Chapter 1: mūrkha (मूर्ख)
Chapter Text
mūrkha (मूर्ख) refers to a “fool”, according to the Śivapurāṇa 2.3.25 (“The seven celestial sages test Pārvatī”)
Tangan Sylus digenggam erat, jemari Zayne melilitnya seperti kabel kusut yang sulit diurai. Lima tahun telah mereka lewati bersama, keliman waktu merangkai tawa, air mata, dan malam-malam penuh bisik gairah. Di kamar apartemen Sylus, di bawah cahaya senja yang merona tipis di wajah Zayne, mereka duduk berdampingan di tepi ranjang. Aroma teh melati dari mantel Zayne yang terlupakan di kursi bercampur dengan bau kertas tua di rak Sylus, menusuk namun membawa ketenangan samar.
Belakangan, Sylus mendapati Zayne sering termenung, pandangannya hilang ke arah luar jendela atau ke sudut ruangan, seolah mencari sesuatu yang tak pernah diucapkannya. Dan sore ini, matanya, hijau kecokelatan, menatap Sylus dengan kilau lembut namun penuh hal tersembunyi di baliknya. “Sylus,” katanya, suaranya rendah, memastikan hanya kekasihnya saja yang bisa mendengarnya, “pernahkah kau merasa hubungan kita jalan di tempat?”
Mendengar kata-kata Zayne itu, Sylus terpaku, napasnya tersangkut di ujung tenggorokan. Keningnya seketika berkerut, matanya menyusut dalam bingung yang rapuh. “Jalan di tempat? Apa maksudmu?” tanyanya, bibirnya terbuka dalam diam, suaranya pecah. Sylus terbata-bata mencari arah di balik pertanyaan Zayne itu, "kau… merasa aku tak cukup untukmu?" lanjutnya pelan, takut menuduh sembarangan.
Zayne menggeleng, lalu tersenyum tipis. Ia mencondongkan tubuhnya—napasnya yang hangat menyapu wajah Sylus—sangat dekat hingga aroma teh melati menguar lebih kuat. “Bukan soal cukup,” bisiknya, jari-jarinya meluncur ke pipi Sylus, sedikit lembab karena keringat, “aku ingin kau mencoba sesuatu… untuk kita.”
Sylus masih bergeming, menunggu Zayne menjelaskan lebih, tapi pria itu tetap membisu. “Coba apa?” tanyanya, suaranya nyaris tenggelam dalam kilau mata hazel Zayne yang tak pernah absen menyapa iris biramnya. Senyum di wajah Zayne masih terpatri manis di sana, bukannya menyulut rasa damai, Sylus malah merasa sebaliknya sekarang.
Zayne menarik napas dalam, matanya menyipit seolah menimbang risiko kata-katanya. “Xavier,” ucapnya, suaranya selembut krim makaron kesukaannya, “kau ingat dia, bukan? Yang selalu diam di antara tawa kita, yang termuda di antara kita semua.” Ia berhenti, menatap Sylus dengan intensitas yang membuat jantungnya berdegup kencang. “Dekati dia, Sylus. Bukan untuk meninggalkanku, tapi untuk membawa sesuatu yang baru… sesuatu yang mungkin bisa membangunkan kita dari mimpi yang terlalu lama ini.”
Suara deru pendingin ruangan mengisi kesunyian yang tercipta. Alis Sylus menyatu, raut wajahnya tak bisa berbohong kalau ia terkejut mendengar pernyataan itu. “Kau gila?” balasnya, tatapannya nyalang, “kau… menyuruhku mengkhianati hubungan kita?”
“Bukan pengkhianatan,” sahut Zayne menghela napas. Ia menarik tangan Sylus, meletakkannya di dadanya, di mana detak jantungnya terasa tenang, namun ada getar halus di sana, “aku ingin kita hidup lagi, Sylus. Bersamanya… atau bersamaku, tapi dengan cara yang berbeda.”
Sylus menggeleng keras, mata biramnya memanas, bulu matanya basah menahan air mata. “Tidak, Zayne!” sergahnya, “aku tidak mau—aku hanya mencintaimu.” Dia menggigit bibir bawahnya erat-erat, menahan ledakan bom emosi yang dilempar tiba-tiba.
Pria bersurai legam itu kembali mendekatkan wajahnya, menghapus sisa jarak hingga ujung hidung mereka saling bersentuhan. Matanya mengunci pandangan Sylus, tak ingin kekasihnya itu terdistorsi sedetik pun. “Jika kau mencintaiku,” katanya selembut permen kapas meleleh di mulut, “tunjukkan—temui Xavier, sekadar mengobrol. Mudah, bukan?” Ia menahan napas sejenak, jari-jarinya berpegang pada tangan Sylus lebih erat, memastikan pesannya barusan tersampaikan dengan lugas.
Sylus beralih menunduk, menghindari tatapan mendalam iris hazel itu. Nadinya berdenyut kencang di pergelangan tangan juga lehernya tegang maksimal. Matanya tertuju pada selimut bergulung di ranjang, tempat mereka pernah berbagi tawa, berubah menjadi tak familiar. Zayne masih menatapnya dalam sunyi, memberi ruang untuk Sylus berpikir.
“Sekadar bertemu, tanpa obrolan pun cukup,” bisik Zayne lagi, ada sesuatu tersirat di ucapannya—harapan, atau mungkin tantangan—yang membuat Sylus semakin kalang-kabut akalnya, “kau bisa melakukannya, bukan? Untuk kita.”
Sylus mendesah berat. Lidahnya terjulur membasahi bibirnya yang mendadak mengering. “Tapi…” suara Sylus terputus, penuh keraguan. Jemarinya meremas sprei di bawahnya erat. Fokusnya masih ke lipatan kain itu, tak sanggup menatap manik hazel yang akan selalu membuatnya luluh.
Tangan Zayne dengan gerakan lembut mengarahkan telapak pria bersurai putih itu ke pipinya sendiri, mengusapnya pelan—hangat, bermanja, memupuk rasa bersalah di relung jiwa Sylus karena tak segera membalas. Manik biramnya—yang sedari tadi menghindar—terpaksa bertemu dengan pandangan Zayne, kalut dan penuh pertanyaan. “Sayang,” panggilnya, “aku memintanya karena aku takut. Hubungan kita… terlalu indah untuk dibiarkan begitu saja. Kita terlalu lama terjebak dalam kebiasaan, Sylus—malam yang sama, canda yang sama. Aku takut kita lupa bagaimana rasanya jatuh cinta.”
Sylus memilih menutup matanya rapat-rapat, memutus kontak yang menariknya ke dalam pusaran kecemasan. Napasnya tersengal, terombang-ambing antara cinta yang masih ia genggam dan rekahan yang Zayne coba tunjukkan. Ranjang di bawahnya terasa membeku, sprei kusut yang menyimpan banyak kenangan pahit-manisnya dinamika hubungan mereka menyadarkannya akan sesuatu—apakah semua ini tidak cukup?
Pria bersurai putih itu membuka matanya perlahan, tapi pandangannya tetap menghindar, ke arah mana saja asal bukan ke orang di hadapannya. Ungkapan Zayne itu terus menggema, dan Sylus memaksakan dirinya untuk mencari makna di baliknya. Apakah Zayne melihat sesuatu yang ia lewatkan? Apakah Xavier—pria yang selalu ada di tepi cerita mereka—benar-benar bisa mengembalikan apa yang hilang? Tapi setiap kali ia mencoba memahami, pikirannya terseret ke jurang yang gelap, di mana satu langkah salah bisa merenggut segalanya.
Hening terus berbicara di antara mereka. Zayne mendesah dalam sepi, lalu melepaskan tautan jarinya selembut mungkin agar Sylus tak merasa diabaikan. Matanya memicing ke arah luar jendela. “Xavier… dia berbeda,” katanya memecah sunyi bagai angin yang menerpa dedaunan kering, ringan tapi membawa gemerisik yang mengusik, “dia pendiam, tapi matanya punya cerita. Kau pernah melihatnya, bukan? Cara dia tersenyum—jarang, tapi selalu tepat. Cara dia ada di dekat kita, tapi seolah tak pernah benar-benar masuk.”
Sylus mendengarkannya cermat walau keningnya tetap berkerut dalam, mencoba menarik ingatan dari pikirannya yang berkabut. Xavier—pria dari jurusan astronomi semester akhir, dengan rambut perak, entah asli atau diwarnai, matanya biru terang, tajam, seolah dapat menembus apa yang dilihatnya. Di apartemen Zayne, di malam-malam penuh tawa dan cerita, Xavier selalu ada di sudut, hanya mendengarkan dan baru bicara kalau diminta. Sylus ingat caranya memandang orang-orang di sana—penuh perhatian, tapi selalu menjaga jarak. Baginya, Xavier hanyalah siluet di latar belakang, bukan sosok yang sekarang Zayne angkat ke tengah panggung, seolah-olah dirinyalah memegang kunci dari rahasia yang Sylus tak pernah diberi tahu.
“Dia bukan orang yang suka mengacau,” lanjut Zayne terdengar putus asa, menimang betapa rapuhnya momen ini. Ia menunduk sejenak, lalu menatap Sylus dengan mata penuh kejujuran. “Aku hanya ingin kau melihat sesuatu yang baru, Sylus. Bersamanya. Bersamaku. Bersama kita.”
Mata itu, mata yang selalu menggoyahkan Sylus lantas menatapnya dalam. “Cukup, Zayne!” suaranya meninggi, “berhenti bicara omong kosong!” Tangannya bergerak tanpa sadar, menekan kuku-kukunya ke lengan Zayne hingga meninggalkan rona merah nyaris berdarah, berharap bisa menahan kekasihnya dari ide konyol itu.
Zayne tak menarik diri. Ia justru membingkai pergelangan itu, mengusapnya dengan ibu jarinya, menenangkan badai kerisauan di batin Sylus. “Sylus,” katanya menjadi lebih tegas, meski tetap ada kelembutan yang membuat hati Sylus serasa ditarik ke dua arah—antara cinta dan bimbang, “kau tahu aku juga mencintaimu. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Tapi terkadang, cinta butuh ruang untuk bernapas, untuk tumbuh. Aku tidak memintamu meninggalkanku. Aku hanya memintamu mencoba sesuatu yang bisa membuat kita.. merasa lebih.”
“Lebih?” Sylus tertawa getir, “lebih dari apa yang kita punya sekarang? Zayne, kita punya malam-malam yang kugenggam erat di hati, kita punya tawa yang masih kuingat nadanya, kita punya—” Suaranya terhenti, matanya berkaca-kaca, tapi Sylus enggan menangis. Ia ingin menyebut semua yang mereka bangun bersama, tapi kata-kata Zayne tentang hubungan yang jalan di tempat menusuk seperti duri, membuatnya mempertanyakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa Zayne, pria yang ia cintai lebih dari apa pun, merasa semua itu tak cukup? Apakah ia yang gagal melihat cacat yang Zayne coba selamatkan?
Jarak sudah tak lagi dikenal, dahi mereka bersentuhan, membuat aroma teh melati menyeruak mengisi tiap indera penciuman pria bersurai putih. “Aku tidak ingin kehilanganmu,” bisiknya seperti tengah memanjatkan permohonan, “tapi aku takut kita tenggelam lebih dalam, Sylus. Xavier… dia bisa jadi jembatan, bukan jurang. Temui dia, Sylus. Rasakan apa yang ada. Jika kau kembali dan hanya menginginkanku, aku akan ada di sini.” Matanya, hazel yang lembut, berkilau dengan harap dan ketakutan yang bercampur.
Sylus lagi-lagi menutup mata, menahan rasa panas di pelupuk. Sentuhan Zayne hangat—seperti biasanya—walau sekarang membuatnya menggigil hebat oleh alasan yang tidak diketahui. Ia ingin mendorong Zayne, berteriak bahwa ini gila, bahwa cinta mereka tidak butuh orang lain. Tapi bagaimana kalau ini benar? Bagaimana jika ia memang tak melihat apa yang Zayne lihat? Bagaimana jika menolak berarti kehilangan segalanya?
Pria bersurai putih itu berulang kali menarik napas dan mengembuskannya. “Sekali saja,” bisiknya akhirnya, matanya mendongak dengan pandangan yang penuh amarah dan keraguan, “tapi ini bukan karena aku setuju, Zayne. Ini karena aku tak tahu cara lain untuk menghentikanmu.”
“Tentu,” sahut Zayne tersenyum simpul. Bibirnya bergerak maju menyentuh bibir Sylus, pelan dan berhati-hati, seperti menyegel janji yang tak berani diucapkan. Matanya, hijau kecokelatan yang hangat, membentuk bulan sabit.
Napas Zayne masih terembus halus ke wajah Sylus, hangat sekaligus membawa ketegangan yang tak terkicap. “Cukup berdiam saja, kan?” tanya Sylus menentukan sendiri cara termudah di pertemuan nanti.
“Ya, sesukamu,” jawab Zayne tanpa ragu, “cukup lihat dia, rasakan apa yang ada. Itu saja.”
Sylus mengalihkan pandangan ke arah jendela sejenak, langit di luar sudah semakin menggelap, padahal belum lama ini pipi Zayne merona indah karena sinar mentari senja. Namun, sekarang tergantikan oleh pijar lampu jalanan yang remang-remang. “Baiklah,” bisiknya, lebih ke menyakinkan dirinya sendiri. Zayne menciumnya lagi, dalam dan tanpa kata, hingga Sylus tak lagi bisa membedakan antara hangatnya bibir Zayne dan dinginnya ketakutan di hati.
Ciuman itu larut, melampaui bibir, menyatu ke dalam malam yang kencang dan bergairah. Zayne menarik Sylus ke pelukannya—erat—seakan merajut kembali ikatan mereka yang mulai tercerai-berai, mengikat jiwanya hingga celah di antara mereka terasa memudar, walau hanya sesaat.
Di kamar apartemen Sylus, ciuman Zayne seperti air yang meluap—mengalir tak terbendung—menenggelamkan keraguan Sylus. Bibir mereka bertaut, penuh tekanan sekaligus kelembutan, seolah Zayne ingin mencap Sylus sebagai miliknya, namun juga mendorongnya ke tepi ketidakpastian yang ia buka sendiri. Sylus terhanyut, ia mengalungkan lengannya ke leher pria bermanik hazel, jemarinya menyusur ke tengkuk dan belakang kepala Zayne—memberi tekanan di sana—menyalurkan keinginannya untuk tetap bergantung pada pria bersurai legam ini. Di hatinya, ia bertanya—apakah ciuman ini janji, atau perpisahan yang disamarkan?
Zayne menarik Sylus lebih dekat, hingga tak ada ruang tersisa di antara mereka. Pelukannya hangat, kuat, meski ada sesuatu di dalamnya—seperti tali yang mengikat sekaligus melepas. Jemarinya mengusap punggung Sylus sensual, setiap sentuhan berbisik tentang cinta yang kini bercampur harap tak tertutur. “Sylus,” bisiknya rendah di sela ciuman, nyaris tenggelam dalam napas mereka yang bercampur aduk, “kau milikku.”
Kata-kata itu manis, juga menusuk. Sylus membuka matanya sejenak, menatap iris Zayne yang terbias cahaya bohlam, memantulkan bayang dirinya di lensa itu. Ia ingin bertanya—milikmu, tapi kenapa kau mendorongku ke orang lain?—tapi tangan Zayne perlahan semakin turun ke pinggulnya, ketat dan penuh hasrat, mencuri setiap kata. Napas Sylus tersendat, terperangkap antara pelukan yang dulu menjanjikan kebersamaan selamanya dan ide Xavier yang mulai mencakar pikirannya.
Ranjang di bawah mereka berderit, selimut yang tadi bergulung tersingkir ke sisi, menyaksikan dalam diam saat Zayne menuntun Sylus untuk berbaring. Sprei terasa menggelugut di kulit Sylus, kontras dengan panas yang menyebar dari setiap sentuhan Zayne. Kemeja hitam Zayne terlepas, menyisakan aroma teh melati yang bercampur napas mereka yang semakin berat. Bobot tubuh Zayne di atasnya ringan namun pasti, membuat Sylus merasa terperangkap—dalam kehangatan dirindukan, juga ketakutan menerkam.
“Zayne…” Sylus berbisik, tangannya menggali kulit bahu Zayne dalam-dalam. Ia mencoba mendorong Zayne, menuntut agar semua ini berhenti saja—Xavier, ide gila itu, semuanya—tapi tubuhnya menyerah, terbawa arus keinginan yang ia benci akui. Zayne menatapnya, tersenyum manis. Ia menunduk, mencium leher Sylus dengan kelembutan bagai memuja yang diselingi gigitan kecil, menandai Sylus masih miliknya, meski hanya untuk semalam.
