Actions

Work Header

ZERO-SUM GAME

Summary:

Zayne menarik napas dalam, matanya menyipit seolah menimbang risiko kata-katanya. “Xavier,” katanya pelan, suaranya selembut krim makaron kesukaannya, “kau ingat dia, bukan? Yang selalu diam di antara tawa kita, yang termuda di antara kita semua.” Ia berhenti, menatap Sylus dengan intensitas yang membuat jantungnya berdegup kencang. “Dekati dia, Sylus. Bukan untuk meninggalkanku, tapi untuk membawa sesuatu yang baru… sesuatu yang mungkin bisa membangunkan kita dari mimpi yang terlalu lama ini.”

Suara deru pendingin ruangan mengisi kesunyian yang tercipta. Sylus tersentak, dadanya sesak. “Kau gila?” balasnya, suaranya gemetar. “Kau… menyuruhku mengkhianati hubungan kita?”

“Bukan pengkhianatan,” sahut Zayne, tetap lembut. Ia menarik tangan Sylus, meletakkannya di dadanya, di mana detak jantungnya terasa tenang, namun ada getar halus di sana. “Aku ingin kita hidup lagi, Sylus. Bersamanya… atau bersamaku, tapi dengan cara yang berbeda.”

Notes:

StarCrow

Chapter 1: mūrkha (मूर्ख)

Chapter Text

mūrkha (मूर्ख) refers to a “fool”, according to the Śivapurāṇa 2.3.25 (“The seven celestial sages test Pārvatī”)


Tangan Sylus digenggam erat, jemari Zayne melilitnya seperti kabel kusut yang sulit diurai. Lima tahun telah mereka lewati bersama, keliman waktu merangkai tawa, air mata, dan malam-malam penuh bisik gairah. Di kamar apartemen Sylus, di bawah cahaya senja yang merona tipis di wajah Zayne, mereka duduk berdampingan di tepi ranjang. Aroma teh melati dari mantel Zayne yang terlupakan di kursi bercampur dengan bau kertas tua di rak Sylus, menusuk namun membawa ketenangan samar.

Belakangan, Sylus mendapati Zayne sering termenung, pandangannya hilang ke arah luar jendela atau ke sudut ruangan, seolah mencari sesuatu yang tak pernah diucapkannya. Dan sore ini, matanya, hijau kecokelatan, menatap Sylus dengan kilau lembut namun penuh hal tersembunyi di baliknya. “Sylus,” katanya, suaranya rendah, memastikan hanya kekasihnya saja yang bisa mendengarnya, “pernahkah kau merasa hubungan kita jalan di tempat?”

Mendengar kata-kata Zayne itu, Sylus terpaku, napasnya tersangkut di ujung tenggorokan. Keningnya seketika berkerut, matanya menyusut dalam bingung yang rapuh. “Jalan di tempat? Apa maksudmu?” tanyanya, bibirnya terbuka dalam diam, suaranya pecah. Sylus terbata-bata mencari arah di balik pertanyaan Zayne itu, "kau… merasa aku tak cukup untukmu?" lanjutnya pelan, takut menuduh sembarangan.

Zayne menggeleng, lalu tersenyum tipis. Ia mencondongkan tubuhnya—napasnya yang hangat menyapu wajah Sylus—sangat dekat hingga aroma teh melati menguar lebih kuat. “Bukan soal cukup,” bisiknya, jari-jarinya meluncur ke pipi Sylus, sedikit lembab karena keringat, “aku ingin kau mencoba sesuatu… untuk kita.”

Sylus masih bergeming, menunggu Zayne menjelaskan lebih, tapi pria itu tetap membisu. “Coba apa?” tanyanya, suaranya nyaris tenggelam dalam kilau mata hazel Zayne yang tak pernah absen menyapa iris biramnya. Senyum di wajah Zayne masih terpatri manis di sana, bukannya menyulut rasa damai, Sylus malah merasa sebaliknya sekarang.

Zayne menarik napas dalam, matanya menyipit seolah menimbang risiko kata-katanya. “Xavier,” ucapnya, suaranya selembut krim makaron kesukaannya, “kau ingat dia, bukan? Yang selalu diam di antara tawa kita, yang termuda di antara kita semua.” Ia berhenti, menatap Sylus dengan intensitas yang membuat jantungnya berdegup kencang. “Dekati dia, Sylus. Bukan untuk meninggalkanku, tapi untuk membawa sesuatu yang baru… sesuatu yang mungkin bisa membangunkan kita dari mimpi yang terlalu lama ini.”

Suara deru pendingin ruangan mengisi kesunyian yang tercipta. Alis Sylus menyatu, raut wajahnya tak bisa berbohong kalau ia terkejut mendengar pernyataan itu. “Kau gila?” balasnya, tatapannya nyalang, “kau… menyuruhku mengkhianati hubungan kita?”

“Bukan pengkhianatan,” sahut Zayne menghela napas. Ia menarik tangan Sylus, meletakkannya di dadanya, di mana detak jantungnya terasa tenang, namun ada getar halus di sana, “aku ingin kita hidup lagi, Sylus. Bersamanya… atau bersamaku, tapi dengan cara yang berbeda.”

Sylus menggeleng keras, mata biramnya memanas, bulu matanya basah menahan air mata. “Tidak, Zayne!” sergahnya, “aku tidak mau—aku hanya mencintaimu.” Dia menggigit bibir bawahnya erat-erat, menahan ledakan bom emosi yang dilempar tiba-tiba.

Pria bersurai legam itu kembali mendekatkan wajahnya, menghapus sisa jarak hingga ujung hidung mereka saling bersentuhan. Matanya mengunci pandangan Sylus, tak ingin kekasihnya itu terdistorsi sedetik pun. “Jika kau mencintaiku,” katanya selembut permen kapas meleleh di mulut, “tunjukkan—temui Xavier, sekadar mengobrol. Mudah, bukan?” Ia menahan napas sejenak, jari-jarinya berpegang pada tangan Sylus lebih erat, memastikan pesannya barusan tersampaikan dengan lugas.

Sylus beralih menunduk, menghindari tatapan mendalam iris hazel itu. Nadinya berdenyut kencang di pergelangan tangan juga lehernya tegang maksimal. Matanya tertuju pada selimut bergulung di ranjang, tempat mereka pernah berbagi tawa, berubah menjadi tak familiar. Zayne masih menatapnya dalam sunyi, memberi ruang untuk Sylus berpikir.

“Sekadar bertemu, tanpa obrolan pun cukup,” bisik Zayne lagi, ada sesuatu tersirat di ucapannya—harapan, atau mungkin tantangan—yang membuat Sylus semakin kalang-kabut akalnya, “kau bisa melakukannya, bukan? Untuk kita.”

Sylus mendesah berat. Lidahnya terjulur membasahi bibirnya yang mendadak mengering. “Tapi…” suara Sylus terputus, penuh keraguan. Jemarinya meremas sprei di bawahnya erat. Fokusnya masih ke lipatan kain itu, tak sanggup menatap manik hazel yang akan selalu membuatnya luluh.

Tangan Zayne dengan gerakan lembut mengarahkan telapak pria bersurai putih itu ke pipinya sendiri, mengusapnya pelan—hangat, bermanja, memupuk rasa bersalah di relung jiwa Sylus karena tak segera membalas. Manik biramnya—yang sedari tadi menghindar—terpaksa bertemu dengan pandangan Zayne, kalut dan penuh pertanyaan. “Sayang,” panggilnya, “aku memintanya karena aku takut. Hubungan kita… terlalu indah untuk dibiarkan begitu saja. Kita terlalu lama terjebak dalam kebiasaan, Sylus—malam yang sama, canda yang sama. Aku takut kita lupa bagaimana rasanya jatuh cinta.”

Sylus memilih menutup matanya rapat-rapat, memutus kontak yang menariknya ke dalam pusaran kecemasan. Napasnya tersengal, terombang-ambing antara cinta yang masih ia genggam dan rekahan yang Zayne coba tunjukkan. Ranjang di bawahnya terasa membeku, sprei kusut yang menyimpan banyak kenangan pahit-manisnya dinamika hubungan mereka menyadarkannya akan sesuatu—apakah semua ini tidak cukup?

Pria bersurai putih itu membuka matanya perlahan, tapi pandangannya tetap menghindar, ke arah mana saja asal bukan ke orang di hadapannya. Ungkapan Zayne itu terus menggema, dan Sylus memaksakan dirinya untuk mencari makna di baliknya. Apakah Zayne melihat sesuatu yang ia lewatkan? Apakah Xavier—pria yang selalu ada di tepi cerita mereka—benar-benar bisa mengembalikan apa yang hilang? Tapi setiap kali ia mencoba memahami, pikirannya terseret ke jurang yang gelap, di mana satu langkah salah bisa merenggut segalanya.

Hening terus berbicara di antara mereka. Zayne mendesah dalam sepi, lalu melepaskan tautan jarinya selembut mungkin agar Sylus tak merasa diabaikan. Matanya memicing ke arah luar jendela. “Xavier… dia berbeda,” katanya memecah sunyi bagai angin yang menerpa dedaunan kering, ringan tapi membawa gemerisik yang mengusik, “dia pendiam, tapi matanya punya cerita. Kau pernah melihatnya, bukan? Cara dia tersenyum—jarang, tapi selalu tepat. Cara dia ada di dekat kita, tapi seolah tak pernah benar-benar masuk.”

Sylus mendengarkannya cermat walau keningnya tetap berkerut dalam, mencoba menarik ingatan dari pikirannya yang berkabut. Xavier—pria dari jurusan astronomi semester akhir, dengan rambut perak, entah asli atau diwarnai, matanya biru terang, tajam, seolah dapat menembus apa yang dilihatnya. Di apartemen Zayne, di malam-malam penuh tawa dan cerita, Xavier selalu ada di sudut, hanya mendengarkan dan baru bicara kalau diminta. Sylus ingat caranya memandang orang-orang di sana—penuh perhatian, tapi selalu menjaga jarak. Baginya, Xavier hanyalah siluet di latar belakang, bukan sosok yang sekarang Zayne angkat ke tengah panggung, seolah-olah dirinyalah memegang kunci dari rahasia yang Sylus tak pernah diberi tahu.

“Dia bukan orang yang suka mengacau,” lanjut Zayne terdengar putus asa, menimang betapa rapuhnya momen ini. Ia menunduk sejenak, lalu menatap Sylus dengan mata penuh kejujuran. “Aku hanya ingin kau melihat sesuatu yang baru, Sylus. Bersamanya. Bersamaku. Bersama kita.”

Mata itu, mata yang selalu menggoyahkan Sylus lantas menatapnya dalam. “Cukup, Zayne!” suaranya meninggi, “berhenti bicara omong kosong!” Tangannya bergerak tanpa sadar, menekan kuku-kukunya ke lengan Zayne hingga meninggalkan rona merah nyaris berdarah, berharap bisa menahan kekasihnya dari ide konyol itu.

Zayne tak menarik diri. Ia justru membingkai pergelangan itu, mengusapnya dengan ibu jarinya, menenangkan badai kerisauan di batin Sylus. “Sylus,” katanya menjadi lebih tegas, meski tetap ada kelembutan yang membuat hati Sylus serasa ditarik ke dua arah—antara cinta dan bimbang, “kau tahu aku juga mencintaimu. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Tapi terkadang, cinta butuh ruang untuk bernapas, untuk tumbuh. Aku tidak memintamu meninggalkanku. Aku hanya memintamu mencoba sesuatu yang bisa membuat kita.. merasa lebih.”

“Lebih?” Sylus tertawa getir, “lebih dari apa yang kita punya sekarang? Zayne, kita punya malam-malam yang kugenggam erat di hati, kita punya tawa yang masih kuingat nadanya, kita punya—” Suaranya terhenti, matanya berkaca-kaca, tapi Sylus enggan menangis. Ia ingin menyebut semua yang mereka bangun bersama, tapi kata-kata Zayne tentang hubungan yang jalan di tempat menusuk seperti duri, membuatnya mempertanyakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa Zayne, pria yang ia cintai lebih dari apa pun, merasa semua itu tak cukup? Apakah ia yang gagal melihat cacat yang Zayne coba selamatkan?

Jarak sudah tak lagi dikenal, dahi mereka bersentuhan, membuat aroma teh melati menyeruak mengisi tiap indera penciuman pria bersurai putih. “Aku tidak ingin kehilanganmu,” bisiknya seperti tengah memanjatkan permohonan, “tapi aku takut kita tenggelam lebih dalam, Sylus. Xavier… dia bisa jadi jembatan, bukan jurang. Temui dia, Sylus. Rasakan apa yang ada. Jika kau kembali dan hanya menginginkanku, aku akan ada di sini.” Matanya, hazel yang lembut, berkilau dengan harap dan ketakutan yang bercampur.

Sylus lagi-lagi menutup mata, menahan rasa panas di pelupuk. Sentuhan Zayne hangat—seperti biasanya—walau sekarang membuatnya menggigil hebat oleh alasan yang tidak diketahui. Ia ingin mendorong Zayne, berteriak bahwa ini gila, bahwa cinta mereka tidak butuh orang lain. Tapi bagaimana kalau ini benar? Bagaimana jika ia memang tak melihat apa yang Zayne lihat? Bagaimana jika menolak berarti kehilangan segalanya? 

Pria bersurai putih itu berulang kali menarik napas dan mengembuskannya. “Sekali saja,” bisiknya akhirnya, matanya mendongak dengan pandangan yang penuh amarah dan keraguan, “tapi ini bukan karena aku setuju, Zayne. Ini karena aku tak tahu cara lain untuk menghentikanmu.”

“Tentu,” sahut Zayne tersenyum simpul. Bibirnya bergerak maju menyentuh bibir Sylus, pelan dan berhati-hati, seperti menyegel janji yang tak berani diucapkan. Matanya, hijau kecokelatan yang hangat, membentuk bulan sabit.

Napas Zayne masih terembus halus ke wajah Sylus, hangat sekaligus membawa ketegangan yang tak terkicap. “Cukup berdiam saja, kan?” tanya Sylus menentukan sendiri cara termudah di pertemuan nanti.

“Ya, sesukamu,” jawab Zayne tanpa ragu, “cukup lihat dia, rasakan apa yang ada. Itu saja.”

Sylus mengalihkan pandangan ke arah jendela sejenak, langit di luar sudah semakin menggelap, padahal belum lama ini pipi Zayne merona indah karena sinar mentari senja. Namun, sekarang tergantikan oleh pijar lampu jalanan yang remang-remang. “Baiklah,” bisiknya, lebih ke menyakinkan dirinya sendiri. Zayne menciumnya lagi, dalam dan tanpa kata, hingga Sylus tak lagi bisa membedakan antara hangatnya bibir Zayne dan dinginnya ketakutan di hati.

Ciuman itu larut, melampaui bibir, menyatu ke dalam malam yang kencang dan bergairah. Zayne menarik Sylus ke pelukannya—erat—seakan merajut kembali ikatan mereka yang mulai tercerai-berai, mengikat jiwanya hingga celah di antara mereka terasa memudar, walau hanya sesaat.

Di kamar apartemen Sylus, ciuman Zayne seperti air yang meluap—mengalir tak terbendung—menenggelamkan keraguan Sylus. Bibir mereka bertaut, penuh tekanan sekaligus kelembutan, seolah Zayne ingin mencap Sylus sebagai miliknya, namun juga mendorongnya ke tepi ketidakpastian yang ia buka sendiri. Sylus terhanyut, ia mengalungkan lengannya ke leher pria bermanik hazel, jemarinya menyusur ke tengkuk dan belakang kepala Zayne—memberi tekanan di sana—menyalurkan keinginannya untuk tetap bergantung pada pria bersurai legam ini. Di hatinya, ia bertanya—apakah ciuman ini janji, atau perpisahan yang disamarkan?

Zayne menarik Sylus lebih dekat, hingga tak ada ruang tersisa di antara mereka. Pelukannya hangat, kuat, meski ada sesuatu di dalamnya—seperti tali yang mengikat sekaligus melepas. Jemarinya mengusap punggung Sylus sensual, setiap sentuhan berbisik tentang cinta yang kini bercampur harap tak tertutur. “Sylus,” bisiknya rendah di sela ciuman, nyaris tenggelam dalam napas mereka yang bercampur aduk, “kau milikku.”

Kata-kata itu manis, juga menusuk. Sylus membuka matanya sejenak, menatap iris Zayne yang terbias cahaya bohlam, memantulkan bayang dirinya di lensa itu. Ia ingin bertanya—milikmu, tapi kenapa kau mendorongku ke orang lain?—tapi tangan Zayne perlahan semakin turun ke pinggulnya, ketat dan penuh hasrat, mencuri setiap kata. Napas Sylus tersendat, terperangkap antara pelukan yang dulu menjanjikan kebersamaan selamanya dan ide Xavier yang mulai mencakar pikirannya.

Ranjang di bawah mereka berderit, selimut yang tadi bergulung tersingkir ke sisi, menyaksikan dalam diam saat Zayne menuntun Sylus untuk berbaring. Sprei terasa menggelugut di kulit Sylus, kontras dengan panas yang menyebar dari setiap sentuhan Zayne. Kemeja hitam Zayne terlepas, menyisakan aroma teh melati yang bercampur napas mereka yang semakin berat. Bobot tubuh Zayne di atasnya ringan namun pasti, membuat Sylus merasa terperangkap—dalam kehangatan dirindukan, juga ketakutan menerkam.

“Zayne…” Sylus berbisik, tangannya menggali kulit bahu Zayne dalam-dalam. Ia mencoba mendorong Zayne, menuntut agar semua ini berhenti saja—Xavier, ide gila itu, semuanya—tapi tubuhnya menyerah, terbawa arus keinginan yang ia benci akui. Zayne menatapnya, tersenyum manis. Ia menunduk, mencium leher Sylus dengan kelembutan bagai memuja yang diselingi gigitan kecil, menandai Sylus masih miliknya, meski hanya untuk semalam.

Setiap ciuman seperti api yang menghangatkan mereka, namun juga membakar luka yang ia coba abaikan. Zayne bergerak perlahan—sengaja—jemarinya menelusuri garis-garis tubuh Sylus seperti seorang pelukis yang menghafal setiap inci kanvasnya. Pakaian mereka luruh, menyisakan kulit yang saling bersentuhan—hangat, rapuh. Napas Zayne menyapu dadanya, perutnya, lalu lebih jauh, membuat Sylus lupa—atau memilih untuk lupa—bayang Xavier.

“Zayne, aku…” Sylus mencoba berbicara, tapi lagi-lagi kata-katanya tenggelam dalam desah yang lolos tanpa izinnya. Zayne mengangkat wajahnya sejenak, menatapnya dengan iris hazel yang berkilat nafsu terpendam.

“Jangan berpikir,” bisik Zayne, “rasakan saja.” Lalu ia kembali menciumnya—lebih dalam, menenggelamkan semua pertanyaan yang tak sempat terucap.

Dan Sylus menyerah. Ia membiarkan dirinya tenggelam, membiarkan Zayne mengisi setiap celah dalam dirinya—keraguan, ketakutan, semuanya larut dalam sentuhan yang akrab walau agak berbeda. Gerakan mereka menyatu, menjadi kebiasaan yang telah mereka hafal selama lima tahun, tapi malam ini ada sesuatu yang baru—lebih mendesak, lebih liar, seolah mereka berdua merasakan bayang perubahan mengintai di akhir malam ini.

Di tengah kabut hasrat, tangan Zayne menggenggam tangan Sylus dengan gemetar, takut kehilangan pegangan pada apa yang mereka miliki. Tapi di sudut pikiran Sylus, bayang Xavier muncul—mata biru terang yang tiba-tiba terasa asing, senyum yang kini seperti tantangan yang bukan ekspektasi. Bayang itu lenyap dalam sekejap, tertutup oleh gelombang yang membawa Sylus dan Zayne ke puncak, ke tempat di mana hanya ada mereka—tapi Sylus tahu, di hatinya, bahwa Xavier menunggu, dan Zayne—dengan semua cintanya, akal sehatnya, juga kesadarannya—telah membuka pintu itu.

Saat semuanya kembali mereda, mereka terbaring di ranjang yang menghangat oleh kehadiran mereka. Napas mereka masih tersengal, bercampur aroma keringat dan sisa teh melati yang melekat di udara. Zayne menarik Sylus ke pelukannya, jari-jarinya menyisir rambut putih Sylus penuh kasih, seolah Sylus terbuat dari kaca yang ringkih. “Kau baik-baik saja?” tanyanya terselip ragu, seperti ia sendiri mempertanyakan apa yang telah ia mulai.

Sylus tak menjawab segera. Matanya terpaku pada langit-langit, pada bayang-bayang yang berayun pelan, dibentuk oleh lampu jalan yang menyelinap lewat celah jendela. Hangatnya tubuh Zayne di sisinya terasa seperti pelabuhan yang dulu selalu cukup, meski sekarang pertanyaan kembali menggerogoti: Apa yang Zayne cari di Xavier yang tak ia temukan di sini? Dan aku—apakah aku bisa memberikan apa yang ia butuh, atau hanya berpegang pada apa yang kita miliki? Di sudut pikirannya, bayang mata biru Xavier kembali berkedip, lalu lenyap, meninggalkan rasa geligis yang tak bisa ditepis.

“Sylus,” Zayne memanggil kedua kalinya. Ia menggeser tubuhnya, menatap Sylus dari sisi. “Besok… kau akan menemui Xavier, bukan?”

Zayne memang tidak terbiasa berbasa-basi, ucapannya barusan bagai anak panah yang meluncur cepat—halus namun menyakitkan—menghancurkan kabut hangat yang menyelimuti mereka dalam sekejap. Sylus menoleh, menatap sang kekasih, ingin terus menemukan alasan untuk menolak dalam mata yang dulu selalu jadi tempatnya pulang. Ia ingin berteriak bahwa malam ini—pelukan ini, ciuman ini—adalah bukti bahwa mereka tak perlu orang lain. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Zayne yang membuatnya terdiam kelu.

