuhnya, mengotorinya karena tadi terlalu dekat.

Waktu berhenti sesaat.

Napas Gemini tercekat, rasa malu dan kaget menyatu jadi kabut yang menyesakkan dada. Bau alkohol menebar cepat, menusuk udara, dan di tengah semua kekacauan itu, Fourth hanya diam, sekali lagi—tapi bukan diam yang sama seperti sebelumnya.

Fourth tidak bereaksi. Tidak bersuara. Tidak terkejut.

Tangannya hanya bergerak cepat—cukup cepat untuk menahan muntah itu agar tidak mengotori lebih banyak permukaan—dan tubuhnya bangkit nyaris dalam satu tarikan napas, seperti dia sudah terlalu sering menangani bencana dengan jarak satu lengan. Tidak ada jijik di wajahnya, tidak ada kekesalan yang muncul, bahkan sekilas pun tidak. Yang ada hanya kerutan kecil di keningnya yang tidak membentuk amarah, tapi kekhawatiran.

“Gak apa, tenang.” katanya lirih, suara itu keluar lembut seperti air yang mengalir di balik pintu kamar mandi yang tertutup. “Jangan paksa bicara nanti perutmu tambah sakit.”

Lalu berbalik sejenak, berjalan menuju dapur dengan langkah yang tetap tegak, tetap terukur, hanya sedikit tergesa tapi tidak kacau. Gemini mendengar suara tisu disobek, air mengalir, lemari dibuka—semuanya dilakukan dengan efisiensi yang terlatih, tapi terkesan sangat... peduli.

Gemini tidak bergerak dari sofa.

Tubuhnya masih terlipat, napasnya belum teratur, dan perutnya seperti sedang dikerat dari dalam. Tapi matanya... tak lepas dari punggung Fourth yang sibuk membasuh dan mengelap, dari bahunya yang sedikit tegang namun tidak menggigil, dari caranya mengatur semua tanpa kata-kata kasar, tanpa sikap acuh, bahkan tanpa tanya.

Dan untuk sesaat, di tengah rasa mual yang masih menggantung di tenggorokan, Gemini hanya bisa berpikir: kenapa kamu tidak marah? Kenapa kamu tidak mengusirku malam ini? Kenapa kamu tetap ada di sini, bahkan ketika aku sudah sebegitu menyebalkannya?

Fourth kembali dengan baskom air hangat dan kain, berlutut pelan di depannya, membersihkan tubuh dan pakaiannya yang terkena muntah, gerakannya pelan dan penuh perhitungan, tidak memaksa tapi juga tidak ragu. Matanya tidak menatap Gemini secara langsung, tapi ada sesuatu di situ—sebuah kelembutan yang bukan belas kasihan, bukan pengampunan, hanya semacam rasa kenal yang terlalu dalam untuk bisa dijelaskan.

Gemini masih diam.

Tangan Fourth menyeka sisi lehernya, membersihkan sisa cairan dengan kelembutan yang membuat dadanya makin sesak, bukan karena sakit tapi karena terlalu halus untuk diterima tanpa gemetar. Dia ingin berkata sesuatu—tentang maaf, tentang terima kasih, tentang rasa bersalah yang entah mengapa terasa seperti miliknya—tapi mulutnya tetap tertutup, tak sanggup mengkhianati kebisuannya sendiri.

Dia hanya menatap Fourth.

Dan di sana, dalam tatapan yang terlalu lama dan terlalu hening, Gemini merasa sesuatu di dalam dirinya... retak. Tidak meledak. Tidak hancur. Hanya retak—seperti kaca yang mulai merekah dari tengah.

Karena untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, dia ingin menyerah. Bukan pada keadaan, bukan pada Fourth, tapi pada kemarahan yang dia pelihara seperti binatang yang sekarat.

Dia ingin Fourth duduk di sebelahnya malam itu.
Dia ingin merasakan lengannya ditarik dalam pelukan.
Dia ingin tertidur di sebelahnya lagi dan beristirahat dengan diam dan menenangkan.
Dia ingin berkata, “Aku lelah,” tanpa harus menjelaskan lelah yang mana.

Tapi dia tidak mengatakan apa-apa.

Dan Fourth tetap di depannya, menyeka dengan sabar, membasuh dengan tenang, tanpa menyentuh luka yang tidak kelihatan tapi tak pernah sembuh.

Gemini memejamkan mata. Napasnya goyah.

Dia tidak tahu siapa yang lebih hancur malam ini—dirinya yang tidak bisa meminta maaf, atau Fourth yang tidak pernah menuntutnya.

Dan di antara semua keinginan untuk marah, untuk membalas, untuk menjauh... satu hal muncul perlahan, seperti embun di pagi hari yang belum siap diterjemahkan:

Gemini ingin dimaafkan.

Tanpa harus meminta.

Fourth tidak berbicara banyak ketika semua sudah bersih. Dia hanya menurunkan kain basah dari sisi leher Gemini, lalu menyelipkan tangan di bawah lengannya—gerakan yang seharusnya biasa, tapi terlalu pelan untuk dibilang sekadar bantuan. “Bisa jalan?” bisiknya.

Gemini mengangguk, samar. Atau mungkin hanya gemetar sedikit, tapi itu cukup dijadikan sinyal oleh Fourth.

Dan tubuh mereka saling menempel ketika Fourth membantunya berdiri. Gemini menyandar sebagian besar berat badannya ke Fourth, bukan karena dia tidak bisa berjalan, tapi karena dia tidak ingin berjalan sendiri. Lengan Fourth melingkar di pinggangnya, kokoh, sedikit terlalu erat untuk sekadar fungsi. Tubuh mereka menempel dari dada sampai pinggul. Ada panas yang merayap dari bawah kemeja, dari napas yang tertahan di antara leher dan bahu.

Gemini bisa mencium wangi khas dari kulit Fourth—bersih, sedikit pahit seperti teh pahit dan sabun pria, aroma yang terlalu familiar, terlalu... nyaman. Dia memejamkan mata sejenak ketika langkah mereka sampai ke kamar, dan di sana, dalam gelap yang belum sempat dinyalakan lampunya, Fourth membantunya duduk di tepi ranjang.

Mereka tidak bicara.
Lampu tidur menyala kemudian, remang keemasan yang membuat bayangan wajah Fourth terlihat lembut dan letih.

Gemini duduk diam, tubuh masih berat, mata setengah terbuka.
Fourth berlutut lagi di depannya, seperti yang ia lakukan sebelumnya, tangan meraih ujung kemeja Gemini. “Aku bantu ganti bajumu dulu.”

Gemini tidak menjawab. Tidak bergerak. Tapi dia juga tidak menolak.

Dan ketika jemari Fourth menarik kancing satu per satu, perlahan, dari atas ke bawah—suara kecil dari kain yang bergesek, dari napas yang tertahan—ada sesuatu yang bergema di ruang itu. Sesuatu yang lebih keras dari kata-kata. Sesuatu yang hanya muncul ketika jarak terlalu dekat dan alasan terlalu kabur.

Gemini menatapnya. Dalam. Diam.
Dan Fourth tidak membalas tatapan itu—ia terlalu fokus menurunkan kemeja yang kini sudah terbuka lebar, mengungkapkan kulit yang masih dingin, dada yang naik-turun tak teratur, dan luka-luka lama yang tak pernah berubah bentuk tapi selalu terasa baru.

Tangan Fourth meluncur ke belakang lehernya, melepas kaus dalam, pelan. Jemarinya dingin, tapi sentuhannya terlalu akrab. Terlalu... mengerti.

Dan ketika Gemini hanya duduk diam, membiarkan semuanya terjadi, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin menarik tangan itu kembali—bukan untuk menjauh, tapi untuk menahan. Untuk mengatakan, tolong jangan terlalu lembut malam ini, karena kelembutanmu menyakitkan.

Fourth tidak bicara ketika kembali dari kloset, hanya melangkah pelan sambil membawa sepasang celana pendek katun—warna abu, yang sudah sering Gemini pakai untuk tidur, bahannya amat lembut untuk tidak diingat. Jemarinya menggenggam kain itu dengan cara yang biasa, sangat tenang—seolah yang akan dia lakukan hanyalah merapikan tempat tidur, bukan mengganti pakaian seseorang yang baru saja muntah di hadapannya.

Gemini masih duduk di pinggir kasur, tubuhnya masih terasa berat, kepala berdenyut di satu sisi. Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah.

Yang membuatnya sulit menarik napas pelan adalah kenyataan bahwa Fourth berdiri hanya satu langkah darinya, tanpa ragu, tanpa ekspresi yang bisa disebut canggung.

Gemini melirik ke bawah—ke tubuhnya sendiri, ke kaos tipis yang sudah diganti tadi, dan celana panjang yang masih dia pakai—lembab, dingin, dan tidak nyaman. Dia tahu, dalam satu menit ke depan, celana itu akan dilepas. Oleh Fourth.

Jantungnya berdetak pelan, tapi terasa keras. Matanya mengikuti gerak Fourth yang berlutut di sisi badannya dengan satu lutut—tenang, efisien, seolah ini bukan hal pertama kali. Mungkin memang bukan.

Dan Gemini, entah karena alkohol atau hanya kewarasan yang memilih rehat sejenak, tidak berkata apa-apa. Tidak menahan, tidak meminta. Tapi tubuhnya menegang, napasnya tertahan begitu Fourth menyuruhnya sedikit mengangkat tubuh untuk menarik pinggang celananya dengan pelan, cukup sopan untuk tidak menyentuh kulit lebih dari yang perlu, cukup cepat agar tidak membuatnya lebih malu dari yang sudah-sudah.

Celananya melorot melewati pinggul, turun ke lutut, lalu terlepas sepenuhnya.

Udara malam menyentuh pahanya. Dingin. Malu. Begitu nyata.

Gemini memejamkan mata, sejenak.

Tapi Fourth tidak bilang apa-apa. Tidak berkomentar, tidak mengalihkan pandangannya. Hanya meraih celana tidur dan menyelipkannya perlahan, gerakannya bersih, nyaris profesional—kecuali saat jari-jarinya bersentuhan sebentar dengan kulit dingin Gemini. Sangat cepat untuk disebut sengaja, tapi begitu terasa untuk dilupakan.

Dan saat akhirnya celana itu terpasang sempurna di pinggang, Fourth hanya berdiri. Tak ada senyum, tak ada gumaman canggung dia hanya menatap Gemini sebentar—dengan tatapan yang nyaris... kosong. Tapi bukan dingin. Lebih seperti...disengaja untuk tidak terlalu melihat.

Gemini membuka mata, menatap balik. Ada sesuatu yang bergetar pelan di antara keduanya—bukan kata, bukan tanya. Hanya sisa dari keheningan malam yang belum sempat dituntaskan.

Fourth menjulurkan tangan. Telapak mengarah ke atas, menunggu.

Isyarat itu sederhana.

Dan Gemini... tahu bahwa jika dia menyentuh tangan itu sekarang, dia tidak akan lagi bisa membedakan siapa yang merawat dan siapa yang sedang hancur.

Tapi tangannya tetap bergerak. Naik pelan, menyentuh jemari Fourth.

“Ayo sikat gigi dulu.”

Gemini menghela napas. “Mulutku... enggak enak.”

“Iya,” kata Fourth. “Aku tahu.”

Dan kalimat itu—aku tahu—terdengar terlalu dalam untuk ukuran hal sepele.

Mereka masuk kamar mandi.
Langkah Gemini terseret, tapi tubuhnya tetap menempel ke Fourth. Ruang sempit di kamar mandi membuat mereka nyaris berdiri saling peluk. Fourth berdiri di hadapannya, tubuhnya sedikit membungkuk ke arah wastafel. Gemini bersandar ke tembok, setengah duduk di meja marmer wastafel yang dingin.

Fourth membuka sikat gigi, memeras pasta ke atasnya, lalu memegang dagu Gemini dengan satu tangan—gerakan yang terlalu lembut untuk diabaikan, terlalu pasti untuk tidak mengingatkan Gemini pada malam-malam lama yang sudah ia buang jauh-jauh.

“Sini,” bisik Fourth.
Dan Gemini membuka mulut.

Gerakan menyikatnya pelan. Hati-hati. Jemari Fourth menahan dagunya erat tapi tidak menyakitkan. Gemini menatap matanya, yang kini terlalu dekat. Matanya gelap. Tapi tidak datar. Ada sesuatu yang bergerak di sana, seperti air yang nyaris mendidih.

Gemini merasa dadanya naik turun. Napas mereka bercampur.
Dan untuk sesaat—hanya sesaat—wajah Fourth terlihat... lelah. Kosong. Seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak punya tempat untuk meletakkannya.

Setelah berkumur, Gemini masih duduk di sana. Tubuhnya terlalu dekat dengan tubuh Fourth. Napas mereka masih satu ritme. Dan sebelum Fourth bisa menarik diri, tangan Gemini terangkat.

Dia menyentuh pergelangan tangan Fourth.
Lalu lengan.
Lalu pinggang.

Dan ketika Fourth hendak menjauh, Gemini menarik tubuhnya lebih dekat—sampai tubuh mereka kembali bersandar, sampai dada mereka kembali bersatu. Tidak ada nafsu. Tidak ada ledakan. Hanya... rasa lapar.

Lapar akan kehangatan.
Lapar akan sesuatu yang bukan kebencian.
Lapar akan pelukan yang biasa dibayar dengan luka.

Fourth tidak bergerak.
Gemini juga tidak.

Dan dalam keheningan yang terlalu panjang itu, mereka hanya saling menatap—diam-diam bertanya apakah malam ini boleh jadi pengecualian. Apakah malam ini boleh jadi tempat mereka saling lupa.

Tapi sebelum apa pun bisa terjadi lagi, Gemini menunduk.

“Terima kasih,” bisiknya.
Lirih. Hampir tidak terdengar.

Dan dia berdiri pelan, meninggalkan Fourth di depan wastafel, membiarkan dirinya kembali ke ranjang. Tidur dalam diam. Tidur dengan rasa yang masih terlalu berat untuk dipahami.

 

Gemini terbangun dengan kepala yang tidak benar-benar berat, tapi juga tidak sepenuhnya ringan—seperti udara setelah hujan semalam, masih menahan lembap, masih menyimpan kilat yang belum sempat menyambar. Matanya terbuka perlahan, menghindari cahaya yang menyelinap dari sela gorden. Terlampau terang untuk pagi. Terlalu menusuk untuk disebut hangat. Tubuhnya terasa lengket, seperti masih menyimpan jejak dari sesuatu yang tidak selesai. Tangan kanan terulur pelan, menyentuh kasur yang kosong di sisi lain, hanya mendapati udara dingin yang tak meninggalkan bekas.

Dia bangkit perlahan, menarik napas panjang yang tidak melegakan, lalu berjalan keluar kamar. Suara kecil terdengar dari arah dapur—dentang logam bertemu panci, derit lembut spatula mengaduk sesuatu.

Langkahnya pelan, enggan. Bukan karena lemas, tapi karena tidak tahu apa yang akan dia temukan di balik pintu dapur.

Dan di sana, seperti pagi-pagi sebelumnya, Fourth berdiri membelakangi kompor. Wajahnya sedikit berkeringat oleh uap sup yang mendidih, tapi tubuhnya tenang, gerakannya rapi. Dia tampak seperti seseorang yang tidak pernah terpengaruh oleh semalam—tidak oleh muntah, tidak oleh pelukan yang tertahan, tidak oleh ciuman yang hampir terjadi.

Gemini berdiri di ambang pintu, tidak tahu harus berkata apa. Tapi Fourth lebih dulu menoleh, matanya menangkap bayangannya dari pantulan kaca kabinet.

“Oh, kamu udah bangun,” katanya pelan, seolah itu kabar baik.

Gemini hanya mengangguk. Langkahnya pelan menuju kulkas, menarik botol air tanpa benar-benar merasa haus, hanya... ingin sesuatu yang bisa menyibukkan tangan.

“Kepalamu masih sakit?” tanya Fourth lagi, nada suaranya ringan, tapi terlalu hati-hati untuk disebut biasa.

“Sedikit,” jawab Gemini, lirih, dan baru menyadari itu pertama kalinya dia bicara pagi ini.

“Makanya aku bikin sup. Hangat, enggak terlalu pedas. Bisa bantu redain.”

Gemini duduk di kursi bar dapur, menyentuh tepi meja yang dingin. Tangannya menggenggam gelas air, tapi tidak benar-benar minum.

Fourth meletakkan mangkuk di depannya tanpa bicara, lalu duduk di seberang. Matanya tidak langsung menatap, tapi perhatiannya terasa... hadir. Bukan seperti tuan rumah yang menjamu tamu, tapi seperti seseorang yang tahu persis kapan harus diam dan kapan harus menunggu.

Mereka makan dalam diam.
Gemini menyendok sup pelan, rasanya lembut, hampir tidak berasa—tapi cukup menenangkan untuk membuat perutnya tidak memberontak lagi.

Dan di antara hirupan yang tidak terlalu panas dan suara detik jam yang terus mengalir, Gemini akhirnya bicara.

“Siapa yang antar aku pulang tadi malam?”

Fourth menoleh, sejenak diam.

“Namanya Archen. Dia bilang teman kantor kamu. Aku gak kenal.”

“Oh,” jawab Gemini. Sekilas. Ringan. Tapi ada sedikit jeda dalam suaranya—sebuah celah yang cukup sempit untuk ditutup, namun lumayan luas untuk dibiarkan menganga.

“Dia ngenalin diri waktu nganter kamu. Katanya kalian datang bareng.”

“Iya,” sahut Gemini, pelan, sebelum kembali fokus pada sup yang sudah hampir habis. “Dia yang ajak.”

Setelah itu, tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Tidak ada yang mendesak untuk keluar. Tidak ada amarah. Tidak ada permintaan maaf. Hanya ruang di antara mereka yang terasa penuh oleh sesuatu yang belum sempat dibicarakan—dan mungkin tidak akan pernah dibicarakan.

Gemini selesai lebih dulu. Meletakkan sendoknya dengan bunyi kecil, lalu berdiri.

“Aku mandi dulu,” katanya. Suaranya netral, terlalu seimbang untuk disebut janggal, tapi cukup jelas untuk menjadi tanda bahwa pagi ini sudah selesai.

Fourth hanya mengangguk.

Dan Gemini berjalan pergi, tidak menoleh.

 

Udara di kamar mandi masih menguap hangat saat Gemini membuka pintu, rambutnya setengah basah, setengah kusut, dan kemeja putih yang terlalu longgar di tubuhnya jatuh dengan malas seperti hari yang tak ingin dimulai. Dia berjalan keluar dengan satu tangan menggosok belakang leher, kepala sedikit tertunduk, tubuhnya masih terasa ringan dari sabun tapi berat dari malam sebelumnya.

Tapi begitu dia belok ke ruang tengah, langkahnya berhenti.

Fourth duduk di sofa. Membelakangi jendela yang diserbu cahaya siang. Wajahnya tegak, tapi rautnya... ada sesuatu yang melesak dari matanya. Bukan marah, bukan takut—tapi kecewa yang begitu dalam sampai tampak seperti ia sedang berusaha menyamar sebagai dirinya sendiri.

Dan di seberangnya, duduk dua orang yang seharusnya tidak ada di sana.

Ayah.
Ibu.
Keduanya terlihat rapi untuk kunjungan tak direncanakan, dan itu cukup untuk membuat dada Gemini mengencang, seolah tubuhnya tahu sesuatu akan pecah bahkan sebelum kata-kata dilemparkan.

Gemini menarik napas pelan, lalu berjalan mendekat dengan langkah yang dibuat seimbang.
Bibirnya menyunggingkan senyum datar. "Tumben."

Ibunya mengangguk sopan. Tidak berkata apa-apa. Tapi mata ayahnya menatap seperti peluru yang sudah lama diarahkan ke dadanya.

“Ada apa?”

Ayahnya tidak menjawab dengan segera, hanya mengangkat iPad dari pangkuannya, menampilkannya di antara jari-jari seperti senjata yang sudah siap ditembakkan. Layarnya menyala, dan Gemini bisa melihat foto itu—satu potong gambar buram, kabur, tapi cukup tajam untuk menusuk kepalanya.

Itu dirinya.
Sedang mencium seorang gadis di sudut ruangan yang terlalu gelap untuk dikenali.
Kepalanya miring sedikit. Tangannya di pinggang perempuan itu. Matanya... terpejam.

Gemini menatap foto itu dengan rahang mengencang, tetapi dadanya... kosong. Amat kosong.

“Dari mana kamu semalam?” kata ayahnya, suaranya tenang seperti petir yang menahan gemuruh.
Gemini tidak menjawab.

“Dengan siapa?”

Diam.

“Mabuk?”
Ayahnya menoleh ke Fourth yang belum bergerak sejak tadi. “Dia pulang jam berapa?”

Fourth menatap lurus ke depan. Tidak ke Gemini. Tidak ke siapa pun.
“Lewat tengah malam.”

Dan dengan itu, ayahnya menoleh kembali, kali ini dengan nada yang lebih tajam.

“Kamu ciuman sama siapa?”

Masih tidak ada reaksi. Tapi mata Gemini... jatuh. Ke lantai. Ke sofa. Ke jemari Fourth yang mengepal di pangkuan seperti sedang menahan pecahan sesuatu yang tidak boleh tumpah.

“Kamu bangga, hah?”
Ayahnya meletakkan iPad di meja. Layarnya masih menyala. Masih menampakkan wajah Gemini yang tak ingat kapan pernah jadi seperti itu.

“Apa ini yang kamu sebut pernikahan? Kamu sengaja mau bikin berita?”

“Aku gak ingat,” jawab Gemini akhirnya. Pelan. Tapi tidak ragu.

“Bagus,” ayahnya mendesis. “Jadi kamu bahkan gak tahu siapa yang kamu cium? Luar biasa.”

Gemini menelan napasnya, tapi yang terasa hanya pahit.
“Aku mabuk. Aku gak sadar. Aku juga gak tahu foto itu diambil kapan.”

Ibunya baru bicara sekarang, suaranya ringan tapi jelas, seperti pisau yang tak ingin terlihat tajam.

“Tapi fotonya viral. Dan kamu, Gemini, adalah wajah perusahaan sekarang.”

Gemini menoleh. Matanya kosong. Tapi tangannya mengepal, dan pipinya perlahan memanas.

“Jadi ini semua soal wajah?”

Ayahnya berdiri. Tangannya menunjuk ke iPad.
“Ini soal tanggung jawab! Kamu menikah! Kamu punya peran! Dan Fourth—” dia menunjuk Fourth tanpa menoleh—“sudah cukup bertanggung jawab buat menjaga reputasimu. Tapi kamu…”

Gemini tertawa. Kering.
“Tentu. Fourth, si penjaga reputasi.”

Dia menatap Fourth. Tapi Fourth... tidak melihat kembali. Hanya diam. Mulutnya tertutup. Sorot matanya tetap datar. Tapi Gemini tahu: matanya hanya seperti itu kalau sedang berusaha tidak runtuh.

“Fourth?” suara Gemini naik. Bukan marah, tapi penuh. Terlalu penuh.

Fourth mengedip sekali. Lalu menghela napas. “Kamu gak ingat kejadiannya. Aku ngerti.”

Dan itu—itu yang membuat Gemini bergerak. Satu langkah ke depan. Satu hentakan ringan yang menimbulkan suara di lantai marmer.

“Jangan jadi orang paling sok ngerti di ruangan ini. Aku benci itu.”

Ayahnya memotong. “Cukup.”

Ayahnya memutar bola mata, lalu mengambil jaket. “Bereskan ini. Hari ini juga.”

Ibunya menatap Gemini dengan mata yang dingin. “Kamu tahu caranya.” Lalu mereka pergi. Begitu saja.

Dan Gemini berdiri di ruang tamu, napasnya berat, pipinya memerah karena sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Dia menatap Fourth sekali lagi. Kali ini dalam. Tajam.

“Kamu marah?.”

Fourth berdiri. Tapi tidak mendekat.
“Kenapa?”

“Karena aku begitu.”

Fourth tidak menjawab.

Dan dalam diam itu, Gemini tahu—kalau Fourth bicara satu kata saja malam ini, dia akan meledak.

Jadi lebih baik seperti ini.
Lebih baik... tidak ada yang bicara lagi.

Chapter 5

Summary:

The space between them softens—but only slightly. With old rumors resurfacing and public image cracking, Gemini and Fourth are forced to handle the mess together. Yet behind the careful damage control and polite exchanges, something quieter brews: questions that Gemini won’t ask, glances Fourth won’t hold, and a tension neither of them is ready to name.

After all, pretending is easier than admitting what they’ve both begun to want.

Notes:

SIAPA YANG MAKIN GAK SABAR NYAMBUT BARTH TANRAK ABIS DISPILL SEPOTONG FOTO BTS TRAILER PILOT?!?!?!?!??!
anywayyssss tadinya mau update hari kamis tapi karena seneng bgt jadiiiiii, selamat menikmatii semunyaaaaa!!! hope you enjoy this chapter. more tension and unspoken feelings coming soon.

Chapter Text

Gemini tak pernah benar-benar takut pada kemarahan.

Dia dibesarkan untuk tahu bahwa amarah adalah bahasa yang wajar dipakai orang dewasa ketika kecewa. Bahwa nada tinggi tak selalu berarti kehilangan kendali, bahwa tatapan tajam bukan ancaman—hanya koreksi yang sedikit menusuk.

Itu yang dia ingat.

Tapi tubuhnya... tubuhnya mengingat yang lain.

Setiap kali ayahnya menaikkan suara, bahkan setengah oktaf, ada sesuatu yang menegang di tengkuknya. Setiap kali namanya dipanggil dengan nada dingin, ada sesuatu yang menurun dari ulu hati ke perut—seperti alarm yang terlalu tua untuk dikenali tapi masih nyala.

Hari ini sama.

Foto. Skandal. Nada bicara ayahnya yang tajam tapi tetap tenang. Semuanya seharusnya biasa saja. Tapi tangannya dingin. Napasnya sesak. Dan di balik semua itu, ada rasa takut yang bahkan tidak bisa dia beri nama.

Bukan takut kehilangan uang. Bukan takut kehilangan posisi.

Tapi takut kehilangan... pegangan.

Karena kalau satu-satunya hal yang terasa nyata—rasa sakit, amarah, dan cintanya—ternyata cuma bayangan ketakutannya, lalu apa lagi yang sebenarnya benar?

Makanya dia marah pada Fourth.

Makanya dia menyimpan setiap perhatian kecil Fourth seperti racun: ingin dia tolak, tapi tak bisa berhenti menerima.

Makanya dia... lelah.

Karena Gemini bukan takut ditinggal.
Dia takut bahwa sejak awal, tidak ada apa pun yang benar-benar memilih untuk tinggal.

Gemini pun tertidur karena lelah. Dia jatuh ke dalam tidur seperti seseorang yang menyerah pada pikirannya sendiri—pada pertanyaan yang tidak selesai, pada amarah yang tidak punya jawaban. Sejak orang tuanya meninggalkan rumah dengan keheningan yang tajam dan suara pintu yang tertutup seperti perintah, Gemini mengurung diri di kamar. Dia tidak menangis, tidak pula marah. Tapi tubuhnya terlalu tegang untuk bisa disebut santai, dan pikirannya... berputar terlalu cepat untuk bisa disebut tenang. Dia tertidur dalam keadaan itu—setengah duduk di pinggir ranjang, masih mengenakan baju yang tadi dikenakan saat berhadapan dengan ayah dan ibunya.

Gemini terbangun bukan karena mimpi buruk, tapi karena rasa lapar yang anehnya terasa seperti... kehilangan. Dia duduk pelan di tepi ranjang, jari-jarinya menyentuh nadi di pergelangan tangan. Lelahnya belum selesai, tapi kepalanya lebih ringan sekarang. Dunia belum kembali utuh, tapi setidaknya, tak terasa sesak.

Dia turun ke dapur, langkahnya lambat. Kaus tipis dan celana tidur longgar yang tak sempat dia rapikan. Cahaya dari lampu gantung dapur menyinari lantai dengan lembut—dan di bawahnya, sosok Fourth duduk di meja, dikelilingi berkas cetak, laptop yang masih menyala, dan suara telepon yang dibisiki hati-hati.

“…rambutnya sekarang pendek. Gelangnya juga sudah lama tak terpakai. Aku yakin ini foto lama. Lagipula... semalam dia di bawah pengawasan.”

Gemini berhenti. Di balik lemari es, di ujung bayangan yang tak terlalu gelap, dia berdiri. Matanya menatap punggung Fourth. Posturnya sedikit membungkuk, satu tangan menekan pelipis, tangan lain menggulir layar laptop. Suaranya rendah, datar, tapi ada ketegangan di sana. Tegangan yang tidak pernah benar-benar ditunjukkan ke orang lain.

Gemini tahu. Dia sudah cukup lama hidup dengan Fourth untuk tahu kapan suara itu dipaksa tenang.

Dia mendekat. Pelan. Tapi cukuplah suara langkahnya memecah sunyi, membuat Fourth menoleh dengan gerakan cepat—terlalu cepat untuk disebut santai.

“Gemini,” katanya, terkejut. Lalu buru-buru bicara ke telepon, “Aku kabarin lagi nanti, ya.” Klik.

Seketika ruangan hanya berisi bunyi detak jam dan hembusan lembut AC.

“Kamu lapar?” tanya Fourth, suaranya kembali tenang. “Aku masakin sesuatu, ya.”

Tanpa menunggu jawaban, dia berdiri. Gerakannya otomatis. Tangannya mengambil panci kecil, sendok kayu, membuka kulkas, seperti ini bukan tengah malam. Seperti tidak ada amarah yang sempat menghancurkan pagi tadi. Seperti Gemini bukan orang yang muntah di bajunya kemarin malam.

Gemini tidak menjawab.

Dia hanya menarik kursi, duduk, dan menatap Fourth yang berdiri membelakanginya.

Lengan baju Fourth tergulung. Ada sedikit noda tinta di ujung jarinya. Rambutnya berantakan—mungkin sudah ditarik-tarik berkali-kali karena frustasi.

Dan entah kenapa, Gemini berpikir: kenapa kamu masih disini?

Bukan sebagai tuduhan. Tapi sebagai... kebingungan.

Kenapa kamu masih bertahan di dapur ini, jam segini, cari pembelaan buat aku, padahal kamu sendiri pernah bilang kamu nyerah?

Gemini meremas jari-jarinya di bawah meja.

Dia tidak tanya apa pun.

Karena malam itu, aroma kaldu pelan-pelan memenuhi ruangan, dan Gemini tidak siap menerima kehangatan yang dengan mudahnya datang dari orang yang seharusnya sudah pergi menyerah.

Piring sudah kosong. Gemini hanya menatap sisa kuah bening yang menggenang di dasarnya, jari telunjuknya menggurat-gurat garis halus di tepian keramik. Di dapur yang sunyi, hanya suara detik jam dinding dan klik lembut dari laptop Fourth yang terbuka di meja.

Dia mencoba untuk tidak peduli.

Mencoba mengabaikan kehadiran Fourth, juga fakta bahwa pria itu masih di situ—dengan kaus lengan panjang yang kusut di siku, wajah lelah, dan mata yang tidak mau berhenti menatap layar.

Tapi kegelisahannya terlalu hidup untuk diredam.

"Kenapa kamu belum tidur?" suara Gemini akhirnya keluar. Pelan, tapi sarat. Seperti sesuatu yang sudah terlalu lama disimpan dalam rongga dada.

Fourth tidak langsung menjawab. Hanya mengetik sekali dua kali, lalu berhenti. Menutup laptopnya dengan gerakan pelan dan teratur, lalu menoleh.

“Karena ayah kamu bilang masalah ini harus selesai hari ini.” Ucapannya datar. Tidak bernada dingin, tapi tanpa kehangatan juga. Seperti sebuah pernyataan yang tidak butuh tanggapan.

Dan justru itu yang membuat Gemini mencibir kecil. Dia mendengus, tertawa pendek—bukan karena lucu, tapi karena ada sesuatu yang terasa lucu dalam kepatuhan Fourth.

“Pantesan,” gumamnya. “Anak kesayangan ayah.”

Kata-katanya meluncur tajam, penuh sarkasme yang tidak dia sembunyikan. Dia tidak sedang ingin berbaik hati malam ini. Tidak setelah hari yang seperti tadi.

Fourth hanya menatapnya. Sekilas. Mata gelap itu tidak bereaksi. Hanya diam. Lalu kembali menunduk, menyalakan laptopnya lagi. Suara ketukan keyboard terdengar lagi—ritmis, mekanis.

Gemini menggigit lidahnya sendiri. Marah pada reaksinya, tapi juga marah karena tidak mendapat balasan.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang tidak nyaman.

Lalu Fourth berbicara, nyaris tanpa jeda dari apa yang sedang ia ketik.

“Masalahnya sudah hampir selesai.” Suaranya tenang. “Itu foto lama. Disebar oleh seseorang dari salah satu pihak yang kontraknya gagal ditandatangani. Mereka sengaja nargetin kamu. Supaya nama kamu jatuh... lagi.”

Gemini diam. Mendengarkan, tapi tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Rasanya lega, tapi juga... tidak sepenuhnya.

“PR team minta kita lebih banyakin PDA,” lanjut Fourth. “Katanya biar publik tahu rumah tangga ini... baik-baik saja. Soalnya kamu udah jarang muncul di publik bareng aku, dan aku juga udah gak ngantor lagi.”

Kepala Gemini menoleh cepat. Dia mendengus. Kali ini bukan tawa—tapi ketidakpercayaan yang nyaris melelahkan.

“Jadi itu solusinya?” tanyanya. “Tunjukin kemesraan ke publik biar mereka tutup mulut?”

Fourth tidak menjawab.

Gemini berdiri dari kursi. Gerakannya pelan, tapi penuh tekanan, seperti seseorang yang sedang menahan untuk tidak membalikkan meja.

“Kamu tahu aku gak suka itu,” katanya. “Semua yang nyata harusnya privat. Bukan untuk dipamerin. Bukan buat dikonsumsi orang-orang yang gak peduli.”

“Ini bukan soal suka atau enggak,” jawab Fourth. Tetap lembut. Tetap datar.

“Itu masalahnya,” balas Gemini, menatapnya sekarang, “Kamu selalu gitu. Lihat semuanya dari sisi fungsi. Dari sisi hasil. Padahal hubungan itu... bukan transaksi.”

Keheningan kembali turun. Lebih dingin kali ini.

Fourth menatap Gemini untuk beberapa detik. Tidak mengatakan apa-apa. Tapi ada sesuatu di matanya—sesuatu yang terlalu dalam untuk sekadar dijelaskan.

Gemini menghela napas.