Setiap ciuman seperti api yang menghangatkan mereka, namun juga membakar luka yang ia coba abaikan. Zayne bergerak perlahan—sengaja—jemarinya menelusuri garis-garis tubuh Sylus seperti seorang pelukis yang menghafal setiap inci kanvasnya. Pakaian mereka luruh, menyisakan kulit yang saling bersentuhan—hangat, rapuh. Napas Zayne menyapu dadanya, perutnya, lalu lebih jauh, membuat Sylus lupa—atau memilih untuk lupa—bayang Xavier.
“Zayne, aku…” Sylus mencoba berbicara, tapi lagi-lagi kata-katanya tenggelam dalam desah yang lolos tanpa izinnya. Zayne mengangkat wajahnya sejenak, menatapnya dengan iris hazel yang berkilat nafsu terpendam.
“Jangan berpikir,” bisik Zayne, “rasakan saja.” Lalu ia kembali menciumnya—lebih dalam, menenggelamkan semua pertanyaan yang tak sempat terucap.
Dan Sylus menyerah. Ia membiarkan dirinya tenggelam, membiarkan Zayne mengisi setiap celah dalam dirinya—keraguan, ketakutan, semuanya larut dalam sentuhan yang akrab walau agak berbeda. Gerakan mereka menyatu, menjadi kebiasaan yang telah mereka hafal selama lima tahun, tapi malam ini ada sesuatu yang baru—lebih mendesak, lebih liar, seolah mereka berdua merasakan bayang perubahan mengintai di akhir malam ini.
Di tengah kabut hasrat, tangan Zayne menggenggam tangan Sylus dengan gemetar, takut kehilangan pegangan pada apa yang mereka miliki. Tapi di sudut pikiran Sylus, bayang Xavier muncul—mata biru terang yang tiba-tiba terasa asing, senyum yang kini seperti tantangan yang bukan ekspektasi. Bayang itu lenyap dalam sekejap, tertutup oleh gelombang yang membawa Sylus dan Zayne ke puncak, ke tempat di mana hanya ada mereka—tapi Sylus tahu, di hatinya, bahwa Xavier menunggu, dan Zayne—dengan semua cintanya, akal sehatnya, juga kesadarannya—telah membuka pintu itu.
Saat semuanya kembali mereda, mereka terbaring di ranjang yang menghangat oleh kehadiran mereka. Napas mereka masih tersengal, bercampur aroma keringat dan sisa teh melati yang melekat di udara. Zayne menarik Sylus ke pelukannya, jari-jarinya menyisir rambut putih Sylus penuh kasih, seolah Sylus terbuat dari kaca yang ringkih. “Kau baik-baik saja?” tanyanya terselip ragu, seperti ia sendiri mempertanyakan apa yang telah ia mulai.
Sylus tak menjawab segera. Matanya terpaku pada langit-langit, pada bayang-bayang yang berayun pelan, dibentuk oleh lampu jalan yang menyelinap lewat celah jendela. Hangatnya tubuh Zayne di sisinya terasa seperti pelabuhan yang dulu selalu cukup, meski sekarang pertanyaan kembali menggerogoti: Apa yang Zayne cari di Xavier yang tak ia temukan di sini? Dan aku—apakah aku bisa memberikan apa yang ia butuh, atau hanya berpegang pada apa yang kita miliki? Di sudut pikirannya, bayang mata biru Xavier kembali berkedip, lalu lenyap, meninggalkan rasa geligis yang tak bisa ditepis.
“Sylus,” Zayne memanggil kedua kalinya. Ia menggeser tubuhnya, menatap Sylus dari sisi. “Besok… kau akan menemui Xavier, bukan?”
Zayne memang tidak terbiasa berbasa-basi, ucapannya barusan bagai anak panah yang meluncur cepat—halus namun menyakitkan—menghancurkan kabut hangat yang menyelimuti mereka dalam sekejap. Sylus menoleh, menatap sang kekasih, ingin terus menemukan alasan untuk menolak dalam mata yang dulu selalu jadi tempatnya pulang. Ia ingin berteriak bahwa malam ini—pelukan ini, ciuman ini—adalah bukti bahwa mereka tak perlu orang lain. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Zayne yang membuatnya terdiam kelu.
“Ya,” bisik Sylus sambil mengangguk kecil, walau juga penuh keengganan yang ketara. Zayne mendesah lega—mungkin?—lalu mencium keningnya, agak lama, seperti meminta maaf atas apa yang ia tawarkan.
Malam itu, terbaring dalam pelukan Zayne, Sylus merasa dirinya terkekang—antara cinta yang telah ia genggam selama lima tahun, dan bayang Xavier yang kini seperti pintu yang tak bisa ia tutup, menariknya ke sesuatu yang asing, yang tak ia inginkan, tapi tak bisa ia hindarkan.
Malam berikutnya, Sylus berdiri di depan pintu apartemen Zayne, tubuhnya terasa ditarik ke dasar bumi di tiap langkahnya. Jantungnya berdetak tak beraturan, cemas, seolah setiap ketukan adalah pengingat malam sebelumnya—pelukan Zayne, ciuman yang hangat namun rapuh, dan janji yang dapat menipunya dari dalam bayang-bayang. Kode pintu—010, awal nomor ponselnya—bukan lagi sekadar angka, melainkan teka-teki yang menanggung rahasia. Jari-jarinya lembab di atas tombol, udara malam yang sejuk menyapu lehernya, membawa aroma kota sekilas—aspal basah dan bunga liar dari taman di bawah. Ia menarik napas dalam, mencoba mengusir keraguan yang mencekik, lalu mengetik kode. Pintu pun terbuka dengan desis pelan.
Udara di dalam apartemen menyapa dengan kepekatannya, aroma teh melati yang dulu menenangkan bercampur dengan sisa asap rokok yang mengendap. Lampu redup melempar bayang-bayang ke dinding warna pucat polos, gelas-gelas kosong berserakan di meja—sisa tawa yang bergema menjauh. Xavier terlihat duduk di sudut, setengah tersembunyi dalam gelap, mata birunya menangkap cahaya hingga Sylus menahan napas.
“Sylus,” panggil Xavier, suaranya setenang air mukanya. Ia menunjuk sisi sofa yang lain—tempat Sylus pernah bersandar pada Zayne. Kursi itu terasa seperti jebakan di bawah tatapan Xavier, tapi Sylus melangkah, kakinya berat, dan akhirnya duduk. Kain sofa yang sejuk menyengat telapak tangannya, kontras dengan resah yang mulai mengalir di tiap peredaran darahnya. Ia menyatukan jemarinya, mencoba mengusir memori ciuman Zayne, tapi Xavier di depannya bukan lagi bayang—ia nyata, dan tatapannya seperti mengupas lapisan hatinya satu per satu.
Detik-detik berlalu dalam hening, udara terasa tipis di paru-paru Sylus. Ia memberanikan diri mencuri pandang ke Xavier—rambut peraknya berkilat di bawah lampu redup, mata birunya tak lagi menjaga jarak, melainkan mengintai seakan tengah membaca rahasia yang Sylus sendiri tak tahu ia miliki. Di dalam hati, ia berulang kali mengingatkan dirinya bahwa ini hanya pertemuan sederhana, sesuai yang Zayne janjikan—jembatan untuk menyelamatkan cinta mereka, bukan jurang yang akan menelannya. Tapi sejak ia masuk, tak ada kata yang terucap, hanya tatapan Xavier yang tak pernah lepas darinya, membuat Sylus mempertanyakan apakah ini memang jalannya. Ia menggigit bibir bawahnya, mencari pijakan di tengah keheningan yang mengaburkan pikirannya.
“Zayne bilang kau akan datang, dan kau datang,” ujar Xavier akhirnya. Ia bangkit dengan gerakan yang terlalu mulus, hampir tak wajar, dan berjalan ke meja kecil di sudut, mengambil segelas air. Jari-jarinya memegang gelas sedikit terlalu lama, menimbang sesuatu yang tak diberitahu. “Haus?”
Sylus mengangguk ragu, lagi pula tenggorokannya sangat kering bagai di gurun. Gelas itu dingin di tangannya, airnya terlihat murni, dan saat ia meneguk, ada aroma samar—hampir tak tercium, layaknya bunga yang terlupakan di sudut ruangan. Airnya terasa menyegarkan, tapi sesaat ada denyut halus di nadinya, merasa sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan tapi terlanjur terulang. “Apa yang Zayne ceritakan padamu?” tanyanya berusaha mengisi keheningan yang menyelimuti mereka.
Xavier tersenyum tipis, senyum yang tak menyentuh matanya “Zayne bilang kau… butuh sesuatu,” katanya, melangkah mendekat, mengikis jarak yang tercipta, “aku tidak tahu apa itu, tapi jika itu bisa membantu temanku, aku akan melakukannya.” Nadanya ambigu—penuh kesan hanya bermain-main.
Sylus mengerutkan kening dan beralih membatu. Berbagai macam skenario mulai terbentuk di otaknya, misalnya saja pertemuan ini akan berakhir dalam lima menit tanpa ada obrolan jelas walau Xavier tadi diminta berinisiatif. Sylus tak akan menyalahkan pemuda itu karena hubungan ini memang tak ada kaitannya dengan Xavier sendiri. Pertemuan ini jelas hanya formalitas semata—berakhir buruk tak ada pihak yang disalahkan, berakhir bagus tak ada pihak yang diberi sanjungan. Walau begitu, tubuh Sylus tiba-tiba terasa salah, hawa meriang merangkak pelan dari bawah kulitnya. Duduknya menjadi gelisah, bergerak seperti ini tidak nyaman, bergeser seperti itu tidak mengenakkan. Suara pegas terdengar lirih dari arah seberang dan sekarang Xavier sudah berdiri di depannya—terlalu dekat—udara di antara mereka terasa tebal, penuh tekanan yang mengintimidasi. Sylus menyelipkan jemarinya ke bawah lutut, buku-buku jarinya memutih, ingatan ciuman Zayne di keningnya tadi malam berlalu-lalang bercampur dengan mata biru yang mengintainya.
Ruangan terasa sangat menyesakkan, meski sirkulasi udara sudah diatur tepat. Kakinya impulsif menyatu rapat, membuat gesekan kecil sambil tetap menahan lonjakan api di dalam dirinya, kemejanya—sutra tipis yang menempel lengket—mengikat tubuhnya dalam panas yang makin membara. Ia memejamkan mata merahnya, mencoba menenangkan diri, tapi bayang pelukan Zayne malah menuang bahan bakar ke inti sukmanya. Pening menumpulkan inderanya, rintihan kecil lolos dari bibirnya. Di hadapannya, Xavier membungkam mengamati tiap perubahan yang Sylus tunjukkan.
Deru napas Sylus tersengal-sengal saat ia membuka mata, penglihatannya memburam. Tubuhnya tak mau patuh, mereka merespon sendiri seolah autopilot. Lantai kayu kerap-kerap sepanjang Xavier berjalan mendekat, senyumnya semakin lebar seperti sudah menunggu saat ini tiba.
“Kau baik-baik saja, Sylus?” tanyanya, nada pura-pura simpati, tangannya terulur menyentuh pundak Sylus, merayau sepanjang garis bahu naik ke atas tengkuk di mana tanda gigitan merah tersembunyi. Tanpa sadar, Sylus mengeluarkan desah pelan, kepalanya mendadak terasa ringan, kelopak matanya terkatup lekat.
Tak lama, tersadar apa yang barusan ia lakukan, mata Sylus membulat, tangannya buru-buru menutup mulut, menahan desah memalukan yang lepas begitu saja. Gelas tadi—aroma manisnya—kini terasa seperti perintah Zayne yang ia telan, membakar nadinya dengan dosa sarat salah.
“Ya, aku—” katanya terhenti oleh dorongan yang melilit dari dalam tubuhnya. Tangan Xavier di tengkuknya menekan tanda gigitan yang Zayne buat semalam seolah tengah menandai ulang wilayah yang bukan miliknya. Sensasi itu menyengat, campuran antara sakit dan panas yang membuat Sylus menegah napas, tubuhnya lumpuh di bawah sentuhan Xavier. Ia mencoba menarik diri, tetapi tangan Xavier bagai jangkar, menahannya di tempat dengan kekuatan yang tersembunyi di balik gerakan lembutnya. “Berhenti,” kata Sylus nyaris tidak terdengar di tengah deru napasnya sendiri. Ia memaksa matanya terbuka, mencoba menangkap pandangan Xavier, berharap ada sisa kemanusiaan di balik mata sebiru lautan beku itu. “Aku… aku bilang berhenti, Xavier.”
Xavier memiringkan kepala, senyumnya melebar, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya—hanya kilau predator yang telah menemukan mangsanya. “Berhenti?” ulangnya, “kau ingin mengecewakan Zayne? Aku melakukan ini untuk hubungan kalian, lagi pula kau datang sendiri ke sini, bukan? Kau masih ingin berhenti?” Tangannya tidak berpindah dari tengkuk Sylus, jari-jarinya menggali lebih dalam, sengaja menekan tanda gigitan hingga Sylus menggigit bibirnya untuk menahan rintihan yang nyaris lolos lagi.
Sylus menggeleng, kepalanya terasa seperti dipenuhi kabut tebal. “Tidak… aku tidak mau ini,” katanya lebih keras sekarang, meskipun kilas ketakutan tersirat di setiap kata. Ia mencoba bangkit, tangannya meraih sandaran sofa untuk menopang tubuhnya yang limbung, tetapi Xavier bergerak lebih cepat. Dengan satu dorongan yang terukur namun kuat, Xavier mendorongnya kembali ke sofa, lututnya menekan paha Sylus, menjebaknya di tempat.
“Kau yakin?” tanya Xavier, suaranya berbau ancaman pekat, matanya berkilat dengan sesuatu yang gelap. Ia meraih pergelangan tangan Sylus, mencengkeramnya hingga buku-buku jarinya memutih, dan menariknya mendekat. “Zayne bilang padaku, aku bebas melakukan apa pun. Jika Sylus melawan, kau bisa memberinya hukuman agar patuh. Menurutmu, kau ada di posisi bisa menolak ini, Sylus?” Napasnya hangat di wajah Sylus, terlalu dekat, membawa aroma mint yang bercampur dengan nikotin berperisa buah segar.
Napasnya seketika tersekat, jantungnya berdetak kencang seolah akan melompat keluar dari dadanya. Kata-kata Xavier menusuk seperti pisau, setiap silabel membawa bobot pengkhianatan yang tak pernah ia duga. Zayne? Zayne yang ia percaya, yang ciumannya masih terasa di keningnya, yang berjanji akan memperbaiki segalanya—apakah dia benar-benar mengatur ini? Pikirannya berputar, kabut pening semakin menyelimuti, membuatnya sulit membedakan antara kenyataan dan mimpi buruk.
Sylus menjerit kecil, tubuhnya meronta, tetapi cengkeraman Xavier hampir mustahil diluruhkan. Ia merasakan denyut sakit di pergelangannya, memar mulai terbentuk di bawah kulitnya yang pucat. “Tidak! Zayne tidak akan… dia tidak akan bilang begitu! Kau bohong!” teriaknya menggema di dinding apartemen yang tiba-tiba terasa terlalu sempit. Tapi Xavier hanya tertawa pelan, suara itu dingin dan kosong, seperti gema dari ruang yang tak berpenghuni.
Tiba-tiba, tangan Xavier yang lain meraih dagu Sylus, memaksanya menatap mata birunya yang tak lagi menyembunyikan niat. “Bohong? Tanya dirimu sendiri, Sylus—kenapa Zayne mengirimmu ke sini malam ini, hanya dengan permintaan dan tanpa penjelasan?” katanya menjadi bisikan yang membuat bulu kuduk Sylus berdiri, “jadi, untuk apa? Kenapa kau begitu yakin Zayne tidak akan mengatakan itu, hm?”
Tubuh pria bersurai putih itu mematung, matanya membulat, air mata yang tadi hanya menggenang kini meluncur di pipinya, meninggalkan jejak panas. “Hanya tidak mungkin,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada Xavier. Gambar Zayne—senyumnya yang lembut, tangannya yang pernah menenangkannya—bergesekan dengan kalimat Xavier, menciptakan retakan di hatinya. “Dia mencintaiku...”
“Mencintaimu? Haha!” Tawa Xavier meledak, matanya menyipit, “kau terlalu naif, Sylus,” katanya, menyeka air mata di sudut matanya. “Cinta itu hanya kata, dan Zayne tahu itu tidak akan pernah cukup untuk menjinakkanmu.”