“Ya,” bisik Sylus sambil mengangguk kecil, walau juga penuh keengganan yang ketara. Zayne mendesah lega—mungkin?—lalu mencium keningnya, agak lama, seperti meminta maaf atas apa yang ia tawarkan.

Malam itu, terbaring dalam pelukan Zayne, Sylus merasa dirinya terkekang—antara cinta yang telah ia genggam selama lima tahun, dan bayang Xavier yang kini seperti pintu yang tak bisa ia tutup, menariknya ke sesuatu yang asing, yang tak ia inginkan, tapi tak bisa ia hindarkan.


Malam berikutnya, Sylus berdiri di depan pintu apartemen Zayne, tubuhnya terasa ditarik ke dasar bumi di tiap langkahnya. Jantungnya berdetak tak beraturan, cemas, seolah setiap ketukan adalah pengingat malam sebelumnya—pelukan Zayne, ciuman yang hangat namun rapuh, dan janji yang dapat menipunya dari dalam bayang-bayang. Kode pintu—010, awal nomor ponselnya—bukan lagi sekadar angka, melainkan teka-teki yang menanggung rahasia. Jari-jarinya lembab di atas tombol, udara malam yang sejuk menyapu lehernya, membawa aroma kota sekilas—aspal basah dan bunga liar dari taman di bawah. Ia menarik napas dalam, mencoba mengusir keraguan yang mencekik, lalu mengetik kode. Pintu pun terbuka dengan desis pelan.

Udara di dalam apartemen menyapa dengan kepekatannya, aroma teh melati yang dulu menenangkan bercampur dengan sisa asap rokok yang mengendap. Lampu redup melempar bayang-bayang ke dinding warna pucat polos, gelas-gelas kosong berserakan di meja—sisa tawa yang bergema menjauh. Xavier terlihat duduk di sudut, setengah tersembunyi dalam gelap, mata birunya menangkap cahaya hingga Sylus menahan napas.

“Sylus,” panggil Xavier, suaranya setenang air mukanya. Ia menunjuk sisi sofa yang lain—tempat Sylus pernah bersandar pada Zayne. Kursi itu terasa seperti jebakan di bawah tatapan Xavier, tapi Sylus melangkah, kakinya berat, dan akhirnya duduk. Kain sofa yang sejuk menyengat telapak tangannya, kontras dengan resah yang mulai mengalir di tiap peredaran darahnya. Ia menyatukan jemarinya, mencoba mengusir memori ciuman Zayne, tapi Xavier di depannya bukan lagi bayang—ia nyata, dan tatapannya seperti mengupas lapisan hatinya satu per satu.

Detik-detik berlalu dalam hening, udara terasa tipis di paru-paru Sylus. Ia memberanikan diri mencuri pandang ke Xavier—rambut peraknya berkilat di bawah lampu redup, mata birunya tak lagi menjaga jarak, melainkan mengintai seakan tengah membaca rahasia yang Sylus sendiri tak tahu ia miliki. Di dalam hati, ia berulang kali mengingatkan dirinya bahwa ini hanya pertemuan sederhana, sesuai yang Zayne janjikan—jembatan untuk menyelamatkan cinta mereka, bukan jurang yang akan menelannya. Tapi sejak ia masuk, tak ada kata yang terucap, hanya tatapan Xavier yang tak pernah lepas darinya, membuat Sylus mempertanyakan apakah ini memang jalannya. Ia menggigit bibir bawahnya, mencari pijakan di tengah keheningan yang mengaburkan pikirannya.

“Zayne bilang kau akan datang, dan kau datang,” ujar Xavier akhirnya. Ia bangkit dengan gerakan yang terlalu mulus, hampir tak wajar, dan berjalan ke meja kecil di sudut, mengambil segelas air. Jari-jarinya memegang gelas sedikit terlalu lama, menimbang sesuatu yang tak diberitahu. “Haus?”

Sylus mengangguk ragu, lagi pula tenggorokannya sangat kering bagai di gurun. Gelas itu dingin di tangannya, airnya terlihat murni, dan saat ia meneguk, ada aroma samar—hampir tak tercium, layaknya bunga yang terlupakan di sudut ruangan. Airnya terasa menyegarkan, tapi sesaat ada denyut halus di nadinya, merasa sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan tapi terlanjur terulang. “Apa yang Zayne ceritakan padamu?” tanyanya berusaha mengisi keheningan yang menyelimuti mereka.

Xavier tersenyum tipis, senyum yang tak menyentuh matanya “Zayne bilang kau… butuh sesuatu,” katanya, melangkah mendekat, mengikis jarak yang tercipta, “aku tidak tahu apa itu, tapi jika itu bisa membantu temanku, aku akan melakukannya.” Nadanya ambigu—penuh kesan hanya bermain-main.

Sylus mengerutkan kening dan beralih membatu. Berbagai macam skenario mulai terbentuk di otaknya, misalnya saja pertemuan ini akan berakhir dalam lima menit tanpa ada obrolan jelas walau Xavier tadi diminta berinisiatif. Sylus tak akan menyalahkan pemuda itu karena hubungan ini memang tak ada kaitannya dengan Xavier sendiri. Pertemuan ini jelas hanya formalitas semata—berakhir buruk tak ada pihak yang disalahkan, berakhir bagus tak ada pihak yang diberi sanjungan. Walau begitu, tubuh Sylus tiba-tiba terasa salah, hawa meriang merangkak pelan dari bawah kulitnya. Duduknya menjadi gelisah, bergerak seperti ini tidak nyaman, bergeser seperti itu tidak mengenakkan. Suara pegas terdengar lirih dari arah seberang dan sekarang Xavier sudah berdiri di depannya—terlalu dekat—udara di antara mereka terasa tebal, penuh tekanan yang mengintimidasi. Sylus menyelipkan jemarinya ke bawah lutut, buku-buku jarinya memutih, ingatan ciuman Zayne di keningnya tadi malam berlalu-lalang bercampur dengan mata biru yang mengintainya.

Ruangan terasa sangat menyesakkan, meski sirkulasi udara sudah diatur tepat. Kakinya impulsif menyatu rapat, membuat gesekan kecil sambil tetap menahan lonjakan api di dalam dirinya, kemejanya—sutra tipis yang menempel lengket—mengikat tubuhnya dalam panas yang makin membara. Ia memejamkan mata merahnya, mencoba menenangkan diri, tapi bayang pelukan Zayne malah menuang bahan bakar ke inti sukmanya. Pening menumpulkan inderanya, rintihan kecil lolos dari bibirnya. Di hadapannya, Xavier membungkam mengamati tiap perubahan yang Sylus tunjukkan.

Deru napas Sylus tersengal-sengal saat ia membuka mata, penglihatannya memburam. Tubuhnya tak mau patuh, mereka merespon sendiri seolah autopilot. Lantai kayu kerap-kerap sepanjang Xavier berjalan mendekat, senyumnya semakin lebar seperti sudah menunggu saat ini tiba. 

“Kau baik-baik saja, Sylus?” tanyanya, nada pura-pura simpati, tangannya terulur menyentuh pundak Sylus, merayau sepanjang garis bahu naik ke atas tengkuk di mana tanda gigitan merah tersembunyi. Tanpa sadar, Sylus mengeluarkan desah pelan, kepalanya mendadak terasa ringan, kelopak matanya terkatup lekat.

Tak lama, tersadar apa yang barusan ia lakukan, mata Sylus membulat, tangannya buru-buru menutup mulut, menahan desah memalukan yang lepas begitu saja. Gelas tadi—aroma manisnya—kini terasa seperti perintah Zayne yang ia telan, membakar nadinya dengan dosa sarat salah. 

“Ya, aku—” katanya terhenti oleh dorongan yang melilit dari dalam tubuhnya. Tangan Xavier di tengkuknya menekan tanda gigitan yang Zayne buat semalam seolah tengah menandai ulang wilayah yang bukan miliknya. Sensasi itu menyengat, campuran antara sakit dan panas yang membuat Sylus menegah napas, tubuhnya lumpuh di bawah sentuhan Xavier. Ia mencoba menarik diri, tetapi tangan Xavier bagai jangkar, menahannya di tempat dengan kekuatan yang tersembunyi di balik gerakan lembutnya. “Berhenti,” kata Sylus nyaris tidak terdengar di tengah deru napasnya sendiri. Ia memaksa matanya terbuka, mencoba menangkap pandangan Xavier, berharap ada sisa kemanusiaan di balik mata sebiru lautan beku itu. “Aku… aku bilang berhenti, Xavier.”

Xavier memiringkan kepala, senyumnya melebar, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya—hanya kilau predator yang telah menemukan mangsanya. “Berhenti?” ulangnya, “kau ingin mengecewakan Zayne? Aku melakukan ini untuk hubungan kalian, lagi pula kau datang sendiri ke sini, bukan? Kau masih ingin berhenti?” Tangannya tidak berpindah dari tengkuk Sylus, jari-jarinya menggali lebih dalam, sengaja menekan tanda gigitan hingga Sylus menggigit bibirnya untuk menahan rintihan yang nyaris lolos lagi.

Sylus menggeleng, kepalanya terasa seperti dipenuhi kabut tebal. “Tidak… aku tidak mau ini,” katanya lebih keras sekarang, meskipun kilas ketakutan tersirat di setiap kata. Ia mencoba bangkit, tangannya meraih sandaran sofa untuk menopang tubuhnya yang limbung, tetapi Xavier bergerak lebih cepat. Dengan satu dorongan yang terukur namun kuat, Xavier mendorongnya kembali ke sofa, lututnya menekan paha Sylus, menjebaknya di tempat.

“Kau yakin?” tanya Xavier, suaranya berbau ancaman pekat, matanya berkilat dengan sesuatu yang gelap. Ia meraih pergelangan tangan Sylus, mencengkeramnya hingga buku-buku jarinya memutih, dan menariknya mendekat. “Zayne bilang padaku, aku bebas melakukan apa pun. Jika Sylus melawan, kau bisa memberinya hukuman agar patuh. Menurutmu, kau ada di posisi bisa menolak ini, Sylus?” Napasnya hangat di wajah Sylus, terlalu dekat, membawa aroma mint yang bercampur dengan nikotin berperisa buah segar.

Napasnya seketika tersekat, jantungnya berdetak kencang seolah akan melompat keluar dari dadanya. Kata-kata Xavier menusuk seperti pisau, setiap silabel membawa bobot pengkhianatan yang tak pernah ia duga. Zayne? Zayne yang ia percaya, yang ciumannya masih terasa di keningnya, yang berjanji akan memperbaiki segalanya—apakah dia benar-benar mengatur ini? Pikirannya berputar, kabut pening semakin menyelimuti, membuatnya sulit membedakan antara kenyataan dan mimpi buruk.

Sylus menjerit kecil, tubuhnya meronta, tetapi cengkeraman Xavier hampir mustahil diluruhkan. Ia merasakan denyut sakit di pergelangannya, memar mulai terbentuk di bawah kulitnya yang pucat. “Tidak! Zayne tidak akan… dia tidak akan bilang begitu! Kau bohong!” teriaknya menggema di dinding apartemen yang tiba-tiba terasa terlalu sempit. Tapi Xavier hanya tertawa pelan, suara itu dingin dan kosong, seperti gema dari ruang yang tak berpenghuni.

Tiba-tiba, tangan Xavier yang lain meraih dagu Sylus, memaksanya menatap mata birunya yang tak lagi menyembunyikan niat. “Bohong? Tanya dirimu sendiri, Sylus—kenapa Zayne mengirimmu ke sini malam ini, hanya dengan permintaan dan tanpa penjelasan?” katanya menjadi bisikan yang membuat bulu kuduk Sylus berdiri, “jadi, untuk apa? Kenapa kau begitu yakin Zayne tidak akan mengatakan itu, hm?”

Tubuh pria bersurai putih itu mematung, matanya membulat, air mata yang tadi hanya menggenang kini meluncur di pipinya, meninggalkan jejak panas. “Hanya tidak mungkin,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada Xavier. Gambar Zayne—senyumnya yang lembut, tangannya yang pernah menenangkannya—bergesekan dengan kalimat Xavier, menciptakan retakan di hatinya. “Dia mencintaiku...”

“Mencintaimu? Haha!” Tawa Xavier meledak, matanya menyipit, “kau terlalu naif, Sylus,” katanya, menyeka air mata di sudut matanya. “Cinta itu hanya kata, dan Zayne tahu itu tidak akan pernah cukup untuk menjinakkanmu.”

Sylus menggeleng lemah, air mata mengalir lebih deras, membasahi pipinya dan jatuh ke sofa membentuk gradasi warna lebih gelap. “Kau salah,” bisiknya serak, penuh keputusasaan yang mencakar tenggorokannya. “Tidak, tidak, tidak!” Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena cengkeraman Xavier, tetapi karena hancurnya dunia yang ia pikir ia pahami.

“Ya, percayakan saja,” katanya, nadanya penuh ejekan, “dan karena kau sudah tak patuh padaku, kau harus dihukum sekarang.” Tangannya berpindah dari dagu ke leher Sylus. Jari-jarinya melingkari leher Sylus, tidak terlalu erat, tetapi cukup untuk membuat napas pria beriris merah tersendat, paru-parunya menjerit mencari udara. Matanya membeliak, air mata memburamkan pandangan ke mata biru Xavier yang tak berkedip.

Suara jeritan terdengar menyayat. Ia mencoba mendorong Xavier, tangannya mencakar lengan pria itu, meninggalkan goresan merah yang cepat memudar di bawah kulit pucat Xavier. “Lepaskan aku!” teriaknya, tetapi tubuhnya terasa seperti kapas, lemah dan tak berdaya, dikhianati oleh kabut pening yang semakin tebal di kepalanya. Air yang ia minum tadi—aroma manis yang samar—terasa seperti belenggu yang mengikat setiap ototnya, membuat perlawanannya sia-sia.

Dia tidak menghiraukan jeritan itu. Dengan satu gerakan cepat, dia mendorong Sylus ke belakang, tubuhnya menghantam sofa dengan keras hingga napasnya tersengal. Lututnya menekan paha Sylus, menjebaknya di tempat, sementara tangannya merobek kemeja sutra Sylus dengan tarikan kasar. Kancing-kancing berhamburan ke lantai, suaranya seperti tetesan air di tengah keheningan yang mencekik. Kulit Sylus yang terbuka terasa dingin di udara apartemen, tetapi sentuhan Xavier membakar, meninggalkan jejak memar di lengan dan dadanya.

“Tolong… tidak,” Sylus memohon nyaris tak terdengar, air mata mengalir makin deras, bercampur dengan darah dari bibirnya yang pecah akibat gigitannya sendiri. Ia mencoba menutup mata, berharap bisa melarikan diri ke dalam kegelapan, tetapi tangan Xavier kembali meraih dagunya, memaksanya untuk menatapnya.

“Jangan tutup mata,” kata Xavier, suaranya rendah, penuh otoritas yang mengerikan, “kau harus melihat ini, Sylus. Kau harus tahu apa yang Zayne inginkan darimu.” Ia mencondongkan tubuh lebih dekat, napasnya menyapu wajah Sylus, aroma mint dan nikotin berperisa buah semakin kuat, memuakkan. “Kau pikir ini tentang cinta? Ini tentang kendali. Dan Zayne tahu kau tidak akan pernah benar-benar menyerah… kecuali aku membuatmu.”

Kepalanya menggeleng keras, isakan kecil lolos dari bibirnya, tetapi tubuhnya tidak lagi menurut. Kabut di kepalanya semakin tebal, membuat setiap gerakan terasa seperti mimpi yang lambat dan mengerikan. Ia merasakan tangan Xavier menjamah lebih jauh, menelusuri garis pinggulnya, lalu lebih rendah, setiap sentuhan seperti pisau yang mengiris keberaniannya. “Zayne…” bisiknya, nama itu keluar seperti doa yang putus asa, tetapi tidak ada jawaban, hanya tawa pelan Xavier yang mengisi ruangan.

Pria bersurai perak itu menarik Sylus dari sofa dengan kasar, cengkeramannya di lengan Sylus mengerat. Sylus mencoba meronta, kakinya menendang udara, tetapi Xavier menyeretnya tanpa ampun ke arah ranjang Zayne di sudut apartemen. Kain sprei berbau teh melati tercium pekat saat Sylus menggelinjang di atasnya. Xavier berdiri menghadapnya, bayangannya menjulang di bawah cahaya redup, lensa birunya menggelap. “Kau bisa berteriak,” katanya berubah lembut, tetapi penuh kepastian yang mengerikan, “tapi tidak ada yang akan mendengar. Tidak ada yang akan datang. Bahkan Zayne.”

Meski begitu, Sylus tetap tak menyerah. Ia mencoba berontak, tangannya mencengkeram sprei, mencari sesuatu—apa pun—untuk dipegang, tetapi Xavier dengan mudah menangkap pergelangannya, menjepit kedua tangannya di atas kepala dengan satu tangan. Cengkeraman itu keras, membuat Sylus meringis, rasa sakit di pergelangannya bercampur dengan memar yang mulai terbentuk di paha dan dadanya. “Jangan…” bisiknya, suaranya patah, air mata membasahi sprei di bawahnya. “Aku mohon… jangan lakukan ini.”

Xavier tidak menjawab segera. Ia hanya menatap Sylus, matanya menelusuri setiap inci wajahnya—air mata, bibir yang berdarah, mata merah yang penuh ketakutan. “Kau cantik seperti ini,” katanya hampir seperti pujian, tetapi penuh racun. Tangannya yang lain melepas kemeja Sylus, memperlihatkan kulit yang penuh memar dan goresan, lalu bergerak ke ikat pinggangnya, jemarinya bekerja dengan cepat, tanpa ragu.

Jeritannya kembali terdengar, suaranya serak dan putus asa, tetapi apartemen itu tetap diam, dinding-dindingnya menelan setiap harap. Tubuhnya terasa seperti benda asing, tidak lagi miliknya, dikuasai oleh kabut yang membingungkan dan tangan Xavier yang tak pernah berhenti menodai. Setiap sentuhan adalah pelanggaran, setiap kata adalah belati, dan di tengah semua itu, nama Zayne terus bergema di pikirannya—janji-janji yang kini terasa seperti dusta, ciuman yang kini terasa seperti pengkhianatan.

Pakaian mereka meluruh entah sejak kapan, kulit panas mereka saling bersinggungan. Jari Xavier yang panjang menelusuri tungkai dalamnya dan terus meraba ke atas, sesekali menjepit sampai memerah, meninggalkan bekas yang terasa seperti cap kepemilikan yang tak diinginkan. Setiap sentuhan adalah invasi, setiap gerakan Xavier seperti menulisi luka baru di kulitnya yang sudah penuh memar. Sylus menggelinjang, tubuhnya menegang di bawah sentuhan itu, setiap inci kulitnya menjerit menolak, tetapi kabut di kepalanya membuat perlawanannya melemah. “Berhenti…” bisiknya lagi nyaris lenyap, tenggelam dalam isakan yang pecah di tenggorokannya. Air mata terus mengalir, membasahi sprei yang kini berbau teh melati bercampur keringat juga ketakutan.

Xavier tidak menghiraukan permohonannya. Matanya, biru dan dingin, terkunci pada wajah Sylus, menikmati setiap raut keputusasaan yang terpahat di sana. “Kau masih melawan?” katanya, “Zayne bilang kau akan begitu. Tapi dia juga bilang, kau akan menyerah pada akhirnya.” Tangannya yang menjepit pergelangan Sylus mengencang, buku-buku jarinya memutih, dan rasa sakit itu menusuk hingga Sylus meringis, napasnya tersengal. Dengan tangan yang lain, Xavier mendorong paha Sylus, memaksanya terbuka, gerakannya kasar dan tanpa belas kasihan, meninggalkan memar baru di kulit yang sudah penuh luka.

“Tidak! Jangan!” Tangan yang bebas mencakar sprei, kuku-kukunya mengoyak kain hingga robek, tetapi Xavier hanya tertawa pelan, suara itu dingin dan kosong. Ia menghapus jarak ke wajah Sylus, bayangannya menutupi cahaya redup, menenggelamkan dunia dalam kegelapan. “Ini untuk Zayne,” bisiknya bagai merapal mantra yang mengerikan, “dan untukmu, supaya kau tahu tempatmu.”

Saat Xavier bergerak lebih dekat, tubuhnya menekan Sylus ke ranjang, sprei kusut di punggungnya seperti cakar. Sylus mencoba mendorong, tangannya mengais dada Xavier, meninggalkan goresan merah yang cepat memudar, tetapi genggaman di pergelangannya tidak goyah. Rasa sakit menyebar dari setiap titik yang disentuh—memar di paha, luka di pergelangan, dan luka tak terlihat di hatinya. Nama Zayne bergema di pikirannya, bukan lagi sebagai penyelamat, tetapi sebagai pengkhianat, setiap kenangan ciumannya kini terasa seperti racun yang perlahan membunuhnya.

Dan kemudian, dalam satu momen yang terasa seperti keabadian, Xavier melangkah lebih jauh, menyatukan dirinya dengan Sylus dalam tindakan yang penuh kekerasan dan pelanggaran. Sylus tak bisa lagi menahan jeritan kesakitan, suaranya memudar menjadi isakan yang tersendat, tubuhnya menegang, setiap otot menolak, tetapi tidak ada pelarian. Rasa sakit fisik bercampur dengan kehancuran emosional, seperti pisau yang mengiris setiap serat keberadaannya. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi sprei yang kini terasa seperti kain kafan, dan di tengah semua itu, ia merasakan dunianya runtuh, meninggalkan hanya kegelapan dan nama Zayne yang tak lagi memiliki makna.