“Kamu... jangan terlalu nurut sama ayah” katanya akhirnya. Lebih lirih, nyaris seperti permintaan. “Enggak semua hal yang dia bilang harus kamu patuhi.”

Fourth masih menatap. Tapi tidak membantah.

Dan dalam diam itu, Gemini merasa... lelah lagi. Lelah karena tidak tahu harus melawan siapa. Ayahnya? Dunia? Atau perasaannya sendiri?

Dia menarik napas dalam, lalu berkata pelan, hampir tidak terdengar:

“Aku... gak mau hubungan ini jadi iklan.”

Fourth tidak menjawab.

Tapi Gemini tahu, dari cara pria itu tidak memaksakan solusi, dari cara dia diam, bahwa—untuk malam ini—itu cukup.

 

Gemini terbangun karena suara ketukan di pintu kamarnya.

Tiga kali. Pelan. Tidak mendesak, tapi cukup konsisten untuk menembus mimpi yang tidak jelas bentuknya. Matanya membuka setengah, kelopak terasa berat, tubuhnya remuk seperti baru saja dikeluarkan dari kegelapan panjang yang tidak memberinya istirahat.

“Gemini,” suara Fourth dari balik pintu, datar tapi tidak dingin. “Makan siang udah siap.”

Dia mengerjap sekali, lalu duduk perlahan. Udara kamar masih hangat sisa tidur, kasurnya berantakan, selimut separuh melorot ke lantai. Dia melihat jam—dan menyadari sudah hampir pukul dua siang.

Helaan napas keluar. Pelan. Berat.

Seperti napas dari seseorang yang baru sadar dia melewatkan separuh hari tanpa tahu harus menyesal atau bersyukur.

Gemini melangkah ke luar kamar dengan kaus tipis dan celana tidur yang tidak benar-benar lurus. Rambutnya kusut, dan mata masih menyisakan kantuk.

Di meja makan, Fourth sudah duduk. Mangkuk sup hangat mengepul pelan, sendok tertata sempurna. Gemini duduk di seberangnya tanpa berkata-kata, dan Fourth menyodorkan satu mangkuk tanpa menatap langsung.

“Reaksi publik lumayan positif,” Fourth mulai. Suaranya tenang, ritmis seperti briefing yang sudah diulang dalam kepala. “Banyak yang bilang kamu sekarang kelihatan lebih settle. Udah nggak kelihatan lagi di club, atau nongkrong sama Pakin, Neo, Mark.”

Gemini hanya mengaduk supnya. Perlahan. Uapnya naik, menyentuh wajahnya seperti bisikan hangat yang terlalu akrab.

“Tapi... ya tetap ada yang negatif,” lanjut Fourth, kali ini suaranya sedikit menurun. “Sekali player, katanya, susah berubah. Mereka bilang kamu cuma lagi rebranding. Padahal sama aja.”

Gemini mendengus pelan dari balik sendoknya. Bukan karena lucu. Tapi karena terlalu lelah untuk marah.

“Sekarang malah berita lama tentang kamu naik lagi,” tambah Fourth, pelan, seolah tak ingin menyiram minyak ke bara yang belum mati.

Gemini tidak menjawab. Sup yang dia makan bahkan belum disentuh lagi sejak sendok pertama.

Kepalanya terasa padat. Bukan cuma karena makanan yang enggan masuk, tapi karena suara-suara yang tidak berhenti di dalam kepala. Dia tahu Fourth tidak bermaksud jahat. Tapi kata-kata itu—berita, publik, image—terasa seperti paku kecil yang ditanam di bawah lidahnya. Terlalu tajam untuk diucapkan kembali.

Begitu mereka selesai makan, Gemini membereskan mangkuknya ke wastafel tanpa banyak suara. Langkahnya lambat, tapi mantap. Seperti seseorang yang sudah memutuskan akan menyerah hari itu.

Fourth tidak bertanya ke mana dia akan pergi. Hanya menatap punggungnya sebentar, sebelum kembali menatap sisa makanannya sendiri—dingin, terlambat disentuh.

Gemini masuk kamar lagi. Kamar yang masih setengah gelap meski siang sudah tinggi.

Dia tidak menyalakan lampu. Hanya menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, menutup mata, dan berharap... semesta bisa memberinya waktu sebentar untuk berhenti berpikir.

Karena hari ini, dunia terasa amat keras.
Dan dirinya sendiri... merasa segalanya terdengar bising.

Lagi- lagi saat tengah malam Gemini terbangun, kehausan. Seperti kebiasaan, tubuhnya langsung duduk dan mengumpukan tenaga untuk mengambil air minum di dapur. Namun gerakan Gemini terhenti di tengah lorong, kakinya yang telanjang membeku di atas marmer dingin. Di depan sana, Fourth tertidur di sofa, satu tangan masih menggenggam lembar dokumen yang setengah terlipat, wajahnya tampak lelah—tapi tetap rapi, sepertisengaja dibuat tak bercela.

Meja kopi penuh kertas: laporan evaluasi, draft kerja sama, cetak biru proyek properti yang tengah naik daun. Semua dengan catatan kecil tulisan tangan Fourth—rapi, familiar, sedikit miring ke kanan. Seperti milik Gemini, tapi bukan.

Di layar laptop yang masih menyala, spreadsheet terbuka. Ada nama klien. Ada tenggat. Ada highlight di bagian yang harusnya Gemini urus.

Gemini tahu dokumen-dokumen ini.

Seharusnya... ini miliknya.

Tapi sudah dua hari dia absen. Sungguhan sumpek untuk berpura-pura profesional. Amat bising dunia untuknya kembali duduk dan menjawab puluhan email.

Fourth tidak pernah menyinggungnya. Tidak juga memaksa.

Dia hanya... mengambil alih. Menambal celah. Menyambung rantai yang putus. Mengirim semua dokumen ke asistennya Gemini dengan identitas anonim, agar orang kantor tetap percaya Gemini masih mengontrol semuanya.

Gemini diam. Menatap.

Ada secangkir kopi yang sudah dingin di meja. Ada jaket yang tidak sempat disampirkan. Dan di antara semua itu, ada sisa-sisa pekerjaan—semua tentang dirinya.

Tentang namanya.

Tentang reputasinya.

Tentang hidup yang seharusnya dia jalani.

Gemini menggertakkan gigi. Perasaan di dadanya seperti gelas yang retak dari dalam—tapi belum sepenuhnya pecah.

Dia melangkah ke arah sofa. Pelan. Tidak tahu ingin apa.

Hanya... ingin tahu kenapa masih ada seseorang yang tetap tinggal, bahkan setelah dia ujarkan kata kebencian untuknya lalu dimuntahi secara harfiah.

Fourth bergeming. Napasnya dalam, ritmis. Jemari masih menggenggam kertas seolah kalau dia lepas, semuanya akan runtuh.

Gemini ingin bicara.

Tapi yang keluar malah gumaman lirih, “Buat apa sih… segininya?”

Dia duduk di lantai, di samping sofa. Tidak menyentuh, hanya memandangi dari bawah. Detak jantung Fourth terdengar pelan, nyaris menyatu dengan dengung kulkas di dapur.

“Kalau kamu lihat aku cuma sebagai pengganti Phuwin, kenapa kamu nggak ninggalin aku aja?”

Suara itu tak punya sasaran. Tak punya harapan dijawab.

“Atau… kamu emang nggak bisa ninggalin karena kamu masih dihantui bayangannya?”

Gemini menatap ke bawah. Jemarinya mengusap lantai dingin.

“Apa pun alasannya... aku cuma pengingat. Bukan orang yang kamu lihat. Cuma sisa.”

Dan meski hatinya menolak mengakuinya—air mata di pelupuknya membocorkan segalanya.

Tapi sebelum dia berdiri, sebelum dia menarik kembali semua pertanyaan yang tak berani dia lemparkan, pikirannya menggumam satu hal lagi—lebih sunyi dari napasnya sendiri:

"Atau ini semua cuma karena dia amat peduli dengan perusahaan?"
"Memang ya, Fourth... budaknya Titicharoenrak."

Gemini menggigit bibir bawahnya, keras.

"Kamu sampai sebegitunya, begadang, bersihin semuanya, gantiin aku kerja—cuma biar image keluarga tetap aman. Apa kamu gak punya hidup lain? Gak punya dunia lain selain semua ini?"

Ada sesuatu yang mirip iba menyelusup ke dada Gemini.
Bukan hanya karena lelah. Tapi karena di titik ini, dia juga bingung siapa sebenarnya yang sedang ditawan oleh keluarga ini.

Dia menatap Fourth sekali lagi, lalu perlahan berdiri.

Pergi ke dapur.
Air putih diisi penuh.
Diminum setengahnya.
Lalu dia kembali ke kamarnya, tanpa satu kata pun.

Tapi malam itu, suara detik jam terdengar lebih kencang.
Dan satu wajah yang tertidur di sofa terus tinggal dalam kepalanya—lebih lama dari yang dia mau akui.

 

Esok paginya, rumah itu terasa terlalu sunyi, bahkan untuk ukuran dua orang yang nyaris tak pernah benar-benar berbicara. Tak ada suara air dari pancuran kamar mandi, tak ada langkah kaki Gemini yang biasanya terdengar lebih cepat dari alarm. Hanya suara sendok Fourth yang mengaduk panci sup di dapur—ritual yang ia lakukan dengan tenang meski tahu tak akan ada yang menyentuh hasilnya hari ini.

Gemini masih di balik pintu kamarnya. Dan tak seperti biasanya, kali ini dia tidak beranjak keluar bahkan setelah aroma kaldu hangat menyebar ke lorong. Bahkan ketika ketukan pelan datang di pintunya, dua kali, tiga kali—berhenti—kemudian datang lagi dengan suara Fourth yang memanggil namanya tanpa desakan.

“Gemini.”

Gemini menarik selimut sampai ke dagu. Tubuhnya setengah meringkuk, mata terbuka lebar memandangi langit-langit kamar, tapi pikirannya tidak benar-benar berada di sana.

Bukan soal berita yang beredar, bukan soal reputasinya yang kembali jadi bahan pembicaraan—untuk itu, dia sudah terlalu kebal. Yang tidak bisa ia abaikan justru satu hal yang tampak sepele:

Wajah Fourth semalam, ketika tertidur di sofa.

Cahaya dari layar laptop yang masih menyala memantulkan gurat lelah di rahangnya, tangan yang terlipat di dada, dada yang naik turun pelan seperti sedang menjaga sesuatu yang tidak ingin runtuh. Jemarinya masih menggenggam file pekerjaan Gemini yang belum tersentuh, dan napasnya... entah mengapa terdengar akrab. Seolah Gemini pernah tidur di bawah ritme napas itu, terlalu lama sampai tubuhnya menghafalnya.

Gemini bahkan ingat detil kecil yang tak seharusnya ia perhatikan: rambut Fourth yang sedikit berantakan, garis halus di bawah matanya, dan pipi yang tampak lebih pucat dibanding biasanya. Ia terlalu tahu—Fourth pasti belum tidur sama sekali semalaman.

Dan anehnya... ia tidak keberatan diingatkan akan itu.

Bayangan itu berputar di kepalanya seperti kaset tua yang macet, mengulang adegan yang sama berkali-kali, sampai Gemini merasa tubuhnya tak bisa bergerak. Seolah sesuatu sedang menahannya dari dalam—bukan rasa sakit, tapi sesuatu yang lebih menakutkan: perasaan yang tak bisa ia beri nama.

Jadi dia menolak keluar kamar. Bukan karena dia malas. Tapi karena dia tidak tahu harus menatap Fourth seperti apa.

Karena jika Fourth bertanya kenapa, dia tidak punya jawaban.

Karena jika Fourth memintanya bicara, dia takut akan mengatakan sesuatu yang terlalu jujur.

Ketukan di pintu kembali datang. Kali ini lebih pelan. Lebih sabar.

“Gemini.”

Tapi dia tetap diam.

Dan akhirnya, ketukan itu berhenti. Suara langkah menjauh. Panci sup dibiarkan di atas kompor, perlahan mendingin.

Gemini menarik napas dalam-dalam, tapi rasanya tetap sesak. Ia tak menangis. Tak merasa perlu. Tapi matanya tetap berat, tubuhnya lelah bukan karena kurang tidur, tapi karena terlalu banyak yang disimpan dalam dada.

Akhirnya, dia tertidur kembali. Tenggelam dalam hangat selimut yang terasa terlalu sunyi untuk disebut rumah. Tidak bermimpi. Tidak bergerak.

Dan seperti dugaan, mungkin karena kebiasaannya beberapa hari terakhir ini, dia terbangun tengah malam—sendirian, dengan perut yang kosong dan tenggorokan yang kering. Gelap sudah jatuh sempurna, rumah senyap, dan hanya cahaya dari kulkas yang akan menyambutnya jika dia cukup berani membuka pintu kamar sekarang. Namun desakan lapar dan haus, lebih kuat dari bayangan ketakutan yang merayap, mengalahkan bisikan bantal yang memeluk.

Maka, dengan keberanian yang dipaksakan, dia bangkit dari rengkuhan kasur. Udara malam yang dingin menyentuh kulitnya, tapi langkahnya tetap terarah menuju dapur. Bukan untuk makan berat yang terasa terlalu membebani di tengah malam, melainkan sekadar untuk mencari kehangatan dari secangkir teh. Membuat teh chamomile sangatlah cepat dan mudah, sesederhana melarutkan kantung teh ke dalam air panas dan menunggu aroma herbalnya menguap perlahan. Dengan memegang mug panas, dia memutuskan untuk membawanya ke kamar, tidak ingin berlama-lama sendirian di tengah keheningan dapur yang terasa terlalu luas.

Tetapi, dalam perjalanan singkat itu, saat melewati ruang kerja Fourth, matanya menangkap celah kecil di pintu yang sedikit terbuka. Sebuah isyarat, atau mungkin hanya kebetulan, yang membuat langkahnya melambat. Ada magnet yang tak terlihat menariknya, dorongan aneh untuk melihat apa yang disembunyikan di balik celah cahaya itu.Tanpa sadar, kakinya berbelok, memutuskan untuk mendatangi celah cahaya yang mengundang di sana.

Ruang kerja rumah sudah gelap setengahnya. Hanya cahaya dari layar laptop Fourth yang menerangi sebagian wajahnya. Jemarinya bergerak cepat, mulutnya sesekali bergerak membaca pelan laporan dari tim PR, email dari firma hukum, bahkan notulensi meeting internal.

Gemini berdiri di ambang pintu, tidak bersuara. Punggung Fourth membelakangi cahaya, membuat tubuhnya tampak lebih sunyi dari biasanya. Di atas meja berserakan dokumen cetak, catatan tangan, coretan stabilo—semuanya tentang satu hal: membersihkan nama Gemini.

Dia melihat highlight merah di laporan investigasi internal. Foto itu—asalnya, metadata, waktu pengambilan. Tabel perbandingan bentuk rambut Gemini dan warna gelang kulit yang sudah lama tidak ia pakai.

Semuanya—hasil kerja Fourth.

Tidak ada yang menyuruh Fourth. Tidak ada yang mengawasi. Tapi dia tetap duduk di sana, menolak tidur, menolak menyerah pada rasa letih yang jelas tergurat di pundaknya.

Gemini baru sadar betapa diam Fourth bisa menjadi bentuk paling dalam dari perasaan.

Bukan pujian, bukan pelukan, bukan pengakuan—tapi keberadaan. Dan tindakan.

Dia bersandar di kusen pintu, menyentuh bagian dada yang tiba-tiba terasa berat. Sesuatu dalam dirinya runtuh—bukan karena terluka, tapi karena dipeluk tanpa disentuh.

Dia mengira Fourth akan membiarkannya jatuh. Tapi ternyata, pria itu sibuk membentangkan jaring diam-diam.

Gemini tidak tahu apakah Fourth peduli karena cinta atau karena kontrak. Tapi malam ini, dia memutuskan untuk tidak peduli.

Toh perasaan adalah hal yang bisa dipalsukan seperti senyuman. Tapi kehadiran... kehadiran tidak bisa.

Gemini berjalan perlahan ke dalam ruangan. Tanpa bicara, dia menyentuh bahu Fourth.

Fourth menoleh, sedikit terkejut.

"Aku bikin teh," kata Gemini datar. "Buat kamu."

Fourth menatapnya. Lama. Tapi tidak menjawab.

Gemini duduk di sofa di sisi ruang kerja itu. Mengamati Fourth diam-diam sambil menyunggingkan senyum tipis.

Lalu dalam hati, tanpa drama, hanya satu kalimat:

"Kalau kamu mau pakai aku sebagai pengganti... pakai saja. Tapi kali ini, aku yang akan untung."

Lalu kembali bangkit untuk melanjutkan perjalanannya menuju kamar, untuk lagi-lagi merenung.

Gemini bersandar di sandaran kursi, matanya menatap langit-langit kamar yang tidak pernah benar-benar gelap karena lampu koridor luar selalu menyelinap lewat celah pintu. Di atas selimut yang hanya ditarik sampai pinggang, tubuhnya terasa berat, tapi bukan karena kantuk—melainkan karena sesuatu yang tidak kunjung bisa ia lepas dari dalam pikirannya.

Fourth.

Nama itu berputar di kepalanya seperti nada dari lagu yang tidak selesai. Bukan melodi cinta, bukan irama bahagia, tapi dentingan kecil yang nyangkut di telinga—halus, mengganggu, dan terlalu familiar untuk diabaikan.

Dia pikir dia sudah cukup kebal.

Setelah berapa? Sepuluh? Lima belas? Belasan wajah di sudut-sudut bar, ciuman yang terlalu basah atau terlalu kering, tangan yang terlalu cepat atau terlalu ragu—semuanya menguap begitu saja. Dia mencari sesuatu, tapi tak pernah menemukan. Dia mencari koneksi yang bisa menghentikan gemuruh di kepalanya, tapi yang datang hanya keheningan sesudahnya—hening yang tidak menenangkan, justru memekakkan.

Ternyata, dari semua tubuh yang pernah dia dekati, dari semua bibir yang pernah menyentuh kulitnya... tidak ada satu pun yang benar-benar membuatnya merasa dipeluk. Tidak ada yang membuatnya ingin tinggal. Tidak ada yang terasa seperti rumah.

Dan sekarang, dia duduk di sini—mengingat bagaimana Fourth bisa, hanya dengan diamnya, membuat Gemini merasa... diperjuangkan.

Bukan dengan kata-kata.

Bukan dengan hadiah atau janji atau pelukan tengah malam.

Tapi dengan hal kecil—dengan cara Fourth tetap di rumah meski diminta pergi. Dengan cara dia menyisir kekacauan satu per satu saat Gemini bahkan belum sanggup membuka mata. Dengan cara dia melipat baju Gemini tanpa bertanya kenapa bajunya bisa tercecer di ruang tamu jam tiga pagi.

Gemini mendengus kecil. Tangan kirinya naik, mengusap alis, seperti mencoba menyeka logika yang mulai kabur.

Ternyata, sesederhana itu.

Yang dia cari bukan siapa yang bisa buat dia jatuh cinta.

Tapi siapa yang tetap tinggal ketika dia sedang tidak bisa mencintai siapa-siapa—bahkan dirinya sendiri.

Dan sialnya... orang itu adalah Fourth.

Jadi ya, kalau benar Fourth selama ini cuma melihatnya sebagai bayangan dari seseorang yang sudah tidak ada, kalau Fourth menatapnya dan melihat pantulan Phuwin yang lebih baik... ya, biar saja.

Kalau itu cara dia bisa tetap di sisi Fourth, kalau itu bisa jadi pintu masuk agar dia juga diperjuangkan—maka tidak masalah.

Karena untuk sekali ini, Gemini siap bermain pakai aturan orang lain.

Dan kali ini, dia akan pastikan dia yang menang.

 

Chapter 6

Summary:

The house is quiet, but the tension lingers thick in the air. Gemini finds himself doing something unfamiliar—taking care of Fourth. The supposed distance between them bends slightly, shaped by unsaid comfort and shared space. But the visit of Gemini’s parents brings back old weight: demands, public image, reminders of the facade they both still wear. Fingers clasped tighter than planned, glances exchanged longer than necessary. Something fragile builds here, in silence and small gestures.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Pagi itu terasa ganjil bahkan sebelum matahari sepenuhnya naik di balik jendela kamar.

Gemini terbangun lebih lambat dari biasanya—mata masih berat, kepala sedikit pening, leher kaku karena tidur dengan posisi yang salah. Tidak ada suara langkah kaki di lorong luar, tidak ada aroma kopi yang biasanya samar tercium dari dapur. Tidak ada bunyi alat masak, tidak ada denting gelas atau suara panci dipindah pelan di atas kompor seperti biasanya.

Hening.

Dengan gerakan malas, Gemini menyibak selimut, duduk di pinggir ranjang, memandang kosong ke lantai kayu yang dingin. Ada rasa berat di dadanya—campuran antara enggan dan tanggung jawab—karena hari ini, setelah hampir seminggu absen, dia harus masuk kantor lagi. Mau tak mau. Rapat manajemen. Proyek yang sudah berlarut.

Dia berdiri, berjalan menuju lemari, membuka pintunya dan baru sadar—tidak ada setelan yang digantung rapi di luar seperti biasanya. Tidak ada dasi yang sudah dipilih. Tidak ada tablet di atas nakas, terisi penuh. Semua yang biasa Fourth siapkan untuknya... kosong.

Gemini diam sejenak, memandangi ruang kamar yang terasa sedikit lebih sepi daripada biasanya. Helaan napas keluar pelan dari hidungnya.

“Mungkin dia lagi sibuk.”

Namun terasa aneh juga. Fourth biasanya sudah mondar-mandir di luar kamar bahkan sebelum Gemini terbangun, menyiapkan sarapan, cek email, cek jadwal. Sekarang, tak ada suara apa pun.Hanya dengungan tipis AC yang dingin, menyisakan udara kosong yang membuat kulit Gemini sedikit merinding.

Dengan sedikit gelisah dia memilih pakaiannya sendiri—setelan hitam sederhana, ramping, tak berdasi. Jemarinya bergerak mekanis, meluruskan kerah, mengancingkan kemeja. Tubuhnya berjalan ke dapur untuk menemukan meja makan yang kosong. Tidak ada piring. Tidak ada kopi. Tidak ada suara air dispenser. Dapur sepi, bersih, rapi. Kulkas berdengung pelan, itu saja.

Gemini memicingkan mata.

“Fourth... di mana ya?”

Matanya otomatis melirik ke arah ruang kerja Fourth. Pintu putih itu tertutup rapat. Tidak nampak ada celah. Biasanya Fourth membiarkannya sedikit terbuka, agar suara keluar-masuk... sekarang seperti dipagari dinding. Seolah mengurung isinya rapat-rapat.

Aneh.

Tapi Gemini hanya diam sebentar di tempatnya, lalu menghela napas panjang.

“Mungkin dia masih tidur,” gumamnya, mencoba menepis rasa ganjil yang menjalari tengkuk. “Mungkin... dia gak mau aku ganggu pagi ini.”

Meski dalam hati, Gemini tahu—itu bukanlah kebiasaan Fourth.

Langkahnya beranjak ke pintu depan. Sepatu disambar seadanya. Kunci mobil, ponsel.

Kepalanya penuh. Enggan. Rumah ini mendadak terasa asing pagi ini, seperti panggung yang kekurangan satu pemain utama.

Dan rasa itu—ganjal, mengusik—tidak hilang meski dia melaju ke kantor, meski masuk ruang rapat, meski duduk dan berpura-pura menyimak deretan slide yang berganti cepat.

Bahkan sebelum kursi bawahnya hangat, ponselnya bergetar pelan di saku jas.

Nama Fourth muncul di layar.

Gemini menoleh sebentar ke lawan bicaranya, mengangkat tangan sedikit sebagai isyarat permisi, lalu melangkah keluar ruangan. Dia tidak tahu kenapa langkahnya sedikit lebih cepat dari biasanya.

Suara Fourth terdengar begitu saja, serak, berat. Ada jeda kecil di awal kalimatnya yang tidak biasa.

“Tablet kamu... ketinggalan di ruang kerja. Aku pakai kemarin. Lupa kembaliin.”

Gemini tidak langsung jawab. Hanya memicingkan mata, mendengar nafas di seberang yang sedikit terseret.

“Kamu sakit?”

Jedanya lama. Tapi akhirnya, jawaban Fourth datang. Lurus. Datar. Tapi terdengar lebih seperti bantahan yang tidak meyakinkan.

“Gak parah. Bentar lagi juga baikan.”

Gemini menghela napas. Pelan.

“Tabletnya gak penting hari ini. Aku bisa tanpa itu.”

“Oke,” balas Fourth. Suaranya turun setengah nada. “Semoga meetingnya lancar.”

Lalu telepon ditutup. Tanpa pamit. Tanpa tanya balik.

Gemini masih berdiri di luar ruang rapat, menatap layar ponselnya yang kini gelap.

Sakit, ya?

Dia menarik napas dalam-dalam. Rasanya aneh—kekhawatiran yang tiba-tiba mampir seperti tamu asing. Tapi gemuruh itu tetap tinggal di dadanya, bahkan saat dia kembali duduk, atau saat satu per satu materi presentasi ditampilkan di layar besar.

Tak sampai sepuluh menit, dia mengangkat tangan.

“Maaf, bisa dipercepat? Ada keadaan darurat di rumah.”

Orang-orang di ruangan menoleh. Terkejut. Tapi tidak ada yang bertanya lebih lanjut.

Setelah rapat selesai Gemini langsung berdiri, merapikan jasnya, lalu melangkah keluar. Pikirannya sudah tidak tertambat di kantor, tidak di proyek yang menumpuk.

Dia hanya berpikir satu hal:

Suara Fourth—bindeng, pelan, seperti seseorang yang sudah lama menyembunyikan lelah.

Dan itu... cukup untuk membuat Gemini pulang.

Gemini membuka pintu perlahan. Hanya suara lembut dari engsel yang bergerak. Tidak ada musik, tidak ada suara TV, hanya aroma samar eucalyptus dari diffuser di pojok ruangan dan udara hangat yang terlampau tenang. Ruang tengah remang, tirai hanya terbuka separuh. Dan di sofa—terduduk Fourth.

Badannya tertutup selimut, dengan mug putih yang mengepul di tangannya. Entah teh, air madu, entah apapun yang sepertinya dia pikir akan cukup menghibur tenggorokannya. Tapi bukan itu yang pertama kali menarik perhatian Gemini. Pipi Fourth memerah. Mata sayunya sedikit bengkak di ujung, seolah kesusahan untuk membuka sepenuhnya. Dan wajahnya, yang biasanya terkendali, tampak pelan-pelan kehilangan warnanya.

Fourth jarang sakit. Atau mungkin... dia memang tidak pernah terlihat rapuh.

Atau mungkin Gemini yang tidak pernah tinggal cukup lama untuk melihatnya seperti ini.

Fourth menoleh, sedikit terkejut. Suaranya kecil, serak.

“Kamu udah pulang?”

Gemini mengangguk, menutup pintu di belakangnya. “Ngantornya sebentar. Kamu sakit.”

Ada jeda kecil, seolah Fourth tidak siap menerima kalimat itu sebagai alasan. Tapi dia tidak membantah.

“Oh,” katanya pendek, matanya melirik tas kecil di tangan Gemini. “Itu obat?”

“Iya.”

“Taruh aja dulu. Aku belum makan nasi.”

Gemini diam. Sedetik. Dua detik. Lalu akhirnya mengangguk, pura-pura paham padahal jantungnya masih sibuk mengulang satu fakta kecil: Fourth demam, dan dia belum makan.

Masalahnya...

Gemini tidak bisa masak nasi.

Dia tak pernah menyentuh rice cooker sejak pindah ke rumah ini. Selama ini Fourth yang mengurus semua, bahkan tahu takaran air dan beras tanpa melihat takaran sama sekali.

Gemini mendecak kecil. “Aku pesen makanan online, ya.”

Fourth hanya mengangguk lagi. Lemas. Mug-nya hampir kosong.

Gemini berjalan menuju kamarnya, hendak mengganti jas dengan kaos dan celana longgar. Sesuatu yang cukup nyaman untuk dipakai duduk tanpa niat beranjak. Setelah kembali ke ruang tengah, dia berjalan pelan ke arah sofa. Tidak bicara. Tidak memaksa. Hanya duduk di karpet, dekat kaki Fourth, punggungnya bersandar ke sisi sofa.

Sejenak, mereka tidak bicara. Hanya duduk, ditemani suara notifikasi dari aplikasi pesan makanan.

Fourth melirik ke bawah. Ada senyum kecil yang muncul begitu saja, samar, bahkan mungkin bukan karena sesuatu yang lucu.

“Kamu mirip anjing,” gumamnya. “Yang ditinggal majikannya, terus nunggu di depan pintu.”

Gemini melirik tajam. “Kamu demam, tapi masih bisa ngejek.”

Fourth hanya tertawa pelan. Suara itu serak. Lalu hilang. Wajahnya sedikit menggelap saat embusan AC menyentuh kulitnya.

Gemini berdiri, melangkah pelan ke dapur, membiarkan keheningan menempel di langkahnya. Di lemari es bagian bawah—tempat Fourth biasa menyimpan segala hal darurat rumah tangga—dia mengambil kantong kain kecil, lalu menuangkan air hangat dari keran kamar mandi dekat dapur ke baskom kecil. Tangannya menguji suhunya sebentar, memastikan kehangatannya pas, tidak terlalu panas, sebelum kembali ke ruang tengah.

Fourth masih terbaring di sofa, napasnya teratur tapi berat, pipinya merah lembut di bawah sorot lampu malam yang temaram.

Gemini berlutut perlahan di sisinya, pelan meletakkan kompres hangat itu di atas dahi Fourth, hati-hati seperti menyentuh sesuatu yang nyaris rapuh.

Tapi Fourth bergerak kecil. Alisnya berkerut samar, entah karena rasa tak nyaman, entah hanya gerak refleks tubuh yang demam. Tangannya terangkat setengah sadar, mencari, lalu menggenggam pergelangan Gemini—erat, tapi tak menyakitkan. Matanya masih terpejam. Jemarinya dingin, namun genggamannya... hangat. Lembut. Berat oleh sesuatu yang tak diucapkan.

Dan lama bertahan di sana, seolah menahan Gemini untuk tidak pergi jauh.

Gemini tidak bergerak.

Tangannya tetap di situ. Kompres tetap menempel.

Dia menatap wajah Fourth dari dekat. Rambutnya sedikit berantakan. Keringat di pelipis. Napas yang tertahan.

Dan Gemini... gemetar.

Tangannya yang bebas terangkat, pelan, menyentuh ubun-ubun Fourth, lalu turun mengusap rambutnya dengan gerakan pelan. Memberikan gerakan yang menenangkan. Fourth tidak membuka mata. Tapi genggamannya tidak longgar. Dan ketika akhirnya napasnya melambat, jatuh ke ritme yang berat dan dalam, Gemini sadar Fourth tertidur.

Makanan belum datang. Obat belum diminum. Tapi tak ada satupun yang Gemini pedulikan. Karena kali ini... Fourth tidur dalam genggamannya.

Dan itu—lebih dari cukup untuk sementara waktu.

 

Makanan datang tidak lama setelah Fourth benar-benar tenggelam dalam tidur.

Gemini mendengar suara bel pintu, pelan tapi cukup keras untuk menggetarkan ketenangan yang sempat terbentuk di ruang tengah. dIa perlahan menarik tangannya dari genggaman Fourth, seolah takut membangunkan seseorang yang sedang bermimpi di tepi jurang. Genggaman itu tidak berat, tapi terasa berarti. Seolah ada yang tak selesai jika ia benar-benar melepaskannya.

Langkahnya ke pintu lambat, seperti sedang belajar berjalan lagi setelah kehilangan rasa di kakinya. Suara plastik makanan, ucapan terima kasih yang nyaris tak terdengar, dan bunyi pintu tertutup—semua berlalu seperti adegan dalam film yang tidak ingin dia tonton sepenuhnya.

Dia menaruh makanan di meja makan. Membuka kotaknya satu per satu. Nasi masih hangat, uapnya naik perlahan ke udara. Sup ayam dengan jahe, lauk yang ringan, dan irisan buah di kotak kecil. Semuanya sederhana, tapi terasa asing di rumah yang akhir-akhir ini terlalu senyap.

Gemini berdiri sejenak di depan meja. Menatap makanan yang tidak akan segera dimakan. Mencoba menakar, seberapa lama Fourth akan tertidur dalam kondisi seperti itu. Lalu pandangannya bergerak—kembali ke sofa.

Fourth masih tertidur. Selimutnya sedikit tergeser dari bahu, nafasnya dalam dan berat, tapi tidak tergesa. Dahi masih mengilat lembab, meski kompresnya sudah tak lagi sehangat sebelumnya.

Gemini berjalan kembali ke ruang tengah. Duduk perlahan di karpet, menyandarkan dirinya ke sisi sofa seperti sebelumnya. Dia tidak bicara. Tidak mencoba membangunkan. Hanya diam. Menunggu.

Jemarinya bermain di tepi selimut. Memperbaiki lipatannya. Menyentuhnya sejenak. Dia bahkan tidak sadar bahwa napasnya mengikuti ritme napas Fourth. Lambat. Dalam. Menenangkan—tapi juga mengganggu, karena sangat selaras untuk disebut kebetulan.

Dan ketika Fourth menggeliat kecil dalam tidurnya, mengerutkan alis seolah sedang mengingat sesuatu yang membuat dadanya sesak, Gemini hanya menatap. Karena ini—momen rapuh ini—terasa seperti hadiah yang tak pernah ia minta. Dan jika Fourth adalah seseorang yang bisa tidur di sofa tanpa mengganti baju kerja, karena kelelahan mengurus apa yang seharusnya bukan tanggung jawabnya, maka Gemini adalah orang yang kali ini... ingin menunggunya bangun. Sekadar untuk memastikan bahwa meski tubuhnya panas, napasnya masih teratur.

Suara alarm microwave yang menggema, bau sup ayam yang perlahan menguar memenuhi ruangan—semuanya cukup untuk mengusik tidur yang tidak benar-benar dalam.

Fourth mengerjap pelan. Gerakan matanya lambat, seperti baru kembali dari tempat yang jauh dan berat. Nafasnya masih hangat di tenggorokan, dada naik turun tidak stabil, tapi dia sadar akan satu hal: ada aroma yang membangunkannya, dan sebuah kehangatan samar di sisi tubuhnya yang menghilang saat dia mencoba bergerak.

Kepalanya terasa ringan di satu sisi dan berat di sisi lainnya. Tapi matanya mengikuti arah bau, lalu menangkap sosok Gemini yang sedang sibuk menuangkan sup ke mangkuk di meja.