Sylus menggeleng lemah, air mata mengalir lebih deras, membasahi pipinya dan jatuh ke sofa membentuk gradasi warna lebih gelap. “Kau salah,” bisiknya serak, penuh keputusasaan yang mencakar tenggorokannya. “Tidak, tidak, tidak!” Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena cengkeraman Xavier, tetapi karena hancurnya dunia yang ia pikir ia pahami.
“Ya, percayakan saja,” katanya, nadanya penuh ejekan, “dan karena kau sudah tak patuh padaku, kau harus dihukum sekarang.” Tangannya berpindah dari dagu ke leher Sylus. Jari-jarinya melingkari leher Sylus, tidak terlalu erat, tetapi cukup untuk membuat napas pria beriris merah tersendat, paru-parunya menjerit mencari udara. Matanya membeliak, air mata memburamkan pandangan ke mata biru Xavier yang tak berkedip.
Suara jeritan terdengar menyayat. Ia mencoba mendorong Xavier, tangannya mencakar lengan pria itu, meninggalkan goresan merah yang cepat memudar di bawah kulit pucat Xavier. “Lepaskan aku!” teriaknya, tetapi tubuhnya terasa seperti kapas, lemah dan tak berdaya, dikhianati oleh kabut pening yang semakin tebal di kepalanya. Air yang ia minum tadi—aroma manis yang samar—terasa seperti belenggu yang mengikat setiap ototnya, membuat perlawanannya sia-sia.
Dia tidak menghiraukan jeritan itu. Dengan satu gerakan cepat, dia mendorong Sylus ke belakang, tubuhnya menghantam sofa dengan keras hingga napasnya tersengal. Lututnya menekan paha Sylus, menjebaknya di tempat, sementara tangannya merobek kemeja sutra Sylus dengan tarikan kasar. Kancing-kancing berhamburan ke lantai, suaranya seperti tetesan air di tengah keheningan yang mencekik. Kulit Sylus yang terbuka terasa dingin di udara apartemen, tetapi sentuhan Xavier membakar, meninggalkan jejak memar di lengan dan dadanya.
“Tolong… tidak,” Sylus memohon nyaris tak terdengar, air mata mengalir makin deras, bercampur dengan darah dari bibirnya yang pecah akibat gigitannya sendiri. Ia mencoba menutup mata, berharap bisa melarikan diri ke dalam kegelapan, tetapi tangan Xavier kembali meraih dagunya, memaksanya untuk menatapnya.
“Jangan tutup mata,” kata Xavier, suaranya rendah, penuh otoritas yang mengerikan, “kau harus melihat ini, Sylus. Kau harus tahu apa yang Zayne inginkan darimu.” Ia mencondongkan tubuh lebih dekat, napasnya menyapu wajah Sylus, aroma mint dan nikotin berperisa buah semakin kuat, memuakkan. “Kau pikir ini tentang cinta? Ini tentang kendali. Dan Zayne tahu kau tidak akan pernah benar-benar menyerah… kecuali aku membuatmu.”
Kepalanya menggeleng keras, isakan kecil lolos dari bibirnya, tetapi tubuhnya tidak lagi menurut. Kabut di kepalanya semakin tebal, membuat setiap gerakan terasa seperti mimpi yang lambat dan mengerikan. Ia merasakan tangan Xavier menjamah lebih jauh, menelusuri garis pinggulnya, lalu lebih rendah, setiap sentuhan seperti pisau yang mengiris keberaniannya. “Zayne…” bisiknya, nama itu keluar seperti doa yang putus asa, tetapi tidak ada jawaban, hanya tawa pelan Xavier yang mengisi ruangan.
Pria bersurai perak itu menarik Sylus dari sofa dengan kasar, cengkeramannya di lengan Sylus mengerat. Sylus mencoba meronta, kakinya menendang udara, tetapi Xavier menyeretnya tanpa ampun ke arah ranjang Zayne di sudut apartemen. Kain sprei berbau teh melati tercium pekat saat Sylus menggelinjang di atasnya. Xavier berdiri menghadapnya, bayangannya menjulang di bawah cahaya redup, lensa birunya menggelap. “Kau bisa berteriak,” katanya berubah lembut, tetapi penuh kepastian yang mengerikan, “tapi tidak ada yang akan mendengar. Tidak ada yang akan datang. Bahkan Zayne.”
Meski begitu, Sylus tetap tak menyerah. Ia mencoba berontak, tangannya mencengkeram sprei, mencari sesuatu—apa pun—untuk dipegang, tetapi Xavier dengan mudah menangkap pergelangannya, menjepit kedua tangannya di atas kepala dengan satu tangan. Cengkeraman itu keras, membuat Sylus meringis, rasa sakit di pergelangannya bercampur dengan memar yang mulai terbentuk di paha dan dadanya. “Jangan…” bisiknya, suaranya patah, air mata membasahi sprei di bawahnya. “Aku mohon… jangan lakukan ini.”
Xavier tidak menjawab segera. Ia hanya menatap Sylus, matanya menelusuri setiap inci wajahnya—air mata, bibir yang berdarah, mata merah yang penuh ketakutan. “Kau cantik seperti ini,” katanya hampir seperti pujian, tetapi penuh racun. Tangannya yang lain melepas kemeja Sylus, memperlihatkan kulit yang penuh memar dan goresan, lalu bergerak ke ikat pinggangnya, jemarinya bekerja dengan cepat, tanpa ragu.
Jeritannya kembali terdengar, suaranya serak dan putus asa, tetapi apartemen itu tetap diam, dinding-dindingnya menelan setiap harap. Tubuhnya terasa seperti benda asing, tidak lagi miliknya, dikuasai oleh kabut yang membingungkan dan tangan Xavier yang tak pernah berhenti menodai. Setiap sentuhan adalah pelanggaran, setiap kata adalah belati, dan di tengah semua itu, nama Zayne terus bergema di pikirannya—janji-janji yang kini terasa seperti dusta, ciuman yang kini terasa seperti pengkhianatan.
Pakaian mereka meluruh entah sejak kapan, kulit panas mereka saling bersinggungan. Jari Xavier yang panjang menelusuri tungkai dalamnya dan terus meraba ke atas, sesekali menjepit sampai memerah, meninggalkan bekas yang terasa seperti cap kepemilikan yang tak diinginkan. Setiap sentuhan adalah invasi, setiap gerakan Xavier seperti menulisi luka baru di kulitnya yang sudah penuh memar. Sylus menggelinjang, tubuhnya menegang di bawah sentuhan itu, setiap inci kulitnya menjerit menolak, tetapi kabut di kepalanya membuat perlawanannya melemah. “Berhenti…” bisiknya lagi nyaris lenyap, tenggelam dalam isakan yang pecah di tenggorokannya. Air mata terus mengalir, membasahi sprei yang kini berbau teh melati bercampur keringat juga ketakutan.
Xavier tidak menghiraukan permohonannya. Matanya, biru dan dingin, terkunci pada wajah Sylus, menikmati setiap raut keputusasaan yang terpahat di sana. “Kau masih melawan?” katanya, “Zayne bilang kau akan begitu. Tapi dia juga bilang, kau akan menyerah pada akhirnya.” Tangannya yang menjepit pergelangan Sylus mengencang, buku-buku jarinya memutih, dan rasa sakit itu menusuk hingga Sylus meringis, napasnya tersengal. Dengan tangan yang lain, Xavier mendorong paha Sylus, memaksanya terbuka, gerakannya kasar dan tanpa belas kasihan, meninggalkan memar baru di kulit yang sudah penuh luka.
“Tidak! Jangan!” Tangan yang bebas mencakar sprei, kuku-kukunya mengoyak kain hingga robek, tetapi Xavier hanya tertawa pelan, suara itu dingin dan kosong. Ia menghapus jarak ke wajah Sylus, bayangannya menutupi cahaya redup, menenggelamkan dunia dalam kegelapan. “Ini untuk Zayne,” bisiknya bagai merapal mantra yang mengerikan, “dan untukmu, supaya kau tahu tempatmu.”
Saat Xavier bergerak lebih dekat, tubuhnya menekan Sylus ke ranjang, sprei kusut di punggungnya seperti cakar. Sylus mencoba mendorong, tangannya mengais dada Xavier, meninggalkan goresan merah yang cepat memudar, tetapi genggaman di pergelangannya tidak goyah. Rasa sakit menyebar dari setiap titik yang disentuh—memar di paha, luka di pergelangan, dan luka tak terlihat di hatinya. Nama Zayne bergema di pikirannya, bukan lagi sebagai penyelamat, tetapi sebagai pengkhianat, setiap kenangan ciumannya kini terasa seperti racun yang perlahan membunuhnya.
Dan kemudian, dalam satu momen yang terasa seperti keabadian, Xavier melangkah lebih jauh, menyatukan dirinya dengan Sylus dalam tindakan yang penuh kekerasan dan pelanggaran. Sylus tak bisa lagi menahan jeritan kesakitan, suaranya memudar menjadi isakan yang tersendat, tubuhnya menegang, setiap otot menolak, tetapi tidak ada pelarian. Rasa sakit fisik bercampur dengan kehancuran emosional, seperti pisau yang mengiris setiap serat keberadaannya. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi sprei yang kini terasa seperti kain kafan, dan di tengah semua itu, ia merasakan dunianya runtuh, meninggalkan hanya kegelapan dan nama Zayne yang tak lagi memiliki makna.
Ranjang berderit keras di bawah mereka, selimut tersingkap seperti saksi kehancuran. Xavier bergerak dengan ritme yang ganas, tanpa pemanasan, tanpa persiapan. Setiap sentuhan seperti api yang ia nyalakan untuk membakar Sylus, setiap dorongan seperti retakan di tulangnya, mencuri napasnya hingga paru-parunya terasa hampa. Sylus mencoba mencengkeram bahu Xavier, jari-jarinya menggali kulit untuk melawan, tapi tangannya lemah, jatuh ke ranjang yang sekarang mirip jurang—tempat Zayne menjanjikan jembatan, menyisakan puing di bawah tawa dingin Xavier. “Berhenti…” Sylus memohon, suaranya tenggelam dalam desah yang ia kutuk. Xavier hanya tertawa kecil penuh kemenangan.
“Kau milikku malam ini, Sylus,” katanya.
Malam itu berulang, seperti lingkaran yang tak putus. Xavier tak pernah melambat, gerakannya kejam, seolah ingin menghapus Zayne dari jiwa Sylus, menggantikannya dengan tanda yang liar dan miliknya. Sylus merasakan tubuhnya menyerah, nadinya berdenyut tak beraturan, pandangannya kabur, akalnya berburai. Apakah ini yang Zayne inginkan? Pikirannya menolak, tetapi kenangan ciuman Zayne terasa bagai pisau yang sama yang kini memotong jiwanya. Aroma teh melati masih membubung, bercampur kepahitan yang mencengkeram hatinya, ingin menangis tapi tak bisa.
Akhirnya, di tengah kabut pening yang menyesakkan, Sylus merasakan kesadarannya memudar. Matanya terpejam, pikirannya menolak menyaksikan kemenangan Xavier. Xavier berhenti, menatap tubuh Sylus tergeletak di ranjang Zayne. Matanya tersenyum, penuh kepuasan yang gelap. “Kau milikku sekarang,” katanya lalu ia bangkit, meninggalkan Sylus dalam keheningan yang sunyi.
Di sudut apartemen, bayang-bayang menyaksikan, menyimpan rahasia tentang Zayne yang membuka pintu, tentang Xavier yang mengambil segalanya, tentang Sylus yang patah di antara puing cinta yang ia tak duga.
Keesokan paginya, Sylus tersadar dengan kepala berdenyut dan mengerang kecil saat mengganti posisi, setiap inci kulitnya perih, pinggangnya nyeri, bagian bawahnya pun sakit sampai mau mati. Selimut tebal yang menutupinya tak bisa menyembunyikan tanda malam itu—bekas gigitan, memar di pinggul, lengket di pangkal paha, menyisakan rasa jijik di nadinya. Ia memejamkan mata, napasnya tersendat, mencoba menghapus bayang Xavier—kasur, suara kasar penuh dendam, cairan manis yang masih menghantui—tapi kenangan itu menempel, seperti noda menahun. Di sudut ruangan, Zayne sedang duduk di kursi dekat jendela, siluetnya tajam melawan cahaya pagi, matanya apatis seperti dalang yang menikmati hasil permainannya.
“Kau bangun,” kata Zayne seketika mendengar erangan kesakitan dari arah ranjang. Sylus tak menjawab. Mulutnya kering, tenggorokannya terbakar, dan derit ranjang masih bergema di gendang telinganya, seperti ejekan bisu dari apartemen yang menertawakannya. Matanya memandang Zayne, tapi tak ada lagi harapan—hanya kehampaan, dan di dalam dadanya, sesuatu yang dulu adalah cinta kini terasa seperti pecahan teka-teki gambar yang tak bisa ia satukan ulang.
Matanya berkaca-kaca, namun di dalam dadanya, bara kemarahan menyala, rapuh namun membakar. Tubuhnya perih, setiap gerakan mengingatkannya pada Xavier—tangan dingin penuh dendam, dorongan yang menghancurkan—dan Zayne, yang menjahit semua ini dengan ciuman dan janji yang kini terasa seperti pisau. Ia mendorong selimut, tangannya gemetar, dan dengan sisa tenaga yang nyaris padam, ia terhuyung berdiri. Kakinya goyah, seperti kaca yang retak di ujung beban, tapi ia memaksa diri melangkah menuju Zayne, pria yang pernah ia percaya.
“Bukan ini yang kau janjikan!” teriaknya, suaranya pecah, seperti kain yang robek di ujung jahitan. Tangannya terangkat, menampar pipi Zayne dengan kekuatan yang lahir dari kehancuran. Suara tamparan bergema, tajam di keheningan pagi. Tubuhnya nyaris ambruk, tapi ia mencengkeram tepi kursi, menolak jatuh di hadapan pria yang telah menenun jurang ini.
Zayne bergeming. Pipinya memerah, tapi matanya—es, dengan bayang keraguan yang sekilas—tetap menancap pada Sylus. Ia memalingkan wajah sekilas, seolah menahan sesuatu, sebelum berkata, “Kau kotor, Sylus,” suaranya halus namun menusuk, seperti benang yang masih ingin mengikat. Jemarinya meraih tengkuk Sylus, menyapu tanda merah yang memudar—jejak Xavier, jejak malam yang Zayne izinkan. “Biar kubersihkan.”
Sylus tersentak, napasnya tersengal. Sentuhan itu membakar, menghidupkan luka yang ingin ia kubur. “Kau bilang itu pilihanku,” bisiknya, suaranya gemetar, air mata mengintai di kelopaknya, “tapi kau yang meracik cairan itu. Kau yang membuka pintu untuk Xavier!”
Zayne tersenyum tipis, tak berekspresi lebih, tapi sudut matanya berkedut, seolah ada retakan di tenangnya. “Aku bilang sesukamu,” katanya datar, seperti membaca laporan tanpa melihat darahnya, “jika kau memilih menenggaknya, jika kau memilih bertahan, itu bukan aku.”
Sylus menggeleng, air mata akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. “Pergi dariku,” katanya, suaranya hancur, namun bara di dadanya hidup, kecil tapi nyata. “Aku bukan milikmu lagi.” Kata-kata itu rapuh, tapi ia memegangnya erat, seperti pecahan kaca terakhir yang masih bisa ia genggam.
Ia memalingkan wajah, tangannya mencengkeram kemeja robek dari lantai, dan dengan langkah goyah, ia berjalan menuju pintu. Zayne tak menghentikannya, tapi tatapannya terasa seperti jerat di punggungnya. Di ambang pintu, Sylus berhenti, napasnya berat. Dunia di luar terasa asing, tapi di dalam dadanya, sesuatu bergerak—bukan hanya sakit, tapi kemauan untuk bangkit, meski caranya masih kabur.
Cahaya pagi membelai wajahnya saat pintu terbuka, tapi aroma teh melati menempel, seperti sisa janji yang retak, dan rahasia yang baru mulai ia gores untuk terbuka.
Chapter 2: saṅkōca (संकोच)
Summary:
Pikiran Sylus berteriak untuk kabur, tapi tubuhnya lamban, terjebak dalam lumpur alkohol dan intimidasi. “Rafayel, aku serius—berhenti!” protesnya melemah, tenggelam oleh deru detak jantungnya. Tangannya masih berontak, tetapi Rafayel memaku pergelangan tangannya yang terikat di atas kepala. Dengan tarikan sembarang, ia merobek kancing-kancing kemejanya.