Ranjang berderit keras di bawah mereka, selimut tersingkap seperti saksi kehancuran. Xavier bergerak dengan ritme yang ganas, tanpa pemanasan, tanpa persiapan. Setiap sentuhan seperti api yang ia nyalakan untuk membakar Sylus, setiap dorongan seperti retakan di tulangnya, mencuri napasnya hingga paru-parunya terasa hampa. Sylus mencoba mencengkeram bahu Xavier, jari-jarinya menggali kulit untuk melawan, tapi tangannya lemah, jatuh ke ranjang yang sekarang mirip jurang—tempat Zayne menjanjikan jembatan, menyisakan puing di bawah tawa dingin Xavier. “Berhenti…” Sylus memohon, suaranya tenggelam dalam desah yang ia kutuk. Xavier hanya tertawa kecil penuh kemenangan. 

“Kau milikku malam ini, Sylus,” katanya.

Malam itu berulang, seperti lingkaran yang tak putus. Xavier tak pernah melambat, gerakannya kejam, seolah ingin menghapus Zayne dari jiwa Sylus, menggantikannya dengan tanda yang liar dan miliknya. Sylus merasakan tubuhnya menyerah, nadinya berdenyut tak beraturan, pandangannya kabur, akalnya berburai. Apakah ini yang Zayne inginkan? Pikirannya menolak, tetapi kenangan ciuman Zayne terasa bagai pisau yang sama yang kini memotong jiwanya. Aroma teh melati masih membubung, bercampur kepahitan yang mencengkeram hatinya, ingin menangis tapi tak bisa.

Akhirnya, di tengah kabut pening yang menyesakkan, Sylus merasakan kesadarannya memudar. Matanya terpejam, pikirannya menolak menyaksikan kemenangan Xavier. Xavier berhenti, menatap tubuh Sylus tergeletak di ranjang Zayne. Matanya tersenyum, penuh kepuasan yang gelap. “Kau milikku sekarang,” katanya lalu ia bangkit, meninggalkan Sylus dalam keheningan yang sunyi.

Di sudut apartemen, bayang-bayang menyaksikan, menyimpan rahasia tentang Zayne yang membuka pintu, tentang Xavier yang mengambil segalanya, tentang Sylus yang patah di antara puing cinta yang ia tak duga.

Keesokan paginya, Sylus tersadar dengan kepala berdenyut dan mengerang kecil saat mengganti posisi, setiap inci kulitnya perih, pinggangnya nyeri, bagian bawahnya pun sakit sampai mau mati. Selimut tebal yang menutupinya tak bisa menyembunyikan tanda malam itu—bekas gigitan, memar di pinggul, lengket di pangkal paha, menyisakan rasa jijik di nadinya. Ia memejamkan mata, napasnya tersendat, mencoba menghapus bayang Xavier—kasur, suara kasar penuh dendam, cairan manis yang masih menghantui—tapi kenangan itu menempel, seperti noda menahun. Di sudut ruangan, Zayne sedang duduk di kursi dekat jendela, siluetnya tajam melawan cahaya pagi, matanya apatis seperti dalang yang menikmati hasil permainannya. 

“Kau bangun,” kata Zayne seketika mendengar erangan kesakitan dari arah ranjang. Sylus tak menjawab. Mulutnya kering, tenggorokannya terbakar, dan derit ranjang masih bergema di gendang telinganya, seperti ejekan bisu dari apartemen yang menertawakannya. Matanya memandang Zayne, tapi tak ada lagi harapan—hanya kehampaan, dan di dalam dadanya, sesuatu yang dulu adalah cinta kini terasa seperti pecahan teka-teki gambar yang tak bisa ia satukan ulang.

Matanya berkaca-kaca, namun di dalam dadanya, bara kemarahan menyala, rapuh namun membakar. Tubuhnya perih, setiap gerakan mengingatkannya pada Xavier—tangan dingin penuh dendam, dorongan yang menghancurkan—dan Zayne, yang menjahit semua ini dengan ciuman dan janji yang kini terasa seperti pisau. Ia mendorong selimut, tangannya gemetar, dan dengan sisa tenaga yang nyaris padam, ia terhuyung berdiri. Kakinya goyah, seperti kaca yang retak di ujung beban, tapi ia memaksa diri melangkah menuju Zayne, pria yang pernah ia percaya.

“Bukan ini yang kau janjikan!” teriaknya, suaranya pecah, seperti kain yang robek di ujung jahitan. Tangannya terangkat, menampar pipi Zayne dengan kekuatan yang lahir dari kehancuran. Suara tamparan bergema, tajam di keheningan pagi. Tubuhnya nyaris ambruk, tapi ia mencengkeram tepi kursi, menolak jatuh di hadapan pria yang telah menenun jurang ini.

Zayne bergeming. Pipinya memerah, tapi matanya—es, dengan bayang keraguan yang sekilas—tetap menancap pada Sylus. Ia memalingkan wajah sekilas, seolah menahan sesuatu, sebelum berkata, “Kau kotor, Sylus,” suaranya halus namun menusuk, seperti benang yang masih ingin mengikat. Jemarinya meraih tengkuk Sylus, menyapu tanda merah yang memudar—jejak Xavier, jejak malam yang Zayne izinkan. “Biar kubersihkan.”

Sylus tersentak, napasnya tersengal. Sentuhan itu membakar, menghidupkan luka yang ingin ia kubur. “Kau bilang itu pilihanku,” bisiknya, suaranya gemetar, air mata mengintai di kelopaknya, “tapi kau yang meracik cairan itu. Kau yang membuka pintu untuk Xavier!”

Zayne tersenyum tipis, tak berekspresi lebih, tapi sudut matanya berkedut, seolah ada retakan di tenangnya. “Aku bilang sesukamu,” katanya datar, seperti membaca laporan tanpa melihat darahnya, “jika kau memilih menenggaknya, jika kau memilih bertahan, itu bukan aku.”

Sylus menggeleng, air mata akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. “Pergi dariku,” katanya, suaranya hancur, namun bara di dadanya hidup, kecil tapi nyata. “Aku bukan milikmu lagi.” Kata-kata itu rapuh, tapi ia memegangnya erat, seperti pecahan kaca terakhir yang masih bisa ia genggam.

Ia memalingkan wajah, tangannya mencengkeram kemeja robek dari lantai, dan dengan langkah goyah, ia berjalan menuju pintu. Zayne tak menghentikannya, tapi tatapannya terasa seperti jerat di punggungnya. Di ambang pintu, Sylus berhenti, napasnya berat. Dunia di luar terasa asing, tapi di dalam dadanya, sesuatu bergerak—bukan hanya sakit, tapi kemauan untuk bangkit, meski caranya masih kabur.

Cahaya pagi membelai wajahnya saat pintu terbuka, tapi aroma teh melati menempel, seperti sisa janji yang retak, dan rahasia yang baru mulai ia gores untuk terbuka.

Chapter 2: saṅkōca (संकोच)

Summary:

Pikiran Sylus berteriak untuk kabur, tapi tubuhnya lamban, terjebak dalam lumpur alkohol dan intimidasi. “Rafayel, aku serius—berhenti!” protesnya melemah, tenggelam oleh deru detak jantungnya. Tangannya masih berontak, tetapi Rafayel memaku pergelangan tangannya yang terikat di atas kepala. Dengan tarikan sembarang, ia merobek kancing-kancing kemejanya.

“Berhenti? Aku tidak mau.” Jemarinya menyelinap ke bawah kain yang tak melakukan tugasnya dengan benar, kuku-kukunya menggali kulit Sylus menciptakan goresan merah padam kontras akan kulit pucatnya.

Rasa sakit itu menyayat kabut mabuknya, membuat Sylus tersadar sejenak. “Berhenti, sialan! Aku bukan mainanmu!" Kakinya menendang, lututnya mengenai sisi tubuh Rafayel, tapi Rafayel hanya tertawa lagi, suaranya menjadi lebih dingin.

“Mainan?” Tangan Rafayel merenggut rambut Sylus dan menarik kepalanya ke belakang, memperlihatkan lehernya. “Kau bukan mainan, Sylus. Kau adalah kanvas—dan aku akan melukis apa yang aku inginkan.” Bibirnya mendarat di leher Sylus, gigi-giginya menggesek kulit sensitif itu, belum menggigit tapi mengancam akan melakukannya. 

Notes:

#fishcrow

Chapter Text

saṅkoca (सङ्कोच) refers to “hesitation”, according to the Śivapurāṇa 2.3.25 (“The seven celestial sages test Pārvatī”)


Setelah melangkah keluar dari apartemen Zayne, Sylus meringkuk di sudut kamarnya. Lampu redup melempar bayang-bayang menari di dinding, mencerminkan pengkhianatan yang bersemayam di nadi. Cermin retak di depannya memantulkan siluet—merah, kosong, tenggelam dalam tragedi malam sebelumnya. Setiap tarikan napas membawa derit ranjang Zayne, tangan Xavier yang menjamah, dan bisikan, “Kau kotor, Sylus.”

Tubuhnya ini seperti bukan miliknya walaupun memar di pinggulnya hampir memudar, tapi nyeri di tulang-tulangnya tetap ngilu menggeletuk. Kulitnya masih terasa lengket, bercampur aroma keringat dan sisa cairan manis yang melekat tak mau tanggal. Ia telah menggosok tubuhnya hingga perih, hingga kulitnya memerah dan berdarah, namun bau itu terkerak, menyumbat di tiap pori-porinya.

Sylus memejamkan mata, mencoba menutup dunia, namun kegelapan justru memperparah segalanya. Iris biru Xavier mengintai nyalang dari balik kelopaknya, sementara Zayne berdiri di sudut ruang dengan wajah tanpa riak. Paru-parunya mengadat, keringat membanjiri pelipisnya. Ia memaksa matanya terbuka, menatap lantai kayu di bawahnya. Telapak kakinya turun menjejak permukaan itu, setiap langkah seperti berjalan di atas pasir hisap yang menariknya ke dasar. Tungkainya mengerang dalam penolakan, tapi yang lebih berat adalah hatinya—kehampaan yang menggerogoti, sisa bara cinta yang hanya ada abu pembakaran.

Ia menyeret tubuhnya ke wastafel, tangannya gemetar saat memutar keran. Air dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu membilas ingatan buruknya. Di cermin, ia melihat bekas gigitan di lehernya—merah pudar, mengecap paksa dirinya milik seseorang. Jemarinya menyentuhnya, lalu menarik diri karena tersengat jijik pada dirinya. “Kenapa kau membiarkan ini, Zayne?” bisiknya serak ke refleksinyanya. Namun cermin tak menjawab, hanya memantulkan pelupuknya yang basah, penuh pertanyaan yang tak pernah ia duga akan tanyakan.

Sylus menjatuhkan diri ke lantai, punggungnya bersandar pada dinding yang lembab. Di luar, kehidupan berputar—burung berkicau, klakson mobil bersahut-sahutan, angin membawa aroma bunga liar dari taman. Namun di dalam, waktu menjadi tiada, terperangkap dalam lingkaran malam kelam. Ia memeluk lututnya, tubuhnya meringkuk mengecil menjadi anak-anak yang membutuhkan pelindungan. 

Dia mencoba menghirup asa banyak-banyak, tangannya mengacak rambutnya tanpa belas kasihan. Ia ingin berteriak, ingin menghancurkan cermin, dinding, semuanya—meski yang tersisa hanyalah kelelahan. Sylus mendongak, merenung ke langit-langit yang disinari lampu pijar remang, cahayanya nyaris tersedak lubang hitam. Ia tetap terpaku ke atas, namun sudut pandangannya merendah ke tetesan air yang jatuh dari keran pancuran. Bunyi ritmis tetesan air mengingatkannya pada hitung mundur ledakan bom, menggema di kepalanya yang terus berputar. Ia buru-buru menutup telinga, berusaha meredam dengungannya. Giginya bergemeletuk, menahan isakan yang tak pernah ia izinkan keluar.

Dengan susah payah, Sylus melepaskan tangannya dari telinga. Dengung tetesan air masih bergaung di kepalanya, tak mau reda. Ia memaksa tubuhnya bangkit. Tumpuannya gontai, menyeret setiap langkah yang dibebani berat tak kasat mata. Ia membawa dirinya ke jendela. Cahaya pagi menyapa malu-malu, redup dan kelabu, tersaring awan tebal yang menyelimuti cakrawala. Aroma teh melati menguar samar di udara, manis namun menggencet indra penciumannya, memancing lehernya menoleh ke belakang, mencari jaket yang tertinggal dari semalam.

Ekor matanya menangkap jaket kulit hitam itu—tergeletak di sudut, tergulung kusut. Dulu Zayne memujinya karena membuat Sylus terlihat gagah, namun kini jaket itu terasa seperti kulit kedua yang tak lagi pas. Jemarinya ragu menyentuh kain itu. Aroma manis bunga bercampur keringat menikamnya, membawa kilas bayang Zayne yang mengumbar senyum manis. Jantungnya tersentak, napasnya tercekat. Sejenak, ia terpaku, menimbang—mungkin inilah saatnya untuk membuangnya, untuk melepaskan sisa-sisa Zayne yang masih mengikat jiwanya.

Sylus menarik napas dalam. Jaket kulit hitam itu masih tergeletak di sudut, pengingat yang enggan beranjak. Ia melangkah keluar dari kamar mandi, uap mengepul dari kulitnya yang memerah. Di atas meja, ponselnya bergetar. Layarnya menyala dengan nama Zayne. Pesan singkat terpampang: Kau baik-baik saja? Hubungi aku begitu kau baca ini.

Pupil merahnya terarah ke pesan itu, bibirnya tergigit hingga perih, hingga rasa besi merembes di lidahnya. Di kepalanya, tamparan itu bergema kembali—dentang tangan menghantam pipi Zayne, teriakannya yang nyaring, “Pergi dariku!”—namun sisa ciuman Zayne di keningnya, lembut dan penuh janji palsu, masih mengendap. Ibu jarinya bergidik di atas pilihan blokir, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini yang seharusnya dilakukannya sejak kemarin. “Aku bukan milikmu,” desisnya ke cermin di depannya. Pantulannya memandanginya balik—mata memerah, basah, penuh keraguan, dengan siluet Zayne yang memanggilnya dari sudut kelopaknya.

Ujung jarinya akhirnya menekan tombol blokir dalam satu sentuh. Layar ponselnya menggelap, dan dunia sekeliling menghening—terlalu hening, memicu kepanikan di dadanya. Ia buru-buru mencabut perintah itu, seolah Zayne masih bisa ditarik kembali dari jurang yang ia ciptakan sendiri. Ponsel itu tergelincir dari genggamannya, jatuh ke lantai membunyikan gema kecil di kamar sunyi. Ia ingin menghapus pesan itu, menghapus keseluruhan Zayne dari hidupnya, tapi sesuatu di dalam dirinya masih mencengkeram tali yang ia benci, tali yang tak kuasa ia urai.

Fokusnya masih tertahan ke ponsel yang tergeletak di lantai, suara gema jatuhnya masih mengalun berulang-ulang. Ia terduduk, tubuhnya menelungkup ke lantai yang dingin, seolah gravitasi ingin terus merengkuhnya. Pikiran Sylus bergelut, mendesaknya untuk pergi—ke mana saja, asal jauh dari kamar ini. Jalan-jalan ke kota yang ramai, kafe yang dipenuhi wajah asing, tempat yang tak akan mengenali luka di sanubari—apa pun yang bisa menenggelamkan semua kalibut di relung hati.

Raganya yang limbung akhirnya meraih mantel lain dari lemari, satu yang bebas dari aroma Zayne, bebas dari memori pengkhianatan yang traumatis. Mantel itu terlalu kecil di tubuhnya, tapi setidaknya tak membawa sengatan kenangan untuknya. Ia melangkah keluar, setiap tapak kakinya seperti berjalan di atas kaca tipis, retak dan siap pecah kapan saja. Angin dingin menerpa pipinya, namun bahkan itu tak cukup untuk membekukan bara di dalam dirinya.

Di kafe kecil di ujung jalan, aroma kopi seharusnya menenteramkan. Namun, teh melati dari meja sebelah menumbuk hidungnya, membangkitkan mual yang mengaduk perutnya. Sylus merunduk, menghindari cermin di dinding kafe. Ia takut melihat bekas gigitan di lehernya, takut bertemu sorotnya sendiri.

Barista—gadis muda dengan senyum sopan—memperhatikannya, alisnya sedikit berkerut. “Kau baik-baik saja?” tanyanya lembut penuh perhatian. Sylus hanya mengangguk, meski dadanya meraung, mendamba ketenangan yang tak kunjung datang. Cangkir kopi di tangannya tak stabil menumpahkan sedikit cairan hitam ke meja, nyaris mengenai celananya. Panik kecil menyelaknya berdiri, meninggalkan kafe sesegera mungkin. Pergi ke luar ternyata bukan ide bagus. Dunia luar terasa terlalu terang, terlalu penuh mata yang seolah bisa melihat rahasianya, menelanjanginya di bawah sinar matahari.

Ia berjalan cepat, kepala tertunduk, menghindari tatapan orang-orang di trotoar. Kembali ke kamarnya, udaranya memampat padat membuat sesak, mencekik tenggorokannya. Di kotak surat tadi, ia menemukan undangan kecil—kertas putih bertuliskan tangan rapi: Pameran Seni Rafayel, Galeri Laut, Besok Pukul 19.00. Sylus, kau harus datang, ya. Nama Rafayel menarik atensi, seperti pernah mendengarnya tapi entah di mana. Catatan kecil di bawahnya membuatnya menegang: Teman Zayne. Kepalan tangannya mengencang, darah berdesir di telinganya. Sylus meremas undangan itu, kertasnya langsung kusut, seperti harapannya yang pupus.

Rafayel. Nama itu meniliknya ke malam-malam yang sudah seperti kehidupan lain—malam ketika dirinya, Zayne, Xavier, dan Rafayel duduk bersama di apartemen Zayne, dikelilingi gurauan. Rafayel, pria berambut violet yang selalu berantakan, manik lembayung yang penuh rahasia, dan senyum yang seolah menyembunyikan seribu cerita. Ia adalah pelukis eksentrik, selalu membawa sketsa di tangannya, mencuri pandang ke sembarang arah—ke wajah mereka, ke luar jendela, ke langit-langit—seakan tengah mengabadikan momen ke dalam kanvas imajinasinya. 

Di antara mereka, Rafayel adalah yang paling hidup. Tawanya ceria, meledakkan energi yang menular, penuh ekspresi yang seakan bisa menerangi ruangan. Ia melakukan hal-hal sebebasnya, tangannya menunjuk ke udara saat bercerita, pupilnya berbinar saat menjelaskan lukisan terbarunya atau ide gila yang muncul di otaknya. Sylus ingat bagaimana Rafayel pernah menumpahkan anggur ke meja karena terlalu bersemangat, lalu tertawa lebih keras dari siapa pun, mengabaikan tatapan kesal Xavier atau senyum tipis Zayne.

Sylus memindai undangan itu lama, kini nama itu membuatnya bertanya-tanya. Mengapa Rafayel setelah semua yang sudah terjadi? Apakah ini jebakan lain, atau pintu yang Zayne buka untuk menjerumusnya lebih dalam ke kegelapan baru? Tapi Rafayel—mungkin berbeda—membuat dadanya bergemuruh dengan campuran ketakutan dan rasa ingin tahu yang bertunas. 

Malam itu, ponselnya berdering—nomor tak dikenal yang menyala di layar memantik alarm peringatan. Sylus terpaku, telunjuknya resah di atas tombol tolak, takut akan mengulang kejadian yang sama di malam ketika ia memilih percaya pada senyum manisnya Zayne. Namun, rasa ingin tahu menang telak, memancingnya menekan tombol jawab. Suara di ujung sana melengking, penuh energi yang menggebu. “Sylus? Ini Rafayel. Kau dapat undanganku, bukan?

Sylus menahan napas, kelopaknya berkedip cepat. Kilas balik Zayne melintas—mata hazel yang dulu adalah rumah sekarang ngarai yang menganga, siap menelannya. “Aku tidak bisa,” potongnya cepat. Tapi Rafayel hanya terkekeh seolah tak terkejut oleh penolakan itu.

Maksudnya? Ini cuma seni, kau tahu—lukisan, penuh warna! Zayne bilang kau suka koleksi yang… apa, ya? Oh! ‘Hidup, berisi makna tertentu.’ Dia tak bisa datang—jadwal operasi, katanya. Kau bisa gantikan dia, bukan?” Nada Rafayel tak mendesak, melainkan mengalir seperti air, menggoda Sylus untuk melangkah kembali ke bayang-bayang yang ia bersumpah tinggalkan. Nama Zayne disebut begitu saja, seolah hanya Sylus yang tersiksa oleh pria itu. Lidahnya kelu, meski tak tahu kenapa dia begitu.

“Kenapa aku?” tanya Sylus ketus, mencari celah di balik kata-kata Rafayel yang terlalu ceria. Buku-buku jarinya memutih di ponsel, bekas memar di pergelangannya berdenyut, mengingatkannya lagi atas brutalisme Xavier di apartemen Zayne. Kukunya mengais meja, sekadar mengalihkan perhatian.

Kenapa tidak? Kau itu teman Zayne, jadi kau juga temanku. Kau selalu bilang lukisanku bagus, penuh permainan warna—kau suka mereka.” Rafayel berhenti sejenak, dan dalam keheningan itu, Sylus hampir bisa melihat manik lembayungnya. “Ayo, Sylus. Satu malam. Hanya kau dan lukisanku. Tidak ada Zayne, tidak ada yang lain.

Kata “yang lain” itu mengecoh, layaknya cairan manis yang pernah Sylus telan malam lalu. Ia bergeming, ketakutan di dadanya menjerit bahwa ini bukan kebetulan. “Tidak!” suaranya meninggi, “aku tidak percaya dengan kalian!”

Rafayel tertawa lagi, lebih pelan. “Kalian? Sylus, ini cuma ada aku. Kau dengar Zayne tak bisa datang karena jadwal operasi, bukan? Lagi pula, kau sangat layak melihat koleksi kanvasku. Datang, ya?” Nadanya menggoda juga apa adanya, seolah dapat menghapus goyahnya pijakan Sylus sekarang.