Fourth menegakkan tubuhnya. Tidak sepenuhnya duduk—hanya bergeser dari posisi tidurnya yang setengah menggulung. Selimut jatuh sedikit ke pinggang, dan udara langsung menyentuh tengkuknya yang lembap.

“Gemini.”

Suara itu serak. Hampir tidak terdengar. Tapi cukup untuk membuat Gemini menoleh.

“Kamu bangun?” Gemini bicara pelan, hampir seperti bisikan, takut mengusik ketenangan yang baru saja dibangun kembali.

Fourth mengangguk lemah. Gerakannya lambat, tapi matanya tidak lepas dari Gemini.

Gemini berdiri dan mengambil mangkuk sup, membawanya ke ruang tengah. Tapi Fourth tidak mengambilnya langsung.

Tangannya—yang sedikit dingin—menarik ujung lengan Gemini begitu saja. Ringan. Tapi cukup untuk membuat langkahnya tertahan.

“Duduk dulu,” gumam Fourth. Bukan perintah. Tapi juga bukan permintaan. Lebih seperti... sesuatu yang sudah sering terjadi, meski Gemini sendiri tak mengingat kapan.

Gemini duduk di sisi sofa, masih memegang mangkuk.

Fourth mendekat pelan. Tidak mengatakan bahwa dia lapar atau dia lelah.

Tapi tangannya bergerak—mencari sisi hangat dari baju Gemini, seolah dengan menyentuh itu saja, dia bisa memastikan bahwa semuanya masih stabil. Bahwa dunia tidak berputar terlalu cepat hari ini.

Saat Gemini menyodorkan sendok, Fourth memakannya sedikit demi sedikit. Tidak bicara. Tapi tidak juga ingin selesai cepat-cepat. Ada jeda di antara suapan, dan setiap jeda itu diisi oleh kehadiran Gemini yang diam saja di sebelahnya.

Ketika tangannya gemetar sedikit, Gemini membantu memegangi mangkuknya tanpa diminta.

Dan ketika suapan terakhir ditelan, Fourth bersandar pelan ke bahu Gemini. Bukan sepenuhnya, hanya bagian sisi kepala, ringan dan panas, seperti sentuhan yang tidak ingin dikatakan keras-keras.

Dan Gemini... membiarkannya.

Diam-diam berharap waktu berhenti cukup lama di ruang yang terlalu sunyi ini, agar tidak ada yang perlu dibicarakan, tidak ada yang harus dijelaskan. Hanya tubuh yang lelah. Nafas yang hangat. Dan seseorang yang tinggal.

Saat senja mulai merambat, Fourth, yang sejak pagi sudah terlihat lesu kini duduk dengan tubuh lunglai, matanya separuh tertutup, napasnya lambat dan hangat di antara sela bibir yang kering. Gemini, masih di sampingnya, memegangi botol kecil berisi obat dan segelas air yang mulai kehilangan kehangatannya. Dia tak bicara banyak—hanya menatap Fourth dengan cemas yang dikunci rapat-rapat, seperti takut kalau suara bisa mengusik sisa ketenangan yang ada di dalam ruangan itu. Fourth akhirnya menyerah juga, meminum obat dengan satu tegukan, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Kepalanya kembali berat, lebih berat dari sebelumnya, dan matanya... perlahan jatuh tertutup, tapi bukan dalam tidur yang lelap.

Gemini menatapnya lama. Tidak tahu apakah dia boleh pergi, atau sudah cukup memberi. Tapi ada sesuatu di dalam sorot mata Fourth—yang walau samar, tetap bisa terbaca—yang memintanya untuk tetap tinggal. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan keberadaan. Dengan jarak yang tak dia kurangi sejak tadi. Jadi dia tidak pergi, hanya duduk. Diam. Sampai napas Fourth mulai melambat. Sampai tubuhnya merespons obat yang baru saja masuk. Sampai akhirnya kepalanya sedikit menunduk ke sisi, jatuh pelan ke bahu Gemini yang—meski sedikit terkejut—tidak bergerak menjauh.

Dan saat Fourth akhirnya tertidur, Gemini pun tetap di sana.

Namun malam tak membiarkan kedamaian bertahan lama. Beberapa saat setelah itu, Gemini terbangun oleh gerakan halus di sampingnya. Bukan gerakan sadar—lebih seperti tubuh yang mulai menolak tenangnya tidur. Fourth mengerang pelan, tubuhnya menggeliat, nafasnya pendek dan panas, kulit di keningnya kini hangat, pipinya memerah lebih tajam, dan kemejanya mulai lembap oleh keringat yang keluar tanpa irama.

Gemini panik.

Tangannya menyentuh dahi Fourth, lalu kepala, lalu punggung, dan dia sadar... suhu tubuh Fourth naik drastis. Jauh dari sebelumnya. Dia mencoba membetulkan posisi selimut, membuka kancing bagian atas baju Fourth agar napasnya lebih leluasa.

Tapi Fourth masih menggigil.

Punggungnya melengkung, tubuhnya mengerut seperti menolak sesuatu yang tak kasatmata. Gemini menggertakkan giginya, berdiri cepat, lalu kembali dengan handuk basah dari kamar mandi yang dia peras dan tempelkan ke leher dan pergelangan tangan Fourth. Tapi itu pun tak banyak membantu. Dan entah karena refleks atau dorongan yang tak bisa lagi ditahan oleh logika, Gemini meraih tubuh Fourth, mengangkatnya pelan, seperti menyentuh sesuatu yang mudah retak.

Bridal style. Seperti di film, tapi tak ada romantika berlebih di sana.

Yang ada hanya rasa takut.

Takut kalau satu gerakan lambat saja bisa memperburuk segalanya.

Langkah Gemini mantap, melewati lorong rumah, membelok masuk ke kamar mereka—ruangan yang kini terasa asing karena jarang dipakai bersama. Dia membuka selimut, menurunkan tubuh Fourth dengan perlahan, menyelipkannya di tengah kasur, lalu menarik selimut ke atas dada Fourth yang mulai tenang karena udara di ruangan sedikit lebih hangat.

Tapi Gemini tak pergi. Dia duduk di tepi ranjang, tubuhnya condong ke arah Fourth, dan tangannya—yang sedikit gemetar—terus menyisir rambut Fourth ke belakang, menyeka peluh yang jatuh ke kening, mengusap punggung dengan ritme yang dia pikir bisa menenangkan.

“Tenang... tenang,” bisiknya pelan—bukan untuk Fourth, tapi untuk dirinya sendiri.

Karena di balik semua itu, dia juga takut.

Takut melihat Fourth selemah ini.

Takut mengakui bahwa ini adalah pertama kalinya dalam waktu lama dia merasa begitu... dibutuhkan.

Malam bergulir tanpa suara lain kecuali napas berat dari bibir Fourth dan suara detik jam di dinding.

Gemini tetap terjaga.

Tangannya tak berhenti menyentuh—bukan untuk membangunkan, tapi memastikan bahwa yang di depannya ini... masih di sini. Masih bernapas. Masih bisa didekati, meski dalam batas.

Pagi datang lebih lambat dari biasanya, menyusup pelan lewat tirai tipis kamar, menyebar lembut di lantai kayu yang dingin. Gemini belum benar-benar tidur semalam—atau lebih tepatnya, tidur dalam potongan waktu singkat, terjaga setiap kali Fourth menggeliat di tempat tidur, menarik napas berat, atau merengek lirih seolah terjebak dalam mimpi yang panas.

Ada rasa kasihan yang mengendap di dada tiap kali Gemini meraba dahi Fourth di tengah malam, merasakan keningnya yang membara, kulit leher yang lengket keringat. Kadang Fourth terbangun separuh, bergumam minta air, kadang hanya merintih pelan, menekuk alis seolah menahan sesuatu yang tidak bisa diucapkan. Dan Gemini, meski mengeluh dalam hati karena harus siaga seperti ini, tidak juga bisa jauh-jauh dari sisi kasur. Tangannya otomatis mengusap pelipis Fourth, mengatur posisi selimut, mengecek suhu tubuh yang untungnya—saat Gemini bangun pagi ini—sudah sedikit turun.

Kakinya terasa berat saat melangkah keluar kamar. Rumah masih hening, lampu-lampu malam dibiarkan menyala setengah redup. Ia membuka ponsel, mengecek notifikasi pekerjaan yang menumpuk, lalu menghela napas panjang. Kantor... bisa menunggu hari ini.

Dengan malas Gemini berjalan ke dapur, mengisi cangkirnya dengan kopi instan hangat sambil menelusuri aplikasi pemesanan makanan di ponsel. Tidak ada tenaga memasak, bahkan sekadar menghangatkan roti. Tangannya memilih menu nasi hangat, sup ayam, buah potong—apa pun yang kira-kira bisa masuk ke tubuh Fourth siang ini.

Sambil menunggu pesanan datang, Gemini mengelilingi ruang tamu. Merapikan selimut yang tergeletak dari semalam di sofa. Menyusun majalah yang terburai. Mengelap permukaan meja yang dingin dengan ujung kaus. Kebiasaan malasnya merapikan rumah, seperti tiba-tiba hilang pagi ini tergantikan keinginan untuk setidaknya membuat tempat ini layak dihuni Fourth yang sedang sakit.

Begitu makanan datang, dia kembali ke kamar.

Fourth masih di sana, meringkuk dalam selimut tebal, nafasnya terdengar lebih ringan tapi wajahnya tetap lesu, pipinya masih menyimpan warna merah lemah karena panas yang perlahan turun.

"Bangun sebentar, makan dulu," bisik Gemini pelan, menyentuh bahu Fourth.

Gerakan kecil. Fourth meringis, matanya setengah terbuka. "Gak lapar..." suaranya serak.

"Tetap harus makan. Biar bisa minum obat," balas Gemini lembut, duduk di sisi kasur, sambil membantu Fourth untuk duduk lalu segera menyuapkan sendok perlahan ke bibir Fourth yang terpaksa terbuka malas. Gemini sabar menunggu tiap kunyahan, tiap rengekan Fourth yang manja karena malas mengunyah sup panas.

"Enak, kan? Mau nambah?" ledek Gemini pelan, separuh geli melihat ekspresi sebal Fourth.

Fourth hanya mengerang pelan, menggeleng malas. Tapi akhirnya habis juga semangkuk sup kecil di tangan Gemini.

Setelah itu, segelas air dipegang Gemini erat. "Sekarang minum obat ya."

Fourth menatapnya—tatapan setengah lemah, setengah jengkel—seolah ingin menawar. "Gede banget... susah telan..."

"Bilang gitu tiap kali juga tapi tetap bisa telan, kan?" sahut Gemini tenang, menyodorkan obat. Fourth melirik, menyerah. Menggigit bibir sebelum akhirnya menelan obat itu perlahan, dibantu air hangat.

Lalu Fourth menyandarkan tubuhnya, menutup mata sesaat—dan Gemini menatapnya. Ada garis lelah di wajah itu yang jarang dia lihat. Dan anehnya... hatinya tergerak. Sungguh.

"Mau dibantu ke kamar mandi gak?" celetuk Gemini tiba-tiba. Suaranya pelan, bercanda, tapi matanya serius.

Fourth menghela napas kecil. "Aku bisa jalan... dipapah aja."

Gemini menolongnya bangun, tangannya menguat di bawah lengan Fourth, memapah tubuh yang terasa sedikit goyah ke kamar mandi. Setiap langkah mereka gemetar tapi mantap. Gemini diam di depan pintu, berdiri menunggu dengan kaki mengetuk lantai perlahan, jantungnya berdetak lambat. Berkali-kali ia menoleh, nyaris memanggil Fourth takut kalau yang di dalam pingsan atau terjatuh.

"Fourth? Kamu gak apa-apa?" bisiknya pelan.

Dari dalam, terdengar suara deham pelan. Gemini menggigit bibir—masih cemas.

Beberapa menit kemudian Fourth keluar, wajahnya pucat tapi berdiri tegak, matanya menyipit menahan pusing.

"Udah selesai...?"

"Udah," jawab Fourth pendek.

Dipapah kembali ke kasur, Gemini membantu mengatur bantal, menyelimutkan tubuh itu lagi. Fourth menatapnya pelan, seolah ingin bilang sesuatu... tapi tak keluar satu pun kata.

Gemini tak tanya. Hanya duduk di sisi kasur. Tangannya sekali-dua menyentuh dahi Fourth, memeriksa suhu. Kadang jemarinya menyentuh rambut basah kening Fourth, membenarkan helaian yang menempel. Fourth akhirnya memejamkan mata... napasnya teratur perlahan. Tidur lagi.

Dan Gemini tetap di situ.

Tidak dipinta tinggal. Tidak dilarang pergi. Tapi entah kenapa... dia tahu, dia harus di situ.

Mungkin untuk memastikan Fourth baik-baik saja.

Atau mungkin karena, untuk pertama kalinya setelah semua pertengkaran... Gemini tak mau sendirian.

Tak sadar Gemini ikut terlelap disebelah Fourth yang napasnya terdengar lebih ringan dari pagi tadi—tak lagi tersengal, tak lagi bergumam gelisah seperti sebelumnya yang membuat Gemini hampir tak bisa memejamkan mata sama sekali. Gemini terbangun karena suara ponselnya, membuat dia merasakan berat kepalanya dengan tubuh yang mengelung lelah karena tidur tak sempurna.

Dia mengintip layar ponselnya di atas nakas—satu notifikasi panggilan tak terjawab dari asistennya, diikuti pesan bertanda merah: urgent—online meeting dalam satu jam, mohon angkat. Gemini mengerjap malas, mengeluh dalam hati. Pasti tentang proyek yang sempat dia tinggalkan sejak pekan lalu. Tidak bisa ditunda lagi Dia bangkit perlahan, menyibak selimut dari tubuh Fourth, menyentuh dahinya dengan punggung tangan—sedikit hangat, tapi jauh lebih baik. Ada desahan lega dari bibir Gemini, hampir tanpa suara.

Fourth bergerak kecil, menarik selimut lebih rapat, tapi tetap terlelap.

Gemini berdiri, berjalan lesu menuju kamar mandi. Berniat membasuh tubuhnya yang lengket dipenuhi peluh, tertidur di sebelah orang yang sedang demam adalah ide yang buruk.Setelah bergegas mandi dia sisir rambut miliknya seadanya, kaus ganti cepat, lalu menyeduh kopi hitam di dapur dengan gerakan otomatis. Aroma kopi memenuhi ruangan kosong itu—sepi, tenang, tidak ada bunyi selain suara gemercik air dari wastafel dan dengung halus kulkas.

Makanan siang dia lahap sepuluh menit sebelum meeting dimulai. Sebelum meeting dimulai, Gemini mengecek Fourth sekali lagi—masih tidur tenang. Hati kecilnya memerintah untuk tetap waspada, tapi tugas di kantor memanggil lebih dulu.

Dia duduk di sofa ruang tengah, tablet di pangkuan, headset terpasang di telinga. Suara rapat mengisi ruang kosong, suara kolega, dan tim PR bersahutan melaporkan progres, strategi, perbaikan. Dua jam yang panjang. Sesekali Gemini melirik pintu kamar, telinganya separuh mendengar, separuh menunggu ada bunyi rintihan atau panggilan dari Fourth. Tapi tidak ada. Hanya hening.

Begitu meeting selesai, napasnya terlepas pelan. Dia lepas headset, memutar leher yang kaku, lalu bangkit—bergegas kembali ke kamar. Dan di sana, di bawah cahaya lembut siang, Fourth baru saja selesai mengganti pakaian, menatap Gemini dari depan lemari dengan wajah segar meski masih pucat. Bajunya sederhana—kaus tipis dan celana panjang bersih—tapi cara ia berdiri, sedikit gemetar, membuat Gemini mendekat otomatis.

"Kamu udah bangun?" suara Gemini lirih, setengah lega, setengah khawatir. "Udah ganti baju segala..."

Fourth tersenyum kecil, menahan diri untuk tak tampak lemah. "Makasih... udah jagain aku semalam," bisiknya, suaranya serak tipis.

Gemini menghela napas. "Udah baikan, kan? Tapi tetap makan dan minum obat, ya. Baru aku bisa tenang," katanya lagi, melangkah ke sisi Fourth, tangannya terulur hendak memapah, meski Fourth mengangkat tangan pelan, menolak halus.

"Aku bisa jalan sendiri... udah mendingan."

Tapi Gemini mengerutkan dahi, tak mau kalah. "Aku gandeng. Gak mau ada drama jatuh-jatuhan," bisiknya, setengah menggoda, setengah tegas. Tangannya menarik lengan Fourth perlahan, membawanya keluar kamar menuju ruang tengah.

Mereka berjalan pelan. Setiap langkah Fourth masih berat, tapi Gemini menggenggamnya mantap—ada sentuhan kehangatan di telapak tangan itu yang sulit ditepis. Di sofa ruang tengah, Fourth duduk perlahan, menarik napas lega. Buah potong sudah siap di meja. Gemini menyodorkannya.

"Makan ini dulu. Obatnya nanti setelah makan," katanya, sambil menata bantal di punggung Fourth.

Fourth mengambil sepotong apel, mengunyah pelan, sambil memandang televisi yang sudah dinyalakan Gemini hanya untuk mengisi hening. Gemini beranjak ke dapur, mencuci piring sisa makan kemarin dan sisa sarapan yang tak sempat disentuh. Dia melirik layar ponselnya—makanan siang sudah hampir sampai.

Saat bel berbunyi, dia cepat mengambil pesanan, menyajikan semuanya di meja makan.

Makan siang itu terasa... nyaris normal. Mereka duduk berseberangan, mengunyah perlahan. Sesekali Gemini menyuapi Fourth, menegurnya saat mulai malas makan. Obrolan mengalir ringan—tentang berita, tentang film yang sedang tayang di bioskop. Dan saat Gemini mengeluh soal Fourth yang begadang semalaman kerja hingga jatuh sakit, Fourth hanya mendengus kecil, menggeleng pelan.

"Kamu juga bukan contoh sehat. Bedanya kamu lebih tahan banting aja," gumam Fourth, tersenyum tipis.

Tawa kecil keluar. Lembut. Nyaris aneh di tengah rumah yang seminggu ini dipenuhi perang dingin.

Tapi tawa itu tak sempat utuh. Bunyi bel pintu memotong percakapan. Gemini menoleh pelan, tubuhnya menegang, firasatnya mendadak buruk.

Udara sore masuk lembut lewat celah tirai ruang tengah saat Gemini melangkah ke pintu, sandal rumahnya berderit pelan di lantai marmer. Saat dia menarik daun pintu, aroma parfum mahal dan dingin khas dunia kantor menyeruak lebih dulu—ayahnya berdiri di ambang pintu, masih mengenakan jas kerja yang licin tanpa cela, dasinya longgar di leher. Di belakangnya, ibu Gemini tersenyum tipis, mata awas mengitari ruang tamu di balik bahu putranya.

“Kami dengar Fourth sakit,” suara ayahnya datar, tak ada basa-basi. “Dan kamu tidak masuk kantor lagi, jadi kami mampir, sekalian lihat keadaan.”

Gemini menarik napas perlahan. Lalu mempersilakan mereka masuk, menahan gerakan tangannya agar tetap sopan, lembut, meski jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Suara tumit ibunya berderap pelan di lantai, disusul langkah ayahnya yang berat dan tenang.

Langkah Gemini pelan waktu dia kembali dari pintu masuk.

Orang tua Gemini sudah duduk di sofa ruang tamu, sisi ruangan yang terpisah dari ruang tengah tempat sofa besar dan TV berada.

Gemini menoleh setengah badan ke Fourth. Tangannya—tanpa sadar—mencari jemari Fourth, menggenggamnya perlahan. Hangat. Masih lembab oleh sisa keringat demam. Fourth sempat bergetar kecil, tapi tak menarik tangannya. Hanya menatap Gemini sejenak dengan mata setengah sayu, sebelum menunduk pelan.

"Ayo," gumam Gemini rendah. Suaranya terdengar cukup untuk dua orang saja. Dia menarik pelan, menggandeng Fourth menyebrangi ruang tengah, melewati sofa empuk tempat mereka biasa menonton TV—melewati bau kopi yang sudah dingin di meja samping, melewati bantal yang tak terbenahi sejak semalam.

Sampai di sofa ruang tamu, tepat berseberangan dengan kursi orang tuanya, Gemini mendorong pelan punggung Fourth agar duduk duluan. Fourth mengikut, tubuhnya jatuh ringan ke sandaran sofa, tapi jemarinya tetap menggenggam tangan Gemini, belum melepas.

Gemini duduk di sampingnya. Tubuh mereka nyaris menempel, bahu Fourth menyentuh bahunya, hangat di balik kain sweater. Jemari Fourth masih menggenggam—lemah, tapi ada. Tidak untuk alasan citra. Tidak untuk alasan media. Hanya... mungkin, karena Fourth sedang butuh sesuatu untuk dipegang agar tetap tegak.

Orang tuanya mulai bicara, basa-basi ringan tentang sakit, dokter, kondisi Fourth—tapi Gemini nyaris tak menyimak. Sebagian dari pikirannya sibuk mencatat betapa Fourth bahkan tak menjauh darinya hari ini. Betapa Fourth menyender sedikit ke arahnya—hanya sedikit, tapi cukup terasa di lengannya. Seolah tubuh ringkih itu mencari sandar, walau tak terucap lewat bibirnya yang selalu rapi.

Ibunya menyodorkan undangan

Gemini mengerutkan alis. "Acara apa, Ma?"

"Anniversary pernikahan kami. Sabtu malam." Ayahnya menyandarkan diri di kursi, membuka map kulit cokelat tua dan mengeluarkan selembar undangan tebal berembos emas. "Ada undangan untuk kalian berdua. Banyak media hadir. Investor juga. Kalian diharap tampil bersama."

Gemini menelan ludah perlahan. Ada sesuatu yang dingin menjalar di tengkuknya. Tentu saja. Ini bukan sekadar pesta keluarga.

"Memang harus... begitu publik?" suaranya nyaris pelan. "Rasanya—"

"Harus," potong ayahnya singkat, tegas. "Setelah berita kemarin, mereka harus lihat kalian... baik-baik saja. Profesional. Bahagia. Seperti ini." Matanya melirik Fourth, yang duduk diam tapi pandangannya tak terlepas dari Gemini.

Gemini membuka mulut, ingin membantah, tapi tatapan Fourth lebih dulu sampai padanya. Tatapan yang tak memaksa... hanya seolah berkata: terima saja—untuk kali ini, demi kebaikanmu juga.

Ada denyut pelan di pelipisnya. Gemetar kecil di ujung jari. Dia memejamkan mata sejenak, menahan sesuatu di dadanya agar tak meluap di depan kedua orang tuanya.

"Baiklah," gumamnya akhirnya. "Kami datang."

Ayahnya tampak lega. "Bagus."

Saat akhirnya orang tuanya berpamitan dan bangkit berdiri, Gemini baru melepas jemari Fourth perlahan, enggan. Rasanya aneh... kehilangan hangat itu bahkan untuk sedetik.

Dan saat pintu utama tertutup kembali, ruangan terasa kosong. Hening. Tapi Gemini tetap di sofa itu. Tetap di sisi Fourth. Membiarkan bahu mereka saling bersandar. Membiarkan napas Fourth meluruh pelan di telinganya.

Seolah... kali ini, tak ada alasan untuk pura-pura.

Notes:

This chapter turned unexpectedly domestic—maybe the first real quiet moment for Gemini and Fourth to almost admit they don’t hate the warmth of each other’s company. Also, the tension with Gemini’s parents was... fun to write. HAHAHA. Hope you enjoy reading this as much as I enjoyed writing it.
Don’t forget to leave a comment, a kudos, or any form of support—I appreciate every bit of it.
See you in the next update. 💌💗

Chapter 7

Summary:

Udara rumah terasa ganjil malam itu—pekat oleh sesuatu yang tidak diucapkan. Antara Gemini dan Fourth, percakapan menggantung setengah jalan, gerak-gerik kecil menyimpan lebih banyak makna dari kata-kata. Semua terasa lambat, berat, seperti napas yang tertahan di tenggorokan. Ada jarak yang tipis, nyaris tak terlihat, tapi mengikis perlahan. Dan dalam diam yang panjang itu, sesuatu di antara mereka bergeser—halus, nyaris tak terdengar.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Langit sore menguning pelan di balik jendela, menumpahkan cahaya hangat ke lantai marmer ruang tamu. Suara resleting koper, derit gantungan jas, dan gesekan sepatu kulit di lantai bergema lembut di dalam rumah—sebuah keheningan yang terasa padat.

Gemini berdiri di depan cermin tinggi di kamarnya, mengancingkan kemeja hitam tipis dengan gerakan lambat, merasa malas. Dadanya mengembang sedikit setiap kali menarik napas dalam, sedang mencoba menenangkan denyut jantung yang belakangan ini sering berlari.

Fourth muncul dari balik pintu, sudah rapi dengan setelan abu gelap, dasi hitam ramping melingkar di leher—pas, sempurna. Gemini memandang sekilas lewat pantulan kaca; bibirnya menekan satu garis, separuh kagum, separuh... kesal. Karena bahkan di hari seperti ini, Fourth tetap terlihat tak terguncang.

“Kamu kelamaan siapnya,” suara Fourth tenang dari ambang pintu, nada datarnya lebih familiar daripada parfum yang menempel di jasnya.

“Aku gak suka acara begini,” gumam Gemini, menatap bayangannya sendiri. “Jas, gala, senyum palsu. Selalu sama.”

Fourth tak menjawab. Melangkah pelan ke arahnya, memperbaiki kerah kemeja Gemini tanpa diminta. Jemarinya dingin, teratur, seolah ini rutinitas lama yang tubuh mereka hafal—bahkan ketika hati mereka tersesat di tempat lain.

"Harus," bisik Fourth pelan. "Kamu tau kenapa."

Gemini menatap Fourth dari jarak sedekat itu—mata hitam jernih yang tak bisa dibaca penuh, seperti danau pagi hari. Ada getaran aneh di dada Gemini, tak nyaman, nyaris seperti rindu. Dia menepisnya cepat-cepat.

Mereka turun bersama ke ruang tengah. Di sana, sopir sudah menunggu. Suara pintu mobil dibuka, derit sabuk pengaman terpasang, aroma kulit jok yang masih baru—semuanya jadi latar bagi keheningan yang ganjil di antara mereka.

"Kalau nanti ada yang nanya soal kita, jawab seperlunya," gumam Gemini, melirik Fourth di sudut matanya. "Aku malas akting sok mesra berlebihan di depan kamera."

Fourth hanya tersenyum tipis. “Aku bisa, kok.”

Mobil melaju di jalan utama kota—lampu-lampu senja menyelinap masuk dari jendela, menari pelan di atas dashboard, di pipi Fourth yang tampak pucat dalam cahaya samar. Gemini menoleh, dadanya berdenyut lambat. Entah kenapa... sore ini rasanya lebih berat. Seperti sesuatu besar mengintai dari kejauhan.

Venue gala sudah tampak di kejauhan—bangunan kaca dan marmer menjulang megah. Para tamu bergaun gemerlap sudah mulai berdatangan, langkah-langkah mereka meninggalkan jejak tipis parfum mahal di udara dingin.

Mobil berhenti.

Fourth membuka pintu lebih dulu, menoleh pada Gemini. Mata mereka bertemu singkat, dan untuk sekejap, waktu di antara mereka beku—seolah ada yang ingin dikatakan, tapi terhenti di bibir.

Gemini menarik napas dalam.

"Ayo," katanya. "Biar cepet selesai."

Mereka melangkah ke dalam—dua bayangan ramping dalam setelan gelap, melebur di bawah cahaya lampu gantung raksasa yang gemerlap.

Ballroom terasa terlalu terang untuk selera Gemini. Lampu gantung kristal menjuntai rendah, memantulkan cahaya ke dinding-dinding marmer pucat. Musik dawai mengalun tipis dari sudut ruangan, hampir tenggelam oleh gemuruh suara manusia: tawa ringan, percakapan bisnis, suara kaca bersulang.

 

Seisi ballroom seolah berhenti sesaat ketika mereka datang.

Gemini bisa merasakannya dari langkah pertama melewati ambang pintu—cara semua mata melirik, berpaling sejenak dari gelas anggur dan percakapan setengah basi demi menatap dirinya dan Fourth yang berjalan berdampingan. Tangan Fourth menaut di lengannya, tubuh mereka nyaris menempel, langkah pelan tapi pasti, seolah seluruh dunia ini tak lebih dari panggung kecil untuk permainan lama mereka.

Fourth, seperti biasa, menarik perhatian dengan caranya sendiri—tenang, bersih, senyum tipis, pandangan ramah yang dikunci pada setiap orang yang menyapa. Satu per satu tamu datang menghampiri—menyodorkan tangan, sekedar menyapa, membicarakan proyek, perusahaan, atau basa-basi manis tentang pernikahan mereka.

Dan Fourth... oh, Fourth melayani semuanya.

Tepat seperti yang diharapkan darinya.

Setiap ucapan dibalas hangat, setiap tatapan disambut balik, setiap pertanyaan dijawab dengan kalimat sopan yang tak memberi celah untuk gosip tambahan. Gemini hanya diam di sampingnya—menatap wajah-wajah itu, tersenyum seperlunya, merespons seadanya. Dalam hati, dia tahu Fourth melakukan ini demi citra mereka berdua, terutama Gemini.

Saat kerumunan perlahan mereda, Gemini menarik napas kecil, menatap Fourth yang mulai kehilangan suara dan pasti kelelahan menahan semua basa-basi. Dengan satu gerakan ringan, dia menarik tangan Fourth, menawarkan minuman.

“Minum dulu, biar gak seret,” katanya pelan, nyaris berbisik.

Fourth lalu mengangguk, menyambut gelas dari tangan Gemini, meneguknya pelan—sementara Gemini sendiri menyambar lagi segelas air dingin dari nampan terdekat. Baru saja ingin menikmati sejenak ketenangan itu, sebuah suara memecah ruang di sebelah kanannya.

“Gemini! Lama gak ketemu, bro. Apa kabar?”

Sebuah tubuh—tinggi, tegap, seorang dengan wajah terlalu tampan untuk kategori tamu biasa—muncul entah dari mana, melangkah santai, tersenyum lebar seolah pertemuan ini sudah ditunggu sejak lama.

Sebelum Gemini sempat berpikir, lelaki itu sudah meraih bahunya—peluk singkat, hangat, familiar. Seperti teman lama yang tak sengaja bersua.

Gemini mematung setengah detik.

Siapa ini?

Wajahnya terlihat familiar, bahkan suaranya pun entah kenapa seperti pernah terisi di telinga—tapi otaknya kosong. Tak ada nama. Tak ada memori. Hanya... rasa bahwa lelaki ini seharusnya dia kenal.

Tapi Gemini tersenyum juga, sopan, mengunci naluri di balik topengnya. Sambil menyimpan kembali gelas minum ke meja dibelakangnya. Lalu memasang senyum terbaiknya.

“Baik. Lama juga, ya. Gak nyangka ketemu di sini.”

Lelaki itu—masih dengan ekspresi santai—tertawa ringan, melirik Fourth sebentar yang sedang meneguk minumannya.

“Gue udah duga sih kalian berdua bakal nikah juga akhirnya. Cuma... ya gitu, bisa-bisanya nggak ngundang gue, Gem? Keterlaluan banget, lo.”

Gemini nyaris tersedak di dalam hatinya, nikah juga akhirnya? Apa maksudnya?

Fourth—yang memang sedang meneguk air saat itu terjadi—benar-benar tersedak saat bertatapan dengan lelaki itu. Batuk kecil terdengar, tangannya menahan gelas setengah gemetar sebelum cepat-cepat menetralkan wajahnya lagi. Jemarinya bergerak perlahan ke lengan Gemini—meremas halus, seolah minta pegangan.

Senyum Gemini makin lebar. Dipaksakan, manis, tipis.

“Maaf, buru-buru waktu itu. Ribet banget, lo tau kan.”

Padahal di balik dada, napasnya memburu perlahan. Siapa orang ini? Kenapa tahu Fourth terlihat begitu kaget?

Mereka masih berdiri di pinggir ballroom—agak terpisah dari arus tamu utama—dan lelaki itu terus bicara dengannya, santai, nyaman seperti teman lama yang tak sadar dirinya menjadi duri di dada orang lain.

Gemini... tetap tersenyum sambil melayani obrolannya. Kepalanya pusing.

“Eh, by the way nenek lo apa kabar? Masih di rumah lama? Kangen deh. Terakhir gue main, beliau gak berhenti cerita soal kalian berdua.”

 

Dunia terhenti.

Ekspresinya sekarang mungkin terlihat layaknya seorang yang habis diberi kejutan, mulut menganga kecil hendak mengeluarkan suara.

Tapi dada Gemini terasa kosong. Otaknya blank. Ruang ballroom berdenyut perlahan di telinga. Di sebelahnya, Fourth mengerut pelipis, tubuhnya menegang. Pegangan di lengan Gemini mengeras—nyaris menyakitkan—nafasnya lebih cepat, lebih berat, seperti terhimpit sesuatu yang datang dari masa lalu.

Gemini ingin bicara. Menjawab. Tapi lidahnya kelu.

Apa ini?

Kenapa orang ini bicara seolah mereka berbagi masa kecil?

Gemini menegakkan bahu, memaksakan senyum tipis lagi.

“Beliau baik. Masih sehat, syukur. Jarang keluar rumah sekarang,” jawabnya datar. Bohong. Dia bahkan tak pernah dia ingat kapan terakhir kali mereka bersua, Ibunya bilang Nenek hidup damai di kota lain, jadi Gemini tak pernah bertanya lebih jauh.

Namun disebelahnya, Fourth makin kaku.

Senyumnya hilang. Matanya kabur—tidak menatap siapa pun, seolah mencari pintu keluar. Jemarinya masih mencengkeram lengan Gemini, dingin, gemetar samar.

Suasana di antara mereka memadat.

Orang itu tertawa lagi, ringan, menoleh ke arah tengah ballroom.

“Eh... gue ke sana dulu ya—dipanggil, tuh.”

Kata-katanya nyaris terbang ditiup bising ruangan, kalau saja tak ada suara lain menyusul dari seberang ballroom.

“Pond! Sini, bro!”

Seketika Gemini membeku.

Pond.

Nama itu menggema samar di benaknya—seperti bisikan dari balik kabut—tapi tak ada yang bisa dipegang, tak ada wajah yang utuh muncul di ingatannya. Hanya rasa familiar aneh yang makin menyesakkan dada.

Fourth pun terdiam di sampingnya. Sorot matanya mengeras. Kepalanya menunduk seolah ingin sembunyi, menarik diri dari pandangan Pond yang melambai pergi tanpa beban.