“Berhenti? Aku tidak mau.” Jemarinya menyelinap ke bawah kain yang tak melakukan tugasnya dengan benar, kuku-kukunya menggali kulit Sylus menciptakan goresan merah padam kontras akan kulit pucatnya.
Rasa sakit itu menyayat kabut mabuknya, membuat Sylus tersadar sejenak. “Berhenti, sialan! Aku bukan mainanmu!" Kakinya menendang, lututnya mengenai sisi tubuh Rafayel, tapi Rafayel hanya tertawa lagi, suaranya menjadi lebih dingin.
“Mainan?” Tangan Rafayel merenggut rambut Sylus dan menarik kepalanya ke belakang, memperlihatkan lehernya. “Kau bukan mainan, Sylus. Kau adalah kanvas—dan aku akan melukis apa yang aku inginkan.” Bibirnya mendarat di leher Sylus, gigi-giginya menggesek kulit sensitif itu, belum menggigit tapi mengancam akan melakukannya.
Notes:
#fishcrow
Chapter Text
saṅkoca (सङ्कोच) refers to “hesitation”, according to the Śivapurāṇa 2.3.25 (“The seven celestial sages test Pārvatī”)
Setelah melangkah keluar dari apartemen Zayne, Sylus meringkuk di sudut kamarnya. Lampu redup melempar bayang-bayang menari di dinding, mencerminkan pengkhianatan yang bersemayam di nadi. Cermin retak di depannya memantulkan siluet—merah, kosong, tenggelam dalam tragedi malam sebelumnya. Setiap tarikan napas membawa derit ranjang Zayne, tangan Xavier yang menjamah, dan bisikan, “Kau kotor, Sylus.”
Tubuhnya ini seperti bukan miliknya walaupun memar di pinggulnya hampir memudar, tapi nyeri di tulang-tulangnya tetap ngilu menggeletuk. Kulitnya masih terasa lengket, bercampur aroma keringat dan sisa cairan manis yang melekat tak mau tanggal. Ia telah menggosok tubuhnya hingga perih, hingga kulitnya memerah dan berdarah, namun bau itu terkerak, menyumbat di tiap pori-porinya.
Sylus memejamkan mata, mencoba menutup dunia, namun kegelapan justru memperparah segalanya. Iris biru Xavier mengintai nyalang dari balik kelopaknya, sementara Zayne berdiri di sudut ruang dengan wajah tanpa riak. Paru-parunya mengadat, keringat membanjiri pelipisnya. Ia memaksa matanya terbuka, menatap lantai kayu di bawahnya. Telapak kakinya turun menjejak permukaan itu, setiap langkah seperti berjalan di atas pasir hisap yang menariknya ke dasar. Tungkainya mengerang dalam penolakan, tapi yang lebih berat adalah hatinya—kehampaan yang menggerogoti, sisa bara cinta yang hanya ada abu pembakaran.
Ia menyeret tubuhnya ke wastafel, tangannya gemetar saat memutar keran. Air dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu membilas ingatan buruknya. Di cermin, ia melihat bekas gigitan di lehernya—merah pudar, mengecap paksa dirinya milik seseorang. Jemarinya menyentuhnya, lalu menarik diri karena tersengat jijik pada dirinya. “Kenapa kau membiarkan ini, Zayne?” bisiknya serak ke refleksinyanya. Namun cermin tak menjawab, hanya memantulkan pelupuknya yang basah, penuh pertanyaan yang tak pernah ia duga akan tanyakan.
Sylus menjatuhkan diri ke lantai, punggungnya bersandar pada dinding yang lembab. Di luar, kehidupan berputar—burung berkicau, klakson mobil bersahut-sahutan, angin membawa aroma bunga liar dari taman. Namun di dalam, waktu menjadi tiada, terperangkap dalam lingkaran malam kelam. Ia memeluk lututnya, tubuhnya meringkuk mengecil menjadi anak-anak yang membutuhkan pelindungan.
Dia mencoba menghirup asa banyak-banyak, tangannya mengacak rambutnya tanpa belas kasihan. Ia ingin berteriak, ingin menghancurkan cermin, dinding, semuanya—meski yang tersisa hanyalah kelelahan. Sylus mendongak, merenung ke langit-langit yang disinari lampu pijar remang, cahayanya nyaris tersedak lubang hitam. Ia tetap terpaku ke atas, namun sudut pandangannya merendah ke tetesan air yang jatuh dari keran pancuran. Bunyi ritmis tetesan air mengingatkannya pada hitung mundur ledakan bom, menggema di kepalanya yang terus berputar. Ia buru-buru menutup telinga, berusaha meredam dengungannya. Giginya bergemeletuk, menahan isakan yang tak pernah ia izinkan keluar.
Dengan susah payah, Sylus melepaskan tangannya dari telinga. Dengung tetesan air masih bergaung di kepalanya, tak mau reda. Ia memaksa tubuhnya bangkit. Tumpuannya gontai, menyeret setiap langkah yang dibebani berat tak kasat mata. Ia membawa dirinya ke jendela. Cahaya pagi menyapa malu-malu, redup dan kelabu, tersaring awan tebal yang menyelimuti cakrawala. Aroma teh melati menguar samar di udara, manis namun menggencet indra penciumannya, memancing lehernya menoleh ke belakang, mencari jaket yang tertinggal dari semalam.
Ekor matanya menangkap jaket kulit hitam itu—tergeletak di sudut, tergulung kusut. Dulu Zayne memujinya karena membuat Sylus terlihat gagah, namun kini jaket itu terasa seperti kulit kedua yang tak lagi pas. Jemarinya ragu menyentuh kain itu. Aroma manis bunga bercampur keringat menikamnya, membawa kilas bayang Zayne yang mengumbar senyum manis. Jantungnya tersentak, napasnya tercekat. Sejenak, ia terpaku, menimbang—mungkin inilah saatnya untuk membuangnya, untuk melepaskan sisa-sisa Zayne yang masih mengikat jiwanya.
Sylus menarik napas dalam. Jaket kulit hitam itu masih tergeletak di sudut, pengingat yang enggan beranjak. Ia melangkah keluar dari kamar mandi, uap mengepul dari kulitnya yang memerah. Di atas meja, ponselnya bergetar. Layarnya menyala dengan nama Zayne. Pesan singkat terpampang: Kau baik-baik saja? Hubungi aku begitu kau baca ini.
Pupil merahnya terarah ke pesan itu, bibirnya tergigit hingga perih, hingga rasa besi merembes di lidahnya. Di kepalanya, tamparan itu bergema kembali—dentang tangan menghantam pipi Zayne, teriakannya yang nyaring, “Pergi dariku!”—namun sisa ciuman Zayne di keningnya, lembut dan penuh janji palsu, masih mengendap. Ibu jarinya bergidik di atas pilihan blokir, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini yang seharusnya dilakukannya sejak kemarin. “Aku bukan milikmu,” desisnya ke cermin di depannya. Pantulannya memandanginya balik—mata memerah, basah, penuh keraguan, dengan siluet Zayne yang memanggilnya dari sudut kelopaknya.
Ujung jarinya akhirnya menekan tombol blokir dalam satu sentuh. Layar ponselnya menggelap, dan dunia sekeliling menghening—terlalu hening, memicu kepanikan di dadanya. Ia buru-buru mencabut perintah itu, seolah Zayne masih bisa ditarik kembali dari jurang yang ia ciptakan sendiri. Ponsel itu tergelincir dari genggamannya, jatuh ke lantai membunyikan gema kecil di kamar sunyi. Ia ingin menghapus pesan itu, menghapus keseluruhan Zayne dari hidupnya, tapi sesuatu di dalam dirinya masih mencengkeram tali yang ia benci, tali yang tak kuasa ia urai.
Fokusnya masih tertahan ke ponsel yang tergeletak di lantai, suara gema jatuhnya masih mengalun berulang-ulang. Ia terduduk, tubuhnya menelungkup ke lantai yang dingin, seolah gravitasi ingin terus merengkuhnya. Pikiran Sylus bergelut, mendesaknya untuk pergi—ke mana saja, asal jauh dari kamar ini. Jalan-jalan ke kota yang ramai, kafe yang dipenuhi wajah asing, tempat yang tak akan mengenali luka di sanubari—apa pun yang bisa menenggelamkan semua kalibut di relung hati.
Raganya yang limbung akhirnya meraih mantel lain dari lemari, satu yang bebas dari aroma Zayne, bebas dari memori pengkhianatan yang traumatis. Mantel itu terlalu kecil di tubuhnya, tapi setidaknya tak membawa sengatan kenangan untuknya. Ia melangkah keluar, setiap tapak kakinya seperti berjalan di atas kaca tipis, retak dan siap pecah kapan saja. Angin dingin menerpa pipinya, namun bahkan itu tak cukup untuk membekukan bara di dalam dirinya.
Di kafe kecil di ujung jalan, aroma kopi seharusnya menenteramkan. Namun, teh melati dari meja sebelah menumbuk hidungnya, membangkitkan mual yang mengaduk perutnya. Sylus merunduk, menghindari cermin di dinding kafe. Ia takut melihat bekas gigitan di lehernya, takut bertemu sorotnya sendiri.
Barista—gadis muda dengan senyum sopan—memperhatikannya, alisnya sedikit berkerut. “Kau baik-baik saja?” tanyanya lembut penuh perhatian. Sylus hanya mengangguk, meski dadanya meraung, mendamba ketenangan yang tak kunjung datang. Cangkir kopi di tangannya tak stabil menumpahkan sedikit cairan hitam ke meja, nyaris mengenai celananya. Panik kecil menyelaknya berdiri, meninggalkan kafe sesegera mungkin. Pergi ke luar ternyata bukan ide bagus. Dunia luar terasa terlalu terang, terlalu penuh mata yang seolah bisa melihat rahasianya, menelanjanginya di bawah sinar matahari.
Ia berjalan cepat, kepala tertunduk, menghindari tatapan orang-orang di trotoar. Kembali ke kamarnya, udaranya memampat padat membuat sesak, mencekik tenggorokannya. Di kotak surat tadi, ia menemukan undangan kecil—kertas putih bertuliskan tangan rapi: Pameran Seni Rafayel, Galeri Laut, Besok Pukul 19.00. Sylus, kau harus datang, ya. Nama Rafayel menarik atensi, seperti pernah mendengarnya tapi entah di mana. Catatan kecil di bawahnya membuatnya menegang: Teman Zayne. Kepalan tangannya mengencang, darah berdesir di telinganya. Sylus meremas undangan itu, kertasnya langsung kusut, seperti harapannya yang pupus.
Rafayel. Nama itu meniliknya ke malam-malam yang sudah seperti kehidupan lain—malam ketika dirinya, Zayne, Xavier, dan Rafayel duduk bersama di apartemen Zayne, dikelilingi gurauan. Rafayel, pria berambut violet yang selalu berantakan, manik lembayung yang penuh rahasia, dan senyum yang seolah menyembunyikan seribu cerita. Ia adalah pelukis eksentrik, selalu membawa sketsa di tangannya, mencuri pandang ke sembarang arah—ke wajah mereka, ke luar jendela, ke langit-langit—seakan tengah mengabadikan momen ke dalam kanvas imajinasinya.
Di antara mereka, Rafayel adalah yang paling hidup. Tawanya ceria, meledakkan energi yang menular, penuh ekspresi yang seakan bisa menerangi ruangan. Ia melakukan hal-hal sebebasnya, tangannya menunjuk ke udara saat bercerita, pupilnya berbinar saat menjelaskan lukisan terbarunya atau ide gila yang muncul di otaknya. Sylus ingat bagaimana Rafayel pernah menumpahkan anggur ke meja karena terlalu bersemangat, lalu tertawa lebih keras dari siapa pun, mengabaikan tatapan kesal Xavier atau senyum tipis Zayne.
Sylus memindai undangan itu lama, kini nama itu membuatnya bertanya-tanya. Mengapa Rafayel setelah semua yang sudah terjadi? Apakah ini jebakan lain, atau pintu yang Zayne buka untuk menjerumusnya lebih dalam ke kegelapan baru? Tapi Rafayel—mungkin berbeda—membuat dadanya bergemuruh dengan campuran ketakutan dan rasa ingin tahu yang bertunas.
Malam itu, ponselnya berdering—nomor tak dikenal yang menyala di layar memantik alarm peringatan. Sylus terpaku, telunjuknya resah di atas tombol tolak, takut akan mengulang kejadian yang sama di malam ketika ia memilih percaya pada senyum manisnya Zayne. Namun, rasa ingin tahu menang telak, memancingnya menekan tombol jawab. Suara di ujung sana melengking, penuh energi yang menggebu. “Sylus? Ini Rafayel. Kau dapat undanganku, bukan?”
Sylus menahan napas, kelopaknya berkedip cepat. Kilas balik Zayne melintas—mata hazel yang dulu adalah rumah sekarang ngarai yang menganga, siap menelannya. “Aku tidak bisa,” potongnya cepat. Tapi Rafayel hanya terkekeh seolah tak terkejut oleh penolakan itu.
“Maksudnya? Ini cuma seni, kau tahu—lukisan, penuh warna! Zayne bilang kau suka koleksi yang… apa, ya? Oh! ‘Hidup, berisi makna tertentu.’ Dia tak bisa datang—jadwal operasi, katanya. Kau bisa gantikan dia, bukan?” Nada Rafayel tak mendesak, melainkan mengalir seperti air, menggoda Sylus untuk melangkah kembali ke bayang-bayang yang ia bersumpah tinggalkan. Nama Zayne disebut begitu saja, seolah hanya Sylus yang tersiksa oleh pria itu. Lidahnya kelu, meski tak tahu kenapa dia begitu.
“Kenapa aku?” tanya Sylus ketus, mencari celah di balik kata-kata Rafayel yang terlalu ceria. Buku-buku jarinya memutih di ponsel, bekas memar di pergelangannya berdenyut, mengingatkannya lagi atas brutalisme Xavier di apartemen Zayne. Kukunya mengais meja, sekadar mengalihkan perhatian.
“Kenapa tidak? Kau itu teman Zayne, jadi kau juga temanku. Kau selalu bilang lukisanku bagus, penuh permainan warna—kau suka mereka.” Rafayel berhenti sejenak, dan dalam keheningan itu, Sylus hampir bisa melihat manik lembayungnya. “Ayo, Sylus. Satu malam. Hanya kau dan lukisanku. Tidak ada Zayne, tidak ada yang lain.”
Kata “yang lain” itu mengecoh, layaknya cairan manis yang pernah Sylus telan malam lalu. Ia bergeming, ketakutan di dadanya menjerit bahwa ini bukan kebetulan. “Tidak!” suaranya meninggi, “aku tidak percaya dengan kalian!”
Rafayel tertawa lagi, lebih pelan. “Kalian? Sylus, ini cuma ada aku. Kau dengar Zayne tak bisa datang karena jadwal operasi, bukan? Lagi pula, kau sangat layak melihat koleksi kanvasku. Datang, ya?” Nadanya menggoda juga apa adanya, seolah dapat menghapus goyahnya pijakan Sylus sekarang.
“Raf.." Sylus meragu, "entahlah…” Ia menutup mata, mencoba mengusir aroma teh melati yang seolah memancar keluar dari ponsel. Di seberang, Rafayel terdengar memohon, suaranya tiba-tiba rapuh. “Ayolah, Sylus. Ini pameran pertamaku. Kalau teman lamaku tak ada yang datang, bukankah itu memalukan bagiku?”
Kalimat itu singkat, namun menohok ulu hatinya, seperti anak panah yang tahu persis ke mana harus menghunjam. Teman lama. Rahangnya terkatup rapat, pupilnya berpendar gusar. Ia tak ingin terseret lagi ke dalam pusaran Zayne, Xavier, atau siapa pun dari masa lalu yang menjelma menjadi mimpi buruk. Tapi suara Rafayel—nyaring, menuntutnya.
Pria bersurai putih itu mendesah berat, “Baiklah…” bisiknya hampir tak terdengar. Ia tak yakin apakah itu keputusan atau penyerahan. Panggilan itu berakhir dengan bunyi denting samar. Sylus menghiraukan ponsel di tangannya, layarnya perlahan menggelap, memantulkan wajahnya. Di balik pantulan itu, ia melihat Xavier—tangan dingin yang mencekal, dorongan yang menghancurkan—dan Zayne, dengan senyum penuh perhatian artifisial yang kini terasa seperti belati berkhianat.
Ia meletakkan ponsel di meja, di samping undangan kusut yang berbicara harapan dan ancaman. Rafayel, yang selalu membawa warna ke malam-malam mereka, berdiri di ambang misteri ini. Apakah ia sekadar teman dekat, atau kunci untuk mengurai kebenaran yang terkubur? Sylus tidak tahu, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa langkah berikutnya—meski goyah—adalah miliknya sendiri.