“Raf.." Sylus meragu, "entahlah…”  Ia menutup mata, mencoba mengusir aroma teh melati yang seolah memancar keluar dari ponsel. Di seberang, Rafayel terdengar memohon, suaranya tiba-tiba rapuh. “Ayolah, Sylus. Ini pameran pertamaku. Kalau teman lamaku tak ada yang datang, bukankah itu memalukan bagiku?

Kalimat itu singkat, namun menohok ulu hatinya, seperti anak panah yang tahu persis ke mana harus menghunjam. Teman lama. Rahangnya terkatup rapat, pupilnya berpendar gusar. Ia tak ingin terseret lagi ke dalam pusaran Zayne, Xavier, atau siapa pun dari masa lalu yang menjelma menjadi mimpi buruk. Tapi suara Rafayel—nyaring, menuntutnya. 

Pria bersurai putih itu mendesah berat, “Baiklah…” bisiknya hampir tak terdengar.  Ia tak yakin apakah itu keputusan atau penyerahan. Panggilan itu berakhir dengan bunyi denting samar. Sylus menghiraukan ponsel di tangannya, layarnya perlahan menggelap, memantulkan wajahnya. Di balik pantulan itu, ia melihat Xavier—tangan dingin yang mencekal, dorongan yang menghancurkan—dan Zayne, dengan senyum penuh perhatian artifisial yang kini terasa seperti belati berkhianat.

Ia meletakkan ponsel di meja, di samping undangan kusut yang berbicara harapan dan ancaman. Rafayel, yang selalu membawa warna ke malam-malam mereka, berdiri di ambang misteri ini. Apakah ia sekadar teman dekat, atau kunci untuk mengurai kebenaran yang terkubur? Sylus tidak tahu, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa langkah berikutnya—meski goyah—adalah miliknya sendiri.


Besok malamnya, Sylus berdiri di depan galeri kecil di ujung kota, lampu temaram berpijar kekuningan. Angin malam berembus, menusuk kulitnya sehingga ia merapatkan mantelnya. Tangannya ragu di gagang pintu seolah pintu itu adalah perbatasan menuju jurang yang tak ia kenali. Tapi sesuatu—bara kemarahan, atau mungkin keinginan berontak merebut kembali dirinya—memacunya melangkah maju. Ia mendorong pintu, derit kayu perlahan menyambutnya.

Di dalam, galeri itu terasa seperti antusiasme yang sunyi, dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan seolah mengawasi. Kanvas-kanvas besar dan kecil tergantung dalam susunan yang absurd namun estetik, setiap sapuan kuas penuh warna tersendiri—merah darah, biru lautan, ungu lembayung yang mengingatkan Sylus pada bola mata Rafayel. Lukisan ombak mengamuk menghiasi dinding, sementara lainnya menampilkan wajah-wajah kabur yang menyorot nyalang, seakan mengetahui rahasia yang disembunyikannya. Aroma cat minyak dan kayu tua memenuhi udara, bercampur dengan sesuatu yang halus—melati, atau mungkin hanya ilusi dari alam bawah sadarnya.

Sylus melangkah pelan. Lantai kayu galeri berderit di bawah kakinya. Ia berhenti di depan sebuah kanvas besar. Sosok tanpa wajah berdiri di tepi tebing, tubuhnya seolah ditarik oleh angin dan lautan yang menerjang di bawah. Warna biru kelam dan abu-abu berputar liar. Itu bagai badai yang sulit reda. Sosok itu terasa akrab—seperti cermin yang memantulkan dirinya sendiri, atau mungkin hanya kebetulan semata.

Rasa tak nyaman mulai menjalar naik, udara di sekitar terasa menipis. Bekas memar di pergelangannya berdenyut lagi membuatnya harus membuang pandangan ke arah lain. Tapi saat ia menoleh, ia berpapasan dengan Rafayel, yang berdiri di ujung ruangan, berdiam diri. Rambut violetnya lembut di bawah sorot lampu, dan irisnya—perpaduan merah muda dan ungu—mengawasi.

Rafayel tak bergerak, namun kehadirannya cukup mengisi ruangan, seperti energi yang memancar, kontras akan keheningan yang ada. Sylus menelan ludah, tangannya menerjang mantelnya menyembunyikan kegelisahan. Apakah Rafayel sudah lama ada di sana mengamatinya? 

“Kau datang,” ucapnya gembira melangkah mendekat. Fokusnya berganti mengarah ke lukisan abstrak di dinding tak jauh dari mereka. Coretan merah darah dan hitam pekat tergores di kanvas seperti luka berdarah, diikat oleh benang tak terlihat mengelilinginya. “Ini salah satu favoritku. Rasanya… seseorang mencoba terus lari, tapi terperangkap selamanya.”

Sylus menoleh ke lukisan itu, pupilnya seketika melebar membuatnya langsung berpaling saat itu juga. Setiap goresan mencerminkan trauma—merah untuk racun manis yang Zayne tawarkan, hitam untuk tangan Xavier yang menghancurkan, dan benang itu, tipis namun mencekik, seperti mata hazel Zayne yang selalu mengontrol, bahkan dalam ketidakhadirannya. Lukisan itu sangat bernyawa, seolah Rafayel telah merampas jiwanya tanpa izin, mengeksposnya di bawah lampu galeri. Sylus mundur selangkah, memadamkan gejolak kerisauan.

Ia berdeham kecil, seakan hal tadi tidak terlalu mempengaruhinya. “Haha, begitukah?” gumamnya, tertawa miris, “omong-omong, selamat… atas pameranmu.” Ia memaksa segaris senyum. Rafayel balas menyunggingkan senyum lebar.

Tangan Sylus mengepal di kedua sisi tubuhnya. Manik merahnya menelusuri ruangan, melintasi kerumunan pengunjung yang datang, mencari sosok yang sangat dihindarinya. “Aku… tidak melihat yang lain,” katanya serak, penuh paranoia yang ia coba sembunyikan, “kau benar hanya mengundangku?”

Rafayel memiringkan kepala, senyum manisnya tak pudar. “Bukankah sudah kukatakan? Pameran pertamaku, tapi Zayne tak bisa datang, Xavier… entah di mana, susah dihubungi seperti biasa..” Ia menjeda kata-katanya, alisnya mengerut sejenak. Lalu senyumnya kembali lebar. “Dan yang lain… yah, tak ada kabar. Hanya kau di sini, Sylus.”

“Begitukah?” Sylus mengangguk kecil memahami. Nama Zayne dan Xavier disebut lagi. Bekas keunguan di pergelangannya berteriak, memberi tanda untuk tidak mudah percaya. Ia menelan ludah, matanya berpendar lagi, mencari sosok yang mungkin bersembunyi. Namun, nihil. Mungkin Rafayel memang jujur saat ini.

Tiba-tiba, Rafayel menepuk telapak tangannya keras, memecah keheningan. “Baiklah!” serunya, melangkah ringan ke lukisan lain di dinding. Kanvas itu dipenuhi biru yang semakin gelap gradasinya ke bawah, dan di tengah-tengah sebuah siluet tenggelam di sana. “Lihat ini, Sylus,” kata Rafayel bersemangat, “ceritakan apa yang kau rasakan.”

Sylus ragu saat terpaku pada lukisan itu lebih lama, meski pikirannya sedang bercabang ke banyak hal. “Sakit,” bisiknya serak setelah termenung. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, gerakan kecil untuk mengucilkan gelombang kecemasan yang mengancam. 

Pria itu hanya membisu, tatapannya menyisir Sylus seenaknya. Keheningannya terasa seperti langit yang tenang sebelum badai, membuat Sylus gelisah. “Ah… entahlah, aku tidak bisa berpikir apa-apa sekarang,” tambahnya cepat, “kau mau menjelaskannya?” Ia memaksa kata-kata itu keluar, jari-jarinya memilin ujung mantel yang dikenakan. 

Senyum Rafayel terpatri di bibirnya. “Sakit?” ulangnya. Ia melangkah mendekat ke kanvas, ujung jemarinya menyentuh pinggiran bingkai lukisan hati-hati. “Lukisan ini sebenarnya tak bermakna tertentu, tergantung bagaimana orang menanggapinya. Kalau kau berpendapat ini menyakitkan, mungkin memang begitu. Kau tahu bukan di dalam seni tidak ada arti yang tetap.”

Malam di galeri itu mengalir sehalus goresan cat air. Setiap lukisan menarik Sylus lebih dalam ke dunia Rafayel—dunia penuh warna yang mampu melupakan masalahnya, meski tak benar-benar menghapusnya. Saat pameran tutup, kerumunan berhamburan keluar, dan Rafayel meraih tangan Sylus yang sudah bersiap pamit. “Ayo, kita rayakan,” ajaknya tanpa ragu-ragu, “segelas anggur di studio kecilku. Kau pernah ke sana, bukan?”

Pria beriris merah itu menyatukan alisnya, ingatan masa lalunya melintas—dinding penuh coretan, bau cat minyak yang menyengat, tawa mereka berlanjut hingga larut malam. Ia ingat saat-saat itu, bermain permainan papan hingga subuh, lalu berlari ke laut menyambut fajar, memotretnya sebagai kenangan. “Aku… tidak yakin,” katanya menarik pergelangannya dari cekalan Rafayel dan memasukkannya ke saku mantelnya.

Rafayel sedikit mengerucutkan bibirnya tidak senang dengan balasan itu. “Hanya minum, Sylus. Kita pernah tertawa bersama, ingat? Satu gelas, untuk malam yang baik ini.” Kata-kata itu lembut, tak menyembunyikan apa pun kecuali keinginan sederhana untuk berbagi. Sylus membalas tatapan itu dan untuk sesaat, ia merasa dunia Rafayel mungkin bukan jurang, tapi kanvas yang menunggu warna baru.

"Hanya segelas," jawab Sylus menyetujui. "Tentu!" Rafayel menyunggingkan senyum pun berjalan di depan memimpin mereka menuju studionya.

Studio Rafayel adalah loteng kecil di atas galeri, berisi kanvas setengah jadi bersandar di dinding. Bau cat minyak menguap, bercampur aroma kayu tua, mengisi udara dengan kenangan nostalgia. Anggur merah mengalir ke gelasnya, dan Sylus menenggaknya cepat tanpa jeda dan terus mengulanginya. Rafayel bercerita tentang pameran pertamanya, tapi Sylus tak mendengar sepatah kata pun. Ia hanya ingin segera mabuk, padahal tadi mulutnya berkata hanya segelas. Sungguh hipokrit.

“Pelan-pelan minumnya, Sylus,” ujar Rafayel, “kau akan mati muda kalau minum secepat itu.” Ia mendorong piring camilan ke arah Sylus—keju teriris rapi, anggur hijau segar, potongan roti yang harum—cita rasa yang menggiurkan. Sylus melirik piring itu, ujung jarinya memutih mencakar pinggiran meja. Kelopaknya berat, efek alkohol, tapi jantungnya yang berdegup kencang, menolak tenggelam sepenuhnya. 

“Kau sudah mabuk?” lanjut Rafayel mengangkat botol anggur di meja ingin menuangkan ke gelasnya sendiri, tapi bobotnya ringan, hanya menyisakan kaca kosong di tangannya.  “Satu botol ini kau habiskan sendiri. Apa kau sedang ingin melupakan sesuatu?” Ia mengerjap memandang botol di tangannya dan Sylus bergantian. 

Pria itu bergeming, semakin mengeratkan genggaman di meja seolah itu dapat menahannya dari ambruk. “Bukan urusanmu,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Sorotnya menantang Rafayel, mencari celah di balik mata bulatnya.

Rafayel tertawa pelan sambil meletakkan botol anggur ke meja menghasil bunyi derit rendah. “Bukan urusanku? Baiklah.” Ia berdiri, melangkah mendekat, bayangannya di dinding membesar, kontras dengan tubuh rampingnya. Dari meja, ia mengambil syal sutra merah tua, berkilau bak darah yang belum kering di bawah cahaya. Jari-jarinya memilin syal itu. “Hanya saja, apa kau ingin melupakan sesuatu dengan lebih cepat? Aku mungkin bisa membantumu,” bisiknya sok empatik, namun kilau di maniknya terasa lebih seperti undangan berbahaya daripada kepedulian.

Sylus menegang, aroma teh melati dari masa lalu terselubung di antara bau cat minyak, mengingatkannya pada suatu momen di apartemen Zayne. Ia menyentuh dahinya, menekannya untuk meredakan denyutan pening di sana. “Jangan main-main.” 

Pria bersurai violet itu menyeringai, matanya menyipit membentuk bulan sabit. Tangannya mengulur syal sutra merah tua, ujungnya menyentuh lembut pipi Sylus. “Tenanglah, kita kan teman,” bisiknya, “lagi pula, kau sudah datang ke pameranku.” Dengan gerakan hati-hati, ia mulai melilitkan syal itu di mata Sylus, mengisolasinya dari dunia luar. “Jadi, biarkan aku membantumu kali ini.”

Sylus menahan napas, dunia di sekitarnya meredup menjadi kegelapan lembut di balik sutra. Jantungnya berdetak lebih kencang, bukan hanya dari alkohol, melainkan dari sentuhan Rafayel yang terlalu dekat, terlalu disengaja. "Rafayel," gumamnya serak. Namun, tangan Rafayel sudah meraih pergelangannya, menariknya berdiri dari kursi.

“Ayo, ikut aku,” Ia membimbing Sylus, langkahnya mantap meski dunia di balik penutup mata Sylus terasa goyah. Lantai kayu berderit pelan di bawah kaki mereka, aroma cat minyak dan lilin melebur dengan bau samar parfum Rafayel—sesuatu yang manis, hampir memabukkan. Sylus tersandung sedikit, tubuhnya condong ke depan, tapi Rafayel menahannya, jari-jarinya mencengkeram lengan Sylus dengan kekuatan yang mengejutkan untuk tubuh rampingnya. “Hati-hati,” bisik Rafayel sedikit mengejek. “Kau tidak ingin jatuh sebelum kita sampai, bukan?”

Mereka berhenti, dan Sylus merasakan tepi ranjang menyentuh bagian belakang lututnya, kain seprai yang lembut menggesek celananya. Rafayel mendorongnya perlahan hingga ia duduk, lalu menarik tangan Sylus ke atas. Bahu Sylus mengencang, ototnya menegang seolah ingin melawan, tapi sebelum ia bisa berontak, syal sutra lain sudah melilit pergelangannya, terikat erat ke kepala ranjang. Ikatan itu tidak menyakitkan, namun cukup kuat untuk membuatnya merasa terperangkap.

“Rafayel, apa yang kau lakukan?” Ia menggigit bibirnya, seolah mencoba menahan dirinya dari kegelapan yang lebih jauh. “Jangan..” katanya terus berusaha melawan, tapi ikatan sutranya terlalu kencang menolak lepas.

Rafayel menurut berhenti, berganti jarinya menyentuh dagu Sylus, mengangkat wajahnya mengarah padanya. “Sylus,” panggilnya mendayu, “kau tak perlu takut. Aku tidak seperti mereka.” Kata-kata itu menggantung. Di balik syal sutra, Sylus hanya mendengar gema apartemen Zayne—tawa yang dulu hangat menjadi angin malam yang menusuk kalbu.

Kegelapan hidup di balik syal sutra, memperbesar setiap suara—derit ranjang, napas Rafayel yang mendekat. Jemari rampingnya menyapu leher Sylus, lalu melingkarinya tanpa pemberitahuan. Sylus terkesiap, tangannya kembali mencoba melepas ikatan, meski hawa mabuk semakin berkuasa. “Jangan!” teriaknya protes penuh ketakutan. Syal menahannya, setiap sentuhan Rafayel mencemari kulitnya. Ia mengerang suaranya tercekat di tenggorokan, campuran kemarahan dan ketidakberdayaan. 

Udara di Studio Rafayel semakin pengap, aroma cat minyak dan kayu tua mencekiknya, seolah ruangan itu sendiri bersekongkol untuk menjebak Sylus dalam kabutnya. Syal sutra yang tadinya lembut menyentuh kulitnya mengerat di pergelangan tangannya, setiap kali ia mencoba melepaskannya. Denyut nadinya bergema di telinga, menenggelamkan derit ranjang saat Rafayel berlutut di antara kaki Sylus yang mengangkang.

“Jangan?” Rafayel yang ceria dan lembut telah sirna. Jari-jarinya merenggut dagu Sylus memaksa kepalanya terdongak ke belakang, menempel pada sandaran ranjang. “Kau bilang ‘jangan,’ tapi tubuhmu bilang lain.” Nada suaranya penuh ejekan, dan Sylus hampir bisa membayangkan lengkung kejam di senyumnya meski dalam kegelapan.

“Rafayel, lepaskan aku,” geramnya parau. Ia menarik syal yang mengikat pergelangannya, sutra itu menggesek kulitnya hingga mencetak bekas kemerahan, tapi simpulnya kokoh, bergeming. Alkohol melemahkan tenaganya, membuatnya lebih rentan.

Rafayel tergelak sesaat, suaranya bergema di loteng kecil itu. “Lepaskan? Sekarang?” Ia mendekat, napasnya berembus di telinga Sylus, membuatnya menggigil tanpa sadar. “Kau datang ke sini, meminum anggurku, duduk di ranjangku, dan sekarang kau ingin pergi? Terlambat, Sylus.” Jari-jarinya meluncur di leher Sylus, kuku-kukunya menggores ringan pada awalnya, lalu mencengkeramnya erat, meninggalkan bekas sidik jari di kulitnya.

Sylus meringis, tubuhnya mengkhianatinya dengan merespon kecil. “Kau tidak pernah seperti ini,” bisiknya masih mencoba memegang kenangan sisi lembut Rafayel—seniman yang berbicara tentang lukisannya penuh semangat, yang lensa matanya selalu memancarkan bintang bertaburan. Tapi Rafayel kini menjelma menjadi sosok yang seolah tak pernah dikenalnya.

“Seperti ini?” Ibu jarinya menekan arteri karotis Sylus, merasakan detak panik di bawah kulitnya, “kau tidak mengenalku, Sylus. Kau hanya melihat apa yang ingin kau lihat.” Rafayel bergeser, ranjang berderit di bawah bobotnya saat ia menduduki pinggul Sylus, menahannya dengan kekuatan yang disengaja. Tekanan itu mencekik, tubuh rampingnya ternyata kuat, niatnya tak bisa disalahartikan.

Pikiran Sylus berteriak untuk kabur, tapi tubuhnya lamban, terjebak dalam lumpur alkohol dan intimidasi. “Rafayel, aku serius—berhenti!” protesnya melemah, tenggelam oleh deru detak jantungnya. Tangannya masih berontak, tetapi Rafayel memaku pergelangan tangannya yang terikat di atas kepala. Dengan tarikan sembarang, ia merobek kancing-kancing kemejanya.

“Berhenti? Aku tidak mau.” Jemarinya menyelinap ke bawah kain yang tak melakukan tugasnya dengan benar, kuku-kukunya menggali kulit Sylus menciptakan goresan merah padam kontras akan kulit pucatnya.

Rasa sakit itu menyayat kabut mabuknya, membuat Sylus tersadar sejenak. “Berhenti, sialan! Aku bukan mainanmu!" Kakinya menendang, lututnya mengenai sisi tubuh Rafayel, tapi Rafayel hanya tertawa lagi, suaranya menjadi lebih dingin.

“Mainan?” Tangan Rafayel merenggut rambut Sylus dan menarik kepalanya ke belakang, memperlihatkan lehernya. “Kau bukan mainan, Sylus. Kau adalah kanvas—dan aku akan melukis apa yang aku inginkan.” Bibirnya mendarat di leher Sylus, gigi-giginya menggesek kulit sensitif itu, belum menggigit tapi mengancam akan melakukannya. 

Sylus membeku, napasnya memburu, terperangkap antara dorongan untuk melawan dan kelumpuhan yang menjerat tubuhnya. Kabut alkohol di kepalanya menebal, membuat setiap sentuhan Rafayel di kulitnya terasa seperti sengatan listrik yang tak diinginkan. Erangan kecil lolos dari bibirnya, respons tubuh yang mengkhianati kebencian mendalam di hatinya, dan dia membenci dirinya karenanya. Lalu, dengan tarikan kasar yang tak bisa diantisipasi, tangan Rafayel melewati batas terakhir privasinya.

Bunyi ristleting yang tajam memecah keheningan, diikuti oleh tusukan keras yang tak terduga, menyelinap ke dalam dirinya. Rasa sakit yang membakar menyergap, tubuh Sylus terkoyak, setiap inci terasa perih menyengat. Ia menggelengkan kepala, air mata membanjiri syal sutra yang menutupi indra penglihatannya, membasahi kain itu hingga terasa berat di wajahnya. Otot-otot kakinya mengencang, mencoba menolak, tapi Rafayel tak memberi ruang—miliknya masuk begitu saja, tanpa pemanasan, tanpa pelumas, hanya dominasi dan kekerasan.

Tubuhnya terasa dibelah menjadi dua oleh desakan Rafayel yang tak kenal henti. Tangan pria itu mencengkeram pinggul Sylus, menahannya di tempat, jari-jarinya meremas kulitnya hingga memar. Darah hangat bercampur dengan cairan Rafayel yang bocor, menciptakan sensasi licin yang menambah kengerian. Setiap gerakan Rafayel seperti pisau, memotong lebih dalam, dan Sylus hanya bisa menggigit bibirnya, menahan jeritan keluar.

Tangan Rafayel kembali merayap ke leher Sylus, jari-jarinya mencekik, membuat napasnya tersedak. Tekanan itu memaksa tubuh Sylus bereaksi tanpa izin, lubangnya di bawah tanpa sadar menjepit Rafayel lebih ketat. “Sial, jalang,” geram Rafayel penuh amarah dan nafsu. “Jangan mengetatkan lubangmu, aku tidak bisa bergerak.” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Sylus, suaranya bergema di loteng kecil, meninggalkan sengatan menyatu dengan rasa hina di tubuhnya.