Gemini menoleh pelan ke Fourth. Ada sesuatu di sana—di garis rahangnya yang menegang, di kelopak matanya yang gemetar, di hela napas yang terasa berat di udara.

Dan ruangan seolah merapat. Suara musik menghilang. Suara tamu memudar.

Hanya ada mereka. Dan nama yang melayang di antaranya.

Pond.

Siapa dia?

Kenapa Fourth begitu... terusik?

Kenapa dadanya ikut sesak?

Gemini menelan ludah, suara tercekat di tenggorokan.

“Apa... itu barusan?”

Tak ada jawaban.

Hanya genggaman Fourth di lengannya—erat, seolah kalau dilepas, semua yang mereka sembunyikan selama ini akan pecah di tempat.

 

Ballroom itu masih ramai, lebih panas daripada biasanya karena sorot kamera yang mengikuti mereka sejak dari pintu masuk. Gemini berjalan sedikit lebih lambat dari Fourth—bukan karena sepatunya tak nyaman, tapi karena dadanya berat, pikirannya belum sepenuhnya pulih dari kejutan barusan.

Percakapan dengan Pond tadi masih menggantung di udara, seperti asap rokok yang sulit dihalau meski jendela sudah dibuka lebar. Suaranya, caranya menyebut “nenek”—sangat jelas, familiar. Dan wajah Fourth di sebelahnya, yang biasanya datar dan terjaga, kini retak di pinggirannya. Genggamannya pada lengan Gemini bahkan masih terasa—sedikit kaku, seperti menahan sesuatu agar tak tumpah.

 

Seseorang dari tim media perusahaan melambaikan tangan dari jauh, memberi isyarat untuk mendekat. Gemini menarik napas pendek, mencoba meluruskan punggung.

“Gemini, sebentar saja. Interview singkat,” kata mereka ramah. Fourth berhenti di belakangnya, memberi jarak.

Lampu menyala terang di sudut ballroom, mikrofon mengarah padanya. Pertanyaan mengalir—tentang proyek, tentang citra perusahaan, tentang pernikahan mereka.

Dan mungkin karena otaknya masih berkabut oleh nama Pond, atau karena suara Fourth di telinganya masih membayang, Gemini menjawab dengan kalimat yang tergelincir pelan.

“Kami... ya, kami menikah sesuai permintaan keluarga dan perusahaan. Toh semua ini demi kestabilan, bukan?”

Diam. Sebuah jeda panjang yang merembet seperti retakan kaca.

Wajah pewawancara menegang sesaat sebelum tersenyum lagi, menutupinya dengan tawa sopan. Tapi Gemini tahu—kalimat itu sudah cukup untuk jadi tajuk berita besok pagi.

Begitu selesai, dia melangkah cepat kembali ke Fourth. Suaminya berdiri kaku, mata terpaku ke satu titik kosong di lantai. Tangannya mengepal di sisi tubuh, seperti menahan sesuatu yang hendak meledak.

Mereka saling pandang sebentar—tanpa bicara. Tapi rasanya ruangan itu makin sempit, makin panas. Gemini menarik lengan Fourth halus.

“Sudah... ayo,” gumamnya pendek.

Sepanjang sisa acara, mereka seperti dua orang asing yang dipaksa berbagi napas. Berjalan berdampingan, berdiri di sudut ballroom, saling menghindar pandang. Suara musik, gelas beradu, tawa tamu-tamu lain—semua terasa jauh.

Sampai akhirnya, selesai juga.

 

Di ruang keluarga rumah keluarga Gemini, udara dingin dari AC menusuk kulit. Tapi bukan itu yang membuat Gemini menggigil.

Ayahnya duduk di sofa panjang, jas masih lengkap, dasi sedikit longgar. Wajahnya merah karena marah yang ditahan sejak gala berakhir.

“Kalian berdua... apa-apaan tadi itu?”

Suara itu membelah ruang. Fourth berdiri di depan sofa, kepala menunduk rendah. Gemini di sampingnya, berdiri tegak, tapi rahangnya mengeras.

“Aku suruh kalian PDA, bukan diem-dieman di gala. Apa kalian sadar berapa banyak media di sana? Apa kalian tau berapa rumor baru muncul karena interview bodoh kamu, Gemini?”

Gemini menghela napas pelan, menahan amarah.

“Kenapa Fourth juga ikut-ikutan linglung? Apa gunanya kamu di situ kalau bukan buat nutupin celah suamimu sendiri, hah?”

Fourth diam. Kepalanya makin menunduk. Pundaknya turun sedikit, seakan-akan menanggung beban lebih dari biasanya.

Dan itu—itu membuat Gemini meledak.

“Sudah cukup,” katanya. Suaranya pelan, tapi keras di ujungnya. “Kenapa semuanya Fourth yang disalahin? Ini gala keluarga kita. Pernikahan kita. Kalau aku salah, ya aku tanggung. Gak usah nyeret dia.”

Ayahnya melotot. “Kamu pikir perusahaan bisa mikir kayak gitu? Kalau Fourth gagal jaga image kamu, habis sudah reputasi kita semua—”

“Image? Lagi-lagi mentingin itu dibanding perasaan anaknya sendiri” Gemini tertawa kecil, getir. “Bahkan pernikahan ini juga cuma image, kan? PDA apa gunanya? Media itu lama-lama juga lupa, kok. Gak usah segenit itu kita di depan mereka.”

Hening. Ayahnya terdiam. Ibunya hanya melirik dingin dari sisi sofa.

Fourth masih juga tetap diam. Lalu, pelan, Fourth mengangkat wajah.

“Saya minta maaf,” katanya lirih, suaranya serak.

Gemini menoleh cepat.

“Saya gagal malam ini. Harusnya saya bisa bawa acara ini lebih baik. Harusnya saya bisa jaga dia... jaga image dia.”

Gemini menatap Fourth lama. Dingin di tengkuknya makin pekat.

“Jangan minta maaf ke mereka,” desisnya. Tapi Fourth sudah membungkuk pelan.

“Maaf. Saya bertanggung jawab penuh. Kalau ada dampak ke perusahaan... biar saya yang tangani.”

Gemini mengepalkan tangan. Matanya panas.

“Udah. Ayo pulang.” Suaranya keras. Tangannya menarik lengan Fourth, memaksanya berdiri tegak. “Kita selesai di sini.”

Dia menyeret Fourth keluar ruangan. Punggungnya kaku. Napasnya berat.

Di belakang mereka, ruang keluarga tetap sunyi, hanya terisi dengus tidak puas sang orang tua.

Dan di lorong yang panjang itu, Gemini menoleh pelan ke Fourth. Mata Fourth gelap, wajahnya tetap tegang.

“Kamu kenapa sih?” bisik Gemini. Suaranya genting, tajam, penuh gemuruh di dada yang belum selesai.

Tapi Fourth tak menjawab.

Dan itu—lebih menyesakkan daripada semua bentakan ayahnya tadi.

 

Pintu tertutup pelan di belakang mereka, menyisakan desis halus engsel yang tertahan.

Suara sepatu Gemini berhenti di atas marmer, pantulannya mengambang di udara rumah mereka yang dingin, sepi, beraroma tipis kayu lilin dan parfum Fourth yang samar tertinggal. Gemini duluan melangkahkan kaki yang telah terbebas dari sepatunya ke ubin sedingin es, Fourth menyusulnya setelah itu.

Namun, Fourth tak bicara. Tak menoleh.

Langsung meraih jas Gemini—kancingnya dibuka perlahan, suara gesek kecil di bawah jemari Fourth yang telaten seperti biasa.

Jas itu meluncur turun dari bahu Gemini, meninggalkan hawa dingin menyelusup lewat kerah kemeja tipisnya. Hawa AC langsung menampar tengkuknya.

Gemini menggigit bibir. Jantungnya berdegup pelan tapi keras—seperti detik jam dinding di ruang tengah.

Fourth hendak berbalik, membawakan jas mereka berdua ke gantungan.

Tapi—tangan Gemini menahan. Mencengkeram pergelangan Fourth.

Lembut. Tapi cukup untuk membuat Fourth membeku.

Bahu Fourth mengeras di bawah sentuhan itu. Nafasnya—pendek. Tertahan. Seakan baru sadar bahwa Gemini memperhatikan.

"Siapa Pond?" Suara Gemini serak. Berat. Nyaris pelan, seperti rahasia yang minta diungkap.

Fourth diam.

Tak ada gerak. Tak ada napas terdengar sesaat.

Gemini merasakan denyut halus di bawah kulit pergelangan Fourth—nadinya berdebar kecil, tergesa, seperti menyimpan sesuatu yang hendak kabur. AC masih mengalir dari sudut ruangan, menyisakan bisikan dingin di telinga. Lembut. Mengusik.

"Kamu tadi..." Gemini menarik nafas. Berat. Terdengar jelas embusannya.

"Kamu beda. Kaku. Fokusmu hilang. Karena dia? Karena Pond?"

Fourth masih membisu.

Bahu Fourth bergerak nyaris tak terlihat—seperti mau menghindar.

Tapi genggaman Gemini makin erat. Hangat telapaknya menempel di kulit dingin Fourth.

"Jangan kabur." Suaranya retak. "Aku capek, Fourth... capek ngeraba-raba semuanya sendiri..."

Napas Gemini berat, terasa jelas mengalir di hidung, turun sampai tenggorokan. Suara denyut darahnya sendiri bergema di telinga.

"Aku gak inget Pond. Mama bilang memoriku jelek... karena dulu aku minum kebanyakan. Katanya itu sebabnya aku sering lupa. Rusak."

Ada rasa getir di mulutnya. Pahit.

"Aku minta tolong, Fourth." Suaranya pecah di ujung. Lirih. Gemetar. Bukan marah. Bukan menuntut. Tapi nyaris memohon.

"Tolong... kasih tau aku siapa dia. Aku gak tahan lagi ngeraba-raba dalam gelap."

Genggaman mereka masih terjalin. Jemari Fourth dingin. Tapi bergetar. Tipis.

Gemini melihat kelopak mata Fourth menutup sebentar—lama, seperti menahan sesuatu yang mau tumpah.

Lalu terbuka lagi.

Pupilnya menyempit. Mata Fourth berembun samar tapi tak pernah bertemu dengan mata milik Gemini. Nafasnya keluar pelan, putus di ujung.

Gemini menatap.

Jantungnya berdetak keras. Berat. Ada suara di telinganya—desis halus AC, detik jam di ruang tamu, bahkan tarikan napas tertahan Fourth yang seret.

Tapi bibir Fourth tetap terkatup.

Tak ada jawaban.

Tak ada kalimat penyelamat.

Akhirnya... Gemini melepaskan genggamannya.

Telapaknya dingin. Kosong.

Dia mundur selangkah, dadanya naik turun cepat, mulutnya terkatup erat menahan sesuatu yang nyaris pecah.

Lalu melangkah ke dapur.

Langkahnya bergaung halus di lantai marmer. Deru napasnya berat di rongga dada.

Tangan gemetar saat memegang gelas, suara—air mengalir, menyentuh kaca, mengisi ruangan dengan suara lirih yang menenangkan.

Di belakang punggungnya... Fourth masih berdiri.

Tegak. Diam. Jemari kosong, memegang jas yang sudah tak penting lagi.

Nafasnya pendek. Tertahan. Seperti ucapan yang tak bisa keluar.

Ruangan mereka beku.

Dan waktu—seolah ikut menahan nafas.

Gelas dingin di tangan Gemini tinggal separuh terisi, embunnya menetes lambat ke meja marmer. Dia menyandarkan pinggul ke counter, matanya tak lepas menatap Fourth yang berjalan pelan, membawa jas mereka ke gantungan—gerakan rapi yang terlampau biasa untuk malam sepanas ini.

Fourth berbalik. Langkahnya pelan menuju wastafel. Air mengalir tipis dari keran, menyentuh jemarinya yang pucat. Suara gemericik menelan hening. Gemini memandangi punggung Fourth lama, terlalu lama.

Napasnya berat. Dada naik turun pelan.

"Jadi..." suara Gemini pecah perlahan, menusuk.

"Kamu sama ayah ada perjanjian apa, sih? Kenapa bisa-bisanya kamu nurut segitunya? Lebih takut sama dia daripada... suamimu sendiri?"

Rupanya Gemini belum lelah bertanya walaupun Fourth tetap bungkam, mungkin kali ini akan terjawab, semoga.

Fourth masih tak mau menjawab. Hanya menutup keran. Menggoyang tangannya pelan di udara sebelum mengambil handuk kecil di samping wastafel. Dia buang napas. Berat. Matanya menatap ke bawah—ke wastafel, ke cangkir kopi sisa pagi tadi—bukan ke Gemini.

"Aku gak profesional tadi," katanya akhirnya. Datar. Lirih. Seperti mengakui dosa kecil yang tak penting. "Itu salahku."

Tapi matanya... tetap menolak bertemu.

Gemini merapat. Dua langkah. Suara telapaknya berat di lantai kayu.

Matanya menyempit.

"Iya. Kamu gak fokus banget." Suaranya mulai naik, tajam, makin menusuk. "Kenapa? Karena Pond? Karena dia kamu sampai segitu gelisahnya? Siapa sih dia?"

Fourth diam.

Punggung bawahnya menyender ke wastafel. Jemarinya mencengkeram sisi marmer putih. Napasnya pelan—amat pelan—seperti mau menahan runtuh.

"Gem..." Fourth menghela nafas. Mata masih menghindar. "Gak semua hal harus kamu tahu. Demi kebaikan kamu."

Kata-kata itu meluncur datar. Halus. Tapi menggigit seperti logam dingin di lidah. Nusuk sampai dalam.

Gemini terdiam.

Detik berikutnya... darahnya naik.

"Apa?" bisiknya, rendah.

"Apa maksudmu gak semua hal harus aku tau?" Langkahnya makin dekat. Suaranya panas. Tangan kanannya mengangkat, menahan wastafel di samping Fourth.

Sekarang mereka begitu dekat. Dada hampir bersentuhan. Hawa tubuh Fourth terasa sampai kulitnya.

"Tatap aku." Suara Gemini berat. "Lihat aku. Jangan kabur."

Tapi Fourth menunduk lagi. Mata menatap lantai. Diam.

Gemini mendesis. "Fourth."

Tangannya naik. Melingkar ke dagu Fourth—dingin di bawah jemarinya.

Perlahan. Dipaksa angkat wajah Fourth.

Dan di sana... air mata.

Mata Fourth basah. Tak ada lagi sinar biasa di sana—cuma keremangan yang nyaris hancur.

Fourth mengedip. Butiran bening jatuh ke pipinya.

Lalu bibirnya tergigit, keras, menahan isak yang telat dibendung.

Gemini terhenyak.

"Kamu..." suaranya tercekat, gemetar kecil.

"Kamu mau ngehindar lagi? Sekarang caranya nangis? Gitu?"

Tangannya masih menahan dagu Fourth—dan terasa gemetar kecil di kulitnya.

Tiba-tiba tangan Fourth terangkat. Pelan. Lembut. Menyentuh jemari Gemini yang masih tergantung di dagunya, dan dengan gerakan setipis bisikan, menepisnya turun. Bukan kasar. Bukan mengusir. Hanya... cukup untuk membuat Gemini membeku di tempat. Diam. Bibirnya setengah terbuka, napasnya menggantung di kerongkongan.

Mata Fourth terbuka sekarang. Bening. Lebar. Nafasnya memburu singkat—seperti baru ingat cara bernapas. Ekspresinya kini mengeras seperti bukan habis menitikkan air mata di depan Gemini.

Lalu… dia terkekeh.

Pelan.

Tapi bukan tawa yang hangat.

Tawa getir. Patah. Suara yang pecah seperti kaca pecah di lantai marmer.

Gemini menyipitkan mata, jantungnya mencelus tak nyaman di dada. Apa maksudnya? Kenapa Fourth ketawa? Kenapa malah begini?

"Gem..." Fourth bicara akhirnya.

Nadanya tenang. Datar. Bukan nada yang digunakan untuk kalimat yang beratnya bisa meremukkan dunia.

"Kamu itu gak rusak ingatan karena alkohol."

Ruangan jadi sunyi.

Gemini nyaris tak bisa denger suara AC. Jam dinding mendadak berhenti berdetak di telinganya. Dia lantas mengerutkan dahi mendengar penuturan Fourth, tak sadar menahan nafasnya.

Fourth melanjutkan—pelan.

Tapi tiap katanya seperti paku ditancapkan ke dinding telinga Gemini.

"Kamu itu... amnesia, Gem." Katanya seolah bukan hal yang sulit untuk diungkapkan, karena raut wajahnya begitu polos, berusaha serius namun tetap terbaca hampa.

Tapi bagi Gemini waktu terasa berhenti.

Suara apapun menguap dari dunia.

Yang ada cuma denging panjang di telinga—menusuk, menyayat—dan detak jantungnya sendiri, berdebar keras sampai ke pelipis.

Gemini membeku. Mata tak berkedip. Mulut setengah terbuka tapi tak bisa melahirkan suara.

Amnesia.

Otaknya menolak mencerna. Menolak paham. Tapi tubuhnya lebih jujur—dingin naik dari ujung jari ke tengkuk, bulu kuduk berdiri, napas tercekat, bola matanya terasa akan ikut loncat karena tak bisa dia control lagi.

Fourth masih berdiri di depannya. Tersenyum getir.

Senyum kalah.

Senyum pasrah.

Seolah kalimat barusan adalah beban yang akhirnya lepas setelah terlalu lama dipeluk sendiri.

Gemini menatapnya. Tak percaya. Tak yakin. Mulutnya masih megap-megap bak ikan dalam akuarium.

"Apa..." suaranya tercekat. Parau. Hanya itu yang bisa dia ucapkan.

Napasnya berat—dadanya sesak seperti diikat tali halus.

Fourth tak bicara lagi.

Hanya menatapnya—mata kosong, basah, lelah. Seperti lelaki yang baru menjatuhkan kebenaran terberat dalam hidupnya.

Gemini memundurkan satu langkah. Tak sadar.

Ruangan ini mendadak dingin. Lapang. Jauh.

Dunia seperti menggema di kepala—amnesia. amnesia. amnesia.

Selama ini.

Selama ini semua orang bohong?

Tangannya gemetar. Nafasnya masih terputus-putus, dia merasa amat bingung, kesal, marah. Tapi pada siapa? Dan karena apa?

Fourth menarik napas. Dalam. Berat. Seolah udara malam itu tak cukup untuk menampung semua yang menyesak di dadanya sejak bertahun-tahun lalu. Bahunya naik pelan, dadanya mengembang, tapi suaranya... tetap tersangkut di tenggorokan. Di ujung matanya, sesuatu nyaris pecah.

Di hadapannya, Gemini masih berdiri. Tegak—atau memaksa untuk tetap tegak. Diam. Beku. Mata membulat setengah kosong, setengah bingung, tak percaya dengan telinganya sendiri.

Lalu suara itu keluar. Pelan. Retak.

“Capek, Gem…”

Hanya dua kata. Tapi beratnya seperti seisi rumah ini tiba-tiba runtuh ke tanah dan jadi rata. Fourth mengerjap. Sekali. Menahan sisa air mata yang memanas di sudut matanya.

“Capek... banget. Dari awal... semua harus aku tahan... sendirian.” Suaranya rendah. Parau. Seperti besi tua digores pelan ke kaca.

Gemini mengerjap. Dadanya bergerak cepat—berat—terasa sempit. Tangannya mengencang di sisi tubuhnya, tak berani bergerak.

Fourth mengangkat tangannya perlahan, menyentuh bahu Gemini. Genggamannya lemah—nyaris gemetar—tak ada sisa tenaga lagi dalam dirinya. Tapi dia tetap memegangnya. Erat. Bak memegang satu-satunya harta berharga yang tersisa.

“Aku nurut... sama mereka. Sama mamamu. Sama ayahmu. Mereka bilang kalau aku masih mau lihat kamu, kamu gak boleh tau.” Napas Fourth pecah di situ. Mata terpejam. Rahangnya mengeras menahan isak yang mau pecah.

“Jadi aku diam. Aku tahan. Aku tutup semua mulut. Bahkan mulut aku sendiri. Supaya aku bisa pastiin kalau kamu hidup damai. Normal. Bahagia…”

Gemini ingin bicara. Tapi lidahnya kelu. Tenggorokannya seperti tercekik udara kosong. Matanya panas—kering dan basah sekaligus.

“Tapi hari ini… setelah Pond muncul… setelah kamu bilang aku mau kabur cuma karena nangis…”

Fourth terkekeh. Pendek. Pahit. Seperti bunyi gelas pecah yang ditelan debu.

“...aku gak bisa diem lagi, Gem. Aku gak bisa.” Tangannya mengguncang bahu Gemini pelan. Sekali. Meminta didengar. Meminta dilihat.

“Aku gak kabur. Aku gak mau kabur. Aku cuma... nurut sama mereka. Karena mereka bilang... kamu gak boleh tau siapa kamu sebenarnya. Siapa aku buat kamu.” Suara Fourth makin serak. Matanya buram.

Gemini rasa darah berdesir melewati pelipisnya. Ber-arus liar. Dunia berputar lambat, udara membeku.

Fourth mendongak. Mencari mata Gemini.

“Gem...” ucap Fourth dengan bisikan yang terdengar pilu.

“...kita dulu pacaran.”

Ledakan sunyi meledak di ruangan itu. Suara AC mendesis pelan. Lampu gantung bergoyang samar. Detak jarum jam jadi sangat nyaring ditelinga Gemini. Belum sempat mencerna fakta bahwa dia amnesia sekarang… apalagi?

“Kita pacaran beneran. Bukan pura-pura. Bukan mainan perusahaan. Aku sayang kamu. Kamu... sayang aku. Kita... mimpi bareng. Kita mau kabur bareng dari semua ini...”

Suara Fourth retak. Tangis tertahan.

“Tapi kecelakaan itu... ngerusak semuanya. Kamu bangun... dan kamu gak inget apa-apa soal aku. Sama sekali gak inget kita. Mereka bilang... lebih baik gitu. Katanya biar kamu gak trauma lagi. Katanya biar kamu gak sakit lagi.”

Mata mereka bertemu. Mata Gemini bergetar, basah, bingung, ngeri. Fourth masih di sana, menatapnya penuh luka, penuh airmata.

“Kamu pikir aku gantiin Phuwin. Kamu pikir aku manfaatin kamu buat perusahaan. Kamu pikir aku gak peduli. Tapi aku, Gem... aku kehilangan kamu. Aku kehilangan semuanya. Dan harus pura-pura gak kenal kamu demi punya kesempatan mastiin kamu selalu baik-baik aja.”

Suara Fourth pecah. Tangannya di bahu Gemini makin erat. Jemarinya gemetar.

“Gem... aku gak bohong malam ini. Aku gak pernah bohong.”

Dunia laksana runtuh.

Gemini menatap Fourth. Nafasnya pendek-pendek. Dada sempit. Punggungnya basah dingin. Suara di kepalanya berisik—berdesing—retak.

Di balik mata Fourth yang penuh air mata... Gemini tau.

Ini... bukan kebohongan.

Ini kenyataan yang selama ini disembunyikan. Dipelintir. Dibuang.

Dan sekarang menampar mukanya, telak.

Gemini masih berdiri di tempat, kaku, seluruh tubuhnya menolak untuk bergerak—atau mungkin tidak tahu harus bergerak ke mana. Kepalanya penuh, penuh sesak dengan suara Fourth barusan, penuh kata-kata yang belum bisa dicerna utuh. Amnesia. Kekasih. Mereka. Dulu.

Pikirannya menolak. Dadanya menolak. Tapi matanya... tidak bisa membohongi apa yang dia lihat di depan sini.

Fourth—Fourth yang biasanya begitu tenang, kokoh, teguh—sekarang berdiri di hadapannya dengan dahi menempel di bahunya, jemari dinginnya tanpa sadar mengait jemari Gemini erat, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap utuh. Tangannya gemetar, kecil, tidak kuat, seperti memohon agar Gemini tidak melepaskannya. Bahunya naik turun, tarikan napasnya kasar dan pecah di sela isakan yang tidak bisa ditahan, layaknya tangisan bocah yang terlalu lama ditahan didalam dada orang dewasa.

Gemini terdiam. Tak sanggup bicara. Tenggorokannya kering. Kakinya berat. Bahkan detak jantungnya terdengar asing di telinganya sendiri—berdebar keras, cepat, menusuk gendang telinga.

Fourth mengguncang kepalanya pelan, seperti membantah entah siapa, entah apa, seakan ingin menghapus realitas di depannya. Tangannya menahan tangan Gemini makin erat, keras, sampai Gemini sadar jemarinya terasa diremas halus—remasan panik, remasan takut kehilangan.

Tapi Gemini mundur. Pelan. Satu langkah kecil. Takut. Bingung. Dadanya penuh kabut. Napasnya tercekat. Dunia masih berputar, padahal semuanya terasa diam.

Dan Fourth—seolah dipatahkan—langsung menarik tangannya cepat, memegangi jari-jari Gemini lagi, menggenggam makin kencang, putus asa. Kepalanya menggeleng kecil, berkali-kali, matanya sembab dan merah, tak ada sisa ketegaran. Mulutnya membuka, hendak bicara, tapi suara tak keluar. Hanya isakan yang pecah, pelan, seperti desau angin lelah yang tertahan di ruang kecil. Jemarinya gemetar di sela genggaman, kuku-kukunya menekan punggung tangan Gemini seperti mau memastikan ini nyata—ini bukan mimpi.

Gemini mematung. Memandang pemandangan menyedihkan di hadapannya, otaknya berusaha memaksa semua logika menyatu, menyusun ulang puzzle rusak di kepalanya—tapi tak bisa. Masih amat baru. Dan terlalu besar.

Keringat dingin merembes di pelipisnya. Tenggorokannya bergerak menelan kosong. Mata mereka bertemu, samar lewat air mata yang memenuhi mata Fourth—dan ada sesuatu di sana, sesuatu yang menjerit minta dipahami, dipeluk, dimaafkan—tapi Gemini masih... kosong.

Dia ingin bicara. Bertanya. Marah. Tapi bibirnya tak mau membuka.

Jadi dia berdiri saja. Menatap. Kaku.

Seperti patung.

Dan Fourth tetap di depannya, menggenggam tangannya erat, tubuhnya berguncang kecil oleh tangis yang ditahan bertahun-tahun, keningnya menempel hangat di bahu Gemini, membasahi kain bajunya... suara isakannya melayang di antara mereka, jadi dinding tipis yang tak bisa ditembus.

Udara dapur terasa berat, padat, seolah menindih dada mereka. AC di pojok ruangan berdesis halus, monoton, dingin menusuk kulit.

Tapi di dalam sana—di antara dua tubuh itu—semuanya panas. Membakar.

Waktu berjalan lambat.

Dan tak ada yang bicara.

Hanya napas mereka berdua, beradu di udara yang sepi.

Notes:

so... how is it guys... hehe... boleh minta reaksi jujurnya... comment-dong... wkwkwk KAGET GAK apa udh ketebak dari awal jangan-jangan. Gimana pun, thanks for reading, hope you enjoy reading this as much as i enjoyed writing it, see you in the next update! LOVE YOUUUUUU MUCHHH MUCHHH and HAPPY BIRTHDAY GEMINIIIIIIIIIIIIIIIIII

Chapter 8

Summary:

The gala's aftershocks ripple through Gemini's quiet morning, leaving him no choice but to seek answers. What begins as a hesitant conversation soon unravels years of buried secrets, shattering the carefully constructed reality he knows. Witness Fourth's heartbreaking vulnerability as he finally breaks his silence, revealing a past, a love, and a truth Gemini never knew existed.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Langit-langit dapur terasa lebih rendah dari biasanya, lampu gantung memancarkan cahaya kuning pucat yang menimpa kulit Fourth—lembab karena sisa tangis, hangat karena napas yang belum stabil. Di depannya Gemini masih berdiri, kaku, berat di kaki sendiri, kedua tangan masih digenggam erat oleh Fourth yang kini mulai berhenti terisak... menyisakan hanya cegukan-cegukan kecil di sela napas beratnya.

Bahu Gemini masih jadi sandaran kepala itu. Beratnya terasa seperti beban yang nyata. Dan dingin ujung jari Fourth di punggung tangannya, seolah memohon jangan lepas dulu... jangan tinggal dulu... belum sekarang. Gemini tak mengerti—belum bisa mengerti—tapi tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya; satu ibu jarinya terangkat, menyentuh pelan rambut Fourth di pelipis, mengusap helai basah yang menempel di dahi. Isyarat lirih... permintaan maaf yang belum menemukan kata. Bukan untuk Fourth. Bukan untuk semuanya. Untuk dirinya sendiri. Untuk kebingungan ini.

"Aku..." suara Gemini tercekat di tenggorokan. Berat. Kering. Tidak jelas untuk siapa. Tidak jelas apakah Fourth benar-benar bisa mendengarnya di antara debar yang memekakkan telinga.

Fourth mengangkat wajahnya perlahan—mata bengkak, merah, masih buram. Tatapan itu mencari sesuatu. Mungkin pengertian. Mungkin penolakan. Mungkin apa saja. Tapi Gemini hanya bisa menggeleng. Perlahan. Satu kali. Kedua tangan mereka masih saling terkait, tapi kali ini Gemini yang mengeratkan, sekilas, sebelum dia melepas—seolah meminta izin.

"Aku... aku butuh waktu." napasnya pendek. Suaranya nyaris hilang. "Buat mikir... buat... ngerti ini semua."

Fourth menahan nafas sebentar. Bibirnya bergerak seperti ingin bicara lagi, tapi dia urung. Tangannya melonggar. Luruh. Lepas dari genggaman Gemini, jatuh perlahan di sisi tubuhnya.

Gemini mundur satu langkah. Berat. Seolah kaki terpasung di lantai marmer dingin itu. Lalu satu langkah lagi, lebih cepat, sampai dia rasa sudah menciptakan jarak antara dirinya dan Fourth. Tangannya mencari pegangan pada meja di belakangnya, menggenggam erat. Kepalanya masih berdenyut. Dunia rasanya sempit. Suara AC di atas kepala mendengung halus, menusuk. Gemini melirik ke Fourth—yang berdiri diam di sana, bahunya naik turun pelan, masih menggenggam sisa napasnya sendiri.

“Sebentar aja...” gumam Gemini, matanya tak lepas dari Fourth. “Aku cuma... sebentar...”

Fourth hanya menunduk. Tak menjawab. Tak mencegah.

Gemini menarik napas dalam—bau kayu dari meja dapur menyusup ke ujung lidahnya—lalu membalik badan, untuk kemudian melangkah menjauh. Kaki telanjangnya menyentuh lantai marmer lorong yang beku. Sepi. Rumah ini tiba-tiba jadi labirin. Nafasnya berat. Dinding terasa bergerak sempit. Tangannya menyentuh kusen kamar. Masuk. Menutup pintu. Mengunci.

Kamar gelap waktu Gemini masuk, hanya cahaya sisa dari luar jendela yang menyelinap samar di dinding—pucat, hampa, garis tipis yang tak cukup menghangatkan ruangan atau hatinya. Udara di sana masih bau kain mahal dari gala tadi; parfum lembut bercampur alkohol yang samar, jejak debu karpet ballroom, semua melekat di kerah bajunya. Kemeja yang belum sempat diganti kini terasa asing di kulit, lengket di punggung, dingin di pergelangan, tapi dia tak punya tenaga untuk melepasnya. Langkahnya pelan, menyentuh ranjang dengan lutut yang nyaris gemetar.

Dia duduk, berat. Jemarinya menggenggam ujung seprai kusut, memelintir benang-benangnya, kepala tertunduk rendah menatap lantai kayu yang memantulkan bayangan tubuhnya sendiri, goyah, buram.

Telinganya masih mendenging. Masih ada gema samar suara Fourth di kepala—patah, serak, gemetar. Kata-kata yang dilempar pelan-pelan tapi menusuk sampai ke dasar tulang. Amnesia, Gem. Kalimat sederhana, ringan di lidah, tapi beratnya seperti batu bata disusun di dadanya satu per satu.

Selama ini.

Selama ini dia lupa?

Gemini memejamkan mata. Ada denyut kecil di pelipis. Sakit. Kecil, tapi memancing semua memori yang tak pernah selesai. Potongan samar seperti kaca pecah di air keruh—kenapa semua seperti kabur? Kenapa semua... selalu samar? Tawa orang-orang di bar yang tak dia kenal, nama-nama di ponsel yang tak terasa akrab, momen-momen keluarga yang seharusnya hangat tapi terasa kosong, jauh, asing. Kenapa dia tak pernah merasa penuh di rumah ini? Kenapa Fourth tahu banyak hal kecil yang bahkan dia lupa dia pernah suka—preferensi suhu air untuknya mandi, suhu kamar yang nyaman untuknya yang bahkan Gemini sendiri menganggap dirinya terlalu sensitif dengan suhu, teh untuknya yang tidak pernah terlalu panas namun terasa hangat digenggaman gelas kaca, oh bagaimana dia tidak menyadarinya selama ini?

 

Napasnya berat, turun lambat dari hidung. Dadanya ngilu. Ada sesuatu yang seolah disobek paksa malam ini.

Ayahnya.

Ibunya.

Kenapa mereka bohong? Kenapa semua ini disimpan sendiri? Demi apa? Demi dia? Atau demi citra mereka sendiri? Apa Fourth benar-benar dipaksa memikul semua ini sendirian? Selama ini? Kenapa dia... tidak ingat?

Jari-jarinya menggenggam kuat ujung seprai. Kainnya melesak dalam telapak. Gemetar kecil merayap ke pergelangan.

Fourth.

Gemini menarik napas dalam, pelan, menggantung di dada. Dia ingin marah. Seharusnya marah. Harusnya menuntut semua jawaban sampai tuntas, memaksa Fourth membuka semuanya malam ini juga. Tapi hatinya... lunglai. Penuh. Tak sanggup lagi menerima kejutan. Sudah cukup. Terlalu banyak untuk satu malam. Kalau Fourth bilang mereka pacaran... kalau Fourth bilang dia kehilangan semuanya karena kecelakaan... Gemini butuh waktu untuk percaya. Untuk merasa. Untuk menerima.

Nafasnya masih berat, panjang, terdengar pelan di kamar kosong ini. Matanya menatap gelap, kosong, ke dinding.

Mungkin besok.

Mungkin besok dia bisa tanya Fourth lagi.

Mungkin besok dia bisa marah... atau percaya... atau hancur lagi.

Tapi malam ini... dia hanya ingin diam. Sendiri. Di ruang hampa ini. Dengan kemeja gala yang masih melekat di kulit—keras, dingin, bau parfum orang lain—dan kaki yang tertekuk di kasur. Pose yang aneh, tak nyaman. Lehernya pegal, punggungnya dingin, lututnya sakit.