Besok malamnya, Sylus berdiri di depan galeri kecil di ujung kota, lampu temaram berpijar kekuningan. Angin malam berembus, menusuk kulitnya sehingga ia merapatkan mantelnya. Tangannya ragu di gagang pintu seolah pintu itu adalah perbatasan menuju jurang yang tak ia kenali. Tapi sesuatu—bara kemarahan, atau mungkin keinginan berontak merebut kembali dirinya—memacunya melangkah maju. Ia mendorong pintu, derit kayu perlahan menyambutnya.
Di dalam, galeri itu terasa seperti antusiasme yang sunyi, dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan seolah mengawasi. Kanvas-kanvas besar dan kecil tergantung dalam susunan yang absurd namun estetik, setiap sapuan kuas penuh warna tersendiri—merah darah, biru lautan, ungu lembayung yang mengingatkan Sylus pada bola mata Rafayel. Lukisan ombak mengamuk menghiasi dinding, sementara lainnya menampilkan wajah-wajah kabur yang menyorot nyalang, seakan mengetahui rahasia yang disembunyikannya. Aroma cat minyak dan kayu tua memenuhi udara, bercampur dengan sesuatu yang halus—melati, atau mungkin hanya ilusi dari alam bawah sadarnya.
Sylus melangkah pelan. Lantai kayu galeri berderit di bawah kakinya. Ia berhenti di depan sebuah kanvas besar. Sosok tanpa wajah berdiri di tepi tebing, tubuhnya seolah ditarik oleh angin dan lautan yang menerjang di bawah. Warna biru kelam dan abu-abu berputar liar. Itu bagai badai yang sulit reda. Sosok itu terasa akrab—seperti cermin yang memantulkan dirinya sendiri, atau mungkin hanya kebetulan semata.
Rasa tak nyaman mulai menjalar naik, udara di sekitar terasa menipis. Bekas memar di pergelangannya berdenyut lagi membuatnya harus membuang pandangan ke arah lain. Tapi saat ia menoleh, ia berpapasan dengan Rafayel, yang berdiri di ujung ruangan, berdiam diri. Rambut violetnya lembut di bawah sorot lampu, dan irisnya—perpaduan merah muda dan ungu—mengawasi.
Rafayel tak bergerak, namun kehadirannya cukup mengisi ruangan, seperti energi yang memancar, kontras akan keheningan yang ada. Sylus menelan ludah, tangannya menerjang mantelnya menyembunyikan kegelisahan. Apakah Rafayel sudah lama ada di sana mengamatinya?
“Kau datang,” ucapnya gembira melangkah mendekat. Fokusnya berganti mengarah ke lukisan abstrak di dinding tak jauh dari mereka. Coretan merah darah dan hitam pekat tergores di kanvas seperti luka berdarah, diikat oleh benang tak terlihat mengelilinginya. “Ini salah satu favoritku. Rasanya… seseorang mencoba terus lari, tapi terperangkap selamanya.”
Sylus menoleh ke lukisan itu, pupilnya seketika melebar membuatnya langsung berpaling saat itu juga. Setiap goresan mencerminkan trauma—merah untuk racun manis yang Zayne tawarkan, hitam untuk tangan Xavier yang menghancurkan, dan benang itu, tipis namun mencekik, seperti mata hazel Zayne yang selalu mengontrol, bahkan dalam ketidakhadirannya. Lukisan itu sangat bernyawa, seolah Rafayel telah merampas jiwanya tanpa izin, mengeksposnya di bawah lampu galeri. Sylus mundur selangkah, memadamkan gejolak kerisauan.
Ia berdeham kecil, seakan hal tadi tidak terlalu mempengaruhinya. “Haha, begitukah?” gumamnya, tertawa miris, “omong-omong, selamat… atas pameranmu.” Ia memaksa segaris senyum. Rafayel balas menyunggingkan senyum lebar.
Tangan Sylus mengepal di kedua sisi tubuhnya. Manik merahnya menelusuri ruangan, melintasi kerumunan pengunjung yang datang, mencari sosok yang sangat dihindarinya. “Aku… tidak melihat yang lain,” katanya serak, penuh paranoia yang ia coba sembunyikan, “kau benar hanya mengundangku?”
Rafayel memiringkan kepala, senyum manisnya tak pudar. “Bukankah sudah kukatakan? Pameran pertamaku, tapi Zayne tak bisa datang, Xavier… entah di mana, susah dihubungi seperti biasa..” Ia menjeda kata-katanya, alisnya mengerut sejenak. Lalu senyumnya kembali lebar. “Dan yang lain… yah, tak ada kabar. Hanya kau di sini, Sylus.”
“Begitukah?” Sylus mengangguk kecil memahami. Nama Zayne dan Xavier disebut lagi. Bekas keunguan di pergelangannya berteriak, memberi tanda untuk tidak mudah percaya. Ia menelan ludah, matanya berpendar lagi, mencari sosok yang mungkin bersembunyi. Namun, nihil. Mungkin Rafayel memang jujur saat ini.
Tiba-tiba, Rafayel menepuk telapak tangannya keras, memecah keheningan. “Baiklah!” serunya, melangkah ringan ke lukisan lain di dinding. Kanvas itu dipenuhi biru yang semakin gelap gradasinya ke bawah, dan di tengah-tengah sebuah siluet tenggelam di sana. “Lihat ini, Sylus,” kata Rafayel bersemangat, “ceritakan apa yang kau rasakan.”
Sylus ragu saat terpaku pada lukisan itu lebih lama, meski pikirannya sedang bercabang ke banyak hal. “Sakit,” bisiknya serak setelah termenung. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, gerakan kecil untuk mengucilkan gelombang kecemasan yang mengancam.
Pria itu hanya membisu, tatapannya menyisir Sylus seenaknya. Keheningannya terasa seperti langit yang tenang sebelum badai, membuat Sylus gelisah. “Ah… entahlah, aku tidak bisa berpikir apa-apa sekarang,” tambahnya cepat, “kau mau menjelaskannya?” Ia memaksa kata-kata itu keluar, jari-jarinya memilin ujung mantel yang dikenakan.
Senyum Rafayel terpatri di bibirnya. “Sakit?” ulangnya. Ia melangkah mendekat ke kanvas, ujung jemarinya menyentuh pinggiran bingkai lukisan hati-hati. “Lukisan ini sebenarnya tak bermakna tertentu, tergantung bagaimana orang menanggapinya. Kalau kau berpendapat ini menyakitkan, mungkin memang begitu. Kau tahu bukan di dalam seni tidak ada arti yang tetap.”
Malam di galeri itu mengalir sehalus goresan cat air. Setiap lukisan menarik Sylus lebih dalam ke dunia Rafayel—dunia penuh warna yang mampu melupakan masalahnya, meski tak benar-benar menghapusnya. Saat pameran tutup, kerumunan berhamburan keluar, dan Rafayel meraih tangan Sylus yang sudah bersiap pamit. “Ayo, kita rayakan,” ajaknya tanpa ragu-ragu, “segelas anggur di studio kecilku. Kau pernah ke sana, bukan?”
Pria beriris merah itu menyatukan alisnya, ingatan masa lalunya melintas—dinding penuh coretan, bau cat minyak yang menyengat, tawa mereka berlanjut hingga larut malam. Ia ingat saat-saat itu, bermain permainan papan hingga subuh, lalu berlari ke laut menyambut fajar, memotretnya sebagai kenangan. “Aku… tidak yakin,” katanya menarik pergelangannya dari cekalan Rafayel dan memasukkannya ke saku mantelnya.
Rafayel sedikit mengerucutkan bibirnya tidak senang dengan balasan itu. “Hanya minum, Sylus. Kita pernah tertawa bersama, ingat? Satu gelas, untuk malam yang baik ini.” Kata-kata itu lembut, tak menyembunyikan apa pun kecuali keinginan sederhana untuk berbagi. Sylus membalas tatapan itu dan untuk sesaat, ia merasa dunia Rafayel mungkin bukan jurang, tapi kanvas yang menunggu warna baru.
"Hanya segelas," jawab Sylus menyetujui. "Tentu!" Rafayel menyunggingkan senyum pun berjalan di depan memimpin mereka menuju studionya.
Studio Rafayel adalah loteng kecil di atas galeri, berisi kanvas setengah jadi bersandar di dinding. Bau cat minyak menguap, bercampur aroma kayu tua, mengisi udara dengan kenangan nostalgia. Anggur merah mengalir ke gelasnya, dan Sylus menenggaknya cepat tanpa jeda dan terus mengulanginya. Rafayel bercerita tentang pameran pertamanya, tapi Sylus tak mendengar sepatah kata pun. Ia hanya ingin segera mabuk, padahal tadi mulutnya berkata hanya segelas. Sungguh hipokrit.
“Pelan-pelan minumnya, Sylus,” ujar Rafayel, “kau akan mati muda kalau minum secepat itu.” Ia mendorong piring camilan ke arah Sylus—keju teriris rapi, anggur hijau segar, potongan roti yang harum—cita rasa yang menggiurkan. Sylus melirik piring itu, ujung jarinya memutih mencakar pinggiran meja. Kelopaknya berat, efek alkohol, tapi jantungnya yang berdegup kencang, menolak tenggelam sepenuhnya.
“Kau sudah mabuk?” lanjut Rafayel mengangkat botol anggur di meja ingin menuangkan ke gelasnya sendiri, tapi bobotnya ringan, hanya menyisakan kaca kosong di tangannya. “Satu botol ini kau habiskan sendiri. Apa kau sedang ingin melupakan sesuatu?” Ia mengerjap memandang botol di tangannya dan Sylus bergantian.
Pria itu bergeming, semakin mengeratkan genggaman di meja seolah itu dapat menahannya dari ambruk. “Bukan urusanmu,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Sorotnya menantang Rafayel, mencari celah di balik mata bulatnya.
Rafayel tertawa pelan sambil meletakkan botol anggur ke meja menghasil bunyi derit rendah. “Bukan urusanku? Baiklah.” Ia berdiri, melangkah mendekat, bayangannya di dinding membesar, kontras dengan tubuh rampingnya. Dari meja, ia mengambil syal sutra merah tua, berkilau bak darah yang belum kering di bawah cahaya. Jari-jarinya memilin syal itu. “Hanya saja, apa kau ingin melupakan sesuatu dengan lebih cepat? Aku mungkin bisa membantumu,” bisiknya sok empatik, namun kilau di maniknya terasa lebih seperti undangan berbahaya daripada kepedulian.
Sylus menegang, aroma teh melati dari masa lalu terselubung di antara bau cat minyak, mengingatkannya pada suatu momen di apartemen Zayne. Ia menyentuh dahinya, menekannya untuk meredakan denyutan pening di sana. “Jangan main-main.”
Pria bersurai violet itu menyeringai, matanya menyipit membentuk bulan sabit. Tangannya mengulur syal sutra merah tua, ujungnya menyentuh lembut pipi Sylus. “Tenanglah, kita kan teman,” bisiknya, “lagi pula, kau sudah datang ke pameranku.” Dengan gerakan hati-hati, ia mulai melilitkan syal itu di mata Sylus, mengisolasinya dari dunia luar. “Jadi, biarkan aku membantumu kali ini.”
Sylus menahan napas, dunia di sekitarnya meredup menjadi kegelapan lembut di balik sutra. Jantungnya berdetak lebih kencang, bukan hanya dari alkohol, melainkan dari sentuhan Rafayel yang terlalu dekat, terlalu disengaja. "Rafayel," gumamnya serak. Namun, tangan Rafayel sudah meraih pergelangannya, menariknya berdiri dari kursi.
“Ayo, ikut aku,” Ia membimbing Sylus, langkahnya mantap meski dunia di balik penutup mata Sylus terasa goyah. Lantai kayu berderit pelan di bawah kaki mereka, aroma cat minyak dan lilin melebur dengan bau samar parfum Rafayel—sesuatu yang manis, hampir memabukkan. Sylus tersandung sedikit, tubuhnya condong ke depan, tapi Rafayel menahannya, jari-jarinya mencengkeram lengan Sylus dengan kekuatan yang mengejutkan untuk tubuh rampingnya. “Hati-hati,” bisik Rafayel sedikit mengejek. “Kau tidak ingin jatuh sebelum kita sampai, bukan?”
Mereka berhenti, dan Sylus merasakan tepi ranjang menyentuh bagian belakang lututnya, kain seprai yang lembut menggesek celananya. Rafayel mendorongnya perlahan hingga ia duduk, lalu menarik tangan Sylus ke atas. Bahu Sylus mengencang, ototnya menegang seolah ingin melawan, tapi sebelum ia bisa berontak, syal sutra lain sudah melilit pergelangannya, terikat erat ke kepala ranjang. Ikatan itu tidak menyakitkan, namun cukup kuat untuk membuatnya merasa terperangkap.
“Rafayel, apa yang kau lakukan?” Ia menggigit bibirnya, seolah mencoba menahan dirinya dari kegelapan yang lebih jauh. “Jangan..” katanya terus berusaha melawan, tapi ikatan sutranya terlalu kencang menolak lepas.
Rafayel menurut berhenti, berganti jarinya menyentuh dagu Sylus, mengangkat wajahnya mengarah padanya. “Sylus,” panggilnya mendayu, “kau tak perlu takut. Aku tidak seperti mereka.” Kata-kata itu menggantung. Di balik syal sutra, Sylus hanya mendengar gema apartemen Zayne—tawa yang dulu hangat menjadi angin malam yang menusuk kalbu.
Kegelapan hidup di balik syal sutra, memperbesar setiap suara—derit ranjang, napas Rafayel yang mendekat. Jemari rampingnya menyapu leher Sylus, lalu melingkarinya tanpa pemberitahuan. Sylus terkesiap, tangannya kembali mencoba melepas ikatan, meski hawa mabuk semakin berkuasa. “Jangan!” teriaknya protes penuh ketakutan. Syal menahannya, setiap sentuhan Rafayel mencemari kulitnya. Ia mengerang suaranya tercekat di tenggorokan, campuran kemarahan dan ketidakberdayaan.
Udara di Studio Rafayel semakin pengap, aroma cat minyak dan kayu tua mencekiknya, seolah ruangan itu sendiri bersekongkol untuk menjebak Sylus dalam kabutnya. Syal sutra yang tadinya lembut menyentuh kulitnya mengerat di pergelangan tangannya, setiap kali ia mencoba melepaskannya. Denyut nadinya bergema di telinga, menenggelamkan derit ranjang saat Rafayel berlutut di antara kaki Sylus yang mengangkang.
“Jangan?” Rafayel yang ceria dan lembut telah sirna. Jari-jarinya merenggut dagu Sylus memaksa kepalanya terdongak ke belakang, menempel pada sandaran ranjang. “Kau bilang ‘jangan,’ tapi tubuhmu bilang lain.” Nada suaranya penuh ejekan, dan Sylus hampir bisa membayangkan lengkung kejam di senyumnya meski dalam kegelapan.
“Rafayel, lepaskan aku,” geramnya parau. Ia menarik syal yang mengikat pergelangannya, sutra itu menggesek kulitnya hingga mencetak bekas kemerahan, tapi simpulnya kokoh, bergeming. Alkohol melemahkan tenaganya, membuatnya lebih rentan.
Rafayel tergelak sesaat, suaranya bergema di loteng kecil itu. “Lepaskan? Sekarang?” Ia mendekat, napasnya berembus di telinga Sylus, membuatnya menggigil tanpa sadar. “Kau datang ke sini, meminum anggurku, duduk di ranjangku, dan sekarang kau ingin pergi? Terlambat, Sylus.” Jari-jarinya meluncur di leher Sylus, kuku-kukunya menggores ringan pada awalnya, lalu mencengkeramnya erat, meninggalkan bekas sidik jari di kulitnya.
Sylus meringis, tubuhnya mengkhianatinya dengan merespon kecil. “Kau tidak pernah seperti ini,” bisiknya masih mencoba memegang kenangan sisi lembut Rafayel—seniman yang berbicara tentang lukisannya penuh semangat, yang lensa matanya selalu memancarkan bintang bertaburan. Tapi Rafayel kini menjelma menjadi sosok yang seolah tak pernah dikenalnya.
“Seperti ini?” Ibu jarinya menekan arteri karotis Sylus, merasakan detak panik di bawah kulitnya, “kau tidak mengenalku, Sylus. Kau hanya melihat apa yang ingin kau lihat.” Rafayel bergeser, ranjang berderit di bawah bobotnya saat ia menduduki pinggul Sylus, menahannya dengan kekuatan yang disengaja. Tekanan itu mencekik, tubuh rampingnya ternyata kuat, niatnya tak bisa disalahartikan.