Sylus tersentak, kepalanya terlempar ke samping, rasa perih di pipinya hanya menambah kabut penderitaan yang menyelimutinya. Air matanya mengalir lebih deras, meresap ke syal yang semakin basah, tapi kegelapan di balik penutup mata itu tak memberi pelarian. Setiap desakan Rafayel terasa seperti hukuman, setiap sentuhan seperti pengkhianatan. “Rafayel… hentikan…” bisiknya, suaranya nyaris hilang, terkubur di bawah deru napas dan derit ranjang. Tapi Rafayel tak mendengar—atau memilih untuk tak peduli. Tangannya di leher Sylus mengencang, memaksa kepalanya tetap di tempat, sementara pinggulnya terus bergerak dengan ritme yang brutal.

Setelah mendapat pelepasan pertamanya, Rafayel mengangkat kedua kaki Sylus, menyandarkannya ke bahunya, memaksa tubuhnya terbuka lebih lebar. Tanpa jeda, ia menghujam lubang itu terus-menerus, dorongannya begitu dalam, menikam langsung ke inti dirinya. Isakan Sylus memenuhi udara. “Rafayel… hentikan… kumohon…” Bibirnya yang bengkak, penuh luka akibat gigitannya sendiri, menggigil saat ia memohon, tapi kata-katanya tenggelam dalam deru napas Rafayel yang kasar. Pria itu seperti kerasukan, matanya yang dulu lembut menggelap, penuh nafsu dan kekejaman. Tak ada kelembutan lagi, hanya ritme yang tak berperasaan, menghancurkan setiap sisa pertahanan Sylus.

Rafayel tak peduli pada isakan atau permohonan itu. Ia terus bergerak, semakin cepat, semakin tak beraturan, hingga akhirnya tubuhnya menegang. Dan akhirnya setelah satu stimulus terakhir, ia menyemprotkan cairannya jauh ke dalam tubuh Sylus, meninggalkan sensasi yang menjijikan. Sylus mendesah lemah, kepalanya terkulai, kesadarannya mulai memudar di tengah kabut penderitaan. Dunia di sekitarnya mulai mengabur, suara derit ranjang dan aroma darah memudar ke dalam kegelapan.

Namun, sebelum ia benar-benar tenggelam, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, menyengat dan memaksanya tetap tersadar. “Jangan pingsan!” bentak Rafayel, suaranya penuh amarah dan dominasi. “Kau harus merasakan ini, Sylus.” Tanpa memberi waktu untuk pulih, ia membungkuk, giginya menggigit cuping telinga Sylus, menimbulkan rasa sakit baru, lalu menjilatnya dengan lidah yang basah dan posesif, menandai setiap inci tubuhnya.

Sylus terbaring di ranjang. Tubuhnya gemetar, deru napasnya lemah. Rasa sakit masih menggerogoti setiap inci tubuhnya, dari memar di pinggulnya hingga luka di dalam jiwanya. Syal sutra yang tadinya menutupinya kini terlepas, tetapi pandangannya tetap buram, kabur oleh air menggenang. Cahaya redup loteng menyelinap melalui celah-celah jendela, menerangi wajah Rafayel yang sudah kembali ke semula—senyuman riang, seolah kekejaman yang baru saja dilakukannya hanyalah permainan biasa.

Rafayel duduk santai di sofa, memainkan ponsel, sesekali terkikik pada sesuatu yang dilihatnya. Sikapnya yang begitu ringan, begitu tak acuh, membuat Sylus merasa seperti benda tak bernyawa, seolah penderitaannya tak lebih dari hiburan sesaat. Ketika ponsel Rafayel berdering, Sylus mendengar suaranya yang penuh ejekan, “Jemput pacarmu atau kusetubuhi lagi? Hehe.” Nada main-main dalam kalimatnya menusuk hati Sylus, tapi dia terlalu lemah untuk bereaksi. Suara di ujung telepon tak terdengar jelas, hanya gumaman samar yang tenggelam dalam dengung di kepalanya.

Telepon akhirnya berakhir dan Rafayel pun beranjak menuju sisi ranjang. Arah pandangnya menatap Sylus diiringi senyum yang membuat bulu kuduk merinding. “Kau mau lanjut, Sylus?” tanyanya mencoba menjadi anak manis. “Zayne akan tiba sejam lagi menjemputmu. Tapi kau akan tetap di sini, bukan, sambil menunggu pangeran berkuda putihmu itu datang?” Ia menyeringai, gigi putihnya berkilau di bawah cahaya redup layaknya predator yang tahu mangsanya tak bisa lari.

Mulutnya ingin menjerit. Kepalan tangannya ingin meninju wajah itu hingga babak belur, tapi tubuhnya tak mau merespon. Otot-ototnya berubah menjadi jeli, lunglai oleh trauma mengerikan. Sylus hanya bisa menatap kosong ke langit-langit, mencoba mencari secercah kekuatan untuk bertahan. 

Pria bersurai violet itu berjongkok di sisi ranjang, wajahnya begitu dekat hingga Sylus bisa merasakan napasnya yang hangat dan bau alkohol samar. “Kau tahu, Sylus,” katanya berbisik, “kau terlihat begitu cantik saat menangis. Mungkin aku harus menyimpanmu lebih lama.” Jarinya menyentuh pipi Sylus, mengusap air mata yang masih mengalir, lalu menjilat ujung jarinya yang asin. “Sayang sekali Zayne akan merusak kesenangan kita.”

Sylus memalingkan wajah, menolak sentuhan itu, tapi penolakan itu hanya membuat Rafayel tertawa pelan. “Masih melawan? Lucunya kau,” gumamnya, bangkit berdiri dan berjalan kembali ke sofa, seolah tak ada yang istimewa dari momen itu. Ia kembali asyik ke ponselnya. Meninggalkan Sylus dalam keheningan abadi, ditemani derit ranjang yang masih menggema di kepala dan rasa sakit berlipat.

Waktu terasa melambat. Setiap detik adalah siksaan. Sylus mencoba mengumpulkan sisa tenaganya, berpikir tentang Zayne, tentang kemungkinan keluar dari neraka ini. Namun, Rafayel duduk di sudut ruangan, manik lembayungnya mengawasi, membuat Sylus ragu apakah ia benar-benar bisa melarikan diri. Satu jam lagi, pikirnya. Zayne akan datang. Atau setidaknya, ia berharap begitu.

Tiba-tiba, suara bel pintu yang tajam memecah keheningan. Rafayel melangkah ringan, senyumnya masih menggantung di wajahnya. Ia membuka pintu. Zayne berdiri di sana, wajahnya dingin tanpa ekspresi, tangannya memegang selimut wol yang tebal dan bersih. Bau antiseptik samar menyelinap dari mantelnya, kontras dengan udara pengap loteng. “Lihat, bukankah dia cantik seperti ini?” 

Pria bersurai legam itu tak menjawab. Iris hijau kecokelatannya tak menyisir Rafayel lebih dari sekilas, seolah keberadaan pria itu tak lebih dari gangguan kecil. Langkahnya mantap menuju ranjang, setiap pijakan terkendali namun penuh urgensi. Ia berhenti di sisi Sylus. Menelusuri tubuh itu—dari rambut yang kusut basah oleh keringat dan air mata, hingga kaki yang gemetar tak berdaya. Tak ada kemarahan yang meledak dari wajahnya, hanya ketenangan yang mencurigakan.

Zayne membungkuk, tangannya yang stabil namun lembut menyentuh bahu Sylus. “Bisa berdiri?” tanyanya penuh perhatian namun tanpa nada mengasihani. Sylus hanya menggeleng, sinar di mata merahnya padam, tubuhnya terlalu lemah untuk menopang dirinya sendiri. Tanpa kata lebih, Zayne menyelimuti tubuh Sylus dengan selimut wol, menutupi memar dan luka yang tak perlu ditunjukkan pada dunia. Lalu, dengan gerakan yang begitu alami seolah telah dilakukannya ribuan kali, ia menggendong Sylus, menyangga tubuhnya hati-hati agar tak menambah rasa tidak nyaman.

Sylus bersandar lemah di dada Zayne, napasnya masih belum tenang, namun kehangatan selimut dan aroma antiseptik yang familier memberinya secercah rasa aman, meski fana. Zayne tak bertanya apa yang terjadi—ia tak perlu. Ia sudah melihatnya cukup, dan diamnya berbicara lebih keras daripada kata-kata.

Saat mereka berjalan menuju pintu, Rafayel bersandar di ambang pintu, tangannya melambai ramah. “Mainlah lagi ke sini, Sylus!” serunya riang gembira. “Pintuku selalu terbuka untukmu!” Tawa kecil mengiringi kata-katanya, tapi Zayne tak menoleh. Ia terus melangkah, setiap langkahnya mantap, membawa Sylus menjauh dari neraka itu.

Lorong menuju mobil terasa seperti terowongan tak berujung, langkah Zayne yang tegas bergema pelan di samping tubuh Sylus yang masih lemah dalam gendongannya. Tak ada kata yang terucap, hanya keheningan berat yang menyelimuti mereka, penuh dengan pertanyaan tak terucap dan luka yang masih berdarah. Di mobil, Zayne perlahan mendudukkan Sylus di kursi penumpang, memastikan selimut wol tetap menutupi tubuhnya. Ia memutari mobil, duduk di kursi pengemudi, dan menyalakan mesin. Derum mesin terdengar lembut, kontras akan ketegangan yang menggantung di udara.

“Kau baik-baik saja?” tanya Zayne setelah keheningan yang terasa berlangsung selamanya, rendah namun tak bisa menyembunyikan nada prihatin. Sylus tak menjawab segera. Matanya terpaku ke jendela, menyaksikan refleksi studio Rafayel yang semakin mengecil di kejauhan, lampu-lampu jalanan memantul di wajahnya yang pucat. Keheningan kembali menyelimuti mereka, jalanan kota yang sepi hanya ditemani suara ban yang menggesek aspal.

Tiba-tiba, Sylus bersuara, nadanya penuh kemarahan dan kejengahan. “Kau tahu ini akan terjadi, bukan?” maniknya nyalang ke arah Zayne. “Kau bilang hanya Xavier, Zayne! Hanya dia yang akan ‘membuat kita lebih’—katamu begitu! Tapi Rafayel? Apa dia juga bagian dari rencanamu? Kau dan teman-temanmu yang tidak waras itu—” Napas Sylus tersengal, suaranya pecah di ujung. “Berhentilah melibatkan orang lain dalam hubungan kita, sial!”

Zayne menghela napas panjang. Fokusnya masih mengacu pada jalanan yang membentang di depan. Tangannya mencengkeram kemudi sedikit lebih erat. “Sylus, biarkan aku bertanya,” balasnya datar tanpa mengalihkan perhatian, “bukankah kau sendiri yang datang ke sana? Kau yang menerima undangan pamerannya, kau yang menerima ajakan minum anggurnya, dan kau yang tetap di ranjangnya. Jadi, apa kau masih menyalahkanku?”

Di dalam mobil yang melaju pelan di jalanan kota yang sepi, udara terasa seperti ruang hampa, menekan dada Sylus dengan beban luar biasa. Selimut wol yang menutupi tubuhnya terasa berat, bukan karena kainnya, melainkan karena trauma yang melekat. Bekas memar di pergelangannya, jejak jari di lehernya, dan nyeri di sekujur raganya adalah pengingat konstan akan malam-malam yang telah merenggut bagian dirinya—pertama Xavier, sekarang Rafayel. Dan di sampingnya, Zayne, pria yang pernah menjadi rumahnya, hanyalah pengkhianatan lain yang mengemudikan mobil dengan wajah tanpa ekspresi.

“Jadi ini salahku?” Pelupuknya mulai melelehkan air, dia buru-buru menyekanya tapi itu hanya membuatnya semakin deras. “Kau tahu siapa Rafayel. Kau tahu apa yang akan dia lakukan. Dan kau tetap membiarkanku pergi. Kau yang membuka pintu untuk Xavier, untuk Rafayel. Kau yang membuatku percaya ini semua untuk ‘kita’.”

Sylus menarik napas terengah-engah. Air mata masih mengalir di pipinya, menciptakan aliran sungai yang berkilau di bawah cahaya lampu jalanan yang sesekali menyelinap ke dalam mobil. "Kau bilang kau mencintaiku, tapi ini…" Kelopaknya memejam sejenak. Ia menunduk, merasakan ketidakmampuan melanjutkan kalimatnya. "Ini bukan cinta." Isakannya memenuhi ruang sempit di antara mereka. Setiap silabel terasa seperti jeritan yang telah lama dipendam.

Zayne mendesah lemah. “Kau bereaksi berlebihan lagi,” gumamnya dingin, hampir klinis, seperti dokter yang sedang mendiagnosis pasien. “Apa kau masih belum mengerti? Aku mencintaimu, makanya aku memberikanmu kebebasan. Jika kau memilih berakhir begini, itu pilihanmu.”

Ucapan Zayne menusuk seperti pisau. Sylus tergelak, kepalanya berpaling tajam ke arah Zayne. Tangisannya tak kunjung berhenti, meski sudah ditepis berulang kali. Tangannya mengepal, kukunya menancap hingga terasa perih. “Kebebasan?” ulangnya, suaranya bergetar penuh ejekan dan kepedihan. “Kau menyebut ini kebebasan? Membiarkanku masuk ke sarang monster seperti Rafayel? Membiarkanku—” Ia terhenti. Lidahnya mendadak kelu. “Kau melemparkanku ke mereka, Zayne. Kau membiarkannya terjadi.”

Zayne tak menjawab segera. Rahangnya mengeras hingga urat di lehernya tercetak jelas. “Biar kutekankan di sini. Aku tidak memaksamu untuk pergi, baik Xavier atau Rafayel. Aku hanya membuka pintu, Sylus. Kau yang memilih untuk melangkah masuk,” katanya. “Kau bisa menolak. Kau bisa pergi. Tapi kau tetap di sana.”

“Haha… apa kau ikutan tidak waras di sini sampai menarik permohonanmu di apartemenku malam itu? Yang sok dengan tulus memintaku menemui Xavier karena hubungan kita jalan di tempat? Kau akan melupakan itu? Pria brengsek!” 

Zayne menoleh sekilas. Iris hazelnya memicing, penuh kilau yang tak terbaca. “Kau yakin aku bilang begitu?” tanyanya penuh nada menantang yang membuat bulu kuduk Sylus berdiri.

“Hey! Kau kira aku akan mudah melupakan rencana konyolmu itu!” Sylus hampir menjerit. Air mata mengalir lebih deras, membasahi pipinya yang lebam “Kau yang memintaku menemui Xavier! Kau yang bilang itu untuk ‘membangunkan kita’! Kau yang—”

“Lalu, Rafayel?” potong Zayne ketus. “Kapan memang aku memintamu menemuinya? Kau punya bukti aku memohon agar kau bertemu dengannya? Kau punya?” 

Sylus tersentak, mulutnya terbuka tapi tak ada kata yang keluar. “A-apa?” gumamnya, pikirannya berputar mencoba mengingat. Rafayel… undangan pameran itu datang dari Rafayel sendiri, bukan Zayne. Panggilan telepon, ajakan ke studio—semuanya dari Rafayel. Tapi Zayne… Zayne yang selalu menghantuinya, yang tahu tentang pameran itu, yang tidak menghentikannya. “Kau… kau tahu dia akan ada di sana,” katanya akhirnya, suaranya penuh keraguan tapi juga kemarahan. “Kau tidak pernah memperingatkanku. Kau membiarkanku pergi!”

“Bukankah kau sendiri yang ingin menemui pria lain di belakangku? Lalu setelah berakhir buruk, kau memakiku, meneriakiku. Jika aku tanya, siapa yang tidak waras di sini, kau akan jawab siapa, Sylus?”

“Pria lain?” Sylus tak percaya telinganya mendengar kata itu dari mulut Zayne. “Kau yang mendorongku ke Xavier! Kau yang membuatku percaya itu untuk hubungan kita! Dan sekarang kau berani bilang aku yang mencari pria lain?”

Pria itu membisu. Mobil berhenti di lampu merah, cahaya merah menyala di wajahnya, memberikan kilau aneh pada air mukanya. “Sylus,” katanya rendah, hampir seperti bisikan. “Aku sudah bilang padamu, aku tidak pernah memaksamu untuk minum anggur bersama Rafayel. Aku tidak memaksamu untuk tinggal di studionya. Kau bisa pergi kapan saja. Tapi kau memilih untuk tetap di sana, bukan?”

Sylus menggeleng keras, jelas tidak terima akan kesimpulan yang dibuat Zayne. “Kau tahu aku mabuk! Kau tahu aku tidak bisa berpikir jernih! Dan kau tetap membiarkannya terjadi!” Tangannya mengepal menjerat kain selimut wol. “Kau bukan hanya membuka pintu, Zayne. Kau yang mengunci aku di dalamnya.”

Zayne menghela napas panjang. Jari-jarinya mengetuk kemudi dengan ritme yang tak sabar. “Kau terlalu dramatis,” katanya kembali dingin. “Aku ingin kau belajar mengambil kendali atas hidupmu. Aku tidak bisa melindungimu dari segalanya. Cinta bukan tentang itu.”

“Cinta? Ini bukan cinta, Zayne. Ini kendali. Kau ingin aku patah supaya kau bisa membentukku sesuai keinginanmu. Xavier, Rafayel—mereka bukan kebetulan. Kau mengatur ini semua.” Matanya memerah, penuh kemarahan yang membakar. “Kau monster.”

Zayne menoleh, pupilnya melebar sekilas, tapi cepat kembali ke topeng ketenangannya. “Cukup, Sylus! Kau terluka, kau bingung, dan kau mencari seseorang untuk disalahkan. Tapi aku bukan musuhmu.”

“Bukan musuhku? Kau yang membawaku ke neraka ini, Zayne. Kau yang membuatku percaya aku bisa mempercayaimu. Dan sekarang, setelah semua yang terjadi, kau masih berani bilang kau mencintaiku?” Ia memalingkan wajahnya ke jendela. Tubuhnya gemetar, isakan kecil lolos dari bibirnya. “Aku bukan milikmu lagi. Aku tidak akan pernah menjadi milikmu lagi.”

Keheningan yang menyusul terasa seperti jurang yang tak bisa dijembatani. Mobil kembali melaju, lampu-lampu kota berlalu di jalanan, tapi di dalam, bumi menarik diri berotasi. Akhirnya, mobil berhenti di depan gedung apartemen Sylus. Bangunan itu berdiri dalam kegelapan, pijar bohlam di lorong menyala redup, menciptakan suasana yang sepi namun akrab. Zayne mematikan mesin, tapi tak berranjak dari kursinya. “Kau sampai.”

Sylus tak menjawab. Tangannya bergerak ke pintu mobil, membukanya susah payah. Kakinya goyah saat ia melangkah keluar, selimut wol masih menyelimuti tubuhnya seperti perisai. Angin malam menerpa wajahnya, dingin dan lembab, tapi ia merasa sedikit lebih bernyawa. “Jangan ikuti aku,” katanya tanpa menoleh. “Jangan pernah mendekatiku lagi.”

Zayne tak bergerak, tapi iris hijau kecokelatannya mengikuti Sylus, penuh dengan emosi yang tak terucapkan. “Sylus…” panggilnya hampir memohon.

Tapi Sylus tak menoleh. Dengan langkah penuh rasa sakit, ia berjalan menuju pintu masuk apartemennya, setiap tapak terasa seperti perjuangan. Sylus berdiri di depan pintu apartemennya, mendengar suara decit ban mobil Zayne menjauh, dan untuk pertama kalinya, ia menarik napas dalam tanpa beban di dadanya.

Chapter 3: vidroha (विद्रोह)

Summary:

Dada Sylus sesak, nadinya mengaum di telinganya. Ia tak tahu apa yang ia inginkan—apakah Zayne masuk, melihat keadaan yang Caleb tinggalkan, atau Caleb menahannya, mempertahankan ilusi rapuh kendali yang Sylus pegang. Kedua pilihan itu menakutkannya, tetapi percikan perlawanan di dadanya berkobar lebih terang. Ia bukan milik mereka untuk diperebutkan. Ia bukan hadiah untuk diklaim. Ia adalah Sylus, dan ia akan menemukan cara untuk merebut dirinya kembali.

Pintu berderit, dan kepala Sylus menoleh ke arahnya, mata merahnya melebar dengan campuran ketakutan dan tekad. Siluet Zayne memenuhi ambang pintu, tatapan dinginnya berpendar ke seisi ruangan sebelum mendarat pada Sylus. Sesaat, mata mereka bertemu, dan Sylus melihat sesuatu berkedip di ekspresi Zayne—sesuatu yang mungkin adalah kepedulian, atau kasihan, atau sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Di belakangnya, Caleb berdiri tegap, wajahnya memerah amarah, tangannya masih mengepal seolah siap menerjang.

“Sylus,” kata Zayne melunak, tetapi tak kalah memerintah. “Aku di sini.”

Notes:

#applecrow

 

maaf ya baru bisa update sekarang, aku (sok) sibuk banget belakangan ini, wkwk. seperti biasa, part ini agak panjang jadi ambil posisi paling nyaman kalian, jangan lupa tinggalin komentar ya atau kalau mau bertanya juga silahkan, aku suka bacainnya dan sebisa mungkin aku akan balas, hehe, selamat membaca~~!!

Chapter Text

vidroha (विद्रोह) refers to 1. revolt; rebellion; 2. turmoil; tumult; 3. quarrel; strife; 4. rage; jealousy.