Tapi dia tetap begitu.

Tak mampu bergeser.

Tak ingin melawan.

Napasnya turun naik, malas. Di luar, suara gerimis terdengar samar. Bau hujan masuk dari sela jendela, menyusup ke kamar, menempel di dinding, menyelinap ke celah-celah pikirannya.

Gemini memejamkan mata. Berat.

Ada lubang besar di dalam dadanya. Hitam. Dalam. Menganga.

Dan malam ini... dia biarkan lubang itu tetap terbuka.

Sampai tidur menjemput pelan-pelan, tanpa mimpi.

Tanpa rasa.

Hanya kosong.

 

Pagi datang pelan di balik tirai. Cahaya tipis menyusup lewat celah gorden, jatuh ke lantai kayu dingin yang kosong. Aroma sisa hujan semalam masih menggantung, basah tanah dan daun, menyelusup pelan ke dalam kamar yang remuk oleh malam panjang.

Gemini membuka mata perlahan. Pandangan kabur, berat—kepala seperti diisi kapas lembab. Tengkuknya pegal. Bahunya kaku. Punggungnya sakit karena semalaman tidur dengan posisi aneh, masih mengenakan kemeja gala yang lecek dan dingin. Sisa parfum dan debu ballroom menempel di kerah, menusuk hidung, mengingatkan pada sisa percakapan yang belum selesai, pada Fourth yang belum dia temui lagi sejak semalam.

Ada yang belum beres. Rasanya menggantung di dada, mengendap di pelipis. Berat. Padat.

Gemini menarik napas panjang, lambat, terdengar berdesis samar di kamar yang sunyi. Tenggorokannya kering. Kepalanya penuh. Ada denyut kecil di pelipis—tidak sakit, hanya... ada. Seperti alarm samar dari dalam tubuh yang belum rela benar-benar bangun.

Dia duduk. Perlahan. Punggung melurus, bahu mengaduh, otot-otot menarik dingin dari udara pagi. Jemarinya menyentuh ujung kemeja, merasakan kasar benangnya, kerutan kain yang menempel di kulit semalaman.

Kotor. Lengket. Tak enak.

Harus mandi. Sekarang. Bersihkan semuanya. Bau gala ini. Sisa semalam. Sisa kebenaran pahit yang menempel di tenggorokan.

Langkahnya pelan menuju kamar mandi. Lantai dingin menempel di telapak kaki, tiap jejak terasa berat. Tangannya meraih keran air hangat, memutarnya lambat. Suara air mengalir pelan—suara lama yang familiar, menenangkan sedikit, seperti bisik pelan di kepala.

Bajunya ditanggalkan perlahan. Dilempar asal ke lantai. Tubuhnya berdiri di bawah pancuran, air hangat menyentuh kulit, menelusup ke tengkuk, meluruhkan dingin yang melekat sejak semalam. Mata terpejam. Napas berat turun pelan dari dada.

Dan pikirannya... mulai bekerja lagi.

Hari ini libur.

Hari ini... dia harus bicara dengan Fourth.

Gemini menghela napas panjang. Air mengalir di wajah, menghapus sisa kantuk dan berat di kelopak mata. Jantungnya berdetak lambat. Tertahan. Bingung.

Maaf. Dia harus bilang maaf.

Karena semalam dia tinggal Fourth di dapur, padahal Fourth begitu... hancur. Rapuh. Butuh pegangan. Tapi siapa juga yang bisa kuat setelah mendengar semua itu? Siapa yang bisa tetap tinggal di sana, menatap mata Fourth yang pecah, setelah tahu semua hidupnya... palsu? Dibohongi?

Tidak ada.

Bahkan dirinya.

Gemini meremas rambut basahnya pelan. Air menetes dari dagu, jatuh di dada kosong. Dia menutup mata lagi. Memikirkan Fourth—suara seraknya. Isaknya. Bahunya yang berat di dada Gemini semalam.

Fourth bilang capek. Berkali-kali.

Kenapa?

Kenapa mau terus begini? Kenapa mau diam bertahun-tahun? Kenapa mau simpan semuanya sendiri?

Gemini menggigit bibir pelan. Pundaknya melorot.

Dia tak tahu. Belum tahu. Dan jujur saja... masih takut tahu.

Tapi yang pasti, Fourth sedih. Fourth hancur. Fourth rapuh semalam, dan dia—Gemini—malah pergi. Malah meninggalkan Fourth di sana sendirian. Padahal Fourth bilang capek. Padahal Fourth bilang semua ini berat.

Pikiran Gemini berputar lambat, berat, seperti roda tua berkarat. Napasnya berat.

The least he can do... ya untuk mencoba dulu.

Berpikir baik saja dulu.

Mungkin Fourth punya alasan. Mungkin semua ini demi dia. Demi kebaikannya. Gemini tak mau percaya penuh begitu saja. Tapi... kali ini, mungkin dia bisa memberi Fourth kesempatan bicara lagi. Tanpa lari. Tanpa kabur.

Air hangat berhenti mengalir. Kamar mandi hening. Tetes terakhir jatuh di ubin, bunyinya pelan, berat.

Gemini menghela napas. Mengambil handuk. Mengusap rambut, leher, bahu yang masih berat. Tubuhnya segar sedikit, tapi pikirannya... masih penuh.

Hari ini... dia akan bicara dengan Fourth.

Perlahan. Pelan. Sedikit-sedikit.

Karena kali ini, dia tak mau lari lagi.

 

Lorong rumah masih setengah gelap saat Gemini membuka pintu kamarnya. Cahaya pagi menelusup tipis dari jendela ruang tengah—garis-garis samar yang jatuh di lantai kayu, memantul pelan di dinding. Udara terasa dingin. Sepi. Kosong.

Dia melangkah pelan, tanpa suara. Telapak kakinya dingin menyentuh lantai. Sekilas melirik ke ruang kerja di ujung lorong—pintu itu masih tertutup rapat, tirainya terjulur, lampu tidak menyala. Masih gelap di dalam sana. Fourth mungkin masih di sana... tidur. Atau mungkin tidak. Gemini tak tahu. Tak berani menerka. Tak mau mengganggu dulu.

Dia menarik napas pelan, dada terasa lapang. Bahunya mengendur.

Sudahlah. Biar Fourth istirahat lebih lama. Setelah semalam... wajar.

Perlahan, Gemini berbalik. Menuju ruang tengah. Lampu di dapur belum dinyalakan, hanya sinar tipis pagi dari luar yang membuat lemari es, meja makan, kursi, berkilau lembut. Dia menyentuh meja bar, jari-jarinya menelusuri permukaan kayu yang dingin, mencoba menenangkan diri yang entah kenapa masih terasa menggantung.

Hari ini... dia ingin menata ulang semuanya. Bahkan hal kecil seperti rumah ini. Membersihkan sedikit. Membereskan cangkir yang semalam tertinggal di wastafel. Menyusun ulang majalah di meja ruang tamu. Membuang kantong belanjaan kemarin yang masih tergantung di pegangan pintu dapur. Kecil... remeh... tapi cukup untuk membuat dadanya tak sepadat semalam.

Kakinya melangkah pelan ke kulkas, mengecek isi—tidak banyak. Dia menutup pintu lagi dan menyentuh layar ponsel, mencari aplikasi pesan makanan. Sarapan. Mungkin bubur panas. Teh manis. Atau sandwich sederhana. Yang penting hangat. Yang penting nyaman.

Sambil memilih menu, pikirannya mulai menyusun pertanyaan di kepala. Pelan. Hati-hati.

Apa yang harus dia tanyakan nanti?

Sejak kapan mereka pacaran? Bagaimana semua itu dimulai? Kenapa dia tidak ingat? Bagaimana bisa Fourth tahan menyembunyikan semua ini? Apa Fourth pernah mau pergi?

Pertanyaan itu berputar seperti asap lambat di benaknya, mengendap di belakang kelopak mata. Berat. Penuh. Tapi entah kenapa kali ini... tak sesakit semalam. Mungkin karena jarak tidur yang tipis. Mungkin karena air hangat di kulit tadi pagi. Atau mungkin karena—untuk pertama kalinya—Gemini mau membiarkan dirinya mencoba percaya.

Gemini berjalan pelan menelusuri setiap sudut rumah dengan mata kosong, tangan sibuk membereskan sisa-sisa semalam: bantal jatuh, selimut tipis di lantai marmer yang dingin, gelas kosong di meja sudut. Suasana sunyi menempel di dinding, menusuk kulit.

Saat melewati ruang kerja—sekaligus kamar darurat Fourth akhir-akhir ini—telapak kakinya terhenti sejenak. Dari balik pintu yang tertutup rapat, terdengar samar-samar suara benda bergerak. Kursi bergeser. Kertas berdesir. Laci terbuka. Mungkin Fourth sudah bangun... mungkin sedang mandi. Entah kenapa detak jantungnya melonjak sedikit. Ada gugup yang mengendap, padahal tidak seharusnya.

Bunyi bel mendadak memecah sunyi. Suara kurir makanan.

Gemini buru-buru ke pintu depan, mengambil kantong sarapan yang tadi ia pesan diam-diam—berharap bisa setidaknya memberi sesuatu untuk Fourth pagi ini. Meletakkannya di meja makan, dia sibuk menyusun isi kantong: kotak nasi hangat, buah potong, dua gelas jus dingin. Aroma rempah samar naik dari plastik, bercampur bau kain bersih dan kayu perabot.

Di balik punggungnya, terdengar pintu ruang kerja berderit pelan. Lalu bunyi langkah ringan. Kursi di ruang makan bergeser pelan—suara gesekan kayu yang tak pernah seberat ini di telinga Gemini.

Dia menarik napas panjang, tetap menunduk, sibuk pura-pura mengatur sumpit di atas tisu. Lalu, dengan gerak setengah sadar, menyodorkan mangkuk ke Fourth yang kini duduk diam di seberangnya. Jarak mereka begitu dekat, tapi udara di antaranya terasa tebal—seperti kabut tipis yang menggantung rendah, dingin di dada.

"Sarapan dulu, ya" suara Gemini pelan, nyaris berbisik. Tangannya yang lain—entah kenapa—mencari tangan Fourth di atas meja, meremasnya pelan, memberi isyarat samar untuk menambah kekuatan.

Fourth tak banyak bereaksi. Hanya mengangguk kecil—lemah. Matanya masih bengkak, kelopaknya merah, belum sepenuhnya pulih dari dingin tangis malam tadi. Lalu menunduk lagi, menatap mangkuk di depannya seperti menatap sesuatu yang asing. Jemarinya gemetar kecil saat menyentuh sumpit.

Mereka makan dalam diam. Suapan lambat. Nasi yang hanya disentuh sedikit demi sedikit. Fourth seolah kehilangan rasa—bahkan Gemini bisa lihat cara Fourth menatap kosong makanannya, seolah memikirkan sesuatu yang jauh sekali dari ruang ini. Tak ada suara selain gesekan sumpit pelan dan detak jarum jam di dinding.

Gemini menggigit bibir. Gelisah.

Lalu, pelan, suaranya muncul lagi. Lebih tegas, lebih hati-hati.

"Habis ini... kita ngobrol, bisa?" bisiknya, mata menatap Fourth yang masih tak berani menegakkan kepala.

Fourth terdiam. Lalu—perlahan—mengangkat wajah. Mata mereka bertemu. Ada kekosongan di sana, tapi juga sesuatu yang dalam... berat. Gemini tak bisa baca pasti apa: takut? pasrah? atau hanya lelah?

"Aku bisa tunggu, kok... kalau kamu belum mau sekarang juga." Tambah Gemini, suara menurun, hampir gemetar. "Kalau kamu mau istirahat lagi, gapapa. Aku bisa nunggu."

Fourth menggeleng pelan. Sekali. Suara napasnya berat, menyelinap dari hidung.

"Gak apa-apa," gumamnya akhirnya, nyaris tak terdengar. "Kita bisa ngobrol."

Lalu kembali menekuni makanannya dengan gerakan pelan, seperti memaksa untuk menyuapi dirinya sendiri.

Gemini diam. Pandangannya jatuh ke punggung tangan Fourth yang pucat di atas meja, ke jemarinya yang bergetar ringan. Ada perasaan aneh menggelitik dadanya—campuran lega dan takut—karena akhirnya mereka akan bicara... tapi juga takut pada semua yang akan keluar nanti.

Mereka masih di meja makan. Mangkuk sudah kosong, sendok diletakkan pelan di sisi piring. Suara kecil logam menyentuh keramik terdengar di antara keheningan yang makin lama makin berat, makin lembut menusuk. Fourth menunduk saja, matanya terpaku pada sisa nasi di dasar mangkuk, bibirnya tak bergerak. Tangannya lemas di atas meja, tak berdaya.

 

Gemini bangkit perlahan dari kursi, berjalan pelan ke dapur, menuang air panas ke dalam gelas tinggi. Uap hangat naik perlahan dari permukaannya, membawa bau samar melati dari kantong teh yang tersimpan lama di rak. Tapi saat ini dia tak ingin manis, tak ingin rasa apa-apa—cuma air. Sederhana. Seperti percakapan yang sebentar lagi akan terpaksa pecah.

Dia kembali, meletakkan gelas itu di depan Fourth, dekat sekali dengan jari pucat Fourth yang masih gemetar samar.

"Minum dulu." Suaranya pelan. Nyaris bisikan. "Biar anget."

Fourth mengerling sekilas—tak lebih dari dua detik—lalu menatap lagi meja polos di depannya. Tangannya bergerak malas, lemah, menggenggam gelas. Suhu hangat dari kaca itu naik ke telapak tangannya, dan tubuh Fourth menghela napas tipis, seperti tubuh tua yang kehabisan musim.

Gemini menatapnya. Lama. Matanya menyapu garis leher Fourth yang menegang dan jemari yang menekan kaca bening itu.

Lalu kalimat itu lepas. Tak bisa ditahan.

"...Kamu pasti capek, ya?"

Fourth berhenti. Ujung gelas masih di dekat bibir, tapi tak diteguk. Matanya perlahan terpejam. Bahunya naik turun kecil, seperti habis menahan sesuatu yang terlalu lama di dalam dada.

Fourth belum juga bicara. Hanya duduk di seberang, gelas bening itu tetap digenggam, uapnya pelan memeluk kulit jarinya yang pucat. Suasana di antara mereka seperti benang tipis—tegang, hampir putus, menunggu ujung yang lepas duluan.

Gemini masih menatap, menunggu. Jemarinya mengetuk pelan permukaan meja, cemas tak terucap, keningnya berkerut halus. Di dadanya, debar lambat—tapi berat. Seolah setiap detik melarutkan lebih banyak pertanyaan yang belum sempat keluar.

Fourth mengangkat kepala, menatap lurus ke dalam matanya. Pelan. Mata itu—masih redup, masih lelah, tapi ada sesuatu di sana sekarang. Seperti... keberanian kecil yang dipaksa tumbuh di bawah tekanan hebat.

"Gem," suaranya serak, pelan. Tangannya mengecup gelas, tak diteguk. "Aku diam... karena aku janji."

Kening Gemini berkerut lebih dalam. "Janji?" bisiknya, hampir tak bersuara.

Fourth masih menatap—langsung, lekat, lama. Pandangan yang membuat tengkuk Gemini kaku, bahunya menegang. Seolah... warning. Seolah... akan mengatakan sesuatu yang tak bisa ditarik kembali.

"Aku janji sama ayah ibumu," Fourth berbisik pelan, nyaris pecah. "Aku... disuruh diam. Apapun yang terjadi. Apapun yang kamu tanya. Aku... gak boleh jawab. Gak boleh kasih tau."

Gemini terdiam. Helaan nafasnya berat, panjang, hangat di dada. Telinganya berdenging samar, jantungnya mencelus. Matanya tak lepas dari Fourth—mencari, menuntut lebih.

"Kenapa...?" suaranya serak. "Kenapa mereka sampai segitunya...?"

Fourth menarik napas panjang. Jemarinya meremas gelas. Bahunya turun—pelan—seperti menyerah. Lalu dia bicara. Lembut. Berat. Seolah setiap katanya digunting dari dadanya sendiri.

"Karena dulu... kamu gak pernah akur sama mereka."

Gemini mematung. Suhu ruangan menurun perlahan di kulit tengkuknya. Napasnya menahan di dada.

"Kamu kabur, Gem," Fourth berbisik. "Kamu... ninggalin rumah. Lari ke rumah nenekmu. Disana... kamu ketemu aku."

Gelas di meja bergeser pelan di bawah telapak Gemini. Matanya membulat. Kerongkongannya kering.

"Kamu tinggal lama di sana. Gak mau pulang. Gak mau denger apapun dari ayah ibumu. Kalian berantem besar waktu itu... soal kamu... soal hidup kamu. Aku gak boleh cerita ini. Aku disumpahin buat diem. Sebagai syarat yang harus aku penuhi kalau aku masih mau lihat kamu."

Fourth diam sejenak. Menutup mata. Bahunya gemetar kecil. Bibirnya pucat.

"Aku... aku cuma... jalani apa yang mereka mau. Biar aku bisa pastiin kamu hidup tenang, setidaknya Ayah sama Ibumu gak ngusik kamu lagi kali ini, aku harus mastiin sendiri."

Gemini menelan ludah. Suara napasnya jadi kasar di udara. Ringan di dada. Tangannya mengepal di atas meja, gemetar halus.

"Jadi... kita ketemu... di sana?" bisiknya lirih.

Fourth mengangguk pelan. "Iya. Di rumah nenekmu. Kamu waktu itu..." ia tersenyum miris, "liar. Keras kepala. Gak mau diatur. Gak mau pulang. Tapi sayang banget sama nenekmu."

Gemini diam. Matanya nyeri. Suara Fourth—tipis, jujur—mengiris seperti pisau kecil di balik rusuk.

Dan di matanya yang redup itu... ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang belum diucap.

Gemini mengangkat dagu, menatap tajam. "Apa lagi, Fourth?"

Fourth terdiam.

Lama.

Napasnya berat. Matanya ragu.

Tapi Gemini menunggu.

Lalu Fourth berbisik—pelan, hati-hati. Penuh luka lama.

"Dan di sana... aku jatuh cinta sama kamu."

Gemini diam. Kepalanya menunduk pelan. Ada sesuatu yang berat menekan tengkuknya, dada sesak seperti diisi kapas basah yang tak mau terbakar. Tangannya mengepal di pangkuan, kuku mencakar kain celana halus yang kusut di sana.

Kata-kata Fourth masih melayang di udara. Pelan, panas, seperti uap teh basi di pagi dingin.

"Aku jatuh cinta sama kamu."

Lucu. Ironis. Hangat... dan juga menyakitkan.

Gemini mengembuskan napas panjang, pelan-pelan. Bahunya turun perlahan, seolah menyerah pada sesuatu yang tak jelas. Matanya tetap tertuju ke meja, menatap garis halus di atas permukaan kayu, menghindari tatapan Fourth yang masih menusuk di depannya.

Ada bagian di hatinya yang marah—pahit—pada orangtuanya. Bagaimana bisa mereka begitu padanya, anak sendiri? Sampai harus memutus ingatannya, mencabut semua jejak masa lalu. Apa demi reputasi? Demi image? atau Demi perusahaan?

Lalu bahkan mencuri kenangannya soal... cinta?

Tapi di balik rasa marah itu, ada juga sesuatu yang hangat—tak mau mengaku, tapi tak bisa dibohongi. Cerita Fourth... cara dia bicara... suara retaknya... tatapannya yang jujur—seolah waktu pelan-pelan membuka kotak usang yang sudah lama terkunci di kepalanya.

Gemini menelan ludah. Tenggorokannya kering. Dadanya makin penuh.

Tapi Fourth di depannya sudah terlalu ringkih untuk dihadapkan pada semua kemarahan itu. Mata Fourth sembab, suara Fourth serak. Jemarinya gemetar kecil saat memegang gelas yang sudah kosong.

Jadi Gemini menghela napas pelan—lama, berat. Lalu, perlahan, sudut bibirnya terangkat sedikit. Senyum tipis. Palsu. Lelah. Tapi hangat. Seolah bilang nggak apa-apa... untuk sekarang. Seolah memberi jeda. Untuk mereka berdua.

Padahal di dalam kepalanya sendiri... kekacauan belum berhenti. Bingung. Lelah. Ada rasa ingin berdiri, pergi, masuk kamar, mengunci pintu, dan menarik napas di udara kosong. Sendiri. Tanpa tatapan Fourth. Tanpa bisik masa lalu.

Tapi dia tak bisa. Karena Fourth di sini.

Di hadapannya.

Kekasihnya, katanya.

Atau... setidaknya pernah.

Gemini menatap Fourth sebentar. Mata mereka bertemu. Fourth terlihat ingin bicara lagi—ingin menjelaskan lebih—tapi Gemini mengangkat tangan, pelan, menggenggam punggung tangan Fourth di atas meja. Diam. Memberi tanda halus: cukup dulu. untuk sekarang.

 

Notes:

Hi everyone, here's Chapter 8. Mohon maaf lama update-nya HAHAHA gemfot irl lagi manis-manisnya jadi agak susah ya nyari celah angst buat motivasi lanjutin ini fic.

This was, without a doubt, the hardest chapter I've written for SRLE so far. Writing Gemini's shock and Fourth's raw emotional breakdown, and the weight of all those buried truths, truly took a lot out of me. Every word felt heavy, and I felt sad writing it. Mereka berdua sangat rumit untuk aku tulis, dan nulisnya memang berat tapi aku enjoy sih, gimana klo kalian?

I hope the emotional impact comes through as intended. This is a massive turning point for both Gemini and Fourth, and it kicks off the long, messy road to healing. SIAP GAK KALIAAAAAN

Thank you, as always, for sticking with this story and with these two incredibly complicated men. Your patience and support mean the world.

Please let me know your thoughts and reactions in the comments. I'd love to hear them! SANGAT SUKA BACA KOMEN KALIAAN PLIS JUST YAP ABT ANYTHING. BYEEEEEEEEEEEEEEEE

Chapter 9

Summary:

Hari datang tanpa benar-benar membawa kelegaan. Antara kopi yang diseduh pelan dan sentuhan yang tak disengaja, ada hal-hal yang akhirnya terucap—meski bukan kepada orang yang dituju. Rumah terasa terlalu tenang, terlalu rapi, seolah menunggu sesuatu pecah kembali.
Dan di tengah diam yang panjang, cinta yang disangkal dan disimpan terlalu lama mulai mencari bentuknya sendiri.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

 

Udara di ruang tengah masih hangat dari matahari siang yang menerobos tirai tipis. Debu beterbangan perlahan di sela cahaya, berkilauan kecil-kecil seperti serpihan kaca yang melayang. Di sofa yang sama, mereka masih duduk dalam diam—gemetar dan utuh, sekaligus hancur dalam bentuk-bentuk yang berbeda.

Gemini menunduk sebentar, meremas jari-jarinya yang basah keringat. Dia menatap ke depan, ke sesuatu yang tak bisa dia lihat, lalu pelan-pelan bicara.

"Aku minta maaf," katanya. Suaranya rendah, berat, tapi stabil. "Aku tahu citraku... semua orang punya alasan buat gak percaya sama aku. Aku ngerti itu."

Dia menoleh, matanya bertemu dengan Fourth yang masih diam. Mata itu masih sembab, tapi sekarang lebih lapang.

"Selama ini, aku ngerasa kosong banget. Aku cari apapun buat ngisi itu. Orang. Pesta. Noise. Tapi semuanya gak pernah cukup. Sekarang aku ngerti kenapa." Dia tarik napas. Jemarinya menyentuh pergelangan tangan Fourth—ringan, minta izin.

"Tapi aku gak akan maksa kamu buat langsung percaya. Aku... gak akan maksa kamu buat percaya kalau perasaanku sama."

Fourth tidak langsung menjawab. Tapi saat dirinya akhirnya menoleh—pelan, seakan takut menemukan jarak—yang ia temukan adalah tatapan yang tidak pergi.
Mata Fourth menatapnya lurus, bening. Dan tipis di sudut bibirnya, sesuatu yang bukan ironi—senyum kecil, tenang. Bagai berkata: tapi aku percaya sama kamu.

Dada Gemini mengembang sedikit, rasanaya seperti bernapas lagi untuk pertama kali sejak semalam.

"Aku... pengen kita mulai dari awal lagi."
Suaranya terdengar lirih.
"Kalau kamu mau."

Fourth diam sejenak. Lalu angguk. Satu kali. Singkat. Tapi cukup.

Ada jeda. Canggung, tapi bukan pahit. Lebih seperti langkah pertama setelah luka—kaku, asing, tapi masih maju. Gemini menggeser duduknya sedikit, tidak terlalu dekat, tapi cukup agar jaraknya tak terasa seperti kesalahan.

Hening kembali. Hanya suara detik jam dan napas mereka yang saling mencari ritmenya.

Gemini menyondongkan tubuhnya ke bahu Fourth. "Gimana kalau... kita gak mikirin yang berat-berat dulu hari ini?"

Fourth menoleh, wajahnya masih terlihat muram.

"Beratnya bisa nunggu," lanjut Gemini. "Kita... jalan-jalan? Gak usah jauh. Cuma keluar sebentar. Coping mechanism. Healing. Aku butuh nafas, kamu juga, kayaknya."

Dan seperti itu, mereka berdiri. Pelan. Bersama. Dengan dunia yang masih berantakan, tapi—untuk pertama kalinya—terasa seperti sesuatu yang bisa mereka hadapi sama-sama.

 

Langit siang masih tinggi, tapi sinarnya lembut. Bukan panas yang menyengat, hanya hangat tipis-tipis seperti tangan yang baru saja menyentuh permukaan air. Udara juga bersih, seperti baru disiram semalaman oleh hujan, dan sekarang kering perlahan di antara dedaunan taman kecil di pinggir kompleks.

Gemini dan Fourth berjalan berdampingan—tanpa terlalu dekat, tapi juga bukan jauh. Mereka bukan lagi pasangan palsu, tapi belum juga jadi sesuatu yang baru. Seperti dua orang yang sedang mencari cahaya... di ruangan yang masih gelap. Hati-hati. Langkah yang belum tahu mau mengarah ke mana, tapi tetap jalan karena berhenti bukan pilihan.

Langkah mereka pelan, santai. Taman itu baru, kecil, ada bangku kayu yang setengah tertutup bayangan pohon. Di kejauhan, suara anak kecil tertawa, dan ranting bergoyang lembut dihembus angin. Langitnya bersih, tapi hati mereka belum tentu.

“Udaranya segar banget ya hari ini,” ujar Gemini, mencoba memecah sunyi. Suaranya ringan, tapi ada hati-hati di ujungnya. “Mungkin... ini pertanda baik.”

Fourth hanya menoleh sedikit. Senyum kecil muncul, lalu menghilang lagi. “Aku juga berharap gitu.”

Mereka terus berjalan. Hening sejenak. Lalu Gemini bertanya, lirih.

“Sekarang... gimana perasaan kamu, Fourth?”

Fourth tidak langsung jawab. Tapi nafasnya terdengar lebih berat, namun lembut.

“Lega. Tapi juga takut.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Kayak... ada yang udah keluar dari dada, tapi yang masuk gantiin itu... kekosongan lain.”

Gemini menunduk sedikit. “Karena semua yang selama ini kamu tahan... sekarang udah di luar?”

Fourth angguk. “Iya. Tapi kayak... sekarang aku gak punya apa-apa buat nutupin diri lagi. Semua kelihatan. Kaya lagi telanjang”

Gemini menoleh ke arah Fourth, matanya lembut. “Mungkin... itu artinya kita bisa mulai lengkapin lagi pelan-pelan?”

Fourth tertawa kecil. Kering, tapi bukan getir. “Ide bagus.”

Mereka berhenti di bangku kayu. Duduk berdampingan. Angin mengangkat helai rambut Gemini sebentar, lalu meletakkannya lagi ke pipinya. Fourth menyandarkan punggungnya ke sandaran kayu, lalu bicara.

“Kamu sendiri gimana?”

Gemini tidak langsung jawab. Matanya menatap ke hamparan rumput yang berkilau di bawah cahaya. Lalu pelan-pelan dia bicara.

“Masih banyak yang gak aku ngerti. Tapi... aku ngerti kamu masih capek. Aku bisa liat itu.”

Fourth tersenyum tipis. “Aku... gak nyangka kita bisa duduk bareng gini setelah semua yang keluar kemarin.”

Gemini ikut tersenyum. “Aku juga gak nyangka. Tapi... mungkin ini perlu. Walau awkward, walau lambat, asal kita jalan aja dulu.”

Fourth menoleh. Tatapannya jauh lebih lembut dari biasanya. “Terima kasih ya. Udah ngajak keluar.”

“Bukan ngajak kok,” Gemini menjawab ringan. “Lebih kayak... kabur. Tapi kabur yang sehat, mungkin.”

Dan mereka tertawa. Hangat. Bareng. Suara tawa mereka perlahan menyatu dengan udara siang yang hangat.

Pintu terbuka dengan pelan.
Langit di luar masih menyimpan warna-warna lembut siang hari, tapi begitu langkah mereka menyentuh ambang, semuanya terasa padat lagi. Udara rumah lebih hangat dari taman, tapi bukan jenis kehangatan yang memeluk. Lebih seperti selimut tipis yang terlalu lama ditinggal dalam lemari: menyelimuti, tapi membawa debu.

Sepatu mereka lepas bergantian, bersisian di rak kecil dekat pintu. Tanah tipis dari taman menempel di sol, serpihan kecil rumput mati masih tersangkut di sela karet. Tak satupun dari mereka bicara. Hening yang kembali turun bukan marah, bukan punuk dari percakapan terakhir, tapi hening yang datang saat seseorang terlalu sadar akan dirinya sendiri—dan satu sama lain.

Fourth langsung berjalan menuju ruang kerja—atau sekarang lebih cocok disebut kamar juga, karena dari situlah dia selalu muncul dan ke sanalah dia kembali. Pintu tertutup di belakangnya, menciptakan suara gesek kecil antar kayu dan engsel.

Udara di dalam kamar itu lebih dingin dari luar. Tidak karena jendela terbuka, tapi karena tak ada yang bergerak di dalamnya seharian. Tirai masih tertarik setengah, membiarkan cahaya senja masuk dalam garis-garis tipis, mencoret dinding dan lantai dengan warna emas pudar.

Fourth melepas hoodie dengan satu gerakan lambat. Tangan kirinya naik ke tengkuk, mengusap pelan sisa keringat yang belum sepenuhnya kering. Gerakan berikutnya seperti ritual yang sudah terlalu sering dilakukan: pintu kamar mandi dibuka, air mengalir, handuk digantung.

Air hangat menyentuh kulitnya seperti sesuatu yang asing—terlalu lembut untuk tubuh yang masih tegang. Ia berdiri diam di bawah pancuran, membiarkan air mengalir dari ubun-ubun ke tumit, menyapu tanah, debu, dan sisa napas yang tadi sempat lega di taman tapi mengeras lagi begitu mereka pulang.

Setelahnya, ia mengenakan kaus longgar dan celana kain tipis, rambut masih setengah basah. Handuk diletakkan sembarangan di kursi, lalu tangan menggeser laptop ke tengah meja.

Layar menyala.
Email masuk.
Lampu meja menyorot ke keyboard, menciptakan bayangan lembut di bawah jari-jarinya yang bergerak tanpa benar-benar fokus. Scroll, klik, buka, tutup. Sebagian besar hanya notifikasi, sebagian lain permintaan balasan yang belum ia punya tenaga untuk pikirkan. Tapi tetap ia baca. Satu-satu. Tanpa benar-benar mencerna.

Pikirannya berjalan ke arah lain. Bukan ke dokumen yang harus disunting, bukan ke rapat yang terjadwal ulang. Tapi ke tangan Gemini yang sempat menyentuh pergelangan tangannya tadi. Ringan. Nyaris minta izin. Ke suara itu. Lirih. Minta napas. Minta awal.

Dan Fourth mengiyakan. Tidak karena yakin. Tapi karena sesuatu dalam dirinya bergerak—lemah, tapi pasti.

Ia menutup satu tab, membuka yang lain. Menjawab dua kalimat. Menghapus tiga draf. Mata mulai berat. Napasnya tak lagi rapi. Tapi tangannya masih di atas touchpad, bahkan saat layar mulai buram.

Kepalanya bersandar ke sisi kursi. Tubuhnya bergeser perlahan, jatuh dalam posisi miring yang tidak nyaman tapi cukup. Cukup untuk tidur. Atau setidaknya, cukup untuk berhenti memikirkan bagaimana cara mempercayai seseorang tanpa membuat jantungnya terasa seperti kaca.

Di luar kamar, rumah tetap diam. Tapi bukan kosong. Hanya senyap. Seperti sesuatu yang menunggu waktu untuk tumbuh lagi.

Waktu ia membuka mata, langit sudah bukan biru siang, tapi bukan malam juga. Cahaya di luar jendela kamar buram dan keemasan, seperti sisa sorotan dari hari yang terlalu lama. Kepala Fourth masih berat, tapi bukan karena mimpi. Lebih karena tubuhnya sendiri, akhirnya memutuskan: cukup.

Ia bangkit perlahan. Lehernya pegal karena posisi tidur yang aneh, tangan kiri sempat mati rasa karena tertindih. Laptop masih menyala, walau layarnya sudah redup. Ia menutupnya, lalu berdiri.

Saat keluar dari kamar, rumah terasa... hening. Tapi bukan kosong.

Lorong bersih. Tak ada gelas kotor. Tidak ada suara TV. Tidak ada jejak Gemini.

Langkahnya ringan menuju dapur. Cahaya lampu dapur kuning pucat, menyebar perlahan ke meja makan yang kosong dan rapi. Ia mengisi gelas dengan air, meminumnya dalam satu tarikan, lalu mulai membuka lemari pendingin.

Tangan mengambil bahan-bahan tanpa banyak pikir: sayuran yang hampir layu, tahu, sedikit ayam, minyak wijen. Semua gerakan terasa otomatis. Seperti tubuhnya ingat jadwal yang tak pernah ia tulis.

Panci dipanaskan. Pisau digenggam. Wajan disiapkan. Fourth mulai memasak—bukan dengan tergesa, bukan juga dengan ritme pelan. Tapi ritme yang tahu persis kapan harus membalik, kapan harus menambahkan air, kapan harus mencicipi. Bukan karena ini rumahnya. Tapi karena entah bagaimana, semua gerakannya pas.

Dan kemudian, suara langkah. Sangat ringan. Hampir seperti nafas yang belum siap bicara.

Fourth tidak menoleh. Tangannya tetap memegang spatula, api kompor kecil, suara tumisan mengisi ruangan.

Ia tahu siapa yang berdiri di belakangnya.

Lalu jeda. Lalu kalimat itu—pelan, agak serak.