Pikiran Sylus berteriak untuk kabur, tapi tubuhnya lamban, terjebak dalam lumpur alkohol dan intimidasi. “Rafayel, aku serius—berhenti!” protesnya melemah, tenggelam oleh deru detak jantungnya. Tangannya masih berontak, tetapi Rafayel memaku pergelangan tangannya yang terikat di atas kepala. Dengan tarikan sembarang, ia merobek kancing-kancing kemejanya.
“Berhenti? Aku tidak mau.” Jemarinya menyelinap ke bawah kain yang tak melakukan tugasnya dengan benar, kuku-kukunya menggali kulit Sylus menciptakan goresan merah padam kontras akan kulit pucatnya.
Rasa sakit itu menyayat kabut mabuknya, membuat Sylus tersadar sejenak. “Berhenti, sialan! Aku bukan mainanmu!" Kakinya menendang, lututnya mengenai sisi tubuh Rafayel, tapi Rafayel hanya tertawa lagi, suaranya menjadi lebih dingin.
“Mainan?” Tangan Rafayel merenggut rambut Sylus dan menarik kepalanya ke belakang, memperlihatkan lehernya. “Kau bukan mainan, Sylus. Kau adalah kanvas—dan aku akan melukis apa yang aku inginkan.” Bibirnya mendarat di leher Sylus, gigi-giginya menggesek kulit sensitif itu, belum menggigit tapi mengancam akan melakukannya.
Sylus membeku, napasnya memburu, terperangkap antara dorongan untuk melawan dan kelumpuhan yang menjerat tubuhnya. Kabut alkohol di kepalanya menebal, membuat setiap sentuhan Rafayel di kulitnya terasa seperti sengatan listrik yang tak diinginkan. Erangan kecil lolos dari bibirnya, respons tubuh yang mengkhianati kebencian mendalam di hatinya, dan dia membenci dirinya karenanya. Lalu, dengan tarikan kasar yang tak bisa diantisipasi, tangan Rafayel melewati batas terakhir privasinya.
Bunyi ristleting yang tajam memecah keheningan, diikuti oleh tusukan keras yang tak terduga, menyelinap ke dalam dirinya. Rasa sakit yang membakar menyergap, tubuh Sylus terkoyak, setiap inci terasa perih menyengat. Ia menggelengkan kepala, air mata membanjiri syal sutra yang menutupi indra penglihatannya, membasahi kain itu hingga terasa berat di wajahnya. Otot-otot kakinya mengencang, mencoba menolak, tapi Rafayel tak memberi ruang—miliknya masuk begitu saja, tanpa pemanasan, tanpa pelumas, hanya dominasi dan kekerasan.
Tubuhnya terasa dibelah menjadi dua oleh desakan Rafayel yang tak kenal henti. Tangan pria itu mencengkeram pinggul Sylus, menahannya di tempat, jari-jarinya meremas kulitnya hingga memar. Darah hangat bercampur dengan cairan Rafayel yang bocor, menciptakan sensasi licin yang menambah kengerian. Setiap gerakan Rafayel seperti pisau, memotong lebih dalam, dan Sylus hanya bisa menggigit bibirnya, menahan jeritan keluar.
Tangan Rafayel kembali merayap ke leher Sylus, jari-jarinya mencekik, membuat napasnya tersedak. Tekanan itu memaksa tubuh Sylus bereaksi tanpa izin, lubangnya di bawah tanpa sadar menjepit Rafayel lebih ketat. “Sial, jalang,” geram Rafayel penuh amarah dan nafsu. “Jangan mengetatkan lubangmu, aku tidak bisa bergerak.” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Sylus, suaranya bergema di loteng kecil, meninggalkan sengatan menyatu dengan rasa hina di tubuhnya.
Sylus tersentak, kepalanya terlempar ke samping, rasa perih di pipinya hanya menambah kabut penderitaan yang menyelimutinya. Air matanya mengalir lebih deras, meresap ke syal yang semakin basah, tapi kegelapan di balik penutup mata itu tak memberi pelarian. Setiap desakan Rafayel terasa seperti hukuman, setiap sentuhan seperti pengkhianatan. “Rafayel… hentikan…” bisiknya, suaranya nyaris hilang, terkubur di bawah deru napas dan derit ranjang. Tapi Rafayel tak mendengar—atau memilih untuk tak peduli. Tangannya di leher Sylus mengencang, memaksa kepalanya tetap di tempat, sementara pinggulnya terus bergerak dengan ritme yang brutal.
Setelah mendapat pelepasan pertamanya, Rafayel mengangkat kedua kaki Sylus, menyandarkannya ke bahunya, memaksa tubuhnya terbuka lebih lebar. Tanpa jeda, ia menghujam lubang itu terus-menerus, dorongannya begitu dalam, menikam langsung ke inti dirinya. Isakan Sylus memenuhi udara. “Rafayel… hentikan… kumohon…” Bibirnya yang bengkak, penuh luka akibat gigitannya sendiri, menggigil saat ia memohon, tapi kata-katanya tenggelam dalam deru napas Rafayel yang kasar. Pria itu seperti kerasukan, matanya yang dulu lembut menggelap, penuh nafsu dan kekejaman. Tak ada kelembutan lagi, hanya ritme yang tak berperasaan, menghancurkan setiap sisa pertahanan Sylus.
Rafayel tak peduli pada isakan atau permohonan itu. Ia terus bergerak, semakin cepat, semakin tak beraturan, hingga akhirnya tubuhnya menegang. Dan akhirnya setelah satu stimulus terakhir, ia menyemprotkan cairannya jauh ke dalam tubuh Sylus, meninggalkan sensasi yang menjijikan. Sylus mendesah lemah, kepalanya terkulai, kesadarannya mulai memudar di tengah kabut penderitaan. Dunia di sekitarnya mulai mengabur, suara derit ranjang dan aroma darah memudar ke dalam kegelapan.
Namun, sebelum ia benar-benar tenggelam, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, menyengat dan memaksanya tetap tersadar. “Jangan pingsan!” bentak Rafayel, suaranya penuh amarah dan dominasi. “Kau harus merasakan ini, Sylus.” Tanpa memberi waktu untuk pulih, ia membungkuk, giginya menggigit cuping telinga Sylus, menimbulkan rasa sakit baru, lalu menjilatnya dengan lidah yang basah dan posesif, menandai setiap inci tubuhnya.
Sylus terbaring di ranjang. Tubuhnya gemetar, deru napasnya lemah. Rasa sakit masih menggerogoti setiap inci tubuhnya, dari memar di pinggulnya hingga luka di dalam jiwanya. Syal sutra yang tadinya menutupinya kini terlepas, tetapi pandangannya tetap buram, kabur oleh air menggenang. Cahaya redup loteng menyelinap melalui celah-celah jendela, menerangi wajah Rafayel yang sudah kembali ke semula—senyuman riang, seolah kekejaman yang baru saja dilakukannya hanyalah permainan biasa.
Rafayel duduk santai di sofa, memainkan ponsel, sesekali terkikik pada sesuatu yang dilihatnya. Sikapnya yang begitu ringan, begitu tak acuh, membuat Sylus merasa seperti benda tak bernyawa, seolah penderitaannya tak lebih dari hiburan sesaat. Ketika ponsel Rafayel berdering, Sylus mendengar suaranya yang penuh ejekan, “Jemput pacarmu atau kusetubuhi lagi? Hehe.” Nada main-main dalam kalimatnya menusuk hati Sylus, tapi dia terlalu lemah untuk bereaksi. Suara di ujung telepon tak terdengar jelas, hanya gumaman samar yang tenggelam dalam dengung di kepalanya.
Telepon akhirnya berakhir dan Rafayel pun beranjak menuju sisi ranjang. Arah pandangnya menatap Sylus diiringi senyum yang membuat bulu kuduk merinding. “Kau mau lanjut, Sylus?” tanyanya mencoba menjadi anak manis. “Zayne akan tiba sejam lagi menjemputmu. Tapi kau akan tetap di sini, bukan, sambil menunggu pangeran berkuda putihmu itu datang?” Ia menyeringai, gigi putihnya berkilau di bawah cahaya redup layaknya predator yang tahu mangsanya tak bisa lari.
Mulutnya ingin menjerit. Kepalan tangannya ingin meninju wajah itu hingga babak belur, tapi tubuhnya tak mau merespon. Otot-ototnya berubah menjadi jeli, lunglai oleh trauma mengerikan. Sylus hanya bisa menatap kosong ke langit-langit, mencoba mencari secercah kekuatan untuk bertahan.
Pria bersurai violet itu berjongkok di sisi ranjang, wajahnya begitu dekat hingga Sylus bisa merasakan napasnya yang hangat dan bau alkohol samar. “Kau tahu, Sylus,” katanya berbisik, “kau terlihat begitu cantik saat menangis. Mungkin aku harus menyimpanmu lebih lama.” Jarinya menyentuh pipi Sylus, mengusap air mata yang masih mengalir, lalu menjilat ujung jarinya yang asin. “Sayang sekali Zayne akan merusak kesenangan kita.”
Sylus memalingkan wajah, menolak sentuhan itu, tapi penolakan itu hanya membuat Rafayel tertawa pelan. “Masih melawan? Lucunya kau,” gumamnya, bangkit berdiri dan berjalan kembali ke sofa, seolah tak ada yang istimewa dari momen itu. Ia kembali asyik ke ponselnya. Meninggalkan Sylus dalam keheningan abadi, ditemani derit ranjang yang masih menggema di kepala dan rasa sakit berlipat.
Waktu terasa melambat. Setiap detik adalah siksaan. Sylus mencoba mengumpulkan sisa tenaganya, berpikir tentang Zayne, tentang kemungkinan keluar dari neraka ini. Namun, Rafayel duduk di sudut ruangan, manik lembayungnya mengawasi, membuat Sylus ragu apakah ia benar-benar bisa melarikan diri. Satu jam lagi, pikirnya. Zayne akan datang. Atau setidaknya, ia berharap begitu.
Tiba-tiba, suara bel pintu yang tajam memecah keheningan. Rafayel melangkah ringan, senyumnya masih menggantung di wajahnya. Ia membuka pintu. Zayne berdiri di sana, wajahnya dingin tanpa ekspresi, tangannya memegang selimut wol yang tebal dan bersih. Bau antiseptik samar menyelinap dari mantelnya, kontras dengan udara pengap loteng. “Lihat, bukankah dia cantik seperti ini?”
Pria bersurai legam itu tak menjawab. Iris hijau kecokelatannya tak menyisir Rafayel lebih dari sekilas, seolah keberadaan pria itu tak lebih dari gangguan kecil. Langkahnya mantap menuju ranjang, setiap pijakan terkendali namun penuh urgensi. Ia berhenti di sisi Sylus. Menelusuri tubuh itu—dari rambut yang kusut basah oleh keringat dan air mata, hingga kaki yang gemetar tak berdaya. Tak ada kemarahan yang meledak dari wajahnya, hanya ketenangan yang mencurigakan.
Zayne membungkuk, tangannya yang stabil namun lembut menyentuh bahu Sylus. “Bisa berdiri?” tanyanya penuh perhatian namun tanpa nada mengasihani. Sylus hanya menggeleng, sinar di mata merahnya padam, tubuhnya terlalu lemah untuk menopang dirinya sendiri. Tanpa kata lebih, Zayne menyelimuti tubuh Sylus dengan selimut wol, menutupi memar dan luka yang tak perlu ditunjukkan pada dunia. Lalu, dengan gerakan yang begitu alami seolah telah dilakukannya ribuan kali, ia menggendong Sylus, menyangga tubuhnya hati-hati agar tak menambah rasa tidak nyaman.
Sylus bersandar lemah di dada Zayne, napasnya masih belum tenang, namun kehangatan selimut dan aroma antiseptik yang familier memberinya secercah rasa aman, meski fana. Zayne tak bertanya apa yang terjadi—ia tak perlu. Ia sudah melihatnya cukup, dan diamnya berbicara lebih keras daripada kata-kata.
Saat mereka berjalan menuju pintu, Rafayel bersandar di ambang pintu, tangannya melambai ramah. “Mainlah lagi ke sini, Sylus!” serunya riang gembira. “Pintuku selalu terbuka untukmu!” Tawa kecil mengiringi kata-katanya, tapi Zayne tak menoleh. Ia terus melangkah, setiap langkahnya mantap, membawa Sylus menjauh dari neraka itu.
Lorong menuju mobil terasa seperti terowongan tak berujung, langkah Zayne yang tegas bergema pelan di samping tubuh Sylus yang masih lemah dalam gendongannya. Tak ada kata yang terucap, hanya keheningan berat yang menyelimuti mereka, penuh dengan pertanyaan tak terucap dan luka yang masih berdarah. Di mobil, Zayne perlahan mendudukkan Sylus di kursi penumpang, memastikan selimut wol tetap menutupi tubuhnya. Ia memutari mobil, duduk di kursi pengemudi, dan menyalakan mesin. Derum mesin terdengar lembut, kontras akan ketegangan yang menggantung di udara.
“Kau baik-baik saja?” tanya Zayne setelah keheningan yang terasa berlangsung selamanya, rendah namun tak bisa menyembunyikan nada prihatin. Sylus tak menjawab segera. Matanya terpaku ke jendela, menyaksikan refleksi studio Rafayel yang semakin mengecil di kejauhan, lampu-lampu jalanan memantul di wajahnya yang pucat. Keheningan kembali menyelimuti mereka, jalanan kota yang sepi hanya ditemani suara ban yang menggesek aspal.
Tiba-tiba, Sylus bersuara, nadanya penuh kemarahan dan kejengahan. “Kau tahu ini akan terjadi, bukan?” maniknya nyalang ke arah Zayne. “Kau bilang hanya Xavier, Zayne! Hanya dia yang akan ‘membuat kita lebih’—katamu begitu! Tapi Rafayel? Apa dia juga bagian dari rencanamu? Kau dan teman-temanmu yang tidak waras itu—” Napas Sylus tersengal, suaranya pecah di ujung. “Berhentilah melibatkan orang lain dalam hubungan kita, sial!”
Zayne menghela napas panjang. Fokusnya masih mengacu pada jalanan yang membentang di depan. Tangannya mencengkeram kemudi sedikit lebih erat. “Sylus, biarkan aku bertanya,” balasnya datar tanpa mengalihkan perhatian, “bukankah kau sendiri yang datang ke sana? Kau yang menerima undangan pamerannya, kau yang menerima ajakan minum anggurnya, dan kau yang tetap di ranjangnya. Jadi, apa kau masih menyalahkanku?”
Di dalam mobil yang melaju pelan di jalanan kota yang sepi, udara terasa seperti ruang hampa, menekan dada Sylus dengan beban luar biasa. Selimut wol yang menutupi tubuhnya terasa berat, bukan karena kainnya, melainkan karena trauma yang melekat. Bekas memar di pergelangannya, jejak jari di lehernya, dan nyeri di sekujur raganya adalah pengingat konstan akan malam-malam yang telah merenggut bagian dirinya—pertama Xavier, sekarang Rafayel. Dan di sampingnya, Zayne, pria yang pernah menjadi rumahnya, hanyalah pengkhianatan lain yang mengemudikan mobil dengan wajah tanpa ekspresi.
“Jadi ini salahku?” Pelupuknya mulai melelehkan air, dia buru-buru menyekanya tapi itu hanya membuatnya semakin deras. “Kau tahu siapa Rafayel. Kau tahu apa yang akan dia lakukan. Dan kau tetap membiarkanku pergi. Kau yang membuka pintu untuk Xavier, untuk Rafayel. Kau yang membuatku percaya ini semua untuk ‘kita’.”
Sylus menarik napas terengah-engah. Air mata masih mengalir di pipinya, menciptakan aliran sungai yang berkilau di bawah cahaya lampu jalanan yang sesekali menyelinap ke dalam mobil. "Kau bilang kau mencintaiku, tapi ini…" Kelopaknya memejam sejenak. Ia menunduk, merasakan ketidakmampuan melanjutkan kalimatnya. "Ini bukan cinta." Isakannya memenuhi ruang sempit di antara mereka. Setiap silabel terasa seperti jeritan yang telah lama dipendam.
Zayne mendesah lemah. “Kau bereaksi berlebihan lagi,” gumamnya dingin, hampir klinis, seperti dokter yang sedang mendiagnosis pasien. “Apa kau masih belum mengerti? Aku mencintaimu, makanya aku memberikanmu kebebasan. Jika kau memilih berakhir begini, itu pilihanmu.”