Sylus berdiri di balkon apartemennya, tangannya mencengkeram pagar besi yang dingin, ujung-ujung jarinya memutih karena tekanan yang tak ia sadari. Udara pagi yang lembab menyapu rambut putihnya, membawa aroma kopi dari kafe di bawah, bercampur bau tanah basah setelah hujan semalaman. Matahari baru saja terbit, sinarnya pucat, seolah enggan menembus kabut yang menyelimuti kota, mencerminkan perasaan gamang di dalam dirinya. Tubuhnya masih terasa berat, bukan hanya karena kurang tidur, tetapi karena beban yang tak pernah ia akui—memar di pergelangannya telah memudar menjadi jejak keunguan yang samar, namun luka di dalam dadanya tetap menganga, tak tersentuh oleh masa.

Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang selalu berdegup lebih cepat belakangan ini. Di balik kelopak matanya yang terpejam, ia ingin mengusir kilas bayang malam-malam kelam itu—darah, jeritan, dan Xavier yang ia kira sumber jawaban atas renggangnya hubungan—dirinya dengan Zayne—adalah awal mula kehancuran, Rafayel dengan senyuman yang membawanya semakin dalam menuju jurang trauma, serta Zayne yang kini lebih cocok dilabeli pengkhianat daripada tambatan larat.

Mereka adalah rantai yang mengikatnya, setiap nama adalah sebuah simpul yang tak pernah bisa ia lepas. Tapi kali ini, kenangan lain menyelinap, lebih lembut, lebih menyakitkan. Halaman rumah masa kecilnya terbentang di benaknya. Pohon ek menjulang, daun-daunnya berdesir di bawah sinar matahari musim panas, dan tawa anak-anak yang berlarian tanpa beban. Caleb ada di sana, selalu ada, dengan rambut cokelat acak-acakan dan senyum yang membuat dunia terasa lebih ringan. “Kau lambat, Sylus!” ejeknya dulu, sambil menarik tangan Sylus agar menyamai langkahnya, tangannya hangat, penuh kehidupan. Kenangan itu layaknya mimpi, terlalu jauh untuk disentuh, namun cukup menciptakan sesak di dada oleh rindu yang tak ia sadari selama ini.

Sylus membuka mata, napasnya menjadi tersendat. Jemarinya tanpa sadar menggosok bekas memar di pergelangannya, seolah gerakan itu bisa menghapus jejak-jejak yang ditinggalkan Xavier, atau kata-kata Rafayel yang terdengar mencemooh, juga tatapan Zayne yang menembus sisa-sisa tembok pertahanannya. Ia ingin percaya bahwa masih ada tempat di mana ia bisa menyambung hidup lagi, di mana ia bukan kanvas untuk dilukis oleh ambisi orang lain, bukan pion dalam permainan yang aturannya tak pernah ia pahami.

Tapi setiap kali ia mencoba melangkah, fatamorgana menariknya, bagai rantai yang tak pernah musnah. Dan Caleb—Caleb yang dulu adalah rumah, kini menjadi pertanyaan. Apakah ia masih sama? Atau apakah waktu telah mengubahnya, seperti waktu telah mengubah Sylus menjadi seseorang yang bahkan ia sendiri tak kenali di cermin kaca?

Ia mengalihkan pandangan ke kota yang perlahan bangun di bawah, lampu-lampu jalanan mulai redup, digantikan oleh hiruk-pikuk manusia yang tak peduli pada luka-luka yang ia bawa. Di suatu tempat di dalam dirinya, ia bertanya, apakah ia masih layak untuk kehangatan yang pernah Caleb tawarkan? Atau apakah ia telah terlalu jauh tenggelam dalam kegelapan, sehingga cahaya apa pun hanya akan memudar di dekatnya? Ia menggenggam pagar lebih erat, seolah besi dingin itu adalah satu-satunya yang merangkul kewarasannya.

Ketukan di pintu tiba-tiba memecah keheningan, pelan namun cukup untuk menyentaknya kembali ke dunia nyata. “Sylus? Ini Caleb, kau di rumah?” Suara di balik pintu hangat, penuh tawa kecil yang akrab, menggemakan kenangan yang baru saja ia kunjungi. Jantung Sylus tersentak, bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih rumit—campuran rindu, harapan, dan ketidakpastian yang membaur menjadi satu. Ia menoleh ke pintu, tangannya masih menggenggam pagar balkon, tubuhnya tegang seolah bersiap menghadapi pertempuran. 

Dengan langkah ragu, ia melepaskan pegangan pada pagar, jarinya meninggalkan bekas samar di besi yang mulai menghangat oleh sinar matahari. Kaki jenjangnya berjalan menuju pintu, setiap langkah terasa bagai bertaruh—antara masa lalu yang ia rindukan dan masa kini yang tak pernah memberinya ampun.

Pintu terbuka perlahan, dan di sana berdirilah Caleb. Pria itu tampak lebih tinggi dari yang Sylus ingat, tapi fitur wajahnya masih sama—manik keunguan berkilauan, rambut cokelat gelap yang sedikit berantakan, dan senyum yang seolah tak pernah memudar. Jaket denimnya usang, lengan bajunya sedikit terlipat, memperlihatkan urat di pergelangan tangan yang samar. “Sylus,” katanya lembut penuh kelegaan, seolah melihat Sylus adalah hadiah yang tak ia duga. “Apa kabar?” Matanya menyisir wajah Sylus, menangkap lingkar hitam di bawah matanya, pipi yang pucat, dan bibir yang bergemeletuk ringan.

Sylus tak langsung menjawab. Jantungnya masih berdetak cepat, campuran antara nostalgia dan kecurigaan yang kini selalu menghantuinya. Ia memandang Caleb, mencari tanda-tanda bahaya—senyum yang terlalu manis milik Zayne, sorot mata tajam Xavier, atau kilau dingin di binar Rafayel—tapi yang dia temukan hanya kehangatan yang familier, layaknya pagi musim panas di bawah pohon rindang. “Kau… kenapa tiba-tiba ke sini?” tanyanya terdengar lebih serak dari biasanya. Ia memegang kenop pintu semakin erat, belum siap membiarkan dunia masuk.

Pria itu mengangkat kantong kertas cokelat di tangannya, aroma roti panggang dan kopi menyelusup ke hidung. "Aku berpikir kau belum makan, kebiasaan burukmu. Kebetulan aku bawa sesuatu untukmu." Senyum di bibirnya melebar, meski ada kerutan halus di dahinya tanda kekhawatiran. “Roti isi krim keju dari kafe dekat taman. Kau masih suka, kan?” Ia pun melangkah masuk tanpa menunggu izin, didasari karena mereka berteman sejak kecil. Setelah melepaskan sepatunya dengan tendangan santai, Caleb berjalan ke meja kecil di sudut ruangan.

Tangan Sylus yang bertengger di kenop akhirnya mendorong pintu hingga bunyi pengunci otomatisnya bergema nyaring. Ia mengikuti Caleb dari jarak aman, tangannya tanpa sadar menyentuh pergelangan yang masih memar. Aroma kopi hitam yang kuat memenuhi udara, bercampur gurihnya krim keju, membawa kilas saat pagi-pagi di taman—ketika Caleb menyelipkan setengah rotinya ke tangan Sylus karena ia lupa sarapan, sambil terkekeh, “Kau tak akan bisa lari kalau perutmu kosong.” Kenangan itu terasa bagai nyala lilin di tengah kegelapan, tapi Sylus tak yakin apakah ia bisa mempercayai itu lagi atau tidak.

Caleb mendaratkan tubuhnya ke sofa terdekat, menyandarkan punggungnya santai. Ia mengeluarkan dua roti isi krim keju dan dua gelas kopi dalam wadah karton, meletakkannya di meja. “Aku dapat jatah libur seminggu,” katanya tak absen mengamati Sylus, seolah mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik wajah pucat itu. “Aku pikir, kenapa tidak sekalian menemui sahabatku? Tapi…” Ia berhenti, alisnya sedikit berkerut. “Kemarin ada pesta kecil untuk menyambutku kembali ke kota. Zayne yang mengadakan, tapi kau tak ada di sana. Kata Zayne kau sedang tak enak badan. Kau sakit?”

Nama Zayne terdengar menusuk tepat ke ulu hati Sylus. Tangannya mengepal di balik kaus, napasnya tersengal sejenak. Ia memalingkan wajah, berpura-pura memeriksa gelas kopi di meja. Namun pandangannya memburam karena kabut kenangan Zayne yang tiba-tiba merangsek masuk ke pikirannya—senyum palsunya, ekspresi datarnya, dan malam yang menghancurkannya. “Tidak.. hanya sibuk,” dustanya. Ia tak ingin Caleb tahu, tak ingin luka itu terbuka lagi di depan seseorang yang seharusnya jadi tempat amannya.

Caleb memiringkan kepala sambil mengerucutkan bibir. “Sibuk? Begitukah? Tapi kenapa tidak ada yang memberitahuku, kecuali aku bertanya sendiri.” Nadanya sedikit kecewa, tapi menahan diri untuk tidak menanyakan lebih lanjut. Gelas kopinya kini diangkat, ia menyesap isinya dengan wajah berkerut—tak suka rasa pahitnya. Manik ungunya menancap ke Sylus yang terduduk di ujung sofa, seakan sengaja menjauhinya. "Kenapa kau duduk jauh sekali dariku? Kau berpikir aku kuman?"

Kelopak Sylus mengerjap cepat, ia terperanjat oleh nada main-main Caleb yang entah kenapa terasa mengganggunya. Ia memaksakan senyum tipis, tapi bibirnya kaku, seolah otot-otot wajahnya lupa bagaimana cara memahatnya. “Bukan begitu,” gumamnya hampir tak terdengar di bawah deru napasnya sendiri. Ia membuang pandangan ke roti isi krim keju di meja, aroma gurihnya menggoda namun tak cukup mengaburkan rasa mual yang mengaduk isi perutnya. “Aku hanya… butuh ruang.”

"Ruang?" ulangnya sambil menganggukan kepala. Ia meletakkan gelas kopi di meja, jari-jarinya mengetuk permukaan kayu dengan ritme yang konstan. Manik ungunya pun sedari tadi tak pernah lepas dari Sylus. “Kau tahu, dulu kau tak pernah butuh ruang dariku. Kau selalu melekat padaku, minta aku bercerita soal peta dunia atau apapun yang ada di kepalaku.”

Sylus menunduk, ia tanpa sadar menggosok bekas memar di pergelangannya lagi, suatu kebiasaan barunya mulai sekarang. Kenangan itu kembali—Caleb bersama buku atlas usang di tangan, duduk bersila di bawah pohon ek, menjelaskan dengan semangat tentang garis pantai Norwegia yang berliku-liku. “Kau tahu, Sylus, fjord-fjord itu dibentuk oleh gletser ribuan tahun lalu, seperti lukisan alam yang tak pernah selesai!” Sementara itu, Sylus tengkurap di rumput di sampingnya, pura-pura mendengarkan tapi sebenarnya hanya menikmati kehadirannya—tawa kecil Caleb, cara ia membiarkan rambut cokelatnya jatuh ke dahi, dan sinar matahari yang memantul di mata ungunya, membuatnya tampak penuh energi keceriaan. Dulu, dunia terasa aman di sisi Caleb. Tapi kini, setiap kehangatan terasa bagai jebakan, setiap senyum adalah topeng yang bisa lepas kapan saja.

“Aku bukan anak kecil lagi, Caleb,” katanya penuh kepahitan yang tak bisa disembunyikan. “Banyak yang berubah.” Ia mengangkat pandangannya, bertemu mata ungu Caleb yang tampak lebih gelap di bawah cahaya redup apartemen. Ada sesuatu di tatapan itu—bukan hanya kekhawatiran, tapi atensi yang terlalu dalam, terlalu personal, yang membuat Sylus merasa telanjang.

Caleb menghela napas, tangannya bergerak seolah ingin meraih roti di meja, tapi berhenti di tengah jalan. “Aku tahu,” katanya berbisik. “Aku tahu kau sudah melewati banyak hal, Sylus. Aku tidak bodoh. Lingkar hitam di matamu, cara kau mengepalkan tangan setiap kali aku menyebut nama seseorang…” Ia berhenti, matanya menyipit sejenak, seolah menimbang kata-kata berikutnya. “Zayne. Kau bereaksi aneh tadi. Apa yang dia lakukan padamu?”

Pertanyaan itu menamparnya, tajam dan tak terduga. Sylus mematung, lidahnya kelu di tenggorokan. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa tak ada yang terjadi, tapi kalimatnya itu terasa seperti pasir di mulutnya, kering dan tak bisa keluar. Gambaran malam itu melintas di kepalanya—tangan Xavier yang mencengkeram, senyum Rafayel yang berubah menjadi ejekan, dan Zayne, yang berdiri di pojokan memasang ekspresi tanpa riak, seolah semua itu adalah permainan semata. “Tak ada,” dustanya lagi, tapi suaranya pecah, mengkhianati kebohongannya. Ia memalingkan wajah, menatap dinding kosong di samping sofa, berharap Caleb tak melihat air mata yang mulai menggenang di pelupuknya.

Caleb tak bergerak dari tempatnya, tapi suasana di antara mereka terasa lebih berat, mengandung banyak pertanyaan yang tak terucap. “Sylus,” panggilnya begitu lembut. “Aku tak akan memaksamu cerita. Tapi kau tahu aku selalu ada, kan? Bahkan ketika kau pergi, ketika kau tak lagi membalas pesanku, aku tetap…” Ia terhenti, menelan kata-kata yang hampir lolos dari bibirnya. Tangannya meraih roti di meja, memecahnya menjadi dua, lalu mendorong setengahnya ke arah Sylus. “Makan ini. Kau pucat sekali jadi mirip hantu.”

Manik merah Sylus menatap roti itu, aroma krim kejunya mengisi udara, mengingatkannya pada kenangan-kenangan sewaktu mereka masih remaja. Dulu, gelagat ini terasa sederhana, tak bermuatan. Tapi kini, setiap tindakan Caleb layaknya benang yang menariknya kembali ke masa lalu—atau mungkin ke sesuatu yang lebih berbahaya. Ia mengambil roti itu, jarinya gemetar saat menyentuh permukaannya yang hangat. “Kenapa kau begitu baik padaku?” tanyanya tiba-tiba, bersarat kecurigaan yang tak bisa  dikendalikan. “Setelah sekian lama, kenapa kau masih peduli?”

Caleb membeku sejenak, pupilnya melebar sebelum kembali memicing, seolah ia tengah tertangkap basah. Ia meneguk kopinya lagi, wajahnya refleks berkerut karena rasa pahit, tapi Sylus bisa melihat ada sesuatu yang ia sembunyikan di balik trik itu. "Kita berteman, Sylus, apa salah jika aku peduli?"

“Teman…” gumam Sylus, melengos ke samping. Ungkapan itu terasa asing di lidahnya, seperti sesuatu yang dulu ia pahami tapi sudah hilang maknanya. Binar merahnya terpaku pada dinding kosong, menghindari tatapan Caleb yang dirasa terlalu tajam, terlalu mengulik jiwanya. Aroma krim keju dari roti di tangannya seharusnya menggunggah selera, tapi justru membuatnya mual, seakan tubuhnya menolak setiap tawaran kehangatan. Ia mencengkeram roti itu lebih erat, hingga remahannya berjatuhan ke pangkuannya, mencerminkan kekacauan di dalam dirinya.

Pria bersurai cokelat gelap itu menghela napas pelan, suaranya nyaris tak terdengar di tengah keheningan singkat mereka. “Ya, teman,” ulangnya, tapi ada nada aneh di suaranya—bukan hanya kelembutan, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih tersembunyi, selayaknya riak di permukaan air danau yang tenang. Ia bersandar ke belakang sofa, tangannya bermain-main di pinggiran gelas kopi kosong, menelusurinya dengan gerakan yang terlalu terkendali. “Tapi… mungkin lebih dari itu, Sylus. Kau pernah berpikir begitu, kan?”

Tubuh Sylus tersentak, bola matanya beralih ke Caleb, mencari makna di balik kata-kata itu. Jantungnya sendiri berdetak lebih kencang, bukan karena nostalgia, tapi karena alarm di dalam dirinya bergema—peringatan yang sama yang ia rasakan saat Zayne tersenyum terlalu manis, atau saat Rafayel menutup matanya dengan syal sutra, juga saat Xavier mencengkeramnya erat. “Apa maksudmu?” tanyanya, penuh kecurigaan yang kini menjadi bagian dari dirinya. Tangannya tanpa sadar merayap ke pergelangan yang masih memar, menyentuhnya gelisah.

Senyuman di bibir Caleb mengembang, tapi senyum itu berbeda—bukan senyum riang dari masa kecil mereka, melainkan seringai yang disengaja. “Ayolah, Sylus,” katanya ceria tanpa melepaskan sorotan yang menancap ke Sylus. “Kau tak pernah bodoh. Kau tahu aku selalu memperhatikanmu. Bahkan dulu, saat kita masih kecil, saat kau tertawa di bawah pohon ek atau menangis karena jatuh dari sepeda. Aku selalu ada, menunggumu melihatku.” Ia mencondongkan tubuh ke depan, siku bertumpu pada lutut, dan jarak di antara mereka tiba-tiba terasa menyusut, membuat udara di apartemen semakin pengap.

Napas Sylus tercekat di tenggorokan, tubuhnya menegang di ujung sofa. Kalimat Caleb barusan melilitnya bagai benang halus yang terasa mencekik. Ia ingin bangkit, ingin menjauh, tapi kakinya seakan terpaku ke lantai. “Menunggu aku melihatmu?” ulangnya bersuara serak. “Caleb, kau… kau tak pernah bilang apa-apa. Kau cuma…” Ia terhenti, pikirannya berputar ke kenangan-kenangan kecil yang kini terasa berbeda—tatapan Caleb yang terlalu lama, tangan yang selalu menemukan alasan untuk menyentuh pundaknya, surat-surat pendek yang Caleb kirim setelah mereka berpisah, yang Sylus anggap hanya nostalgia biasa.

“Aku tak pernah bilang, karena kau tak akan pernah siap mendengarnya,” katanya terkekeh pelan. “Tapi sekarang… lihat dirimu, Sylus. Kau hancur. Dan aku di sini, masih menunggu, seperti dulu.” Ia menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat, jarak di antara mereka hanya sepanjang lengan. 

“Kau pikir aku tak tahu apa yang Zayne lakukan? Juga apa yang Xavier dan Rafayel lakukan? Aku tahu, Sylus. Aku tahu semuanya.” Ia memiringkan kepala, seolah menikmati reaksi Sylus, yang kini duduk mematung, tangannya mencengkeram roti hingga hancur di genggamannya.

Sylus merasa udara di apartemen semakin menyusut seakan dinding-dinding tengah mengimpitnya. Napasnya tersengal, matanya menelusuri wajah Caleb, mencari jejak teman masa kecilnya—pria yang dulu membaca atlas dengan semangat, yang membagi rotinya tanpa pamrih. Tapi yang ia lihat sekarang adalah proyeksi lain, seseorang yang terlalu tahu, terlalu terlibat. “Ba-bagaimana kau tahu?” tanyanya terbata-bata, sarat ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. “Kau… kau tak ada di sana. Kau pergi.”

Seringai Caleb berubah menjadi senyuman manis, meski senyum itu sudah tak lagi bersahabat—ia tajam, seakan pisau yang disembunyikan di balik kain sutra. “Aku pergi, tapi aku tak pernah benar-benar jauh, Sylus,” katanya. “Kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja? Setelah semua yang kita lalui?” Ia mencondongkan tubuh lebih dekat, jarak di antara mereka kini hanya beberapa inci, dan Sylus bisa mencium aroma kopi di napasnya, bercampur akan sesuatu yang lebih gelap—mungkin obsesi, mungkin sesuatu yang lebih buruk.

Spontan Sylus mendorong tubuhnya ke belakang, punggungnya menempel pada sandaran sofa, tapi tak ada ruang lain untuk melarikan diri. “Apa katamu?” desisnya, tangannya gemetar di pergelangan yang memar. Pikirannya bergelut, mencoba menyusun potongan-potongan—surat-surat Caleb yang selalu tiba di saat-saat ia merasa paling sendirian, telepon yang tak pernah ia angkat, dan sekarang, kehadirannya yang terlalu tepat waktu. “Kau… kau mengawasiku?”

Caleb tak langsung menjawab. Ia memilih mengambil gelas minuman kosongnya, memutarnya di tangan seolah kebosanan, lalu meletakkannya di meja menghasilkan bunyi dentuman di antara keheningan ruangan. “Mengawasi terdengar kasar, kau tahu." Bibirnya mencebik tidak senang, meski kilau di matanya mengatakan sebaliknya. “Katakanlah aku… menjaga. Aku ingin memastikan kau baik-baik saja. Tapi ternyata, kau terjebak di dalam orang-orang yang salah untuk dipercaya. Zayne, Xavier, Rafayel…” Ia menggelengkan kepala, seolah kecewa, tapi ada kepuasan kecil di sudut bibirnya yang membuat jantung Sylus terhenti sejenak.

“Jangan sebut nama mereka!” sela Sylus nyaris berteriak, kepanikan di dalam jiwanya meluap. Ia bangkit dari sofa, langkahnya goyah, menjauh ke arah jendela, ke arah cahaya pagi yang redup menyelinap melalui celah-celah tirai. Kedua lengannya merengkuh dirinya sendiri, jemarinya meremas kain mantelnya, berusaha menahan tubuhnya yang gemetar. “Kau tak tahu apa yang mereka lakukan. Kau tak tahu apa yang aku—” Suaranya pecah, air mata yang tadi ia tahan akhirnya meluncur di pipinya, panas lagi pahit.