"Ada yang bisa aku bantu?"

Fourth tersenyum. Tipis. Tapi tidak berpaling.

“Gak usah,” jawabnya. “Mending diem aja di situ.”

Nadanya datar. Tapi bukan dingin. Lebih seperti... terlalu familiar. Seperti ucapan yang sudah ia ulang ratusan kali, di tempat yang berbeda, dalam waktu yang tak bisa ia ingat.

Dan itu aneh. Karena Fourth tahu ini bukan pertama kalinya Gemini berdiri di belakangnya seperti itu. Bukan pertama kalinya ia menjawab seperti itu juga. Mungkin tidak dalam rumah ini. Tapi dalam sesuatu yang terasa lebih dalam dari ingatan.

Ia tidak merasa aneh karena terbiasa. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak perlu merasa bersalah karena terlalu luwes. Tidak ada alasan untuk menahan gestur kecil yang terasa benar. Tidak ada siapa-siapa yang perlu diyakinkan.

Cuma mereka berdua.
Di dapur yang hangat.
Di tengah rumah yang, untuk sekali ini, terasa seperti rumah sungguhan.

Makan malam disajikan tanpa banyak kata. Dapur sudah bersih lagi, lampunya tidak terlalu terang. Mereka makan berhadapan, piring-piring berisi lauk sederhana dan uap pelan yang masih naik dari permukaan nasi.

Gemini diam sebagian besar waktu. Sendok bergerak, suara gesek halus di piring, kadang bunyi napas terlalu keras yang dipaksa terdengar biasa.

Fourth memperhatikan dari ujung mata. Bukan karena dia ingin bicara, tapi karena Gemini terlalu sunyi malam ini—sunyi yang bukan milik ketenangan. Lebih seperti... anak kecil yang dimarahi lalu diam, tapi masih berharap disayang.

Setelah dua suap tanpa suara, Gemini akhirnya membuka mulut—nada datarnya terlalu dipaksakan untuk terdengar acuh.

“Jahat banget sih. Masak gak boleh bantu.”

Fourth mengangkat alis. “Kamu lagi ngambek, ya?”

Gemini mendengus. “Enggak.”

Tapi matanya tidak melihat Fourth, hanya menatap sendok. Lalu menatap nasi. Lalu ngeringis kecil waktu lauknya tumpah. Fourth diam. Tapi ujung mulutnya naik sedikit.

Fourth tidak membalas. Hanya memberikan semangkuk sup kecil ke arahnya, lalu menunduk lagi. Tapi dalam dadanya, tawa nyaris meletus, ditahan hanya karena... Gemini terlihat benar-benar sedih.

Setelah makan, mereka membawa piring ke wastafel. Tanpa banyak bicara, Gemini membantu membereskan—diizinkan kali ini, walau hanya mengelap meja. Setelah semua beres, mereka pindah ke ruang tengah. Lampu tidak dinyalakan penuh, hanya lampu baca kecil di sudut dan cahaya dari layar televisi.

Setelah piring-piring selesai, dan dapur kembali sunyi, mereka berdua pindah ke ruang tengah. Gemini duduk di ujung sofa, kakinya dilipat santai, remote di tangan. Fourth duduk di sisi lain—cukup jauh, tapi tidak benar-benar berjauhan.

Mereka menonton satu film romcom lokal yang entah siapa yang pilih—mungkin asal pencet. Dialognya ringan, warnanya cerah, suasananya terlalu kontras dengan kenyataan mereka yang masih pelan-pelan belajar menata ulang semuanya.

Tapi seiring menit berlalu, jarak di antara mereka menguap perlahan. Tangan Fourth terletak di sandaran sofa—lalu entah bagaimana jadi bersisian dengan pundak Gemini. Kaki mereka sempat bersenggolan. Lalu dibiarkan begitu. Lalu menyentuh lagi. Lalu... tinggal di sana.

Gemini tidak banyak bicara, tapi dadanya terasa longgar.

Hingga telepon berdering.

Ia sempat kaget—lalu buru-buru menggapai ponsel yang tergeletak di meja depan.

Nama asistennya tertera di layar.

“Ah, sebentar ya,” ucapnya sambil setengah bangkit.

Tapi sebuah tangan menahan lengannya.

Fourth.

“Kamu mau ke mana?”

“Angkat telepon.” Gemini mengangkat alis.

Fourth menggeleng, masih tenang, masih menatap layar. “Ngobrol aja di sini.”

“Kamu… mau dengerin?”

Fourth mengangguk. “Siapa tahu aku bisa bantu,” katanya. Tapi matanya jujur. Matanya berkata, aku tidak ingin kamu jauh.

Gemini mendesah setengah geli. “Oke. Tapi kamu jangan bikin aku ketawa.”

Fourth tidak menjawab. Ia hanya menyender lebih dalam ke sofa, membiarkan lengannya tetap menyentuh lengan Gemini, dan jari-jarinya melingkar ke arah pinggang—ringan, seolah tidak sadar.

Gemini bicara di telepon. Suaranya berubah. Lebih formal. Lebih tenang. Tapi di sela itu semua, jari Fourth masih menggenggam kaus tipisnya dengan cara yang nyaris kekanak-kanakan—seperti bocah yang tidak mau ditinggal.

Setelah telepon selesai dan ponselnya diletakkan kembali ke meja, mereka tidak bicara sejenak.

Layar televisi menampilkan kredit film yang sudah berakhir.

Tapi mereka tidak bergerak.

Fourth masih menempel. Dan Gemini… tidak keberatan.

“Kita sering begini tahu…” suara Fourth akhirnya pecah pelan. “Duduk di sofa, nonton film yang kamu pilih, yang kamu gak pernah selesai tonton karena ketiduran. Lalu aku selesaikan sendirian.”

Gemini menoleh, perlahan.

“Waktu itu kamu juga suka maksa ikut ke pasar pagi. Padahal kamu benci bangun pagi.”

Gemini tidak menjawab. Tapi jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia tidak tahu harus bicara apa—jadi ia hanya mendengarkan.

“Kita pernah punya hidup yang pelan, Gem,” lanjut Fourth, suaranya hampir seperti bisikan. “Penuh hal-hal kecil. Hal-hal yang cuma kita tahu.”

Kepala Gemini menunduk. Dadanya hangat, tapi matanya sedikit pedih.

“Dan sekarang?”

Fourth menoleh. Tatapannya lambat, dalam, mengunci mata Gemini.

“Kita sedang berusaha meraihnya lagi, kan?”

Dan di antara genggaman jari, jarak tubuh yang tidak ada lagi, dan keheningan yang tidak canggung—Gemini tahu.

Ya.

Mereka sedang mencoba.

 

Gemini mulai terlelap dalam pelukan yang terasa amat tenang untuk malam sepanas ini. Napasnya melambat. Tubuhnya sedikit mengendur, bersandar lebih berat di sisi Fourth. Matanya sempat berkedip malas—sekali, dua kali—sebelum akhirnya tertutup sepenuhnya.

Fourth tetap duduk di sana. Tidak bergerak. Tidak bernafas terlalu dalam. Diam-diam menatap wajah itu, memahat setiap garisnya ke dalam memori. Menyimpan yang bisa disimpan, sebelum kenyataan berubah lagi.

Beberapa menit berlalu. Hanya suara kipas angin di langit-langit, dan suara napas Gemini yang lembut.

“Gem,” Fourth akhirnya berbisik, menyentuh bahunya lembut. “Ayo pindah ke kamar.”

Gemini bergumam—tak jelas—kemudian meringkuk lebih dalam. Matanya tetap terpejam.

“Tidur… bareng, ya?”

Kalimat itu jatuh ringan. Terselip dalam kantuk yang terlalu dalam. Tak sadar. Jujur. Tidak dibuat-buat.

Fourth hanya menatapnya. Jantungnya nyaris lupa berdetak. Tapi ia mengangguk pelan. Meskipun Gemini tak melihat. Meskipun mungkin tak akan ingat.

“Ya,” gumamnya nyaris tak terdengar. “Ya, aku ikut.”

Dia bantu Gemini bangkit, memapah dengan hati-hati ke kamar yang sudah lama tak mereka bagi bersama. Di sana, selimut belum dilipat, bantal belum berganti posisi. Tapi ada ruang. Selalu ada ruang.

Gemini langsung kembali tertidur begitu tubuhnya menyentuh ranjang. Fourth membaringkan diri di sisi yang lain. Jarak mereka… tipis sekali. Hanya beberapa jari.

Lalu, semuanya sunyi.

Langit-langit kamar itu tak pernah benar-benar berubah. Sama seperti caranya mencuri pandang ke arah Gemini—yang tertidur tak jauh darinya. Terlalu dekat. Terlalu tenang untuk malam yang sesak.

Nafas Gemini naik turun dalam irama yang baru saja ia temukan kembali. Sesuatu dalam dirinya—yang selama ini kacau—sekarang terasa... lega. Tapi lega bukan berarti tenang.

Fourth mengalihkan pandangannya ke langit-langit. Satu tangan menyentuh dada sendiri, mencoba menenangkan degup yang tetap tak mau melambat. Ia baru saja membuka pintu yang selama ini ia tutup rapat—mengunci segalanya di dalam dengan niat melindungi. Tapi sekarang... setelah semua keluar... kenapa rasanya lebih menakutkan?

Gemini tahu sekarang. Semua hal. Tentang amnesia. Tentang cinta mereka yang tertinggal di belakang waktu. Tentang janji-janji yang dibisikan dalam cahaya senja dan hujan di balkon kecil milik nenek. Tapi tetap... ada yang belum kembali. Ingatan. Rasa. Kebersamaan.

Dan mungkin itu yang paling menyakitkan. Bahwa sekarang pun, setelah rahasia itu pecah, Gemini belum benar-benar jadi miliknya kembali.

Tapi Fourth tak menyesal.

Bukan karena ia ingin Gemini ingat. Tapi karena ia tahu: mencintai Gemini bukan perkara ingatan. Ini soal pilihan. Dan Fourth akan memilihnya… setiap kali.

Bahkan jika Gemini tak pernah benar-benar ingat.

 

Pagi masuk seperti embun yang telat tiba. Pelan. Tak terburu. Cahaya tipis menyusup dari celah tirai, mengambang seperti partikel debu yang belum memutuskan akan menetap atau hilang.

Fourth membuka mata perlahan. Hening. Udara kamar masih dingin dari malam, aroma sabun cair bercampur dengan bau tubuh Gemini yang lembut dan hangat, tinggal di seprai dan di ujung bantal.

Gemini tertidur membelakanginya, punggungnya sedikit melengkung, lengan menggenggam selimut seolah ada sesuatu yang ingin dipeluk tapi tidak diizinkan.

Ada jarak di antara mereka—hanya beberapa sentimeter. Tapi Fourth merasa seperti sedang berdiri di tepi sesuatu yang besar.

Sudah berapa lama sejak mereka tidur di kasur yang sama, dengan udara yang tidak berisik, dengan nafas yang tidak terburu bagai menunggu waktu untuk pergi?

Ia bangkit bertahap, kaki telanjang menyentuh lantai dingin perlahan sambil terpaksa menahan napas agar tidak membuat suara saat berjalan turun dari kasur.

Ruang luar masih redup. Jam di dinding belum sepenuhnya sadar.

Ia membuka lemari perlahan, mengambil kemeja putih yang Gemini suka, dengan bagian lengannya gampang kusut lalu menyetrikanya tanpa terburu, uap panas naik ke wajahnya, membuat kulitnya terasa basah dan sedikit hidup.

Di meja kerja, laptop Gemini masih terbuka, layar gelap tapi hidup. Ia duduk, membukanya pelan, seperti membuka pintu kamar orang yang sedang tidur. Lalu mengecek jadwal Gemini hari ini, tidak lupa juga mengecek folder, siapa tau Gemini lagi-lagi lupa menyiapkan presentasi. Sesudah semuanya rapi. Dia tetap salin cadangannya ke flashdisk kecil di gantungan kunci. Untuk jaga-jaga.

 

Fourth lalu menyeduh kopi setelah air nyaris mendidih—bukan benar-benar menggelegak, tapi cukup untuk melepaskan aroma paling jujur dari bubuk yang ia aduk perlahan. Sendok logam bertemu keramik, satu putaran lambat, dua sendok gula larut tanpa suara.

Aroma pahitnya naik perlahan, bercampur dengan sesuatu yang tanah dan hangat. Bau pagi hari yang bersih, seperti pelindung tipis dari dunia yang terlalu keras nanti siang.

Sarapan menyusul. Roti dimasukkan ke pemanggang, ditunggu sampai kecoklatan, lalu diangkat cepat sebelum pinggirnya terlalu keras. Telur digoreng dalam wajan kecil, kuningnya tetap setengah cair. Irisan alpukat disusun seperti sisik tipis di atas roti, lalu diperciki air jeruk nipis agar warnanya tidak berubah.

Tangan Fourth bekerja seperti sedang menulis ulang kebiasaan yang tak pernah diajarkan. Gerakan yang tidak ragu, tapi juga tidak dibuat-buat. Seperti tubuhnya lebih dulu ingat, jauh sebelum kepalanya ikut sadar.

Meja makan dirapikan. Sendok diletakkan miring, gelas diputar agar gagangnya menghadap ke kiri—kebiasaan kecil yang tidak penting, tapi entah kenapa terasa perlu.

Dan lalu: suara langkah. Lembut. Sedikit terantuk karena lantai kayu yang dingin dan kaki yang belum sepenuhnya bangun.

Gemini muncul di ambang dapur, kemejanya sudah terpakai—putih, agak longgar di pundak, dengan lengan yang digulung sampai bawah siku. Rambutnya tampak sudah disisir, tapi masih ada satu-dua helai membandel di pelipis. Lehernya bersih, sedikit basah dari sisa cuci muka, dan napasnya masih lambat seperti belum sepenuhnya memutuskan hari ini akan dimulai.

Ia belum pakai jas. Hanya berdiri begitu saja, tubuhnya bersandar sedikit ke ujung meja seperti butuh penopang. Matanya separuh terbuka, tapi senyum itu sudah muncul—kecil, diam, dan lebih menyerupai refleks dari sesuatu yang sudah lama tinggal di dalam dirinya, bukan ekspresi yang sengaja diberikan ke siapa pun.

Fourth menoleh. Pandangannya berhenti sebentar di garis kerah kemeja yang belum ditarik rapi, lalu turun ke tangan Gemini yang menggenggam ponsel tanpa sadar. Tidak ada yang ia katakan. Hanya satu gerakan lembut: cangkir kopi digeser ke sisi meja, ke tempat yang selalu jadi milik Gemini.

Tanpa bicara, Gemini berjalan mendekat dan duduk. Gerakannya lambat, seperti sedang menyesuaikan diri dengan ruang yang ia kenali, tapi belum sepenuhnya ia miliki kembali.

“Pagi,” gumamnya akhirnya. Suaranya serak, nyaris patah di ujung, tapi tidak berat.

Fourth menunduk sedikit. “Pagi.”

Mereka makan tanpa banyak kata.

Bahu mereka tidak bersentuhan, tapi jaraknya tidak jauh. Piring-piring kecil itu seperti pembatas sementara—cukup untuk menjaga bentuk, tapi tidak cukup untuk menyembunyikan kedekatan.

Fourth bisa mendengar suara Gemini mengunyah perlahan. Bisa mencium wangi sabun dari kulit lehernya yang lembap, sisa dari mandi tadi. Bisa merasa ruang di antara mereka perlahan menghangat, bukan karena suhu, tapi karena diam yang tidak perlu diisi dengan penjelasan.

Mereka tidak banyak menatap. Tapi tidak sedang berpaling juga.

Dan dalam jeda yang lama antara satu suapan dan lainnya, Fourth tahu — pagi ini bukan hanya tentang roti dan kopi. Tapi tentang keintiman yang kembali, tidak dengan kata-kata besar, tapi dengan sendok yang diangkat bersamaan dan napas yang tidak saling mengganggu.

Gemini mengambil roti, menggigitnya kecil. “Biasanya kamu ngapain aja di rumah kalau aku kerja?” Gemini bertanya, matanya belum benar-benar lepas dari Fourth. “Selain memasak dan menyelamatkan karirku dari kehancuran.”

Fourth mengangkat bahu sedikit. “Macam-macam. Kadang baca, kadang nulis, nonton... atau bantuin presentasi kamu yang deadline-nya selalu mepet.”

Gemini tertawa kecil mendengarnya.

Fourth tetap duduk. Tangannya sudah otomatis menyusun piring-piring kosong, menyatukan sendok dan gelas, lalu beranjak pelan ke dapur. Tidak ada yang terburu. Rumah mereka tidak sedang diburu waktu, tapi tetap bergerak dalam ritmenya sendiri.

Dari dalam kabinet, ia mengambil kotak makan: satu kompartemen nasi, satu sayur, satu lauk. Ia buka tutupnya sekali lagi, memastikan tidak ada yang terlewat. Lalu sendok plastik yang dilap bersih, diselipkan di bagian atas sebelum kotaknya dikunci. Plastik klip kecil berisi irisan buah. Dua camilan kecil disusun berdampingan.

Bekalnya dimasukkan ke dalam tas kerja Gemini, di kompartemen tengah. Resletingnya ditarik, tidak macet, tidak tergesa. Ada perasaan puas kecil dalam menyusun hal-hal yang akan dibawa seseorang ke dunia luar—seperti menyisipkan perlindungan yang tak bisa ia ucapkan langsung.

Gemini sudah berdiri di belakangnya.

Fourth tidak sadar. Masih fokus menyusun botol minum di sisi tas, tangannya belum selesai menarik tali jinjing ke atas.

Lalu tiba-tiba—sebuah kehangatan menyentuh pipinya.
Lembut. Singkat.
Satu ciuman kecil, terlalu cepat untuk diantisipasi, terlampau nyata untuk diabaikan.

Gemini sudah setengah berbalik saat Fourth menoleh, terkejut kecil—tidak karena tak suka, tapi karena tubuhnya belum siap untuk disentuh sedekat itu.

Udara di antara mereka diam sesaat. Bukan karena canggung. Tapi karena detik itu seperti menahan nafasnya sendiri.

Gemini mengambil tasnya, lalu memakai jasnya sambil jalan pelan ke arah pintu. Bahunya sedikit menyesuaikan letak kerah, tangannya mengecek kantong, lalu ia berdiri di ambang pintu, tidak buru-buru.

“Aku pulang jam enam, ya,” katanya ringan. “Dinner bareng?”

Fourth masih setengah bengong, tapi ia mengangguk.
Tidak bicara. Tidak perlu.

Gemini tersenyum tipis. Bukan malu, bukan juga sok tahu—lebih seperti seseorang yang tahu persis apa yang ia lakukan, tapi enggan membicarakannya terlalu lama.

Pintu rumah tertutup dengan bunyi lembut.

Hening menyusul.

Fourth berdiri diam di tengah ruang makan. Tangan menggenggam cangkir kopi yang tinggal setengah, matanya masih tertuju pada kursi yang tadi diduduki Gemini—seolah jejak kehadirannya belum sepenuhnya pergi dari udara. Meja masih hangat. Kursi masih sedikit terdorong mundur. Dan di pipinya... masih terasa samar sentuhan bibir Gemini, ringan dan terburu-buru, tapi cukup untuk membuat detaknya tak menentu.

Dia menghela napas. Lalu tertawa—entah pada dirinya sendiri, atau pada betapa absurd dan manisnya semua ini.

Tangannya bergerak membereskan piring. Meja makan dibersihkan, kain dilipat ulang, kopi diseduh ulang. Gerakannya teratur, mekanis, seperti sudah ribuan kali dilakukan. Tapi tetap saja... ada jeda-jeda kecil di antaranya. Pandangan kosong yang tersangkut di sudut dinding, tangan yang berhenti beberapa detik di atas cangkir kosong, napas yang lebih berat dari seharusnya.

Karena walaupun pagi ini terasa seperti pagi yang dulu... tidak ada yang benar-benar kembali seperti semula.

Fourth, tahu itu.

Langkahnya membawanya ke ruang tengah, lalu ke kamar kerjanya. Sofa ditekuk, selimut dirapikan, buku-buku dikumpulkan. Ia duduk sebentar di sisi ranjang kecilnya, tempat ia terbiasa menyembunyikan dirinya dari dunia—dan dari Gemini.

Tapi sekarang...

Sekarang Gemini bukan lagi seseorang yang harus dihindari.

Dan justru karena itu, semuanya jadi lebih menakutkan.

Dia membungkuk, menyandarkan siku ke lutut, wajahnya tenggelam di telapak tangan.

Ini seharusnya jadi titik awal yang baik. Mereka sudah saling bicara, saling peluk, bahkan—secara absurd dan manis—saling cium pipi. Tapi di balik itu semua, hati Fourth masih menyimpan awan berat yang belum pecah. Ada banyak hal yang belum ia ceritakan. Banyak luka yang belum sempat ia buka. Dan setiap kali Gemini menatapnya dengan mata bening yang tak tahu apa-apa... Fourth merasa seperti orang yang sedang mencuri sesuatu yang bukan miliknya.

Apa yang harus dia katakan setelah ini?

Apa dia harus menceritakan sisa ingatan mereka yang dulu? Tentang malam-malam di rumah nenek? Tentang janji-janji kecil yang pernah mereka buat dan hancur bersama kecelakaan itu?

Apa Gemini sudah siap tahu semua itu?

Atau... apa dia sendiri sudah siap kehilangan semua ini sekali lagi, jika Gemini nanti pergi setelah tahu semuanya?

Fourth memejamkan mata. Dada sesak. Tenggorokan kering.

Selama ini dia berjuang sendiri. Memendam semuanya sendirian. Menunggu dengan sabar sambil menyaksikan orang yang ia cintai hidup tanpa ingatan akan cinta mereka. Dan sekarang ketika ada cahaya kecil menyelinap dari sela celah itu—Fourth justru takut menginjaknya terlalu cepat. Takut merusak yang baru saja tumbuh.

Tapi waktu tak akan menunggu.

Gemini sudah mulai bertanya. Sudah mulai menggenggam. Sudah mulai menatap Fourth seolah... ingin kembali mengingat.

Dan Fourth harus siap.

Bukan hanya untuk menceritakan segalanya.

Tapi untuk berdiri di sisi Gemini—entah nanti dia akan mengingat semuanya... atau memilih untuk meninggalkannya.

Lagi.

 

Rumah terlalu rapi. Kursi-kursi di tempatnya. Gelas sudah dicuci. Tidak ada yang menunggu dibereskan, tidak ada suara baru yang masuk.

Dan kadang, rumah yang terlalu rapi justru terasa seperti rumah yang tak ditinggali. Atau rumah yang siap ditinggalkan.

Fourth berdiri. Melipat serbet, mengganti posisi vas kecil di tengah meja. Hal-hal kecil, tapi bukan tentang fungsinya—lebih pada upaya menjaga sesuatu tetap hidup. Seolah kalau ia bergerak cukup hati-hati, ingatan bisa tetap diam di tempat.

Tapi tetap saja, hatinya berat. Bukan karena takut. Tapi karena tahu ia sudah terlalu lama menahan.

Ia melangkah ke ruang tengah. Jendela terbuka sedikit. Tirai bergoyang lembut, udara pagi masuk dengan sunyi yang bersih. Ia duduk di sofa, menunduk, menatap lantai kayu yang mengilap.

Ponsel ada di meja. Diam, seperti benda asing yang sebenarnya terlalu dikenal. Jemarinya menyentuhnya, menyalakan layar. Kontak pertama di daftar panggilan tak pernah berubah.

Nenek.

Nama itu seperti titik kecil di tengah layar luas — kecil, tapi cukup untuk menyelamatkan sesuatu yang hampir hilang.

Fourth menarik napas panjang. Punggungnya melandai ke sandaran sofa.
Matanya terpejam. Tangannya bergerak lambat ke ikon telepon.

Kalau ada satu suara yang bisa bikin semua ini gak sepi banget, mungkin cuma suara nenek.

Lalu ia tekan “Call”.

Suaranya terdengar tiga kali, lalu empat. Dan kemudian—suara yang ia tidak tahu ia rindukan sedalam itu muncul, retak di ujung tapi masih utuh.

“Halo?”

Fourth terdiam. Matanya menutup sebentar. Udara di sekelilingnya berubah.

“…Nek.”

Hening sesaat di seberang. Suara napas yang tertahan. Lalu,

“Fourth… Tuhan… Fourth?”
 Suara itu patah. Tapi bukan marah. Hanya—bingung. Tak percaya.

“Iya, ini aku.”
 Suara Fourth terdengar jauh, walau ia dekat dengan mulutnya sendiri.

“Ya Tuhan. Ya Tuhan. Kamu… kamu baik-baik aja?”
 Pertanyaan sederhana, tapi Fourth tidak tahu harus jawab apa.

Ia menarik napas, dadanya terasa terlalu sempit. Tangannya menekan sudut meja.

“Aku…” suara itu nyangkut. “Aku minta maaf, Nek.”

“Jangan.” Neneknya langsung jawab, cepat, panik. “Jangan, Fourth. Kamu gak salah. Kamu gak pernah salah.”

“Tapi aku ninggalin, kan?” Fourth melanjutkan, suaranya pelan. “Tiga tahun. Gak sekali pun aku nelpon. Gak ngasih kabar. Gak jelasin apa-apa.”

“Karena kamu punya alasan,” kata nenek, hampir seperti bisikan.

Fourth diam. Ada suara burung kecil dari luar jendela, lalu suara mesin pemanas menyala sendiri. Rumah seperti ikut mendengar.

“Aku telpon hari ini…” Fourth mulai lagi. “Karena Gemini udah tahu sekarang. Tentang amnesianya. Maksudku, belum semuanya. Tapi—dari aku. Bukan dari siapa-siapa.”

Di seberang, napas tertarik. Suara kecil dari kerongkongan nenek seperti tercekat.

“Astaga…”
 Ia terdengar kaget, sedih, tapi juga tenang. “Akhirnya. Dia tahu…”

“Sebagian.” Fourth menegaskan. “Aku belum berani buka semua. Tapi—aku gak kuat lagi terus diem.”

Lalu, seperti pintu yang dibuka terlalu lebar, kata-kata mulai keluar.

“Dan aku harus bilang juga soal… soal kami nikah. Waktu itu. Itu bukan keputusanku. Bukan dari kita. Itu dari orangtua Gemini. Mereka yang suruh. Dan aku—aku menolak, Nek. Aku beneran nolak. Tapi mereka bilang kalau aku gak setuju, aku gak bakal pernah lihat Gemini lagi.”

Suara di seberang pelan-pelan hilang. Tapi tidak menutup. Masih mendengar.

“Jadi… ya. Aku nurut. Aku nurut karena aku pikir mungkin ini satu-satunya cara bisa perhatiin lagi dia. Tapi ternyata… ternyata mereka gak bener-bener mau kami bareng. Mereka cuma pengen aku nyerah. Mereka pikir kalau aku nikah sama Gemini, terus lihat sendiri dia udah beda, aku bakal ngelepas dia.”

Fourth menunduk. Suaranya turun jadi gumaman.
“Mereka benar sebagian.”

Di seberang, suara napas. Lalu… pelan sekali:
 “Fourth, maafin nenek. Mereka ternyata masih kejam. Tapi kamu tahu nenek gak bisa ngelakuin apa-apa. Mereka gak biarin nenek dekat sama Gemini. Karena nenek sudah percayakan semuanya sama kamu, Fourth. Nenek cuma bisa tunggu. Tunggu kamu. Tunggu kabar. Tapi kabar itu gak pernah datang.”

Fourth menggigit lidahnya sendiri. Matanya panas. Tapi ia menahan.

“Aku takut, Nek. Kalau nenek tahu aku di sisi Gemini tapi dia tetep gak sadar, nenek bakal kecewa. Karena ternyata, bahkan setelah semua ini… Aku masih gak bisa nyelametin dia dari orang tuanya, sekarang malah aku ikut dijadikan robotnya mereka.”

Suara nenek terdengar lebih rapuh sekarang. “Kamu udah lakuin yang terbaik, Fourth. Kamu… berhasil bikin Gemini percaya. Itu yang penting.”

Fourth menutup mata. Giginya menekan lidahnya lagi.

Di seberang sana nenek melanjutkan lagi. “Orang tua Gemini gak pernah biarin dia sembuh, Fourth . Mereka sadar kalau dulunya anaknya sendiri itu korban dari kekerasan yang mereka lakukan. Karena itu mereka… gak mau Gemini inget. Mereka takut kalau Gemini tahu, dia bakal nolak mereka. Karena itu, dengan Gemini mulai mau mengingat kembali, itu langkah yang luar biasa.” Nenek mengucapkannya seperti fakta pahit yang akhirnya berani keluar.

Fourth diam. Kepalanya tersandar ke sofa. Suhu hangat bak sedang dipeluk.

“Dia belum balik sepenuhnya. Tapi aku ngerasa dia… mulai. Sedikit-sedikit kembali.”

Nenek tidak menjawab cepat. Lalu, suaranya lembut, dalam.

“Kamu sudah selangkah lebih dekat sama tujuanmu, nak.”

Fourth tidak jawab. Tapi matanya basah.

Dan untuk pertama kalinya sejak tiga tahun lalu, ia menutup telepon dengan suara yang terlalu lembut untuk dibilang selesai.

Sofa masih hangat. Tapi hanya di sisi tempat ia duduk.
Di luar, cahaya sudah mulai jatuh miring ke dinding. Bukan senja, bukan pagi—hanya waktu yang berjalan, tanpa izin, tanpa jeda.

Fourth bersandar lagi. Kepalanya menengadah sedikit, matanya menatap langit-langit yang polos.
Tangannya menyentuh sandaran, jari-jari bergerak pelan seperti ingin memastikan dirinya masih nyata di tempat ini. Masih bernapas. Pikirannya kembali ke hari-hari yang tidak ingin ia kenang.

Hari ketika Gemini membencinya.
Bukan dalam diam, tapi dengan kata-kata tajam, penuh makna, penuh amarah.
Hari ketika mata itu tidak mengenali siapa dirinya, dan mulut itu—yang dulu pernah menyebut namanya seperti doa—menyebutnya dengan kebencian yang keras. Tanpa filter. Tanpa rasa bersalah.

“Aku benci kamu.”
“Fourth, aktor handal kesayangan ayah”
“Kamu mau ngehindar lagi? Sekarang caranya nangis? Gitu?"

Kalimat-kalimat itu tidak hanya menyakitkan.
Mereka mengiris ulang semua yang pernah ia bangun.

Dan tetap saja—Fourth bertahan.
Hari demi hari, minggu demi minggu. Ia menahan.
Fourth harus duduk di sebelah Gemini yang dingin, menyuguhkan kopi pada pagi yang sunyi, menyuapkan perhatian ke dalam ruang yang tidak memintanya.

Karena bagaimana mungkin ia bisa pergi?
Bagaimana mungkin dirinya bisa meninggalkan seseorang yang memberinya cinta begitu penuh sampai Fourth pikir ia tidak pernah kehausan cinta saat bersama Gemini, tak heran ketika Gemini mengeluarkan kata seberat benci, untuknya. Rasanya hancur dunia seketika, menyerah bahkan terdengar menggiurkan kala itu.

Tapi mengingat apa yang sudah dilaluinya bersama Gemini, ia langsung tahu kalau memang pria itulah satu-satunya yang ia inginkan, meski tantangannya mesti terasa begini beratnya. Kalau saja hatinya tidak diciptakan dengan cinta begitu besar, mungkin ia akan memilih lepas. Tapi Fourth bukan siapa-siapa selain Fourth si keras kepala—dan itu artinya, ia tinggal. Tetap ada dan tetap mencintai.

Fourth sering membayangkan. 

Bagaimana rasanya kalau dirinya yang kehilangan ingatan. Apa dia akan menolak Gemini juga? Apa dia akan marah tanpa alasan? Apa dia juga akan merusak satu-satunya orang yang tinggal untuknya?

Dan jawaban itu, sepelik apapun, membuatnya bisa bertahan sedikit lebih lama.

Karena setiap kali Gemini menolak… Fourth akan berpikir, kalau aku di posisi dia, mungkin aku juga akan begitu.

Itu bukan pengampunan.
Itu hanya cara bertahan.

Dan kemarin… untuk pertama kalinya, Fourth bicara.
Tentang semuanya. Tentang luka. Tentang cinta yang tidak pernah pergi. Tentang betapa sendirinya ia selama ini.

Gemini percaya. Atau setidaknya... berusaha percaya. Dan Fourth tidak yakin kenapa.

Karena selama ini, ia hidup dalam ketakutan bahwa ketika semua rahasia terbuka, Gemini akan lari. Atau lebih buruk: membencinya lagi. Tapi tidak.
Kali ini—Gemini tinggal.

Dan mungkin, cuma mungkin…
mereka memang diciptakan untuk saling kembali.
Bukan karena jalan mereka mudah. Tapi karena tidak ada jalan lain yang terasa benar selain menuju satu sama lain.

Angin dari jendela menggerakkan tirai sedikit.
Fourth memejamkan mata, kepala masih menyandar ke belakang. Ada air di kelopak matanya, tapi tidak jatuh. Tidak perlu.

Karena di dadanya, luka itu masih terbuka. Tapi hari ini... luka itu tidak terasa sendirian.

 

Notes:

Hi everyone, here’s Chapter 9! Agak lebih cepat update-nya dari sebelumnya (SENENG GAK KALIAN??).

Honestly, this chapter feels like exhaling after crying too long. Banyak momen sunyi, banyak hal yang gak terucap tapi terasa, dan hubungan mereka mulai terasa kayak… sesuatu yang bisa dicariin bentuknya lagi. Tapi pelan. Tapi capek. Tapi cinta 😭

Writing this one was emotionally tender and strangely domestic—which I LOVE. I hope you felt the quiet shift too.

Thank you so much for reading and sticking around!!
Please please let me know what you think in the comments—aku BENERAN suka banget baca tiap reaksi kalian, sekecil apapun 😭💘
Don’t forget to leave a kudos if this chapter made you feel Things™. Sampai ketemu di next part 🕊️💤

Chapter 10

Summary:

A heaviness starts to settle in the corners of their shared life—quiet, invisible, but unrelenting. Some things can't stay buried forever. And when silence cracks, it doesn't ask for permission.

Notes:

⚠️ Content Warning: This chapter includes scenes of emotional shutdown, dissociation, and a moment that may resemble accidental self-harm (bathtub-related). Please read with care and take space if needed.

(See the end of the chapter for more notes.)

Chapter Text

Seisi mobil dipenuhi suara tawa.

Udara sore masuk lewat jendela yang dibuka setengah—hangat, kering, dan membawa bau bensin samar dari jalanan yang baru saja dilalui truk. Matahari sudah mulai turun, menciptakan cahaya keemasan yang menyentuh dashboard dan pipi pengemudi.