Ucapan Zayne menusuk seperti pisau. Sylus tergelak, kepalanya berpaling tajam ke arah Zayne. Tangisannya tak kunjung berhenti, meski sudah ditepis berulang kali. Tangannya mengepal, kukunya menancap hingga terasa perih. “Kebebasan?” ulangnya, suaranya bergetar penuh ejekan dan kepedihan. “Kau menyebut ini kebebasan? Membiarkanku masuk ke sarang monster seperti Rafayel? Membiarkanku—” Ia terhenti. Lidahnya mendadak kelu. “Kau melemparkanku ke mereka, Zayne. Kau membiarkannya terjadi.”
Zayne tak menjawab segera. Rahangnya mengeras hingga urat di lehernya tercetak jelas. “Biar kutekankan di sini. Aku tidak memaksamu untuk pergi, baik Xavier atau Rafayel. Aku hanya membuka pintu, Sylus. Kau yang memilih untuk melangkah masuk,” katanya. “Kau bisa menolak. Kau bisa pergi. Tapi kau tetap di sana.”
“Haha… apa kau ikutan tidak waras di sini sampai menarik permohonanmu di apartemenku malam itu? Yang sok dengan tulus memintaku menemui Xavier karena hubungan kita jalan di tempat? Kau akan melupakan itu? Pria brengsek!”
Zayne menoleh sekilas. Iris hazelnya memicing, penuh kilau yang tak terbaca. “Kau yakin aku bilang begitu?” tanyanya penuh nada menantang yang membuat bulu kuduk Sylus berdiri.
“Hey! Kau kira aku akan mudah melupakan rencana konyolmu itu!” Sylus hampir menjerit. Air mata mengalir lebih deras, membasahi pipinya yang lebam “Kau yang memintaku menemui Xavier! Kau yang bilang itu untuk ‘membangunkan kita’! Kau yang—”
“Lalu, Rafayel?” potong Zayne ketus. “Kapan memang aku memintamu menemuinya? Kau punya bukti aku memohon agar kau bertemu dengannya? Kau punya?”
Sylus tersentak, mulutnya terbuka tapi tak ada kata yang keluar. “A-apa?” gumamnya, pikirannya berputar mencoba mengingat. Rafayel… undangan pameran itu datang dari Rafayel sendiri, bukan Zayne. Panggilan telepon, ajakan ke studio—semuanya dari Rafayel. Tapi Zayne… Zayne yang selalu menghantuinya, yang tahu tentang pameran itu, yang tidak menghentikannya. “Kau… kau tahu dia akan ada di sana,” katanya akhirnya, suaranya penuh keraguan tapi juga kemarahan. “Kau tidak pernah memperingatkanku. Kau membiarkanku pergi!”
“Bukankah kau sendiri yang ingin menemui pria lain di belakangku? Lalu setelah berakhir buruk, kau memakiku, meneriakiku. Jika aku tanya, siapa yang tidak waras di sini, kau akan jawab siapa, Sylus?”
“Pria lain?” Sylus tak percaya telinganya mendengar kata itu dari mulut Zayne. “Kau yang mendorongku ke Xavier! Kau yang membuatku percaya itu untuk hubungan kita! Dan sekarang kau berani bilang aku yang mencari pria lain?”
Pria itu membisu. Mobil berhenti di lampu merah, cahaya merah menyala di wajahnya, memberikan kilau aneh pada air mukanya. “Sylus,” katanya rendah, hampir seperti bisikan. “Aku sudah bilang padamu, aku tidak pernah memaksamu untuk minum anggur bersama Rafayel. Aku tidak memaksamu untuk tinggal di studionya. Kau bisa pergi kapan saja. Tapi kau memilih untuk tetap di sana, bukan?”
Sylus menggeleng keras, jelas tidak terima akan kesimpulan yang dibuat Zayne. “Kau tahu aku mabuk! Kau tahu aku tidak bisa berpikir jernih! Dan kau tetap membiarkannya terjadi!” Tangannya mengepal menjerat kain selimut wol. “Kau bukan hanya membuka pintu, Zayne. Kau yang mengunci aku di dalamnya.”
Zayne menghela napas panjang. Jari-jarinya mengetuk kemudi dengan ritme yang tak sabar. “Kau terlalu dramatis,” katanya kembali dingin. “Aku ingin kau belajar mengambil kendali atas hidupmu. Aku tidak bisa melindungimu dari segalanya. Cinta bukan tentang itu.”
“Cinta? Ini bukan cinta, Zayne. Ini kendali. Kau ingin aku patah supaya kau bisa membentukku sesuai keinginanmu. Xavier, Rafayel—mereka bukan kebetulan. Kau mengatur ini semua.” Matanya memerah, penuh kemarahan yang membakar. “Kau monster.”
Zayne menoleh, pupilnya melebar sekilas, tapi cepat kembali ke topeng ketenangannya. “Cukup, Sylus! Kau terluka, kau bingung, dan kau mencari seseorang untuk disalahkan. Tapi aku bukan musuhmu.”
“Bukan musuhku? Kau yang membawaku ke neraka ini, Zayne. Kau yang membuatku percaya aku bisa mempercayaimu. Dan sekarang, setelah semua yang terjadi, kau masih berani bilang kau mencintaiku?” Ia memalingkan wajahnya ke jendela. Tubuhnya gemetar, isakan kecil lolos dari bibirnya. “Aku bukan milikmu lagi. Aku tidak akan pernah menjadi milikmu lagi.”
Keheningan yang menyusul terasa seperti jurang yang tak bisa dijembatani. Mobil kembali melaju, lampu-lampu kota berlalu di jalanan, tapi di dalam, bumi menarik diri berotasi. Akhirnya, mobil berhenti di depan gedung apartemen Sylus. Bangunan itu berdiri dalam kegelapan, pijar bohlam di lorong menyala redup, menciptakan suasana yang sepi namun akrab. Zayne mematikan mesin, tapi tak berranjak dari kursinya. “Kau sampai.”
Sylus tak menjawab. Tangannya bergerak ke pintu mobil, membukanya susah payah. Kakinya goyah saat ia melangkah keluar, selimut wol masih menyelimuti tubuhnya seperti perisai. Angin malam menerpa wajahnya, dingin dan lembab, tapi ia merasa sedikit lebih bernyawa. “Jangan ikuti aku,” katanya tanpa menoleh. “Jangan pernah mendekatiku lagi.”
Zayne tak bergerak, tapi iris hijau kecokelatannya mengikuti Sylus, penuh dengan emosi yang tak terucapkan. “Sylus…” panggilnya hampir memohon.
Tapi Sylus tak menoleh. Dengan langkah penuh rasa sakit, ia berjalan menuju pintu masuk apartemennya, setiap tapak terasa seperti perjuangan. Sylus berdiri di depan pintu apartemennya, mendengar suara decit ban mobil Zayne menjauh, dan untuk pertama kalinya, ia menarik napas dalam tanpa beban di dadanya.
Chapter 3: vidroha (विद्रोह)
Summary:
Dada Sylus sesak, nadinya mengaum di telinganya. Ia tak tahu apa yang ia inginkan—apakah Zayne masuk, melihat keadaan yang Caleb tinggalkan, atau Caleb menahannya, mempertahankan ilusi rapuh kendali yang Sylus pegang. Kedua pilihan itu menakutkannya, tetapi percikan perlawanan di dadanya berkobar lebih terang. Ia bukan milik mereka untuk diperebutkan. Ia bukan hadiah untuk diklaim. Ia adalah Sylus, dan ia akan menemukan cara untuk merebut dirinya kembali.
Pintu berderit, dan kepala Sylus menoleh ke arahnya, mata merahnya melebar dengan campuran ketakutan dan tekad. Siluet Zayne memenuhi ambang pintu, tatapan dinginnya berpendar ke seisi ruangan sebelum mendarat pada Sylus. Sesaat, mata mereka bertemu, dan Sylus melihat sesuatu berkedip di ekspresi Zayne—sesuatu yang mungkin adalah kepedulian, atau kasihan, atau sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Di belakangnya, Caleb berdiri tegap, wajahnya memerah amarah, tangannya masih mengepal seolah siap menerjang.
“Sylus,” kata Zayne melunak, tetapi tak kalah memerintah. “Aku di sini.”
Notes:
#applecrow
maaf ya baru bisa update sekarang, aku (sok) sibuk banget belakangan ini, wkwk. seperti biasa, part ini agak panjang jadi ambil posisi paling nyaman kalian, jangan lupa tinggalin komentar ya atau kalau mau bertanya juga silahkan, aku suka bacainnya dan sebisa mungkin aku akan balas, hehe, selamat membaca~~!!
Chapter Text
vidroha (विद्रोह) refers to 1. revolt; rebellion; 2. turmoil; tumult; 3. quarrel; strife; 4. rage; jealousy.
Sylus berdiri di balkon apartemennya, tangannya mencengkeram pagar besi yang dingin, ujung-ujung jarinya memutih karena tekanan yang tak ia sadari. Udara pagi yang lembab menyapu rambut putihnya, membawa aroma kopi dari kafe di bawah, bercampur bau tanah basah setelah hujan semalaman. Matahari baru saja terbit, sinarnya pucat, seolah enggan menembus kabut yang menyelimuti kota, mencerminkan perasaan gamang di dalam dirinya. Tubuhnya masih terasa berat, bukan hanya karena kurang tidur, tetapi karena beban yang tak pernah ia akui—memar di pergelangannya telah memudar menjadi jejak keunguan yang samar, namun luka di dalam dadanya tetap menganga, tak tersentuh oleh masa.
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang selalu berdegup lebih cepat belakangan ini. Di balik kelopak matanya yang terpejam, ia ingin mengusir kilas bayang malam-malam kelam itu—darah, jeritan, dan Xavier yang ia kira sumber jawaban atas renggangnya hubungan—dirinya dengan Zayne—adalah awal mula kehancuran, Rafayel dengan senyuman yang membawanya semakin dalam menuju jurang trauma, serta Zayne yang kini lebih cocok dilabeli pengkhianat daripada tambatan larat.
Mereka adalah rantai yang mengikatnya, setiap nama adalah sebuah simpul yang tak pernah bisa ia lepas. Tapi kali ini, kenangan lain menyelinap, lebih lembut, lebih menyakitkan. Halaman rumah masa kecilnya terbentang di benaknya. Pohon ek menjulang, daun-daunnya berdesir di bawah sinar matahari musim panas, dan tawa anak-anak yang berlarian tanpa beban. Caleb ada di sana, selalu ada, dengan rambut cokelat acak-acakan dan senyum yang membuat dunia terasa lebih ringan. “Kau lambat, Sylus!” ejeknya dulu, sambil menarik tangan Sylus agar menyamai langkahnya, tangannya hangat, penuh kehidupan. Kenangan itu layaknya mimpi, terlalu jauh untuk disentuh, namun cukup menciptakan sesak di dada oleh rindu yang tak ia sadari selama ini.
Sylus membuka mata, napasnya menjadi tersendat. Jemarinya tanpa sadar menggosok bekas memar di pergelangannya, seolah gerakan itu bisa menghapus jejak-jejak yang ditinggalkan Xavier, atau kata-kata Rafayel yang terdengar mencemooh, juga tatapan Zayne yang menembus sisa-sisa tembok pertahanannya. Ia ingin percaya bahwa masih ada tempat di mana ia bisa menyambung hidup lagi, di mana ia bukan kanvas untuk dilukis oleh ambisi orang lain, bukan pion dalam permainan yang aturannya tak pernah ia pahami.
Tapi setiap kali ia mencoba melangkah, fatamorgana menariknya, bagai rantai yang tak pernah musnah. Dan Caleb—Caleb yang dulu adalah rumah, kini menjadi pertanyaan. Apakah ia masih sama? Atau apakah waktu telah mengubahnya, seperti waktu telah mengubah Sylus menjadi seseorang yang bahkan ia sendiri tak kenali di cermin kaca?
Ia mengalihkan pandangan ke kota yang perlahan bangun di bawah, lampu-lampu jalanan mulai redup, digantikan oleh hiruk-pikuk manusia yang tak peduli pada luka-luka yang ia bawa. Di suatu tempat di dalam dirinya, ia bertanya, apakah ia masih layak untuk kehangatan yang pernah Caleb tawarkan? Atau apakah ia telah terlalu jauh tenggelam dalam kegelapan, sehingga cahaya apa pun hanya akan memudar di dekatnya? Ia menggenggam pagar lebih erat, seolah besi dingin itu adalah satu-satunya yang merangkul kewarasannya.
Ketukan di pintu tiba-tiba memecah keheningan, pelan namun cukup untuk menyentaknya kembali ke dunia nyata. “Sylus? Ini Caleb, kau di rumah?” Suara di balik pintu hangat, penuh tawa kecil yang akrab, menggemakan kenangan yang baru saja ia kunjungi. Jantung Sylus tersentak, bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih rumit—campuran rindu, harapan, dan ketidakpastian yang membaur menjadi satu. Ia menoleh ke pintu, tangannya masih menggenggam pagar balkon, tubuhnya tegang seolah bersiap menghadapi pertempuran.
Dengan langkah ragu, ia melepaskan pegangan pada pagar, jarinya meninggalkan bekas samar di besi yang mulai menghangat oleh sinar matahari. Kaki jenjangnya berjalan menuju pintu, setiap langkah terasa bagai bertaruh—antara masa lalu yang ia rindukan dan masa kini yang tak pernah memberinya ampun.
Pintu terbuka perlahan, dan di sana berdirilah Caleb. Pria itu tampak lebih tinggi dari yang Sylus ingat, tapi fitur wajahnya masih sama—manik keunguan berkilauan, rambut cokelat gelap yang sedikit berantakan, dan senyum yang seolah tak pernah memudar. Jaket denimnya usang, lengan bajunya sedikit terlipat, memperlihatkan urat di pergelangan tangan yang samar. “Sylus,” katanya lembut penuh kelegaan, seolah melihat Sylus adalah hadiah yang tak ia duga. “Apa kabar?” Matanya menyisir wajah Sylus, menangkap lingkar hitam di bawah matanya, pipi yang pucat, dan bibir yang bergemeletuk ringan.
Sylus tak langsung menjawab. Jantungnya masih berdetak cepat, campuran antara nostalgia dan kecurigaan yang kini selalu menghantuinya. Ia memandang Caleb, mencari tanda-tanda bahaya—senyum yang terlalu manis milik Zayne, sorot mata tajam Xavier, atau kilau dingin di binar Rafayel—tapi yang dia temukan hanya kehangatan yang familier, layaknya pagi musim panas di bawah pohon rindang. “Kau… kenapa tiba-tiba ke sini?” tanyanya terdengar lebih serak dari biasanya. Ia memegang kenop pintu semakin erat, belum siap membiarkan dunia masuk.
Pria itu mengangkat kantong kertas cokelat di tangannya, aroma roti panggang dan kopi menyelusup ke hidung. "Aku berpikir kau belum makan, kebiasaan burukmu. Kebetulan aku bawa sesuatu untukmu." Senyum di bibirnya melebar, meski ada kerutan halus di dahinya tanda kekhawatiran. “Roti isi krim keju dari kafe dekat taman. Kau masih suka, kan?” Ia pun melangkah masuk tanpa menunggu izin, didasari karena mereka berteman sejak kecil. Setelah melepaskan sepatunya dengan tendangan santai, Caleb berjalan ke meja kecil di sudut ruangan.
Tangan Sylus yang bertengger di kenop akhirnya mendorong pintu hingga bunyi pengunci otomatisnya bergema nyaring. Ia mengikuti Caleb dari jarak aman, tangannya tanpa sadar menyentuh pergelangan yang masih memar. Aroma kopi hitam yang kuat memenuhi udara, bercampur gurihnya krim keju, membawa kilas saat pagi-pagi di taman—ketika Caleb menyelipkan setengah rotinya ke tangan Sylus karena ia lupa sarapan, sambil terkekeh, “Kau tak akan bisa lari kalau perutmu kosong.” Kenangan itu terasa bagai nyala lilin di tengah kegelapan, tapi Sylus tak yakin apakah ia bisa mempercayai itu lagi atau tidak.
Caleb mendaratkan tubuhnya ke sofa terdekat, menyandarkan punggungnya santai. Ia mengeluarkan dua roti isi krim keju dan dua gelas kopi dalam wadah karton, meletakkannya di meja. “Aku dapat jatah libur seminggu,” katanya tak absen mengamati Sylus, seolah mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik wajah pucat itu. “Aku pikir, kenapa tidak sekalian menemui sahabatku? Tapi…” Ia berhenti, alisnya sedikit berkerut. “Kemarin ada pesta kecil untuk menyambutku kembali ke kota. Zayne yang mengadakan, tapi kau tak ada di sana. Kata Zayne kau sedang tak enak badan. Kau sakit?”