Caleb tak bergerak dari sofa, tapi ekor matanya mengikuti setiap gerakan Sylus, bagai predator yang tahu mangsanya tak punya tempat untuk lari. “Oh, aku tahu. Aku selalu tahu karena aku melihatnya, Sylus. Aku melihat bagaimana Zayne memanipulasimu, bagaimana Xavier menyakitimu, bagaimana Rafayel menjadikanmu karya seni terbarunya.” Ia bangkit perlahan, langkahnya terukur saat mendekati Sylus, tapi berhenti beberapa langkah di depannya, memberi ilusi ruang yang sebenarnya tak ada. “Dan aku biarkan itu terjadi. Karena kau perlu belajar, Sylus. Kau perlu tahu bahwa tak ada yang bisa mencintaimu seperti aku.”

Kata-kata itu menjelma belati, menusuk tepat ke sanubari. Sylus memalingkan wajah, lidahnya kelu tapi tak ada tempat untuk bersembunyi dari kebenaran yang terbuka di depannya. Caleb—teman masa kecilnya, satu-satunya orang yang ia pikir bisa menjadi penutup luka—justru adalah bagian dari kegelapan yang sama. “Kau… biarkan itu terjadi?” bisiknya lirih hampir tak terdengar. “Kau tahu, dan kau tak melakukan apa-apa?”

Kepala Caleb mengangguk, tak ada penyesalan di wajahnya, hanya kepastian yang mengerikan. “Kau terlalu keras kepala, Sylus,” katanya lembut, seolah sedang menenangkan anak kecil. “Kau tak akan kembali padaku kalau tak hancur dulu. Tapi sekarang kau di sini, dan aku di sini. Kita bisa mulai lagi. Bersamaku, kau tak akan disakiti lagi. Aku janji.”

Gelak tawa Sylus menggema putus asa. "Janji?" ulangnya, binar matanya menyala marah juga cemas. “Seperti janji Zayne? Seperti bualan Xavier dan Rafayel?” Kakinya melangkah mundur, punggungnya menempel pada jendela, dinginnya kaca meresap ke tulang-tulangnya. “Kau sama seperti mereka, Caleb. Kau… kau lebih buruk. Kau diam-diam mengatur semuanya, menunggu aku jatuh, dan sekarang kau bilang ini cinta?”

Tubuh Sylus gemetar, kaca jendela di punggungnya menjadi satu-satunya dinding terakhir yang menahannya dari kehancuran total. Kata-kata Caleb bergema di kepalanya, setiap suku kata mengoyak apa yang tersisa dari kepercayaannya. “Kau biarkan itu terjadi,” ulangnya dalam hati, suaranya sendiri terdengar asing, penuh keputusasaan yang tak pernah ia akui sebelumnya. Matanya yang merah berkilat menatap Caleb, mencari sisa-sisa pria yang dulu ia kenal—pria yang membagi roti, yang tertawa di bawah pohon ek, yang menulis surat-surat pendek penuh kehangatan. Tapi di depannya sekarang bukan lagi Caleb itu. Pria ini adalah bayangan yang terdistorsi, seseorang yang telah merajut jaring laba-laba selama bertahun-tahun, menunggu Sylus terjerat.

Caleb bergeming di hadapan Sylus dengan ketenangan yang mengerikan, matanya ungu berkilau penuh kepastian. “Kau salah paham, Sylus,” katanya lembut juga tegas seakan dirinyalah sang pemegang kendali. “Aku tak pernah ingin menyakitimu. Aku hanya ingin kau sadar—mereka tak pantas untukmu. Zayne, Xavier, Rafayel… mereka mengira mereka bisa memiliki bagian darimu, tapi mereka salah. Kau milikku.” Kata terakhir itu diucapkan hampir puitis, namun ada bobot gelap di dalamnya, layaknya janji yang tak bisa ditolak.

Kepala Sylus menggeleng ribut, tangannya menerjang mantelnya lebih erat, seolah kain itu bisa menahannya dari ambruk. "Milikmu?" desisnya tak bisa sembunyikan kebencian sekaligus ketakutan. "Aku bukan benda, Caleb. Aku bukan hadiah yang bisa kau klaim setelah kau bosan bermain-main." Napasnya tersengal, dadanya naik turun cepat. Ia ingin berteriak, ingin menghancurkan segalanya—mungkin gelas kopi di meja, mungkin dinding, mungkin dirinya sendiri—tapi tubuhnya terasa lemah, layaknya boneka yang talinya telah dipotong.

“Kau tak mengerti,” kata Caleb melangkah lebih dekat. “Aku tak bermain-main. Semua yang kulakukan—surat-surat itu, telepon yang jarang kau angkat, bahkan kepergianku—semuanya untukmu. Untuk kita.” Ia berhenti tepat sejengkal di depan Sylus, cukup dekat hingga Sylus bisa merasakan panas tubuhnya, aroma kopi yang bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat, sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.

Sylus mendorong dirinya lebih berimpit ke jendela, tapi kaca dingin itu tak memberi ruang untuk mundur. “Kau gila,” bisiknya gemetaran. “Kau pikir ini cinta? Mengawasiku, membiarkan Zayne dan yang lain menghancurkanku, hanya untuk kau bisa muncul sebagai penyelamat? Itu bukan cinta, Caleb. Itu obsesi.”

Wajah Caleb berkerut sejenak, seolah kata-kata Sylus menyakitinya, tapi kilau di matanya tak memudar. “Obsesi, cinta… apa bedanya, Sylus?” tanyanya, mengangkat bahu acuh tak acuh. “Yang penting adalah aku di sini sekarang, dan mereka tidak. Zayne tak bisa melindungimu. Xavier hanya tahu menyakiti. Dan Rafayel… dia cuma melihatmu sebagai kanvas untuk egonya. Tapi aku? Aku melihatmu apa adanya. Aku selalu begitu.”

Dunia Sylus terasa menyusut, dinding-dindingnya semakin rapat merenggut udara yang bisa dihirup. Ingatannya melayang kembali ke malam-malam di apartemen Zayne, ke saat mereka berlima berkumpul. Dulu, ia mengira itu adalah kehangatan persahabatan—Rafayel yang bercanda dengan dramatis tentang konsep lukisannya, Xavier yang asyik memanggang daging, Zayne yang diam tapi penuh perhatian di sisinya, dan Caleb yang selalu duduk di seberang, matanya tak pernah lepas darinya. Sylus ingat tatapan itu sekarang, tatapan yang ia kira hanya rindu seorang sahabat. Tapi sekarang ia tahu, itu bukan rindu biasa. Itu adalah tatapan seseorang yang menghitung, merencanakan, menunggu saatnya tiba.

“Caleb... kau yang memperkenalkan Zayne padaku. Enam tahun lalu, kau bilang dia teman baikmu. Kau bilang dia bisa dipercaya.” Ada nada tuduhan di suaranya yang terurai bersama rasa lelah menumpuk. “Kalau kau tahu Zayne akan menyakitiku, kenapa kau membawanya ke hidupku? Kenapa kau membiarkan ini terjadi?”

Caleb menunduk sejenak, tangannya menyisir rambut cokelatnya yang berantakan. “Aku tak tahu saat itu,” katanya melirih, seolah menyesali sesuatu—atau hanya berlagak begitu. “Aku pikir Zayne akan baik untukmu. Aku pikir… jika kau bahagia, aku bisa melepaskanmu. Tapi aku salah.” Ia mengangkat wajahnya, matanya menyiratkan intensitas yang membuat Sylus tengah ditelan utuh-utuh. “Melihatmu bersama Zayne, melihat tangan kalian bergandengan, mendengar tawamu untuknya… itu membunuhku, Sylus. Setiap kali kita berkumpul, setiap kali kau tersenyum padanya, aku merasa seperti kehilanganmu sedikit demi sedikit.”

Pelupuknya kian tak sanggup menahan gejolak emosi, mengalirkan sungai air mata di pipi, tapi kali ini ia memilih tak peduli. “Jadi kau membiarkan mereka menghancurkanku?” tanyanya bersuara parau. “Kau tahu apa yang Zayne lakukan, apa yang Xavier dan Rafayel lakukan, dan kau hanya… menonton? Seperti aku cuma permainan bagimu?”

"Tidak, Sylus!" bantah Caleb sedikit membentak untuk pertama kalinya. Ia melangkah lebih dekat, tangannya terulur seolah ingin menyentuh Sylus, tapi berhenti di udara seketika melihat Sylus menegang. “Aku tak pernah menganggap ini permainan. Aku ingin kau melihat kebenaran—bahwa mereka tak bisa mencintaimu seperti aku. Bahwa kau hanya akan menemukan kedamaian bersamaku.” Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Dan sekarang kau lihat, kan? Zayne meninggalkanmu. Xavier dan Rafayel tak peduli. Tapi aku di sini, Sylus, Aku selalu di sisimu."

Pijakan di mana Sylus berdiri seolah berubah menjadi tepian jurang curam dengan Caleb di sisi seberang yang terus mendorongnya mundur. Ingatannya kembali melayang ke malam kemarin, ke pesta penyambutan yang Caleb ceritakan. Zayne bilang ia tak enak badan, tapi Sylus tahu itu bohong. Ia tak datang karena ia tak sanggup lagi—tak sanggup melihat Zayne dengan senyum palsunya, Xavier dengan cengkeramannya yang menyakitkan, atau Rafayel dengan tatapan yang membuatnya merasa seperti lukisan yang akan dijual. Tapi sekarang, mengetahui Caleb tahu segalanya, mengetahui Caleb membiarkan semua itu terjadi… itu adalah pengkhianatan yang lebih dalam, lebih menyakitkan, karena Caleb adalah satu-satunya yang ia pikir bisa ia percaya.

“Kau tidak waras! Kau pikir ini akan membuatku kembali padamu? Kau pikir aku akan melupakan semua yang kau lakukan—atau yang kau biarkan terjadi—hanya karena kau membawa roti dan kopi?” bisik Sylus menunjuk ke meja, ke roti yang kini hancur di tangannya, remahannya berserakan di lantai. “Ini bukan cinta, Caleb. Ini manipulasi. Kau sama seperti mereka—mungkin lebih buruk, karena kau berpura-pura menjadi temanku.”

Caleb memicingkan mata, senyumnya memudar, digantikan oleh ekspresi yang lebih gelap, lebih dingin. “Jangan katakan itu,” katanya. “Aku tak seperti mereka. Aku tak akan mengkhianatimu seperti Zayne, atau mempermainkanmu seperti Rafayel, atau menyakitimu seperti Xavier. Aku hanya ingin melindungimu, Sylus. Dari mereka. Dari dunia. Dari dirimu sendiri.”

Sylus tertawa, tapi tawanya pilu. “Melindungiku? Dengan menghancurkanku terlebih dahulu?” Ia melangkah ke samping, menjauh dari jendela, menuju pintu, meski kakinya terasa lemah. “Pergi, Caleb. Aku tak ingin melihatmu lagi.”

Pria itu tak bergerak, hanya menatapnya lekat. “Kau tak bisa mengusirku, Sylus,” katanya sedikit mengancam. “Kau bisa mencoba lari, tapi ke mana pun kau pergi, aku akan menemukanmu. Aku selalu begitu, bukan? Dari pohon ek di halaman rumah kita, sampai ke apartemen ini. Aku tak akan pernah berhenti.”

Dada Sylus terasa sesak, napasnya berubah tersengal. Ia meraih kenop pintu, tangannya gemetar, tapi sebelum ia bisa membukanya, Caleb bergerak cepat, tangannya mencengkeram pergelangan Sylus—bukan keras seperti Xavier, tapi cukup kuat untuk membuatnya terhenti. “Jangan lakukan ini,” bisik Caleb penuh emosi yang tak bisa Sylus pahami—marah, putus asa, atau mungkin keduanya. “Jangan menolakku, Sylus. Aku satu-satunya yang tersisa untukmu.”

Sylus menatap tangan Caleb di pergelangannya, bekas memar di bawah jari-jarinya terasa seperti luka yang baru dibuka. Ia menarik tangannya dengan kasar, matanya berkilat penuh kemarahan. “Kau bukan apa-apa bagiku sekarang,” katanya ketus dan sinis. “Pergi, atau aku akan memastikan kau menyesal pernah kembali.”

Caleb melepaskan cengkeramannya, tapi tak beringsut mundur. Ia hanya berdiri di sana, menatap binar merah Sylus. “Kau akan berubah pikiran,” katanya. “Kau akan melihat bahwa aku satu-satunya yang benar-benar peduli. Sampai saat itu, aku akan menunggu. Seperti selalu.”

Bibir Sylus mengatup, tak mau menjawab. Ia membuka pintu, tangannya gemetar, dan menunjuk ke luar. “Keluar,” katanya mencoba tegas. Caleb menatapnya sekali lagi, lalu mengangguk pelan, mengambil jaket denimnya dari sofa, dan berjalan keluar tanpa kata lain. Pintu tertutup di belakangnya, meninggalkan Sylus dalam keheningan yang mencekik.

Ia ambruk ke lantai, punggungnya bersandar pada pintu, tangannya menutupi wajahnya. Air mata mengalir tanpa suara, membasahi pipinya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia membiarkan dirinya menangis. Bukan hanya karena Caleb, bukan hanya karena Zayne, Xavier, atau Rafayel, tapi karena ia tahu, di dalam lubuk hatinya, bahwa keberadaan mereka semua akan terus mengejarnya, tak peduli seberapa jauh ia dapat melangkah.

Sylus masih bersandar di pintu, napasnya tersendat-sendat, air mata membasahi wajahnya yang pucat. Bunyi langkah kaki Caleb di luar seharusnya sudah memudar, tapi keheningan apartemen terasa seperti jebakan, menekan dadanya hingga sesak. Ia mencoba bangkit, tangannya meraba dinding untuk penyangga, tapi kakinya lemah, seperti tubuhnya menolak untuk bergerak maju. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Caleb—janji yang terdengar seperti ancaman, senyum yang berubah menjadi seringai, dan tatapan ungu yang kini beralih sabitan.

Tiba-tiba, pintu di belakangnya berderit, terbuka karena dorongan keras yang membuat Sylus tersandung ke depan. Ia hampir jatuh, tapi tangan yang kuat mencengkeram lengannya, menahannya dengan kekuatan yang tak memberi ruang untuk melawan. Sylus menoleh, matanya melebar saat melihat Caleb kembali berdiri di ambang pintu, wajahnya kini berbeda—bukan lagi kelembutan yang dipaksakan, melainkan kemarahan yang bercampur dengan sesuatu lebih gelap, lebih berbahaya.

“Kau pikir aku akan pergi begitu saja?” suara Caleb rendah, hampir seperti geraman. Tangannya masih mencengkeram lengan Sylus, jari-jarinya menekan kulit yang sudah memar, membuat Sylus meringis tanpa suara. “Setelah semua yang kulakukan untukmu? Setelah aku menunggu bertahun-tahun, melihatmu hancur karena Zayne dan yang lain, kau suruh aku keluar?” Matanya menyala, pupil ungunya menyusut di bawah cahaya redup seolah ialah predator yang siap menerkam.

Sylus mencoba menarik lengannya, tapi genggaman Caleb terlalu kuat, hampir menyakitkan. “Lepaskan aku, Caleb,” desisnya. “Kau tak punya hak atas aku. Kau tak punya hak untuk—” Kata-katanya terputus saat Caleb mendorongnya ke dinding, tidak terlalu keras tapi cukup untuk membuat napas Sylus tercekat di ujung tenggorokan. Punggungnya menabrak permukaan tembok bata, dan untuk sesaat, dunia di sekitarnya berotasi cepat.

“Hak?” Caleb memotong, suaranya penuh ejekan pahit. Ia mencondongkan tubuh, wajahnya hanya beberapa inci dari Sylus, napasnya panas menyentuh kulit Sylus. “Kau bicara soal hak setelah membiarkan Zayne meninggalkan bekas ini padamu?” Tangannya bergerak, ujung jarinya menyentuh pergelangan Sylus yang memar, bukan dengan lembut, melainkan dengan tekanan yang sengaja, seolah ingin membangkitkan rasa sakit. Sylus menahan erangan, matanya berkaca-kaca, tapi ia menolak menunjukkan kelemahan lebih banyak.

“Caleb, hentikan,” bisik Sylus mencoba mendorong dada Caleb, tapi tangannya gemetar, tenaganya terkuras oleh kepanikan yang meluap. “Ini bukan kau. Kau tidak… tidak akan seperti ini.” Kata-kata itu terdengar seperti permohonan, tapi juga seperti penyangkalan—penyangkalan terhadap kenyataan bahwa Caleb yang dulu, sahabatnya, mungkin tak pernah benar-benar ada.

“Tidak akan seperti ini?” Caleb tertawa, tapi tawanya kosong. “Kau yang membuatku begini, Sylus. Kau yang membiarkan dirimu diinjak-injak oleh Zayne, oleh Xavier, oleh Rafayel. Lihat dirimu sekarang!” Tangannya bergerak ke wajah Sylus, memaksa dagunya terangkat hingga mata merah Sylus bertemu tatapannya yang terbakar bara. “Kau penuh luka. Penuh bekas mereka. Dan kau berani bilang aku tak punya hak? Aku satu-satunya yang peduli padamu!”

Sylus merasa jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena ketakutan, tapi karena campuran aneh antara amarah dan penderitaan. Ia ingin mempercayai bahwa Caleb masih bisa diselamatkan, bahwa ada sisa kehangatan dari masa kecil mereka di bawah semua kegelapan ini. Tapi sentuhan Caleb—kasar, posesif, penuh tuntutan—menghapus harapan itu sedikit demi sedikit. “Kau tak peduli padaku,” katanya. “Kau cuma peduli pada apa yang kau inginkan dariku. Kau ingin aku jadi milikmu, bukan karena kau mencintaiku, tapi karena kau tak bisa menerima aku bersama orang lain.”

Kata-kata itu seperti tamparan, dan untuk sesaat, Caleb membeku. Matanya melebar, tapi kilau di dalamnya tak memudar—malah semakin tajam, seperti pisau yang siap menikam. “Kau salah,” sanggahnya. “Aku mencintaimu, Sylus. Lebih dari yang pernah Zayne lakukan. Lebih dari yang bisa mereka semua berikan.” Tangannya merayap ke leher Sylus, bukan untuk mencekik, tapi untuk menahan, jemarinya menekan cukup kuat untuk membuat Sylus merasa terperangkap. “Dan aku akan menghapus mereka darimu. Setiap sentuhan Zayne, setiap luka yang Xavier tinggalkan, setiap goresan yang Rafayel buat… aku akan menghapus semuanya.”

Sylus merasa udara di paru-parunya menyusut, napasnya tersengal. Ia mencoba mendorong Caleb lagi, tapi tenaganya tak sebanding dengan gejolak yang mendorong Caleb. “Kau tak bisa menghapus apa yang sudah terjadi,” desisnya, matanya berkilat penuh perlawanan meski tubuhnya gemetar. “Kau tak bisa mengubah aku menjadi apa yang kau inginkan. Aku bukan kanvasmu, Caleb. Aku bukan milik siapa pun!”

Caleb memicingkan mata, dan untuk sesaat, Sylus berpikir ia akan meledak—mungkin memukul, mungkin berteriak. Tapi sebaliknya, Caleb tersenyum, senyum yang dingin dan penuh perhitungan. “Kau akan jadi milikku,” katanya lembut tapi penuh ancaman. Jari-jarinya yang masih bertahan di leher Sylus mengencang sedikit, bukan untuk menyakiti, tapi untuk menegaskan dominasi, membuat Sylus merasa seperti burung yang sayapnya dipatahkan. “Kau bisa melawan, kau bisa berteriak, tapi pada akhirnya, kau akan melihat bahwa hanya aku yang bisa menyelamatkanmu dari dirimu sendiri.”

Jantung Sylus berdetak liar, ia terus mencoba mendorong tangan Caleb, tapi gerakannya lemah, tubuhnya terlalu lelah oleh trauma yang terus menumpuk. “Jangan sentuh aku,” ujarnya. Matanya merah berkilat, menantang meski air mata mulai menggenang di pelupuknya. “Kau bukan siapa-siapa bagiku, Caleb. Kau hanya… monster yang mengenakan wajah temanku.”

Ucapannya seperti percikan api di bensin. Wajah Caleb berubah, senyumnya lenyap, digantikan oleh ekspresi yang gelap, hampir tidak manusiawi. “Monster?” ulangnya. Tangannya tiba-tiba merenggut rambut putih Sylus, menarik kepalanya ke belakang hingga lehernya terpampang. “Kau berani panggil aku monster setelah semua yang kulakukan untukmu? Setelah aku menunggu, merencanakan, memastikan kau bebas dari Zayne dan yang lain?” Ia mencondongkan tubuh lebih dekat, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari Sylus, napasnya panas menyapu kulit Sylus. “Kau yang membuatku begini, Sylus. Kau yang memilih mereka daripada aku.”

Sylus meringis, rasa sakit di kulit kepalanya menyengat, tapi ia menolak menunjukkan kelemahan. “Aku tak memilih siapa pun!” bentaknya terdengar serak. “Aku hanya ingin hidup, Caleb! Aku ingin bebas dari kalian semua!” Ia mencoba menarik diri, tangannya mencakar lengan Caleb, tapi cengkeraman Caleb terlalu kuat, seperti besi yang mengunci. Rasa sakit di pergelangannya yang memar kembali terbangkitkan, dan untuk sesaat, ia merasa seperti kembali ke malam-malam kelam itu.

Caleb menerjang rambut Sylus lebih keras, memaksa wajahnya mendongak hingga mata mereka bertemu. “Bebas?” katanya penuh ejekan. “Kau tak akan pernah bebas, Sylus. Lihat dirimu—lemah, patah, penuh bekas mereka.” Tangannya yang lain bergerak, merobek kancing atas kemeja Sylus kasar, memperlihatkan memar keunguan di dada dan bahunya. Matanya menyipit, kemarahan bercampur kepuasan gelap saat melihat jejak luka itu. “Ini Rafayel, bukan? Dan ini Xavier,” katanya, jarinya menelusuri memar dengan tekanan yang sengaja menyakitkan, membuat Sylus menggigit bibir untuk menahan erangan. “Mereka menandaimu seperti ternak, dan kau biarkan. Tapi aku akan menghapusnya. Aku akan membuatmu milikku, sampai tak ada jejak mereka tersisa.”