Gemini tertawa sampai bahunya goyah. Tangannya satu di setir, satu lagi memegang gelas plastik setengah kosong yang bergetar oleh sisa tawa.

“Lo tuh keterlaluan banget sumpah,” katanya, suara serak karena terlalu banyak tertawa.
Orang di sebelahnya—duduk dengan kaki naik satu ke jok, tubuh menyandar santai—mengangkat bahu sambil menahan senyum. “Lo yang maksa karaoke lagu itu, bukan gue.”

“Kan lo yang nyuruh gue nyanyi lagu jelek itu.”
Dia melemparkan gelas kosong ke jok belakang, kena jaket dengan emblem universitas. Suara plastiknya ringan. Dunia di sekitarnya juga terasa ringan.

Jam menunjukkan pukul 17.12. Jalanan tidak padat, langit masih bersih.
Dari speaker mobil, suara lagu indie lama bergulir pelan. Terdengar akrab untuk dijadikan latar. Juga terdengar damai untuk diingat sebagai sesuatu yang akan berakhir.

“Abis ini lo ke rumah nenek, kan?” tanya orang di sebelah.
Gemini mengangguk lemah. “Iya. Eh katanya lo mau kasih hadiah.”

“Kasih kado apa? Lo udah punya semuanya.”

Dia menoleh, senyum masih sisa. “Gue pikir dulu deh.”

Orang di sebelah tertawa pendek, tapi tidak menjawab. Tangannya keluar jendela, menyentuh angin. Matahari menangkap siluet jemarinya, membuat kulitnya terlihat hampir transparan.

Gemini ingin bilang sesuatu lagi. Tapi—

Bunyi klakson menghantam udara—panjang, melengking, datang dari arah kiri dengan kecepatan yang terasa seperti sesuatu yang sudah telat dihentikan.

Gemini baru sempat mengangkat kepala, masih dengan sisa tawa yang menggantung di sudut bibirnya, ketika cahaya putih menyala di sudut kiri matanya. Bukan sinar matahari sore, tapi sorotan lampu depan kendaraan lain, meledak dalam sekejap seperti kamera tua yang menyorot sangat dekat.

Dan lalu—tabrakan.

Dentuman logam menghantam logam, dalam bunyi yang tidak hanya keras, tapi juga dalam, basah, dan penuh isi. Segalanya bergerak sekaligus berhenti—satu tarikan napas yang tak sempat selesai, satu gerakan kecil yang kehilangan arah.

Setir di tangan Gemini berputar setengah paksa. Tubuhnya ditarik ke kiri, sabuk pengaman menghantam dadanya seperti pukulan palu, menekan napasnya keluar paksa dari paru-paru.

Kaca depan pecah dalam satu kilas—retakannya menyebar cepat seperti pecahan es dalam air panas, mengeluarkan suara yang seperti seruan patah yang tidak sempat menjadi jeritan. Pecahan-pecahan itu berhamburan di udara, menyentuh kulitnya, menempel di lengan, di baju, di kelopak mata.

Ada sesuatu yang basah di pelipisnya. Terasa hangat untuk air. Terlalu lambat untuk keringat.

Dan lalu—hening. Tapi bukan kesunyian yang biasa.
Ini adalah keheningan yang padat, penuh, disisipi oleh denging yang menetap di telinga—nada panjang, tinggi, seperti suara listrik yang bersarang dalam tengkorak. Musik yang tadi mengalun hilang begitu saja, digantikan frekuensi kosong yang tak bisa didengar, tapi juga tak bisa dihindari.

Pandangan mulai kabur. Cahaya dan bayangan tumpang tindih, membentuk dunia yang tidak lurus lagi. Gemini memiringkan kepala, atau mungkin dunia yang bergerak—sulit dibedakan.

Di sebelahnya, masih ada tubuh. Tapi posturnya salah. Tertekuk dengan sudut-sudut aneh, tak ada gerak, tak ada suara. Rambut menutupi sebagian wajah, dada tertutup serpihan kaca yang mulai menyerap warna merah dari sesuatu yang tak terlihat jelas.

Gemini ingin bicara. Tapi tidak ada suara. Hanya napas pendek yang kasar, gemetar, mengandung udara yang rasanya amat tebal untuk dilewati. Lidahnya tidak mau bergerak. Namanya tidak bisa disebut.

Tangan kanannya masih menempel di setir, gemetar tanpa kendali. Tangan kirinya... menyentuh sesuatu yang seharusnya hangat. Tapi tidak lagi hangat. Tidak juga dingin. Hanya diam.

“Phuwin…”

Kalimat itu jatuh dari mulutnya tanpa tenaga. Atau mungkin hanya muncul dalam pikirannya sendiri. Tidak jelas dari mana datangnya. Tapi terasa seperti harapan yang sudah terlambat.

Cahaya dari luar masih masuk melalui jendela yang setengah terbuka—matahari yang entah kenapa tetap bersinar dengan damai. Hangat dan indah seperti sore biasa.

Dan justru karena itu, semuanya terasa salah. Amat terang untuk kesedihan sebesar ini. Namun, terlalu biasa untuk sebuah akhir.

Gemini tidak menangis. Dia hanya menatap, dan menahan napas, dan merasa... kosong.

Lalu dunia di sekelilingnya menggelap.
Dunia—
hilang.

 

Gemini bangun dengan napas yang tidak sempat keluar sempurna—seperti setengah tenggelam dalam air dan setengah tercekik oleh udara itu sendiri.

Kamar sepi.

Hanya ada siluet perabot dalam cahaya yang belum penuh, bias tipis dari tirai yang tidak ditutup rapat semalam. Langit masih pucat. Udara belum hangat. Tapi tubuhnya panas. Basah oleh keringat yang menempel di punggung dan dada.

Seprei di bawahnya kusut, dan lengan kirinya gemetar, seolah masih menyentuh sesuatu yang seharusnya tak lagi diingat. Jari-jarinya membuka perlahan, mencari napas, mencari rasa normal.

Satu tarikan napas.
Kemudian dua.

Lalu dia sadar—ada berat di sebelahnya.

Fourth.
Masih tidur, membelakangi. Rambutnya berantakan di bantal. Napasnya lambat, teratur, satu-satunya suara nyata di ruangan yang sepi.

Gemini tidak bergerak.
Matanya menyapu langit-langit, lalu jendela, lalu pergelangan tangannya sendiri.
Masih di sini. Masih hidup.
Tapi rasanya... tidak utuh.

Tangannya perlahan menyentuh wajah, menyeka pelipis yang masih basah. Tidak ada luka. Tidak ada darah. Tapi di dalam dirinya—semuanya terasa pecah, seperti bekas benturan yang tidak pernah diberi waktu untuk pulih.

Dia tidak tahu harus merasa lega karena mimpi itu bukan nyata, atau panik karena mimpi itu terasa nyata.

Napasnya belum sepenuhnya kembali. Setiap kali dia menutup mata, kilasan cahaya dan bunyi logam itu datang lagi. Serpihan kaca di udara. Wajah seseorang yang tidak bergerak. Tangan di atas dada yang tak lagi bernapas.

Gemini duduk perlahan di pinggir ranjang. Kausnya menempel ke kulit. Tumitnya terasa dingin menyentuh lantai.

Dari tempatnya duduk, dia menoleh ke Fourth. Wajah yang damai. Dada yang naik turun lambat.

Dia ingin menyentuhnya. Hanya untuk memastikan bahwa ini nyata. Bahwa waktu tidak berjalan mundur.

Tapi yang dia lakukan hanyalah berdiri.

Langkahnya perlahan, hampir tanpa suara, saat ia menuju kamar mandi. Cahaya pagi yang tipis menempel di punggungnya, tidak cukup terang untuk menyapu sisa mimpi dari kulit.

Air keran dinyalakan. Wajahnya dibasuh. Tapi tidak ada yang hilang.

Saat Gemini menatap cermin, dia tidak langsung mengenali ekspresi di sana.
Bukan takut.
Bukan juga marah.
Tapi wajah seseorang yang menyadari:
ada bagian dari dirinya yang sedang kembali. Dan bagian itu... bukan yang dia harapkan.

Langkah Gemini di lantai—berat dan tidak berpola—membangunkan Fourth dari tidur yang benar-benar dalam. Ia membuka mata setengah, kelopak berat oleh sisa malam, tapi cukup sadar untuk tahu: Gemini tidak bernafas seperti biasanya.

Ada yang tertahan di tenggorokan. Ada kesunyian di kamar mandi yang tidak biasa.

Fourth duduk perlahan, tubuhnya kaku karena baru bangun. Pintu kamar mandi terbuka sedikit, dan suara air berhenti tak lama setelahnya. Saat Gemini keluar, rambutnya masih basah di ujung, kausnya lekat oleh keringat yang sudah mendingin.

Fourth menatapnya dari atas selimut, lembut tapi jelas khawatir.

“Gem?”
Suara itu lembut. Tidak menuntut.

Gemini tidak langsung menjawab. Ia berdiri di ambang kamar, matanya kosong, tapi bahunya jatuh seperti seseorang yang baru pulang dari tempat yang jauh sekali.

“Aku mimpi...” ujarnya akhirnya.
Suaranya kering. Nyaris berbisik.
“...aku di mobil sama Phuwin. Waktu itu.”

Fourth tidak bergerak. Tapi tubuhnya terasa berdesir pelan.
“Oh.”

Gemini berjalan gontai ke tempat tidur, tapi tidak duduk. Tangannya menyentuh pinggir kasur, seperti mencari pegangan yang tak kasat mata.

“Itu flashback,” lanjutnya. “Cuma mimpi. Tapi... rasanya nyata.”

Fourth menepikan selimut. “Sini duduk.”
Gemini menurut.

Begitu ia duduk, Fourth mendekat—tidak langsung menyentuh, hanya dekat. Cukup untuk membuat Gemini tidak merasa sendirian.

“Kalau gitu... mungkin itu artinya kamu akan mulai inget. Satu-satu.”

Gemini menggeleng lemas. “Aku gak tahu.”
Napasnya berat.
“Aku juga gak tahu apa aku pengen inget.”

Fourth diam sebentar. Lalu suaranya turun lebih rendah.
“Itu pertama kalinya kamu mimpiin dia?”

Anggukan pelan. Hampir tak terlihat.

“Selama ini aku gak pernah... kepikiran soal Phuwin,” kata Gemini. “Kaya kepalaku... sengaja ngehindarin itu. Tapi ternyata—rasanya kaya... dia mati dua kali. Karena aku bahkan gak sempat sedih waktu itu. Gak sempat kehilangan.”

Matanya mulai panas. Tapi tak ada air mata. Hanya kekosongan yang mengembang.
“Gak ada ruang buat sedih. Aku bahkan gak inget Dimana moment pertama kali aku hidup tanpa dia. Padahal... dia kakakku.”

Fourth mendekat. Pelan. Ia menyentuh lengan Gemini, hangat, tidak paksa.
Gemini tidak menghindar.

“Dia kakakku,” ulangnya lirih. “Dan aku... bahkan gak bisa inget suara terakhir dia.”

Hening.
Tak ada yang bisa menjawab itu.
Jadi Fourth hanya menyandarkan kepalanya ke bahu Gemini, ringan, seperti menahan agar ia tidak hancur.

“Kalau kamu belum sempat sedih waktu itu,” bisiknya, “kamu bisa mulai sekarang.”

Dan mereka diam, bersama.
Dalam kamar yang masih temaram, dengan sisa mimpi yang menggantung, dan kehilangan yang akhirnya punya ruang untuk bernapas.

 

 

Hari pertama, Fourth menunggu.

Setelah mimpi buruk itu—setelah pembicaraan yang begitu berat pagi buta—Gemini hanya bilang dia capek dan ingin sendiri. Fourth mengangguk, pelan, lalu membiarkan pintu kamar tertutup perlahan dari dalam. Tidak ada bunyi kunci, tidak ada bentakan, tidak ada dingin. Hanya keheningan yang mulai merayap dan menetap di dinding rumah.

Dia pikir Gemini cuma butuh tidur. Seperti dulu—seperti waktu skandal foto itu dan seluruh dunia terasa menghakimi. Seperti saat Gemini mengganti makan siang dengan tidur siang, dan rasa lapar dengan selimut. Fourth tahu harus sabar. Tunggu. Bantu tanpa suara.

Tapi hari kedua datang.

Dan pintu kamar tetap tertutup.

Fourth tidak lagi mendengar suara langkah, atau suara obrolan telpon dengan asistennya. Tidak ada musik, tidak ada suara guling yang jatuh, tidak ada apa-apa. Bahkan tidak ada suara Gemini menolak bantuannya.

Dia mengetuk sekali pagi itu. Menawarkan teh manis. Tidak dijawab.

Hari ketiga, Fourth bangun dengan kepala berat. Entah karena begadang, atau karena udara rumah yang mulai terasa janggal. Sepi. Sunyi untuk dua orang yang sebenarnya saling ada.

Dia meletakkan nampan sarapan di depan pintu kamar, tanpa harapan besar. Hanya roti panggang, pisang, dan segelas susu dingin. Yang dibawa masuk hanya susu—mungkin karena itu yang paling mudah ditelan. Sisanya dingin saat Fourth mengambilnya kembali sore harinya, dan membuangnya dengan lemas.

Gemini tidak keluar. Tidak bekerja. Tidak bicara. Tidak makan cukup. Tidak mandi, mungkin.

Fourth mendapati dirinya berdiri di dapur terlampau lama, menatap meja yang tidak penuh remah seperti biasanya. Sofa yang rapi. Meja makan yang tidak pernah terpakai lagi. Seluruh rumah terasa seperti panggung kosong.

Dia tahu pola ini. Dia tahu rasa tak berdaya yang datang dengan pola ini.

Dan yang membuat semuanya terasa makin buruk adalah:
Gemini tidak meminta apa pun.
Tidak ingin ditemani. Tidak menolak dijaga. Tapi juga tidak membuka ruang.

Dia hanya hilang.

Dan itu—bagi Fourth—selalu lebih menyakitkan daripada marah-marah atau kata-kata kasar. Karena di balik sikap diam Gemini, selalu ada sesuatu yang nyaris hancur tapi tidak bisa disentuh.

Jadi ketika pukul tujuh malam. Rumah sudah lama gelap. Lampu lorong menyala temaram, dan hanya suara kulkas yang sesekali berbunyi dari dapur.

Fourth berdiri di depan pintu kamar yang sama—tangannya tidak membawa nampan, tidak membawa pesan teks. Hanya dirinya sendiri.

Ia mengetuk pelan, dua kali. Tidak berharap ada jawaban. Tapi tetap mengetuk.

"Gem…" suaranya lembut, hampir tidak terdengar. Bukan panggilan, hanya konfirmasi bahwa ia masih di sini.

Punggungnya bersandar ke dinding sebelah pintu, dingin dan kokoh. Ia menatap lantai sebentar sebelum mulai bicara lagi.

"Aku gak tahu kamu dengerin atau enggak. Gak apa-apa juga kalau enggak."

Nada suaranya tidak marah. Hanya lelah. Dan tulus.

"Tapi aku cuma mau bilang… kamu gak sendiri, Gem. Apa pun yang kamu pikirin sekarang, sesakit apa pun, aku tetap di sini. Di luar pintu ini."

Hening.

Suara napasnya menggema kecil di lorong yang sempit.

"Aku tahu kamu gak suka merasa lemah. Kamu gak suka dikasihani. Tapi ini bukan soal itu. Ini soal kamu bisa hidup. Bisa terus jalan, pelan-pelan, dan tahu ada orang yang gak bakal pergi meskipun kamu lagi gak bisa ngapa-ngapain."

Ia berhenti sebentar. Mungkin berharap suara gesekan dari dalam. Mungkin suara napas. Tapi tetap kosong.

"Jadi, ya… kalau kamu perlu waktu. Ambil."
Tangannya menyentuh kusen pintu. Lalu turun lagi.

"Tapi jangan terlalu lama sendirian di sana. Karena kamu… gak sendirian sebenarnya."

Dia menunggu beberapa detik, seakan berharap tiba-tiba kunci pintu diputar. Tapi tidak ada apa-apa. Hanya sunyi.

Akhirnya, ia pergi ke ruang tengah dan mengambil ponselnya. Jari-jarinya cepat, tapi ragu saat menulis pesan:

Boleh tolong hubungi Gemini karena ada kendala mendesak? Sekarang ya, kalau telponnya dibalas sampaikan untuk meminta tanda tangan saya juga, bilang saja untuk dokumen penting. Tidak ada alasan spesifik, tolong ya. Terimakasih.

Tidak lama, suara Gemini terdengar dari balik pintu. Fourth berdiri di tengah rumah, menatap arah kamar dengan napas tertahan.

Setengah menit.

Lalu suara Gemini. Pelan. Datar.
"Ya… oke."

Itu saja. Satu kalimat. Tidak ada penjelasan, tidak ada emosi.

Bahkan Gemini tidak berusaha keluar dari kamarnya seperti rencana Fourth.

Tapi bagi Fourth itu cukup, kalimat yang diucapkan Gemini seperti suara dari dasar laut—sayup, nyaris tenggelam, tapi tetap ada. Tetap membuktikan Gemini masih hidup, masih terhubung walau seutas.

Dan itu… membuat dadanya sakit dengan cara yang tidak bisa dia jelaskan.

 

Bunyi bel datang pukul delapan pagi.

Dua kali. Cepat, tegas. Seperti pukulan palu ke logam. Bukan bel yang ditekan dengan ragu—ini nada khas: seseorang yang tak pernah mengira dirinya bisa ditolak.

Fourth masih setengah basah, rambutnya belum sepenuhnya kering dari mandi, kaus tipisnya menyerap embun dingin dari ubin pagi. Ia diam sebentar di lorong, menatap pintu depan seperti berharap itu hanya ilusi.

Tapi bel berbunyi lagi.

Langkahnya ke pintu pelan. Ia sudah tahu.
Satu-satunya orang yang selalu datang tanpa kabar dan dengan tuntutan.

Begitu pintu dibuka, cahaya pagi menyilau dari belakang dua sosok yang berdiri di sana—ayah dan ibu Gemini, rapi seperti biasa. Ayahnya dalam setelan abu-abu yang terlalu formal untuk hari kerja biasa. Ibunya bersyal tipis, parfum floralnya langsung masuk ke udara rumah bahkan sebelum mereka melewati ambang.

“Selamat pagi, Fourth” ujar ibunya. Senyumannya manis. Dingin.

“Pagi,” jawab Fourth. Tangannya masih menggenggam gagang pintu, seolah bisa menahannya tetap terbuka setengah. Tapi ia tahu lebih baik dari itu.

Fourth mengangguk pelan, lalu menyingkir. “Silakan masuk.”

Langkah sepatu mereka di lantai rumah seperti bunyi jarum—bersih, tepat. Mereka duduk di ruang tamu tanpa perlu ditunjukkan arah. Keduanya mengambil sisi kanan sofa, duduk dengan punggung tegak. Matanya langsung menyapu ruang: meja rapi, dinding bersih, tanaman karet yang mulai kehilangan daun karena lupa disiram.

Fourth duduk di seberang mereka, tidak terlalu dekat. Membiarkan jeda sejenak.

“Rumahnya tenang,” komentar sang ibu, matanya berkeliling. “Terasa kosong, mungkin.”

Fourth tersenyum kecil. “Kami memang lagi gak banyak ke luar.”

Ayahnya langsung masuk ke tujuan. “Dia gak masuk kerja tiga hari. Tanpa kabar. Itu bukan hal kecil, Fourth.”

Fourth hanya mengangguk, perlahan. “Gemini... kecapekan.”

“Capek?” ulang sang ibu. “Apa dia sakit?”

“Cuma butuh istirahat,” jawab Fourth. “Dokternya bilang begitu. Tidak serius.”

Itu bohong. Tapi Fourth sudah terbiasa menyesuaikan versi kebenaran untuk orang-orang seperti mereka.

“Lalu kenapa tidak memberi kabar?” Ayahnya mencondong sedikit ke depan.

Fourth diam sejenak, lalu menjawab dengan nada datar. “Karena ini bukan hal yang mendesak.”

Ruangan mendadak lebih sunyi. Bahkan jam dinding terdengar keras.

“Kami orang tuanya,” sahut sang ibu, lembut tapi penuh tekanan. “Kamu hanya—”

“Aku suaminya,” potong Fourth, tenang. “Dan aku tinggal di rumah ini bersamanya. Setiap hari. Aku paling tahu keadaan dia saat ini.”

Ada jeda. Lalu sang ibu menarik napas pendek.

“Fourth, kami tidak ingin berdebat,” katanya, seolah sabar. “Kami hanya khawatir. Ini bukan soal pengawasan. Ini soal tanggung jawab.”

Tapi Fourth sudah sering mendengar kalimat itu dalam berbagai bentuk.

Ia bangkit perlahan dari sofa. “Aku akan bilang ke Gemini kalau kalian datang.”

Langkahnya ke lorong terasa lebih berat. Ia mengetuk pintu kamar dengan dua jari. “Gem. Ayah ibu kamu di sini.”

Dari dalam, suara lemah. Serak. “Aku keluar bentar.”

Fourth menunggu di lorong. Pintu terbuka tak lama, dan Gemini muncul dengan kaus bersih, rambutnya belum disisir benar. Tapi wajahnya... wajah orang yang belum sepenuhnya kembali dari dalam dirinya.

Mereka hanya saling tatap sebentar sebelum Gemini melangkah ke ruang tamu.

Fourth tetap di lorong, mendengar dari jauh.

“Aku cuma gak enak badan,” suara Gemini.

“Kenapa gak bilang?” suara ibunya.

“Aku pikir gak penting,” jawab Gemini. Datar.

“Masa depan kamu penting,” suara ayahnya. “Posisi kamu penting. Kamu gak bisa asal absen begitu.”

“Gem...” suara ibunya mulai lembut lagi. “Kita cuma peduli. Kami cuma gak mau banyak kehilangan moment di perusahaan.”

Tapi Gemini tidak menjawab. Tidak menyangkal. Tidak mengangguk.

Beberapa menit bicara yang hampa. Lalu suara salam perpisahan. Suara pintu dibuka, lalu ditutup lagi. Rumah kembali hening.

Fourth berjalan kembali ke dapur. Gemini menyusul, lemas.

Suara sendok menyentuh pinggir cangkir. Perlahan. Tapi tajam dalam ruang makan yang terlalu tenang.

Gemini belum menyentuh sarapannya. Duduk di ujung meja, tubuhnya condong sedikit ke belakang, lengan bersilang, kepala menunduk seolah sedang berpikir... atau menghindar.

Fourth menatapnya dari seberang meja. Tangannya menggenggam gelas air yang sudah tak lagi dingin. Napasnya dalam, halus, menahan nada suaranya agar tidak keluar seperti teguran.

“Gem,” ucapnya, akhirnya. “Aku udah ngobrol sama seseorang. Konselor.”

Bahunya langsung naik sedikit—refleks kecil. Tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia mendengar.

Gemini tak langsung menoleh. Hanya bibirnya yang bergerak sedikit, seolah hendak bicara—lalu batal. Ia menatap ke sisi jendela, mata kosong, ekspresi sulit dibaca.

Fourth melanjutkan. Suaranya tetap tenang. “Dia bisa datang ke sini. Kalau kamu mau. Gak perlu langsung ngobrol banyak, cuma... sesi awal. Biar kamu gak sendirian ngelewatin ini.”

Sekarang Gemini menoleh. Lambat. Tapi matanya menyala, meski suaranya masih lirih.

“Kenapa kamu lakuin itu tanpa bilang-bilang dulu?”
Nada bicaranya seperti menggigit, tapi dingin.

Fourth duduk lebih tegak. “Karena kamu gak keluar kamar tiga hari. Karena kamu gak makan. Karena kamu gak cerita apa-apa dan aku cuma bisa nebak dari jauh.”

Gemini tertawa kecil. Tapi kering. Hampir seperti batuk. “Dan kamu pikir... bawa-bawa konselor bakal bikin semuanya selesai? Kamu bahkan nyuruh asisten aku buat hubungin aku diluar jam kerja, Fourth.”

“Aku mau kamu lihat aku disini sama kamu, Gem. Konseling itu bukan buat selesai-in,” jawab Fourth. Matanya tak berpaling. “Itu buat mulai.”

Hening. Lalu Gemini menggeser tubuhnya sedikit ke depan. Wajahnya sekarang terlihat penuh—mata yang merah karena kurang tidur, kulitnya pucat, urat di lehernya menegang perlahan.

“Kamu pikir aku mau? Did I ask you, Fourth? ” katanya. Kali ini tidak lembut. Tapi tidak juga berteriak. Hanya... terdengar berat. Dan marah.

Fourth menahan napas sejenak sebelum mengangguk. “Iya. Kita semua kadang butuh bantuan.”

“‘Kita semua? Fourth kamu ngerti gak kalau aku cuma butuh waktu? Gak usah sok tahu sama apa yang aku butuhin.” Gemini berdiri. Kursinya bergeser dengan suara kasar di lantai.

“Gem, duduk dulu—”

“Untuk apa sih?” potongnya. Tangannya terbuka, seolah menantang. “Kamu bantu aku, kamu atur aku ketemu konselor. Kamu kira aku gak tahu? Kamu kira aku gak ngerti kamu pengen semuanya balik kaya dulu?”

Fourth berdiri juga sekarang. Tidak bergerak maju, tapi tubuhnya tegang.

“Gem… karena aku cinta sama kamu,” katanya. Sederhana. Tapi berat.

Dan itu—itu justru yang bikin Gemini tambah kacau.

Wajahnya menegang. Matanya berkedip lambat, seolah sedang memproses sesuatu yang terlalu besar untuk dicerna dalam satu waktu. Dia menatap Fourth, tapi bukan dengan benci. Bukan juga sedih. Lebih seperti takut.

Atau curiga.

“Jadi ini semua buat kamu, ya?” bisiknya. “Supaya aku sembuh dan balik jadi orang yang kamu kenal? Supaya kamu gak kehilangan aku?”

Fourth hampir menjawab. Tapi bibirnya tertahan setengah. Karena apapun yang dia bilang sekarang... akan salah.

Gemini mendekat setengah langkah. “Aku gak pernah minta kamu bantu aku.”

Urat di sisi rahangnya terlihat sekarang. Tangannya mengepal. Napasnya cepat, tidak stabil. Tapi matanya tetap menatap—keras, dan hancur dalam waktu yang sama.

“Aku gak pernah minta kamu nyariin cara buat nyelamatin aku. Karena mungkin bakalan sia-sia, Fourth.”

Fourth tetap berdiri. Tapi suara napasnya kini terdengar lebih berat.

Gemini menunduk, matanya tertutup sebentar. Suara berikutnya lirih—nyaris terselip dalam napas. Tapi terdengar jelas.

“Dan bahkan kalau aku sembuh… bukan berarti aku bakal kaya dulu lagi.”

Dan itu—itu pukulan yang tidak dilontarkan dengan amarah, tapi dengan kejujuran. Yang justru lebih sakit.

Fourth tidak mundur. Tapi tubuhnya seperti kehilangan kekuatan sesaat.

“...Aku tahu,” katanya akhirnya. Suaranya lirih. “Tapi aku gak bantu kamu supaya kamu jadi kaya dulu lagi.”

Gemini tidak menjawab.

Hanya diam.
Dan pergi ke kamar, gontai. Pintu ditutup. Tidak dibanting. Tapi juga tidak dibuka lagi.

Dan Fourth?
Fourth berdiri di sana, sendirian, napasnya mengeras pelan. Matanya merah. Tapi tidak menangis.

 

Pukul sembilan lebih dua belas menit malam, jarum jam di dapur menunjukkan waktu.

Kesunyian telah bersemayam sejak dua jam lalu—bukan sunyi yang menenangkan, melainkan kekosongan yang menyesakkan. Kesunyian yang membuat tetesan air dari keran dapur terdengar serupa detak jam tua di balik dinding. Fourth tengah merapikan lap tangan yang basah ketika sebuah keanehan menyelinap dalam benaknya.

Gemini sudah hampir dua jam di kamar mandi. Awalnya Fourth tak ambil pusing. Mandi malam memang acap kali menjadi cara Gemini menenangkan pikiran; berlama-lama di bawah guyuran air hangat, menunduk, membiarkan punggungnya dibasahi tanpa suara. Namun… kali ini berbeda.

Terlalu lama.

Dan yang membuat jantung Fourth berdesir adalah sunyi yang merayap dari kamar mandi. Tak ada gemericik keran. Tak ada bunyi gayung. Bahkan embun pun tak menempel di kaca luar. Udara di kamar terasa… kering. Mati. Langkahnya melambat di atas ubin, namun tapaknya menggema lembut. Hawa dari bawah pintu tak hangat, tak seperti biasanya. Tak ada bayangan uap. Fourth mengetuk, ringan. “Gem?”

Tak ada sahutan.

Ia mengetuk sekali lagi, lebih keras.

Diam.

“Gemini?”

Nada suaranya berubah—terselip gentar yang tak jelas, namun menggores. Gagang pintu disentuhnya. Dingin. Pintu terbuka lambat—dan uap tipis menyambutnya. Namun bukan uap hidup, bukan uap dari air yang baru dimatikan. Ini sisa dari sesuatu yang telah lama padam. Lampu kamar mandi menyala kuning redup. Di dalam, bak mandi nyaris penuh.

Airnya tak lagi hangat. Permukaannya tenang, hanya bergetar pelan oleh arus kecil dari sisa tetesan keran yang bocor. Di sana, Gemini terbaring hampir tenggelam, tubuhnya kaku menyamping, kepala miring ke kanan dengan bibir sedikit kebiruan. Rambutnya mengembang sebagian di air, sebagian lagi menempel lemas di dahi. Matanya tertutup rapat, wajahnya sepucat marmer. Untuk sepersekian detik, Fourth membeku. Kakinya enggan bergerak.

Otaknya kosong, kemudian terisi suara keras yang memekakkan: tidak mungkin. Ia melompat maju. Lututnya membentur lantai ubin yang licin oleh sisa air.

“Gemini!”

Tangannya langsung menyentuh bahu Gemini—kulitnya dingin, sedingin es yang baru keluar dari freezer. Tubuhnya terasa berat dan kaku, seperti patung, bukan karena beban air, melainkan karena suhu. Ujung jari Fourth menepuk pipinya. “Gem! Bangun!” Tubuh Gemini tidak segera bergerak. Fourth mengangkat bahunya, mencipratkan air keluar dari bak. Air tumpah ke lantai, membasahi baju Fourth sampai ke dada. Jantungnya berdentum keras, berpacu dengan ketakutan yang mencekik.

“Gemini, napas… Napas kamu—”

Lalu—dada Gemini mengembang pelan, nyaris tak terlihat, seolah baru saja bangkit dari keabadian.

Satu tarikan napas—terdengar seperti tercekik, lalu batuk kecil keluar dari tenggorokannya. Matanya membuka. Pelan. Kosong. Lalu menyipit, refleks karena lampu. Fourth langsung memeluknya, setengah tubuhnya masuk ke bak mandi. Air membasahi celananya, meresap sampai ke kulit. Namun ia tak peduli.

“Ya Tuhan, kamu… kamu kenapa?” Suaranya nyaris marah, namun juga penuh gentar dan napas lega yang nyaris tak tertahankan.

Gemini tak menjawab. Hanya menatapnya dengan mata bingung, seakan tak mengerti apa yang baru saja terjadi. “Aku cuma… pengen diam,” gumamnya, suaranya parau. “Terus… jadi hening banget. Terus hilang…” Fourth memeluknya lebih erat. Menarik handuk dari samping, membungkus tubuh Gemini tanpa benar-benar tahu apakah Gemini bergetar karena dingin atau karena hal lain yang tak bisa disentuh.

“Jangan bikin aku takut kaya tadi, please,” bisik Fourth. “Kalau kamu ngerasa mau hilang, kasih tahu aku dulu… Aku gak bisa tolong kalau gak tahu.”

Gemini tak menjawab. Namun kepalanya bersandar ke dada Fourth, pelan. Dan di tengah air yang menetes ke lantai, napas yang masih belum stabil, dan pakaian basah yang melekat di kulit, keheningan itu berubah wujud.

Air dari bak masih menetes ke lantai ketika mereka duduk di tengahnya—Fourth di lantai dingin, basah sampai ke paha, dan Gemini bersandar rapuh di pelukannya, diam.

Tapi tubuh Fourth tak diam.
Ia gemetar.

Bukan hanya dari dingin—tapi dari sisa ketakutan yang menempel di tulangnya. Yang masih meringkuk di dalam dadanya seperti luka yang belum sadar ia buka.

“Kenapa kamu...”
Suara itu keluar sebelum ia bisa tahan.
“Kenapa kamu kaya gini, Gem...?”

Tangannya mencengkeram bahu Gemini lebih erat, seolah memastikan itu bukan tubuh mati yang sedang ia peluk. Tapi bahkan genggamannya sendiri terasa goyah. Jemarinya basah, mengerut. Lututnya terbentur pinggiran bak sejak tadi tapi tak terasa.

“Kenapa kamu gak bilang kamu kesakitan... kenapa kamu gak kasih tahu aku, kenapa...”

Suara itu pecah di tengah.
Dan air mata yang dari tadi menahan diri akhirnya jatuh, satu, dua, lalu banyak.
Ia menyentuh rambut Gemini, keningnya, wajahnya, dan berkata seperti mantra,
“Kamu gak boleh hilang. Kamu gak boleh gituin aku. Jangan lagi.”

Gemini tidak menjawab.

Tubuhnya tetap diam. Tangannya jatuh di sisi, tak mengangkat.
Tapi matanya... menatap ke depan. Basah. Beku.

Seperti ia masih tenggelam di bawah air—masih menyusuri sisa-sisa kepalanya yang hancur sendiri.

“Kalau kamu capek... bilang,” bisik Fourth, suaranya pecah. “Kalau kamu sedih... bilang aku. Kalau kamu marah... pergi, diem, apa aja. Tapi jangan... jangan tidur kaya tadi. Jangan pergi gitu.”

Dan lalu, tubuh Gemini bergerak sedikit.

Satu tarikan napas—tersendat.
Lalu satu lagi—lebih berat.
Dan akhirnya... suara tangis kecil.

Terlalu kecil. Seperti suara bocor dari sesuatu yang selama ini dikunci.

Fourth langsung merespon. Dipeluknya Gemini lebih erat, lebih dalam.
Gemini menyandar penuh. Dan tangisnya tumbuh—pelan, lalu retak, lalu pecah dalam hela napas.

“Maaf...”
Gemini bicara, tapi bukan dengan suara.
Seperti hembusan, seperti bisikan di antara sela giginya yang gemetar.
“Aku gak tahu harus gimana lagi.”