Nama Zayne terdengar menusuk tepat ke ulu hati Sylus. Tangannya mengepal di balik kaus, napasnya tersengal sejenak. Ia memalingkan wajah, berpura-pura memeriksa gelas kopi di meja. Namun pandangannya memburam karena kabut kenangan Zayne yang tiba-tiba merangsek masuk ke pikirannya—senyum palsunya, ekspresi datarnya, dan malam yang menghancurkannya. “Tidak.. hanya sibuk,” dustanya. Ia tak ingin Caleb tahu, tak ingin luka itu terbuka lagi di depan seseorang yang seharusnya jadi tempat amannya.
Caleb memiringkan kepala sambil mengerucutkan bibir. “Sibuk? Begitukah? Tapi kenapa tidak ada yang memberitahuku, kecuali aku bertanya sendiri.” Nadanya sedikit kecewa, tapi menahan diri untuk tidak menanyakan lebih lanjut. Gelas kopinya kini diangkat, ia menyesap isinya dengan wajah berkerut—tak suka rasa pahitnya. Manik ungunya menancap ke Sylus yang terduduk di ujung sofa, seakan sengaja menjauhinya. "Kenapa kau duduk jauh sekali dariku? Kau berpikir aku kuman?"
Kelopak Sylus mengerjap cepat, ia terperanjat oleh nada main-main Caleb yang entah kenapa terasa mengganggunya. Ia memaksakan senyum tipis, tapi bibirnya kaku, seolah otot-otot wajahnya lupa bagaimana cara memahatnya. “Bukan begitu,” gumamnya hampir tak terdengar di bawah deru napasnya sendiri. Ia membuang pandangan ke roti isi krim keju di meja, aroma gurihnya menggoda namun tak cukup mengaburkan rasa mual yang mengaduk isi perutnya. “Aku hanya… butuh ruang.”
"Ruang?" ulangnya sambil menganggukan kepala. Ia meletakkan gelas kopi di meja, jari-jarinya mengetuk permukaan kayu dengan ritme yang konstan. Manik ungunya pun sedari tadi tak pernah lepas dari Sylus. “Kau tahu, dulu kau tak pernah butuh ruang dariku. Kau selalu melekat padaku, minta aku bercerita soal peta dunia atau apapun yang ada di kepalaku.”
Sylus menunduk, ia tanpa sadar menggosok bekas memar di pergelangannya lagi, suatu kebiasaan barunya mulai sekarang. Kenangan itu kembali—Caleb bersama buku atlas usang di tangan, duduk bersila di bawah pohon ek, menjelaskan dengan semangat tentang garis pantai Norwegia yang berliku-liku. “Kau tahu, Sylus, fjord-fjord itu dibentuk oleh gletser ribuan tahun lalu, seperti lukisan alam yang tak pernah selesai!” Sementara itu, Sylus tengkurap di rumput di sampingnya, pura-pura mendengarkan tapi sebenarnya hanya menikmati kehadirannya—tawa kecil Caleb, cara ia membiarkan rambut cokelatnya jatuh ke dahi, dan sinar matahari yang memantul di mata ungunya, membuatnya tampak penuh energi keceriaan. Dulu, dunia terasa aman di sisi Caleb. Tapi kini, setiap kehangatan terasa bagai jebakan, setiap senyum adalah topeng yang bisa lepas kapan saja.
“Aku bukan anak kecil lagi, Caleb,” katanya penuh kepahitan yang tak bisa disembunyikan. “Banyak yang berubah.” Ia mengangkat pandangannya, bertemu mata ungu Caleb yang tampak lebih gelap di bawah cahaya redup apartemen. Ada sesuatu di tatapan itu—bukan hanya kekhawatiran, tapi atensi yang terlalu dalam, terlalu personal, yang membuat Sylus merasa telanjang.
Caleb menghela napas, tangannya bergerak seolah ingin meraih roti di meja, tapi berhenti di tengah jalan. “Aku tahu,” katanya berbisik. “Aku tahu kau sudah melewati banyak hal, Sylus. Aku tidak bodoh. Lingkar hitam di matamu, cara kau mengepalkan tangan setiap kali aku menyebut nama seseorang…” Ia berhenti, matanya menyipit sejenak, seolah menimbang kata-kata berikutnya. “Zayne. Kau bereaksi aneh tadi. Apa yang dia lakukan padamu?”
Pertanyaan itu menamparnya, tajam dan tak terduga. Sylus mematung, lidahnya kelu di tenggorokan. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa tak ada yang terjadi, tapi kalimatnya itu terasa seperti pasir di mulutnya, kering dan tak bisa keluar. Gambaran malam itu melintas di kepalanya—tangan Xavier yang mencengkeram, senyum Rafayel yang berubah menjadi ejekan, dan Zayne, yang berdiri di pojokan memasang ekspresi tanpa riak, seolah semua itu adalah permainan semata. “Tak ada,” dustanya lagi, tapi suaranya pecah, mengkhianati kebohongannya. Ia memalingkan wajah, menatap dinding kosong di samping sofa, berharap Caleb tak melihat air mata yang mulai menggenang di pelupuknya.
Caleb tak bergerak dari tempatnya, tapi suasana di antara mereka terasa lebih berat, mengandung banyak pertanyaan yang tak terucap. “Sylus,” panggilnya begitu lembut. “Aku tak akan memaksamu cerita. Tapi kau tahu aku selalu ada, kan? Bahkan ketika kau pergi, ketika kau tak lagi membalas pesanku, aku tetap…” Ia terhenti, menelan kata-kata yang hampir lolos dari bibirnya. Tangannya meraih roti di meja, memecahnya menjadi dua, lalu mendorong setengahnya ke arah Sylus. “Makan ini. Kau pucat sekali jadi mirip hantu.”
Manik merah Sylus menatap roti itu, aroma krim kejunya mengisi udara, mengingatkannya pada kenangan-kenangan sewaktu mereka masih remaja. Dulu, gelagat ini terasa sederhana, tak bermuatan. Tapi kini, setiap tindakan Caleb layaknya benang yang menariknya kembali ke masa lalu—atau mungkin ke sesuatu yang lebih berbahaya. Ia mengambil roti itu, jarinya gemetar saat menyentuh permukaannya yang hangat. “Kenapa kau begitu baik padaku?” tanyanya tiba-tiba, bersarat kecurigaan yang tak bisa dikendalikan. “Setelah sekian lama, kenapa kau masih peduli?”
Caleb membeku sejenak, pupilnya melebar sebelum kembali memicing, seolah ia tengah tertangkap basah. Ia meneguk kopinya lagi, wajahnya refleks berkerut karena rasa pahit, tapi Sylus bisa melihat ada sesuatu yang ia sembunyikan di balik trik itu. "Kita berteman, Sylus, apa salah jika aku peduli?"
“Teman…” gumam Sylus, melengos ke samping. Ungkapan itu terasa asing di lidahnya, seperti sesuatu yang dulu ia pahami tapi sudah hilang maknanya. Binar merahnya terpaku pada dinding kosong, menghindari tatapan Caleb yang dirasa terlalu tajam, terlalu mengulik jiwanya. Aroma krim keju dari roti di tangannya seharusnya menggunggah selera, tapi justru membuatnya mual, seakan tubuhnya menolak setiap tawaran kehangatan. Ia mencengkeram roti itu lebih erat, hingga remahannya berjatuhan ke pangkuannya, mencerminkan kekacauan di dalam dirinya.
Pria bersurai cokelat gelap itu menghela napas pelan, suaranya nyaris tak terdengar di tengah keheningan singkat mereka. “Ya, teman,” ulangnya, tapi ada nada aneh di suaranya—bukan hanya kelembutan, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih tersembunyi, selayaknya riak di permukaan air danau yang tenang. Ia bersandar ke belakang sofa, tangannya bermain-main di pinggiran gelas kopi kosong, menelusurinya dengan gerakan yang terlalu terkendali. “Tapi… mungkin lebih dari itu, Sylus. Kau pernah berpikir begitu, kan?”
Tubuh Sylus tersentak, bola matanya beralih ke Caleb, mencari makna di balik kata-kata itu. Jantungnya sendiri berdetak lebih kencang, bukan karena nostalgia, tapi karena alarm di dalam dirinya bergema—peringatan yang sama yang ia rasakan saat Zayne tersenyum terlalu manis, atau saat Rafayel menutup matanya dengan syal sutra, juga saat Xavier mencengkeramnya erat. “Apa maksudmu?” tanyanya, penuh kecurigaan yang kini menjadi bagian dari dirinya. Tangannya tanpa sadar merayap ke pergelangan yang masih memar, menyentuhnya gelisah.
Senyuman di bibir Caleb mengembang, tapi senyum itu berbeda—bukan senyum riang dari masa kecil mereka, melainkan seringai yang disengaja. “Ayolah, Sylus,” katanya ceria tanpa melepaskan sorotan yang menancap ke Sylus. “Kau tak pernah bodoh. Kau tahu aku selalu memperhatikanmu. Bahkan dulu, saat kita masih kecil, saat kau tertawa di bawah pohon ek atau menangis karena jatuh dari sepeda. Aku selalu ada, menunggumu melihatku.” Ia mencondongkan tubuh ke depan, siku bertumpu pada lutut, dan jarak di antara mereka tiba-tiba terasa menyusut, membuat udara di apartemen semakin pengap.
Napas Sylus tercekat di tenggorokan, tubuhnya menegang di ujung sofa. Kalimat Caleb barusan melilitnya bagai benang halus yang terasa mencekik. Ia ingin bangkit, ingin menjauh, tapi kakinya seakan terpaku ke lantai. “Menunggu aku melihatmu?” ulangnya bersuara serak. “Caleb, kau… kau tak pernah bilang apa-apa. Kau cuma…” Ia terhenti, pikirannya berputar ke kenangan-kenangan kecil yang kini terasa berbeda—tatapan Caleb yang terlalu lama, tangan yang selalu menemukan alasan untuk menyentuh pundaknya, surat-surat pendek yang Caleb kirim setelah mereka berpisah, yang Sylus anggap hanya nostalgia biasa.
“Aku tak pernah bilang, karena kau tak akan pernah siap mendengarnya,” katanya terkekeh pelan. “Tapi sekarang… lihat dirimu, Sylus. Kau hancur. Dan aku di sini, masih menunggu, seperti dulu.” Ia menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat, jarak di antara mereka hanya sepanjang lengan.
“Kau pikir aku tak tahu apa yang Zayne lakukan? Juga apa yang Xavier dan Rafayel lakukan? Aku tahu, Sylus. Aku tahu semuanya.” Ia memiringkan kepala, seolah menikmati reaksi Sylus, yang kini duduk mematung, tangannya mencengkeram roti hingga hancur di genggamannya.
Sylus merasa udara di apartemen semakin menyusut seakan dinding-dinding tengah mengimpitnya. Napasnya tersengal, matanya menelusuri wajah Caleb, mencari jejak teman masa kecilnya—pria yang dulu membaca atlas dengan semangat, yang membagi rotinya tanpa pamrih. Tapi yang ia lihat sekarang adalah proyeksi lain, seseorang yang terlalu tahu, terlalu terlibat. “Ba-bagaimana kau tahu?” tanyanya terbata-bata, sarat ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. “Kau… kau tak ada di sana. Kau pergi.”
Seringai Caleb berubah menjadi senyuman manis, meski senyum itu sudah tak lagi bersahabat—ia tajam, seakan pisau yang disembunyikan di balik kain sutra. “Aku pergi, tapi aku tak pernah benar-benar jauh, Sylus,” katanya. “Kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja? Setelah semua yang kita lalui?” Ia mencondongkan tubuh lebih dekat, jarak di antara mereka kini hanya beberapa inci, dan Sylus bisa mencium aroma kopi di napasnya, bercampur akan sesuatu yang lebih gelap—mungkin obsesi, mungkin sesuatu yang lebih buruk.
Spontan Sylus mendorong tubuhnya ke belakang, punggungnya menempel pada sandaran sofa, tapi tak ada ruang lain untuk melarikan diri. “Apa katamu?” desisnya, tangannya gemetar di pergelangan yang memar. Pikirannya bergelut, mencoba menyusun potongan-potongan—surat-surat Caleb yang selalu tiba di saat-saat ia merasa paling sendirian, telepon yang tak pernah ia angkat, dan sekarang, kehadirannya yang terlalu tepat waktu. “Kau… kau mengawasiku?”
Caleb tak langsung menjawab. Ia memilih mengambil gelas minuman kosongnya, memutarnya di tangan seolah kebosanan, lalu meletakkannya di meja menghasilkan bunyi dentuman di antara keheningan ruangan. “Mengawasi terdengar kasar, kau tahu." Bibirnya mencebik tidak senang, meski kilau di matanya mengatakan sebaliknya. “Katakanlah aku… menjaga. Aku ingin memastikan kau baik-baik saja. Tapi ternyata, kau terjebak di dalam orang-orang yang salah untuk dipercaya. Zayne, Xavier, Rafayel…” Ia menggelengkan kepala, seolah kecewa, tapi ada kepuasan kecil di sudut bibirnya yang membuat jantung Sylus terhenti sejenak.
“Jangan sebut nama mereka!” sela Sylus nyaris berteriak, kepanikan di dalam jiwanya meluap. Ia bangkit dari sofa, langkahnya goyah, menjauh ke arah jendela, ke arah cahaya pagi yang redup menyelinap melalui celah-celah tirai. Kedua lengannya merengkuh dirinya sendiri, jemarinya meremas kain mantelnya, berusaha menahan tubuhnya yang gemetar. “Kau tak tahu apa yang mereka lakukan. Kau tak tahu apa yang aku—” Suaranya pecah, air mata yang tadi ia tahan akhirnya meluncur di pipinya, panas lagi pahit.
Caleb tak bergerak dari sofa, tapi ekor matanya mengikuti setiap gerakan Sylus, bagai predator yang tahu mangsanya tak punya tempat untuk lari. “Oh, aku tahu. Aku selalu tahu karena aku melihatnya, Sylus. Aku melihat bagaimana Zayne memanipulasimu, bagaimana Xavier menyakitimu, bagaimana Rafayel menjadikanmu karya seni terbarunya.” Ia bangkit perlahan, langkahnya terukur saat mendekati Sylus, tapi berhenti beberapa langkah di depannya, memberi ilusi ruang yang sebenarnya tak ada. “Dan aku biarkan itu terjadi. Karena kau perlu belajar, Sylus. Kau perlu tahu bahwa tak ada yang bisa mencintaimu seperti aku.”
Kata-kata itu menjelma belati, menusuk tepat ke sanubari. Sylus memalingkan wajah, lidahnya kelu tapi tak ada tempat untuk bersembunyi dari kebenaran yang terbuka di depannya. Caleb—teman masa kecilnya, satu-satunya orang yang ia pikir bisa menjadi penutup luka—justru adalah bagian dari kegelapan yang sama. “Kau… biarkan itu terjadi?” bisiknya lirih hampir tak terdengar. “Kau tahu, dan kau tak melakukan apa-apa?”
Kepala Caleb mengangguk, tak ada penyesalan di wajahnya, hanya kepastian yang mengerikan. “Kau terlalu keras kepala, Sylus,” katanya lembut, seolah sedang menenangkan anak kecil. “Kau tak akan kembali padaku kalau tak hancur dulu. Tapi sekarang kau di sini, dan aku di sini. Kita bisa mulai lagi. Bersamaku, kau tak akan disakiti lagi. Aku janji.”
Gelak tawa Sylus menggema putus asa. "Janji?" ulangnya, binar matanya menyala marah juga cemas. “Seperti janji Zayne? Seperti bualan Xavier dan Rafayel?” Kakinya melangkah mundur, punggungnya menempel pada jendela, dinginnya kaca meresap ke tulang-tulangnya. “Kau sama seperti mereka, Caleb. Kau… kau lebih buruk. Kau diam-diam mengatur semuanya, menunggu aku jatuh, dan sekarang kau bilang ini cinta?”
nanananayip on Chapter 2 Tue 20 May 2025 12:15PM UTC
Last Edited Tue 20 May 2025 12:16PM UTC
Comment Actions
shimwuki on Chapter 2 Tue 20 May 2025 10:23PM UTC
Comment Actions
nanananayip on Chapter 2 Wed 21 May 2025 11:34PM UTC
Comment Actions
sylus sini sama kakak (Guest) on Chapter 2 Tue 10 Jun 2025 05:16PM UTC
Comment Actions
Leofars on Chapter 2 Tue 17 Jun 2025 03:46PM UTC
Comment Actions
nanananayip on Chapter 3 Sun 06 Jul 2025 05:42AM UTC
Comment Actions