“Gak apa-apa,” jawab Fourth sambil mengelus tengkuknya. “Aku tahu.”

Tangis mereka bercampur. Suara napas menyatu.
Air dingin tak lagi penting. Lantai keras tak lagi terasa.

Dan Fourth, dengan suara yang patah, memohon,

“Please, Gem. Please... kita coba ya? Konseling. Terapis. Apa aja. Gak harus sekarang. Tapi jangan jalan sendirian. Kamu bisa bawa aku. Oke?”

Gemini tidak langsung menjawab.
Tapi bahunya naik turun. Tangisnya belum berhenti.

Dan akhirnya, satu anggukan kecil terasa di dada Fourth.
Satu gerakan lemah. Tapi cukup untuk menyelamatkan semuanya.

Fourth mencium rambutnya, lama.
Lalu berdiri, pelan-pelan, membopong Gemini seperti ia tak percaya laki-laki ini masih bisa disentuh dunia.

Langkahnya goyah, tapi pasti. Menuju kamar.
Menuju kasur.
Menuju apa pun yang bisa disebut tempat bertahan malam ini.

Dan di antara deru napas, dingin baju yang basah, dan kehangatan tubuh yang disatukan oleh luka yang sama—Fourth tahu.

Mereka masih ada.

Dan kali ini, mereka akan tetap ada.

 

Notes:

Thank you so much for reading Chapter 10! Maaf banget ini panjang dan lumayan berat ya HAHAHA I needed to emotionally recover after writing it.

Ini chapter paling draining setelah 8 honestly 😭 Tapi aku seneng banget bisa masuk ke sisi Gemini yang lebih raw dan mulai nulis lagi tentang kesabaran Fourth yang... unlimited.

Kalau kalian suka, please drop a little comment or kudos 🥺 Author bakal sangat sangat senang bacanya, sumpah. Komentar kalian tuh bensin semangat buat nerusin cerita ini sampai selesai 🫶

GUYS KATANYA KITA BAKALAN LIHAT SAMUT SEBENTAR LAGIIIII!!!! jangan lupa support TDD ya!! sama Fourth juga semangat dek buat SHTH, gak sabar ketemu pangeran nih.

See you in Chapter 11! Let’s cry more there 😌✨

Chapter 11

Summary:

The visit was unexpected, the words were sharper than any blade. In the quiet of the living room, Fourth found himself cornered—every breath, every silence, every smile meant to break him apart.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Hari-hari mulai membntuk pola lagi, meski tidak seperti dulu. Ritme baru—pelan, seperti jam yang sesekali melambat. Setiap pagi, Gemini tetap berangkat bekerja: dasi terpasang rapi, langkah seolah mantap. Tapi sore hari akan pulang lebih cepat, bahu turun, mata redup, lalu pintu kamar tertutup rapat. Ia bekerja, ya—sekadar cukup untuk mempertahankan kredibilitasnya sebagai pewaris perusahaan . Namun tubuhnya cepat lelah, pikirannya cepat penuh, dan Fourth bisa melihat semua itu meski Gemini tidak pernah mengatakannya.

Akhir pekan jadi sesi untuk terapi. Konselor datang dengan suara sabar, menunggu Gemini menemukan kata-katanya sendiri. Kata-kata yang terdengar berat, seperti batu yang diangkat dari dasar air. Sesi itu selalu melelahkan—namun Fourth ada: menunggu di dapur, menyiapkan makan siang, atau sekadar duduk di ruang tengah, jarak cukup dekat untuk mengingatkan bahwa Gemini tidak sendirian. Setelahnya, mereka jarang langsung kembali ke rumah. Lebih sering Fourth mengajaknya keluar: berjalan ke taman yang ramai dengan burung, singgah di kafe dengan lampu kuning lembut, atau hanya duduk di bangku pinggir jalan. Bukan kencan, bukan benar-benar pelarian, tapi jeda kecil tempat napas bisa beristirahat.

Namun malamnya masih dihantui mimpi. Dentuman, silau cahaya, kaca yang pecah, tubuh yang diam di sebelahnya—semua kembali berulang. Gemini terbangun dengan napas tercekat, keringat dingin di tengkuk. Dan Fourth lagi-lagi selalu ada: kadang menawarkan segelas air, atau hanya menggenggam tangannya erat, seakan menjaga agar Gemini tidak tenggelam lebih jauh. (Dan itu cukup. Malam itu, selalu cukup.)

Begitulah ritme baru mereka: pagi untuk kerja yang setengah, akhir pekan untuk bicara yang berat, malam untuk menghadapi mimpi. Seakan dunia sedang melatih mereka bersabar—satu hari, lalu hari berikutnya, lalu satu lagi. Banyak yang masih tersimpan di antara mereka: tentang cinta, tentang kehilangan, tentang jarak. Tapi Fourth memilih menunda. Baginya, hanya ada satu tugas yang penting sekarang: menjaga Gemini tetap bertahan, napas demi napas, genggaman demi genggaman. Satu hari ke hari lainnya.

Rumah masih berbau teh hangat dan kertas catatan ketika terapi berakhir. Suara pintu depan menutup pelan, meninggalkan hanya mereka berdua. Siang terasa lembut, tapi juga kosong—kosong yang menempel di udara seperti debu tipis. Gemini duduk di sofa, bahunya jatuh sedikit, jarinya menggenggam ujung lengan baju seakan sisa percakapan masih melekat di kain.

Fourth berdiri di ambang pintu. Ia melihat bukan hanya lelah di wajah Gemini, tapi kekosongan yang bisa menyeretnya kembali terjebak kedalam kamar, seperti arus bawah sungai.
“Hey,” suaranya lirih, seakan takut memecah udara. “Mau keluar sebentar?”
Gemini menoleh, kerut samar di alis. “Kemana?”
“Café dekat taman. Kita cuma duduk, minum kopi, ganti suasana.” Senyum tipis, lalu menawarkan janji pendek. “Gak lama.”

Gemini menunda jawaban, menahan napas sejenak, lalu mengangguk kecil. “Oke.”

Mereka berjalan pelan di trotoar kasar. Udara hangat menyapu kulit, seperti mengingatkan bahwa dunia di luar masih bergerak. Fourth setengah langkah di depan, mengamankan jalan. Gemini menunduk, tangannya tersembunyi dalam saku, seakan takut udara bisa menelanjanginya.

Café kecil itu menyambut dengan denting lonceng di pintu. Aroma kopi bercampur kayu manis melingkupi mereka, hangat sekaligus manis, tapi juga rapuh seperti sesuatu yang bisa hilang begitu saja. Gemini memilih meja di dekat jendela besar—tempat cahaya masuk serta bayangan tetap bertahan.
“Aku pesen ya,” kata Fourth, tasnya ditaruh di kursi sebelah.
Gemini hanya mengangguk.

Di balik etalase kaca, Fourth menyebut dua gelas kopi—satu tanpa gula, seperti selalu untuk Gemini—dan sepotong carrot cake yang sudah lama dilupakan. Tak lama, pelayan meletakkan cangkir-cangkir. Uap kopi naik pelan, bercampur dengan manis aroma cake. Suara sendok dari meja lain, percakapan samar, jarum jam dinding yang melangkah satu demi satu—semuanya memenuhi ruang, tapi tidak menenggelamkannya.

Gemini menatap cangkir di depannya, jarinya mengusap perlahan pegangan. Diam dulu, sebelum suara akhirnya keluar.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
Fourth mendongak. “Apa?”
“Kenapa kamu setuju sama pernikahan ini?”

Suaranya datar, tapi matanya menekan dari dalam, seperti cahaya yang pecah di balik kaca.
Fourth membeku. Sendok di tangannya terhenti di udara. Ia menunduk ke permukaan kopi yang berputar, napasnya keluar lambat.
“Karena aku gak punya pilihan,” katanya akhirnya.

Gemini menegang sedikit di garis rahang. “Maksudnya?”
Fourth menaruh sendok ke piring kecil; denting logam singkat, lalu kembali hening. Ia mengangkat kepala, menatap Gemini penuh, seakan memastikan setiap kata tidak meleset.
“Orang tuamu yang berikan pilihan. Mereka bilang kalau aku nolak, aku gak akan pernah lihat kamu lagi. Selamanya.”

Gemini diam, seolah waktu berhenti.
“Aku tau mudah bagi mereka untuk tinggal menyingkirkan orang sepertiku,” lanjut Fourth, suaranya rendah, hampir tenggelam oleh deru mesin espresso. “Mereka benci hubungan kita. Jadi mereka pikir lewat cara ini, aku yang akan hancur duluan. Aku yang bakal menyerah. Supaya aku juga melepaskanmu sendiri.”

Gemini menarik napas cepat, mengeluarkannya terlalu pelan. Cangkir di tangannya bergetar sedikit sebelum kembali diam.
“Dan kamu… tetap setuju?” katanya nyaris berbisik.
Fourth mengangguk, berat. “Aku gak mau kehilangan kesempatan untuk pastiin kamu baik-baik aja.”

Gemini menunduk lagi. Matanya jatuh pada bayangan cangkir di meja, bergoyang kecil setiap kali pelayan melangkah lewat. Bibirnya terbuka, menutup lagi. Hening. Hanya jarum jam yang terus bergerak di atas bar, meski mereka tetap terjebak di detik yang sama.

Fourth menunggu, dadanya sesak menahan jeda.
“Aku… gak tahu harus bilang apa,” suara Gemini akhirnya pecah, rendah dan ragu. Ia mengusap wajahnya cepat, lalu menjatuhkan tangan ke pangkuan. “Aku gak tahu kenapa kamu harus lewatin itu gara-gara aku.”
Fourth menggeleng pelan disertai senyum tipis. “Bukan salahmu.”

Gemini mendongak. Matanya berkaca tapi jernih, seperti sedang membaca ulang setiap kalimat yang baru saja dilemparkan ke udara. Diam lagi. Hanya aroma kopi yang perlahan mendingin, dan sepotong cake yang tetap utuh di tengah meja.

Waktu berjalan tanpa banyak suara. Kopi di cangkir mereka turun setengah, cake di piring sudah berkurang beberapa suap. Fourth menggeser piring itu sedikit ke tengah, mendorongnya pelan ke arah Gemini.

“Kamu selalu suka carrot cake,” Fourth berkata akhirnya, nada suaranya ringan, seperti sedang membuka arsip lama di kepalanya. “Dulu tiap ada di menu, kamu pasti pesan. Kadang dua kali.”

Gemini menoleh, alisnya naik sedikit. “Aku? Serius?”

Fourth mengangguk. “Iya. Sama café kayak gini juga. Tenang, gak begitu ramai, ada jendela besar. Kamu bisa duduk berjam-jam cuma buat liatin orang lewat.”

Gemini tertawa kecil, terdengar kaget oleh fakta tentang dirinya sendiri. Ia menunduk sebentar, lalu mengangkat pandangan lagi, matanya berkilat samar di bawah cahaya sore. “Jadi aku gak banyak berubah, ya.”

“Beda,” Fourth mengoreksi, tapi nada suaranya lembut. “Kamu yang dulu… lebih santai. Lebih lembut suaranya. Tapi soal hal-hal kecil kayak gini…” ia menunjuk piring cake dengan dagu, “…masih sama.”

Gemini diam sebentar, jarinya mengetuk sisi cangkir sekali, dua kali. Lalu ia mengulurkan tangan, menyentuh punggung tangan Fourth di meja. Sentuhan ringan, hampir ragu, tapi tidak ditarik kembali.

“Terima kasih,” ucapnya, lirih. “Udah sabar. Udah nunggu.”

Fourth menoleh cepat, napasnya tersendat sedikit tanpa bisa ditahan. Tatapan Gemini lurus, jujur, membuat dadanya terasa kosong sekaligus penuh dalam waktu bersamaan.

Satu detik yang terasa lama mereka saling menatap, lalu Gemini tertawa pendek—nervous, tapi tulus. Fourth ikut tertawa, kepalanya menunduk, pipinya memanas dengan cara yang membuatnya merasa lebih muda dari usianya.

Tawa mereka menyatu, pelan tapi lepas, sampai beberapa orang di meja seberang sempat menoleh penasaran. Tapi mereka tidak peduli.

Mereka meninggalkan café saat langit mulai menumpahkan warna keemasan. Angin sore berhembus lebih kencang, membawa dingin yang tipis ke kulit. Jalan setapak terasa masih kasar di bawah injakan setiap langkah, sementara lampu jalan menyala satu per satu, cahaya pucatnya memantul di kaca bangunan yang mereka lewati.

Gemini berjalan di sisi kanan, bahunya nyaris menyentuh bahu Fourth. Tangan mereka terayun rendah, bersenggolan sekali-dua kali saat langkah tak seirama. Awalnya tak ada yang bereaksi. Tapi ketika punggung tangan Gemini kembali menyentuh punggung tangan Fourth untuk ketiga kalinya, keduanya membiarkan jarak itu hilang.

Gemini akhirnya tertawa kecil, suaranya terhempas angin. “Kamu sengaja, ya?”
Fourth menoleh, alis terangkat. “Apa?”
“Tanganmu,” Gemini menunduk sedikit, senyum samar di bibirnya.

Fourth hanya mendengus. Tapi kali ini ia tidak menjauh. Jari kelingkingnya justru bergerak pelan—menyentuh kelingking Gemini, sekali, lalu diam di sana.
Gemini menoleh, matanya menyipit. “Subtle sekali.”
Fourth pura-pura sibuk menatap jalan di depan. Tapi kelingking itu tetap bersentuhan, lalu menaut, sampai akhirnya kedua tangan mereka benar-benar saling menggenggam. Hangat, kokoh, tapi juga canggung—cara sederhana yang bisa membuat dada bergetar.

Beberapa langkah berikutnya diisi hanya oleh suara sepatu bergesek di aspal yang basah. Gemini melirik ke samping, memperhatikan telinga Fourth yang merah jelas di bawah lampu jalan.
“Kamu kedinginan?” tanyanya tiba-tiba. “Telingamu merah.”
Fourth hampir tersedak napas sendiri. “Enggak.”
“Yakin?” Gemini mendekat sedikit, tatapannya menggoda. “Merah banget.”
Fourth menghela napas, tidak menjawab. Hanya menggenggam tangan itu lebih erat. Gemini terkekeh, puas dengan reaksi itu.

Mereka tiba di rumah ketika langit sudah jadi biru tua. Di teras, genggaman itu akhirnya harus lepas untuk membuka sepatu. Gemini mendengus kecil, wajahnya sedikit cemberut.
“Kenapa?” tanya Fourth sambil menaruh sepatu di rak.
“Sayang aja dilepas,” gumam Gemini, suaranya pelan tapi jelas.

Fourth tertawa pendek, lalu menepuk ringan kepala Gemini. “Kamu bisa genggam tangan aku kapanpun kamu mau. Aku gak kemana-mana.”
Gemini mendongak, senyum kecil muncul lagi di bibirnya. “Noted.”

Mereka masuk rumah, dan pintu tertutup pelan di belakang mereka. Tapi hangat genggaman tadi masih tinggal di kulit, di dada, di antara napas mereka yang belum sepenuhnya tenang.

Malam sudah larut, tapi kamar belum sepenuhnya gelap. Lampu meja masih menyisakan cahaya kuning redup, menempel tipis di dinding, membuat bayangan panjang di tirai yang diam. Gemini duduk di ujung ranjang, tubuhnya condong ke depan, jari-jari saling bertaut tapi gelisah, matanya kosong menatap ke arah tirai seakan mencari sesuatu yang tidak ada di sana.

Fourth memperhatikan dari sisi lain ranjang. Ia mengenali tatapan itu—jauh, berat, seperti sedang tenggelam di tempat yang tak bisa dijangkau.
“Phuwin, ya?” suaranya akhirnya memecah hening.

Gemini menarik napas dalam, mengembuskannya pelan. “Iya. Tiba-tiba aku kangen dia.”

Hening sempat kembali menutup. Lalu Fourth tersenyum kecil, mencoba menarik cahaya ke dalam ruangan. “Kamu tahu gak, dulu aku paling malas makan bareng kalian?”
Gemini menoleh sekilas, bingung. “Kenapa?”
“Soalnya kalian berdua fast eater paling kejam yang pernah aku temui,” Fourth menjawab, matanya berkilat oleh kenangan. “Baru aku ambil setengah sendok daging, piring kalian udah kosong. Bukan kosong biasa—kosong kayak gak pernah ada makanan di sana. Aku cuma kedip, tahu-tahu semua hilang.”

Gemini berkedip, lalu bibirnya terangkat tipis. “Serius?”
“Serius,” Fourth mengangguk, menahan tawa. “Aku sampai protes ke nenek. Bilang, kalau begini terus aku stop ikut makan bareng. Akhirnya nenek bikin porsi terpisah buat aku. Padahal Phuwin jarang main ke rumah nenek, tapi setiap dia datang, aku bisa dipastikan kelaparan.”

Tawa lolos dari mulut Gemini, pendek tapi nyata, masih bercampur sisa sedih. Ia menutup wajah dengan satu tangan, bahunya bergetar kecil. “Astaga…”
“Jadinya,” Fourth ikut tertawa, suaranya ringan, “buat kalian itu dinner, buat aku itu survival game.”

Tawa mereka menyebar tipis ke seluruh ruangan, mereda perlahan, tapi meninggalkan senyum di wajah Gemini yang belum sepenuhnya hilang.

Fourth menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Phuwin pasti pengen kamu inget dia kayak gitu juga. Gak cuma dihari terakhirnya.”
Gemini terdiam, tapi napasnya lebih stabil. Ia menoleh, matanya masih hangat. “Thanks.”

Fourth mengangguk. Saat Gemini menyandarkan kepala ke bahunya, ia tidak bergerak, hanya menerima berat itu dengan tenang. Mereka duduk begitu saja, membiarkan malam menutup perlahan dengan sisa tawa masih menggantung di udara.

Fourth bersandar ke sandaran ranjang, bahunya tetap jadi tempat singgah untuk Gemini. Napasnya terdengar pelan tapi berat, seolah sedang menimbang kata-kata yang mungkin tak akan pernah benar-benar selesai ia temukan.

“Aku… boleh tanya sesuatu?” suaranya rendah, hati-hati.

Gemini hanya mengangkat dagu sedikit, matanya mencari-cari milik Fourth.
“Apa yang masih kamu inget… dan apa yang nggak?”

Keheningan merayap, hanya detak jam yang mengetuk udara. Gemini memejam sebentar, menarik napas, lalu mengembuskannya pelan.
“Yang aku inget…” ia mengernyit, seolah menggali sesuatu di balik kabut. “…cuma potongan kecil. Aku sama Phuwin sekolah bareng. Itu pun samar. Fragmen.”

Fourth mengangguk pelan, meski tatapan Gemini tak beranjak ke arahnya.
“Terus… aku gak inget sama sekali waktu tinggal di rumah nenek,” lanjut Gemini, jari-jarinya mengetuk lutut sendiri. “Yang aku inget… aku bangun di rumah sakit. Mama bilang aku kecelakaan karena mabuk.” Suaranya mengecil, nyaris bisikan. “Katanya aku lupa soal Phuwin juga gara-gara itu. Gara-gara kebanyakan mabuk.”

Fourth menegakkan duduk, dada menegang. “Padahal—”
“Padahal aku koma, kan?” Gemini memotong, menoleh cepat. Matanya basah tapi tajam. “Aku gak inget apa-apa. Kosong. Dan aku percaya mereka. Karena memang gak ada apa-apa di kepalaku.”

Sunyi menggantung. Fourth menelan ludah, lehernya kaku.
“Aku…” suaranya pecah sedikit, ia menarik napas panjang. “…aku juga gak tahu apa-apa waktu itu. Dua hari setelah kejadian, nenek yang kasih kabar. Aku bingung harus apa. Aku bahkan gak tahu rumah orang tuamu di mana, gimana keadaanmu. Semuanya gak tahu.”

Gemini menatapnya, napasnya pendek-pendek.
“Terus?” suaranya lebih tegas daripada wajahnya yang gemetar.

Fourth meremas sprei, mencari pegangan. “Nenek bilang dia bikin kesepakatan. Dia gak akan kasih tahu kamu soal amnesia… asal mereka gak pisahin aku dari kamu. Nenek juga sebenarnya jamin kalau aku gak akan kasih tahu soal amnesia kamu.”

“Oh?” suara Gemini pecah, setengah getir.
Fourth mengangguk, jemarinya semakin erat menggenggam kain. “Itu satu-satunya cara aku bisa tetap deket, dan tahu keadaan kamu. Makanya aku ikut ke perusahaan ayahmu. Karena kalau enggak—aku gak bisa lihat kamu lagi.”

Hening kembali, panjang. Napas mereka saling bersahutan, patah-patah, memenuhi kamar.
Gemini kembali menatap Fourth dengan mata sedikit basah, tapi ada ketenangan samar. Perlahan, ia mengulurkan tangan—ragu-ragu, seperti mencari pegangan di ruangan gelap.

Fourth sempat kaku, sampai jemari itu menyentuh pergelangan tangannya. Ia langsung membalas, menggenggam erat, seakan kesempatan itu bisa hilang kalau ia lengah.
“Aku… aku minta maaf,” suara Fourth pecah, serak dan sedikit berbisik. Bahunya bergetar. “Pilihan itu mungkin egois. Tapi aku cuma… gak mau kamu disakitin lagi sama mereka. Aku tahu gimana hidupmu waktu itu. Sampai kamu kabur ke rumah nenek. Aku gak sanggup kalau harus lihat itu terulang.”

Gemini menggeleng kecil. “Gak apa-apa.”
“Gem—”
“Gak apa-apa,” ulangnya, kali ini lebih tegas, tatapannya lurus menembus Fourth. “Aku ngerti. Dan aku percaya kamu.”

Hening turun lagi, tapi bukan yang mencekik—hening yang terasa seperti pintu udara terbuka.
Fourth mengusap wajahnya dengan tangan bebas, matanya ikut basah. Gemini menghela napas panjang, lalu bergeser, meluruskan tubuhnya. Menarik kepala Fourth jatuh di bahu miliknya,  yang bernapas begitu cepat dan tidak beraturan. Gemini melingkarkan tangan ke punggungnya, menahan agar tetap dekat. Di ruang kecil itu, hanya ada suara napas mereka, patah-patah tapi menyatu, bercampur aroma hangat lilin lavender yang dibakar dipinggir meja.

 

Pagi itu rumah sepi. Gemini sudah berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya, meninggalkan Fourth sendirian di meja makan yang masih berantakan sisa sarapan. Sinar matahari masuk lewat jendela, jatuh ke permukaan meja yang dingin.

Piring terakhir baru saja ia bilas, air menetes dari jemarinya ke lantai ubin ketika suara bel rumah menyela—panjang, tajam, terdengar mendadak untuk pagi yang mestinya tenang.

Fourth mengeringkan tangannya tergesa dengan handuk dapur, alisnya berkerut. Jarang ada tamu datang ke rumah ini. Ia berjalan ke pintu, langkahnya masih lambat, sampai jemarinya menyentuh gagang dan pintu terbuka.

Di ambang berdiri Ibu Gemini, Mrs. Sophia Titicharoenrak. Sendirian. Mantel krem rapi menempel di bahunya, wajahnya datar dengan senyum tipis—senyum yang tidak menghangatkan apa pun.

“Mama?” suara Fourth keluar lebih rendah dari niatnya, kaget. Ia sempat melirik ke jalan di belakang, separuh berharap ada orang lain juga di sana. Kosong. “Biasanya Mama datang berdua…”

“Ayah ada urusan lain.” Wanita itu melangkah masuk tanpa menunggu undangan. Aroma parfumnya langsung merasuk, mawar sintetis yang menusuk tajam. “Kamu sendirian di rumah?”

Fourth menutup pintu perlahan, tenggorokannya kering. “Iya, Gem pergi ke kantor.”

Lalu menuntunnya ke ruang tamu, kursi empuk di bawah cahaya tipis matahari yang menembus tirai. Kembali ke dapur dengan tangan sedikit bergetar ketika ia menaruh cangkir di meja rendah, menuangkan teh panas. Uapnya naik, tipis dan samar.

“Silakan, Ma.” Suaranya masih hati-hati.

Sophia meraih cangkir itu dengan gerakan elegan, jari-jarinya nyaris tidak menyentuh pinggiran keramik. Senyum kecil masih menggantung, tapi tidak ada percakapan lanjutan.

Fourth duduk di kursi seberang, punggungnya tegak, telapak tangan menekan lutut. Ia menelan ludah, menatap cangkirnya sendiri yang masih kosong.

Sophia terlihat meniup teh perlahan, uap hangat menutupi sebentar garis bibirnya. “Rumahnya rapi, ya.” Suaranya ringan, tapi matanya menyapu setiap sudut ruang tamu, seperti sedang mengaudit. “Kamu memang… cepat belajar. Semua terurus, semua tampak nyaman.”

Fourth tersenyum kecil, mengangguk. Tangannya meremas lutut di bawah meja, telapak basah oleh keringat. “Terima kasih, Ma.”

“Pernikahan kalian…”  berhenti, mengaduk tehnya dengan sendok kecil, bunyinya ting, ting pelan memecah sunyi. “Membantu banyak, tahu? Tidak cuma untuk perusahaan, tapi juga untukmu. Dari anak biasa, tiba-tiba jadi… suami Gemini. Lompatan besar, kan?”

Ujung senyum Fourth tak bergeser, tapi matanya menunduk pada permukaan teh yang bergelombang tipis. Dalam kepalanya, kata-kata Ibu dari suaminya ini terasa seperti ditaburkan perlahan, sepotong demi sepotong, dengan jeda cukup panjang untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

“Ya… Fourth bersyukur,” jawabnya singkat.

Sophia bersandar santai di kursi, kaki disilangkan, wajahnya tampak puas dengan respon itu. “Begitu banyak orang yang berharap posisi seperti ini. Tapi keberuntungan memang bisa datang… tiba-tiba, ya? Untung sekali kamu.”

Fourth menarik napas pelan, menahannya di dada. Senyum tipis masih dipertahankan, tapi di balik meja kakinya terasa dingin luar biasa, seperti menempel di lantai batu.

Sophia melanjutkan, kali ini suaranya menurun setengah nada. “Kamu kelihatan betah, Fourth. Betah… dan nyaman.”

Uap teh masih naik dari cangkir, tapi Fourth mendadak merasa dingin. Ia mengangguk sekali lagi, kali ini tak mampu menambahkan kata apa pun.

Sophia menyandarkan punggungnya lebih dalam ke kursi, jari-jarinya mengetuk-ngetuk pelan gagang cangkir. Senyumnya masih terpasang, tapi matanya tajam seperti jarum.

“Kamu sadar, kan, Fourth?” suaranya datar, tapi setiap kata terdengar seperti titipan. “Kamu sudah dapat begitu banyak. Ayah Gemini memberimu posisi di perusahaan, semua biaya diurus. Lalu sekarang—” ia berhenti, menarik napas seperti menikmati aromanya sendiri—“kamu menikah dengan Gemini. Itu benar-benar… mimpi, bukan?”

Fourth menelan ludah. Ia tersenyum sopan, menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan tangannya yang sudah lembap di atas lutut. “Fourth…” kata itu menggantung, napasnya keluar terlalu cepat, “berusaha sebisa mungkin.”

“Tentu.” Sophia mendekatkan wajahnya sedikit, seperti ingin membisikkan rahasia. “Tapi kalau dipikir-pikir, bukankah itu rakus? Rahasia besar yang kamu simpan… lalu semua fasilitas, dan akhirnya Gemini sendiri. Apa tidak terlalu banyak?”

Sendok kecilnya menyentuh cangkir lagi, ting terdengar nyaring di ruang tamu yang sunyi. Fourth menahan diri agar tidak bergeser di kursinya.

Sophia meneguk sedikit tehnya, kemudian melanjutkan dengan nada setengah tawa. “Padahal bahkan Gemini sendiri tidak pernah sungguh menoleh ke arahmu. Kamu pikir bisa sampai kapan bertahan begini? Jadi batu kecil yang ganjal jalannya… menghalangiku pakai potensi dia sepenuhnya?”

Jantung Fourth berdegup keras sampai terasa di telinganya. Kakinya makin dingin, seolah darahnya turun semua ke sana. Ia menegakkan postur, tersenyum tipis, tapi matanya perlahan mengeras.

Sophia meletakkan cangkirnya di meja dengan hati-hati, bunyi keramik beradu dengan kayu terdengar tak lebih nyaring dari detik jam di dinding. Ia mengangkat wajahnya, senyum tipis itu tetap di tempat, tapi tatapannya menembus.

“Fourth…” suaranya turun setengah nada, seperti seorang ibu yang memberi nasihat, “semua yang kamu mau sudah kamu dapatkan. Pekerjaan, rumah, bahkan Gemini. Bagianmu… sudah cukup.”

Fourth menahan napas. Jari-jarinya menekan lutut, basah dingin, keringat menetes di punggung tangannya. Senyum yang dipaksakan masih ada di bibirnya, tapi matanya menatap lurus, kosong, mencoba membaca maksud sebenarnya.

Sophia menghela napas ringan, jari-jarinya menelusuri pinggiran cangkir. “Jangan coba-coba… meminta lebih. Jangan ambil Gemini lagi, jangan halangi jalan kami. Karena bagianmu dalam cerita ini sudah selesai.”

Kata-kata itu jatuh perlahan, tapi terasa seperti batu menimpa dada.

Fourth merasakan perutnya melilit, kaki makin dingin sampai nyeri. Di telinganya, deru napasnya sendiri terdengar makin keras. Ia mengangguk sekali, senyum tipis masih ditempelkan, meski matanya bergetar.

Sophia kembali bersandar di kursi, puas dengan sunyi yang ia ciptakan. Senyumnya melebar sedikit, seolah baru saja memenangkan percakapan tanpa perlu menaikkan suara.

Fourth mengangkat wajahnya perlahan, senyum sopan itu perlahan pudar. Tatapannya langsung menancap pada wanita didepannya, mata yang awalnya bergetar kini mengeras. Suaranya keluar rendah, nyaris bergetar bukan karena takut—tapi karena ditahan terlalu lama.

“Ma…” ia menghela napas panjang, dadanya naik turun. “Kamu bilang bagianku sudah cukup? Kalau bicara tentang cukup, harusnya kamu juga sadar. Kamu itu ibu paling buruk yang pernah ada.”

Sophia mengangkat alis, senyumnya tetap, tapi jemarinya berhenti mengusap cangkir.

Fourth mencondongkan tubuh sedikit, telapak tangannya mengepal di pangkuan. “Gemini sampai pergi menetap bersama nenek karena kamu anggap dia aib. Phuwin kamu paksa jadi robot sampai mati pun dia gak pernah punya hidupnya sendiri. Dan sekarang, Gemini kehilangan ingatannya, kamu malah senang—karena kamu pikir dia bisa jadi robot baru yang bisa diarahkan sesuka hati. Itu bukan cukup, Ma. Itu kejam.”

Napasnya berat, keringat di pelipisnya menetes, tapi matanya tidak berkedip. “Dan jangan kira Fourth gak tau… semua luka di hidup Gemini itu kamu sendiri yang tanam.”

Sophia terdiam sepersekian detik, sebelum tawanya meledak—keras, histeris, bergema di ruang tamu yang kecil. Bahunya bergetar, jemarinya menepuk lutut sendiri, seolah Fourth baru saja melontarkan lelucon.

“Ah… Fourth.” Matanya menyipit, senyum berubah jadi sesuatu yang dingin. “Justru karena itulah. Gemini memang sudah harusnya seperti itu. Dan sekarang, penghalangku tinggal kamu… dan ibuku. Itu tidak sulit.” Ia mencondongkan tubuh, bibirnya nyaris berbisik. “Aku selalu dapat apa yang aku mau.”

Fourth menegang, napasnya menabrak tenggorokannya sendiri, tapi ia tidak mundur. Jemarinya gemetar di lutut, rahangnya mengeras sampai urat leher terlihat. Tatapannya tetap terkunci, seperti menantang badai.

Sophia berdiri pelan, merapikan mantelnya dengan gerakan anggun. Tapi sebelum melangkah ke pintu, ia menoleh, senyum itu masih di wajahnya—tipis, terukur.

“Kamu tahu kan, Fourth…” suaranya turun lembut, tapi kata-katanya menusuk. “Tanpa ibuku, tanpa rahasia tentang Gemini yang kamu pegang… kamu bukan siapa-siapa di sini. Tidak ada yang mengharapkanmu. Bahkan keluargamu sendiri—apa mereka pernah kembali? Tidak. Mereka pergi, dan tidak pernah menoleh lagi.”

Fourth membeku. Napasnya tercekat di dada, dingin menjalar sampai ke ujung jemari.

“Yang ada hanya ibuku… yang memastikan kamu hidup sampai bisa bertahan waktu kecil. Sementara orang tuamu bahkan tidak peduli. Dan sekarang, kamu malah berani memaksa ingin Gemini, setelah semua yang sudah kamu terima dari keluarga ini?”

Kata-kata itu jatuh satu per satu, berat, seperti batu dilempar ke air tenang. Senyum Sophia semakin melebar. “Tidak tahu diri sekali, Fourth.”

Fourth menunduk, jemarinya semakin bergetar di pangkuan, lututnya kaku. Dada sesak, keringat dingin menetes di pelipis. Kata-kata itu menancap terlalu dalam, menggores luka yang sudah lama tidak disentuh.

Sophia menoleh sekali lagi, “Ingatlah… aku selalu dapat apa yang aku mau.”

Dengan langkah tenang, ia berjalan ke pintu. Senyum kemenangan masih menghiasi wajahnya ketika pintu tertutup di belakang tubuhnya.

Ruang tamu kembali sepi. Hanya suara detik jam, dan Fourth yang duduk sendiri di kursi, punggungnya gemetar pelan, matanya kosong. Dalam kepalanya, kata-kata itu berputar, tak berhenti:
Bukan siapa-siapa. Tidak tahu diri.

 

Notes:

Hi everyone!
First of all, aku minta maaf banget karena update kali ini lamaaaa banget 😭 situasi negara bikin mental literally all over the place, jadi agak susah nyari energi buat nulis. Tapi akhirnya kelar juga!

Btw—BUSET GEMFOT KONSER KEMARIN PECAH BANGETTTT. Aku gak dateng langsung aja udah PCD parah, apalagi yang nonton live pasti hancur hatinya wkwk. Gong-nya Fourth cium pipi Gemini and vice versa (as always Gemini overreact king 🤭).

Please jangan lupa streaming Is This Love juga yaaa
Jangan lupa kasih kudos, komen apapun kalian suka (I love reading your thoughts so much, seriously it fuels me). Sampai ketemu di next chapter! 💌