Tubuh Sylus membeku, tapi di dalam dadanya, kemarahan membakar. “Kau tak beda dari mereka,” semburnya. “Kau pikir kau bisa memaksa aku jadi milikmu dengan ini? Dengan menyakiti aku seperti mereka?” Ia mendorong dada Caleb menggunakan sisa tenaga yang ia miliki, tapi Caleb bergeming, malah mendorong Sylus lebih keras ke dinding hingga punggungnya membentur menggemakan bunyian memilukan.

“Jangan bandingkan aku dengan mereka!” bentak Caleb, suaranya nyaring di apartemen yang sunyi. Tangannya melepaskan rambut Sylus, tapi hanya untuk mencengkeram kedua pergelangan tangannya, menjepitnya di atas kepala Sylus dengan satu tangan, sementara tangan lainnya merobek sisa kemeja Sylus hingga kainnya jatuh ke lantai. Sylus merasa telanjang, bukan hanya secara fisik, tapi jiwanya—setiap memar, setiap luka, setiap kelemahan yang ia coba sembunyikan kini terbuka di bawah tatapan Caleb yang penuh obsesi.

“Kau milikku,” ulang Cale lebih tenang, tapi ada nada akhir di dalamnya, seperti hukuman yang tak bisa diganggu gugat. Ia mencondongkan tubuh, bibirnya menyapu leher Sylus, bukan dengan afeksi, tapi dengan gigitan kecil yang sengaja meninggalkan tanda. Sylus menjerit pelan, tubuhnya menegang, tapi cengkeraman Caleb di pergelangannya membuatnya tak bisa bergerak. “Aku akan menghapus mereka,” bisik Caleb di telinganya. “Setiap sentuhan, setiap luka, sampai kau hanya ingat aku.”

Air matanya semakin meluruh di pipinya, tapi tak sekali pun ia berpikir untuk menyerah. "Aku membencimu," bisiknya sinis. "Aku benci kalian semua." Kalimatnya terlontar begitu saja, tapi Caleb hanya tergelak sesaat, menikmati perjuangan Sylus. 

"Benci aku kalau kau mau," katanya, jari telunjuknya menelusuri rahang Sylus, memaksa wajahnya hanya terarah padanya. “Tapi kau tak bisa lari dari ini. Dari aku. Kau akan melihat, Sylus. Aku satu-satunya yang bisa membuatmu utuh lagi.” Ia melepaskan cengkeraman di pergelangan Sylus, tapi hanya untuk menggenggam wajahnya dengan kedua tangan, memaksa Sylus menatap matanya yang ungu, yang kini tampak seperti lautan badai. “Kau akan lupa Zayne. Kau akan lupa mereka semua. Aku janji.”

Ia mencoba memalingkan wajah, menghindari tatapan Caleb yang terasa seperti menembus jiwanya, tapi jeratan Caleb di wajahnya terlalu kuat, jari-jarinya menekan pipi Sylus hingga terasa menyengat. “Jangan—” kata Sylus serak dan penuh keputusasaan, tapi sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Caleb mencondongkan tubuh lebih dekat, dan bibirnya menempel pada bibir Sylus menuntut.

Ciuman itu adalah invasi, sarat hasrat mendominasi, untuk menghapus setiap jejak yang pernah disentuh oleh Zayne atau yang lain. Sylus menegang, tubuhnya menggigil tak karuan, tangannya mendorong dada Caleb dengan sisa tenaga yang ia punya, tapi Caleb seperti dinding yang tak tergoyahkan. Bibir tebalnya bergerak agresif, giginya menggigit bibir bawah Sylus hingga terasa perih, meninggalkan rasa logam di mulutnya. Sylus menjerit pelan, tapi suaranya tenggelam dalam ciuman yang mencekik itu, dan air mata panas kembali mengalir di pipinya.

Sesaat Caleb menarik tubuhnya, napasnya panas dan terengah-engah berembus ke wajah Sylus. Matanya ungu berkilat dengan kepuasan yang gelap, seolah melihat Sylus yang hancur di bawahnya adalah kemenangan. “Kau milikku,” bisiknya lagi penuh obsesi, jarinya menyapu bibir Sylus yang kini bengkak dan berdarah, seolah menikmati hasil karyanya. “Dan aku akan memastikan kau tak pernah melupakan ini.”

Sylus mencoba berbicara, tapi lidahnya kelu tergugu-gugu, hanya ada suara napas tersengal yang muncul. Tapi sebelum ia bisa mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, Caleb menggenggam lengannya lebih erat, menariknya dari dinding dan mendorongnya ke arah sofa di tengah ruangan. Sylus tersandung, kakinya tak mampu menahan dorongan itu, dan ia jatuh ke sofa, punggungnya membentur bantal yang empuk namun terasa seperti batu di bawah berat emosinya.

Badan tegap Caleb menjulang tinggi di bawah cahaya remang, tatapan nyalang menembus lensa kemerahan Sylus. "Kau terlalu keras kepala," katanya melangkah mendekat, menempatkan satu lututnya di sofa, menjebak Sylus di bawah kuasanya. "Tapi aku suka itu. Aku suka melihatmu melawan, karena itu membuat momen ini lebih… berarti.” Tangannya meraih dagu Sylus lagi, memaksa wajahnya mendongak, dan ia mencondongkan tubuh, wajahnya hanya berjarak setarikan napas.

“Jangan lakukan ini, Caleb,” bisiknya, suaranya pecah, penuh permohonan yang ia benci harus ucapkan. “Kau bilang kau mencintaiku… kalau kau benar-benar peduli, kau tak akan menyakitiku seperti ini.” Air mata mengalir lagi, membasahi pipinya, dan untuk sesaat, ia berharap kata-katanya bisa menembus kegelapan yang telah menyelimuti Caleb.

Tapi Caleb hanya tersenyum. “Menyakitimu?” katanya, suaranya lembut tapi penuh ejekan. “Ini bukan tentang menyakiti, Sylus. Ini tentang memiliki. Tentang membuatmu milikku, sepenuhnya.” Tangannya bergerak, menelusuri leher Sylus, jarinya menyentuh bekas gigitan yang masih perih, lalu turun ke dada Sylus, menekan memar yang ditinggalkan—mungkin Xavier atau Rafayel, mungkin juga Zayne—dengan sengaja, membuat Sylus meringis. “Setiap luka ini… mereka tak pantas meninggalkannya. Hanya aku yang boleh menandaimu.”

Sylus mencoba meronta, tangannya mencakar lengan Caleb, tapi tenaganya hampir habis, tubuhnya terlalu lemah oleh trauma dan kepanikan yang meluap. “Aku bukan milikmu!” bentaknya. “Aku bukan benda yang bisa kau klaim, Caleb! Aku manusia!” ucapannya terlontar seperti pukulan, tapi Caleb tak beranjak, malah mencondongkan tubuh lebih dekat, lututnya menekan paha Sylus ke sofa, menjebaknya sepenuhnya.

“Manusia?” Caleb tertawa pelan. “Kau lebih dari itu, Sylus. Kau adalah milikku—jiwa, tubuh, segalanya.” Ia mencondongkan tubuh lagi, bibirnya menyapu bibir Sylus sekali lagi, tapi kali ini lebih lambat, lebih sengaja, seolah ingin menikmati setiap detik dari kelemahan Sylus. Sylus memalingkan wajah, mencoba menghindar, tapi tangan Caleb mencekal rahangnya, memaksanya kembali ke posisi semula.

Ia ingin berteriak, ingin melawan, tapi tubuhnya menolak patuh, lelah oleh luka-luka yang tak hanya di permukaan. Tapi di dalam dadanya, sesuatu masih membara—kemarahan, kebencian, dan tekad untuk tidak sepenuhnya menyerah. “Aku akan membencimu selamanya,” bisik Sylus dengan air mata  yang terus mengalir. “Kau tak akan pernah memiliki aku, Caleb. Tak pernah.”

Caleb hanya tersenyum, senyumnya dingin dan penuh kepastian yang mengerikan, seperti seseorang yang tahu bahwa waktu ada di pihaknya. “Kau boleh membenciku sekarang,” katanya rendah, hampir seperti bisikan intim, tapi sarat ancaman. “Tapi kau akan belajar mencintaiku, Sylus. Aku akan memastikan itu.” Tangannya yang mencengkeram rahang Sylus bergerak turun, jari-jarinya menelusuri leher Sylus, membelai bekas gigitan yang masih perih, lalu turun lebih jauh, merobek ikatan longgar celana Sylus dengan gerakan kasar yang tak memberi ruang untuk perlawanan.

Sylus menegang, napasnya tersengal, tubuhnya berusaha meronta meski tenaganya hampir habis. “Jangan, Caleb!” bentaknya panik yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Ia mencoba menarik pergelangannya yang dicekal di atas kepala, tapi cengkeraman Caleb seperti besi, tak goyah sedikit pun. Celana Sylus luruh ke lantai, meninggalkan kulitnya yang pucat dan penuh memar terbuka di udara dingin apartemen, membuatnya merasa lebih rentan dari sebelumnya.

Tubuh kekarnya beranjak lebih dekat, bibirnya menjejaki setiap inci kulit leher Sylus, sengaja meninggalkan tanda merah, seolah ingin menutupi setiap bekas yang ditinggalkan Zayne, Xavier, atau Rafayel. Setiap sentuhan bibirnya adalah invasi, setiap gigitannya menyatakan cap kepemilikan yang dipaksakan. Sylus menjerit pelan, tubuhnya menggeligis, tapi jeratan Caleb di pergelangannya membuatnya tak bisa bergerak, terjebak di bawah berat tubuh Caleb dan sofa menjelma menjadi penjara.

“Kau begitu indah seperti ini,” bisik Caleb penuh obsesi yang mengerikan, bibirnya bergerak turun ke tulang selangka Sylus, meninggalkan jejak panas yang membuat kulit Sylus merinding. Tangannya yang lain, yang tak lagi mencengkeram rahang, menjamah paha dalam Sylus, ujung jarinya merangkak naik secara lambat, secara sengaja, seolah ingin memperpanjang ketidakberdayaan Sylus. Sentuhannya dingin, tapi terasa membakar, membuat pria bersurai putih itu merasa seperti kanvas yang sedang dilukis ulang dengan paksa.

“Berhenti!” teriak Sylus nyaris kehilangan suaranya. Ia mencoba menendang, tapi lutut Caleb menekan pahanya lebih dalam ke sofa, menghilangkan sedikit pun ruang untuk melawan. Air mata mengalir lebih deras, membasahi pipinya yang telah membentuk anakan sungai. “Kau pikir ini akan membuatku milikmu? Kau hanya membuatku semakin membencimu, Caleb! Kau sama seperti mereka—mungkin lebih buruk!”

“Sama seperti mereka?” Matanya ungu menyala dengan intensitas yang menakutkan, dan senyumnya kembali merekah. “Aku tidak seperti mereka, Sylus. Mereka merusakmu. Aku akan membuatmu kembali utuh—dengan caraku.” Tangannya terus merangkak naik, jari-jarinya menyentuh kulit sensitif di paha dalam Sylus, membuat tubuh Sylus menegang lebih keras, napasnya tersengal seperti orang yang akan tenggelam.

Sylus merasa jiwanya terkoyak, setiap sentuhan Caleb seperti pisau yang mengiris lebih dalam, bukan hanya ke tubuhnya, tapi ke esensi dirinya. Ia ingin berteriak, ingin menghancurkan sesuatu, tapi tubuhnya terlalu lemah, pikirannya terlalu kacau. “Aku bukan milikmu,” bisiknya lagi, suaranya hampir tak terdengar, tapi penuh dengan kebencian yang tak bisa dipadamkan.

Aksi Caleb berhenti sejenak, kelopaknya memicing, menimbang ungkapan Sylus barusan. Tapi lalu ia tertawa, tawa yang merendahkan. “Aku suka semangat itu, Sylus. Tapi kau akan lelah. Dan saat kau lelah, kau akan melihat bahwa hanya aku yang bisa menyelamatkanmu.” Ia tak menunjukkan tanda-tanda akan mundur, tubuhnya tetap menjulang di atas Sylus, lututnya menekan paha Sylus ke sofa, menjebaknya dalam posisi yang tak memberi ruang untuk melarikan diri.

Kelopaknya kini terpejam, air mata terus mengalir, tapi di dalam dadanya, kemarahan itu masih ada, meski lemah. Ia tahu ia tak bisa melawan sekarang, tapi ia bersumpah dalam keheningan pikirannya bahwa ia akan menemukan cara—entah bagaimana, entah kapan—untuk merebut kembali dirinya. Namun, Caleb tak memberi ruang untuk harapan itu berkembang. Obsesinya telah menjelma menjadi sesuatu yang tak terkendali, setiap tindakaannya penuh dengan keberanian yang mengerikan, seolah ia ingin menghapus setiap jejak kemanusiaan Sylus dan menggantinya dengan kepemilikannya sendiri.

Tangannya yang meraba paha dalam Sylus tak berhenti, jari-jarinya kini menyelusup lebih jauh, mencapai inti Sylus. Caleb meludah ke telapak tangannya, gerakan itu dingin dan mekanis, hanya untuk memudahkan invasinya, bukan untuk mengurangi penderitaan Sylus. Raga Sylus menegang, tubuhnya gemetar hebat, napasnya tersengal dalam kepanikan yang meluap. “Jangan!” jeritnya, tapi hanya dianggap angin lalu.

Caleb mencondongkan tubuh, bibirnya menempel pada bibir Sylus, seolah ingin menelan setiap jeritan dan protes yang keluar dari mulut Sylus. Jari-jarinya di bawah sana bergerak masuk dan keluar, mempersiapkan tubuh Sylus untuk sesuatu yang lebih jauh, sesuatu yang membuat jantung Sylus berdetak kencang dalam ketakutan. Setiap gerakan terasa seperti kesalahan yang lebih parah, setiap tekanan seperti upaya untuk menghancurkan batas-batas yang masih tersisa dari diri Sylus.

Tiba-tiba, jari Caleb menemukan sesuatu di dalam, titik sensitif yang membuat Sylus menggelinjang tanpa kendali. Tubuhnya bereaksi secara instingtif, menjerit tertahan yang langsung ditelan oleh cumbuan Caleb yang tak henti. Seringai Caleb melebar, matanya ungu berkilat dengan kepuasan gelap saat ia menyadari apa yang baru saja ia temukan. “Di sini, ya?” bisiknya main-main, bibirnya masih menyapu bibir Sylus. Jarinya menekan titik itu lagi, sengaja, lebih terencana, membuat Sylus menggelinjang lebih hebat, tubuhnya berkhianat meski pikirannya berteriak untuk menolak.

Sylus meronta, kuku-kukunya mencakar lengan Caleb, kakinya mencoba menendang, tapi setiap perlawanan hanya membuat cengkeraman Caleb semakin kuat. “Berhenti… tolong…” bisiknya nyaris tak terdengar di tengah napasnya yang tersengal. Air mata mengalir lebih deras, membasahi pipinya, tapi Caleb seakan buta dan tuli. Ia hanya terfokus pada Sylus, pada tubuhnya yang gemetar, pada reaksi yang ia paksa keluar darinya. Ia terus merangsang titik sensitif itu, memaksa Sylus menyerah, tidak hanya secara fisik, tapi juga jiwanya.

Tiba-tiba, Caleb menarik jarinya, gerakannya mendadak namun penuh perhitungan. Sylus sempat menarik napas, berpikir mungkin ada jeda, tapi kepanikan kembali melanda saat ia menyadari Caleb tidak berniat berhenti. Dengan buru-buru dan tanpa ragu, Caleb melepaskan ikat pinggangnya, suara gesper logam yang berdenting terasa seperti palu menghantam hati Sylus. Matanya melebar, napasnya tersendat, dan ia mencoba meronta lebih keras, tangannya mencakar lengan Caleb sebisanya, tapi cengkeraman Caleb di pergelangannya di atas kepala tetap seperti besi, tak pernah melonggar sedikit pun.

“Kau akan merasakanku,” bisik Caleb. “Aku akan menghapus mereka semua—Zayne, Xavier, Rafayel—sampai hanya aku yang tersisa di dalam dirimu.” Ia mencondongkan tubuh, lututnya menekan paha Sylus agar membuka untuknya. Caleb menggantikan jarinya dengan dirinya yang tegang, mendorong masuk tanpa ampun, tanpa mempedulikan jeritan tertahan Sylus yang pecah di udara.

Air mata mengalir lebih deras, membasahi pipinya. Tapi Caleb tak menghentikan gerakannya, malah mempercepat ritmenya, setiap dorongan terasa seperti upaya untuk menghancurkan apa yang tersisa dari jiwa Sylus. Sylus menjerit, suaranya serak dan penuh keputusasaan, tubuhnya menggelinjang dalam rasa sakit dan pengingkaran yang tak tertahankan. “Jangan… Caleb… tolong…” bisik Sylus, suaranya terputus-putus. 

Tangisan Sylus tak diindahkan, ditelan oleh keheningan apartemen yang menyesakkan, hanya dipecah oleh napas berat Caleb dan derit ritmis sofa di bawah mereka. Rasa sakit itu membakar, nyeri hebat yang memancar dari inti tubuhnya, tetapi yang lebih buruk adalah pengkhianatan—kesadaran bahwa Caleb, satu-satunya orang yang pernah ia percayai sepenuhnya, telah menjadi monster, didorong oleh obsesi yang memutarbalikkan cinta menjadi kepemilikan.

Tubuh Sylus gemetar tak terkendali, pergelangan tangannya masih terjepit di atas kepalanya oleh cengkeraman Caleb yang tak kenal lelah. Kukunya mencakar lengan Caleb, meninggalkan garis-garis tipis darah, tetapi cakaran itu hanya seolah memacu Caleb semakin liar. “Lawan sepuasmu,” geram Caleb. “Itu hanya membuat ini lebih baik.” Tangan bebasnya menjelajahi tubuh Sylus, ujung jemarinya menekan memar yang menghiasi kulit pucatnya, seolah ia bisa menghapus tanda-tanda Zayne, Xavier, dan Rafayel dengan meninggalkan tanda miliknya sendiri.

Pandangan Sylus kabur, air mata membasahi wajahnya, bercampur dengan keringat dan sedikit rasa logam dari bibirnya yang tergigit. Pikirannya berteriak mencari jalan keluar, mencari cara untuk merebut kembali kendali, tetapi tubuhnya mengkhianatinya, melemah oleh kelelahan dan trauma. Setiap desakkan Caleb adalah pelanggaran, pencurian sesuatu yang tak akan pernah bisa Sylus ambil kembali.

“Caleb…” suara Sylus nyaris tak terdengar, serak dan pecah. “Kau bukan menyelamatkanku. Kau menghancurkanku.” Kata-kata itu adalah usaha terakhir yang putus asa, permohonan untuk menjangkau sisa kemanusiaan yang mungkin masih ada pada pria yang dulu ia panggil teman. Sesaat, ritme Caleb tersendat, matanya menyipit seolah kata-kata Sylus mengenai sasaran. Tapi keraguan itu lenyap secepat datangnya, digantikan oleh tatapan dingin dan tegas.

“Menghancurkanmu?” Bibir Caleb melengkung menjadi seringai mengejek, tangannya mengencang di pergelangan Sylus hingga tulangnya terasa nyeri. “Aku sedang membangunmu kembali, Sylus. Mereka yang menghancurkanmu—Zayne dengan kebohongannya, Xavier dengan kekejamannya, Rafayel dengan tipu dayanya. Akulah yang akan membuatmu utuh lagi.” Ia mencondongkan tubuh, bibirnya menyapu telinga Sylus, suaranya merendah menjadi bisikan yang mengerikan. “Dan ketika aku selesai, kau akan berterima kasih padaku.”

Sylus bergidik, tubuhnya menjauh dari kata-kata itu sama seperti dari sentuhan Caleb. Janji dalam suara Caleb bukanlah cinta—itu adalah sumpah dominasi, fantasi menyimpang di mana Sylus akan dibentuk menjadi sesuatu yang hanya ada untuknya. Pikiran itu memicu gelombang mual baru dalam diri Sylus, tetapi ia berpegang pada amarahnya, satu-satunya yang mencegahnya terperosok ke jurang keputusasaan. “Kau menjijikan."

Ekspresi Caleb menggelap. “Jijik?” ulang Caleb, tawanya pecah. “Kau bisa bilang apa saja, Sylus, tapi tubuhmu berkata lain.” Ia menekan tubuhnya lebih dalam, lebih cepat, seolah ingin memaksa reaksi dari tubuh Sylus yang tak bisa ia kendalikan. Sylus menjerit tertahan, tubuhnya hanyut tanpa izinnya, dan untuk sesaat, ia merasa jijik pada dirinya sendiri karena bereaksi.

“Cukup, Caleb!” Sylus memohon, suaranya pecah, tapi Caleb tak mendengar—atau memilih untuk tidak mendengar. Ia terus bergerak, setiap dorongan seperti upaya untuk menghapus setiap jejak Zayne, Xavier, dan Rafayel dari tubuh dan jiwa Sylus. Tangannya yang meremas paha Sylus merangkak ke pinggulnya, mencengkeram dengan kekuatan yang menyakitkan, seolah ingin memastikan Sylus tak bisa melarikan diri, baik secara fisik maupun mental.

Hujaman Caleb semakin tak menentu, napasnya tersengal saat ia mengejar pelepasannya sendiri, tak peduli pada kehancuran yang ia timbulkan. Pikiran Sylus mundur, mencoba melindungi diri dari kenyataan yang terjadi, tetapi tak ada pelarian—bukan dari rasa sakit, bukan dari pelanggaran, bukan dari beban obsesi Caleb yang menghancurkan.

Dan kemudian, dengan erangan parau, Caleb terhenti, tubuhnya bergetar saat mencapai klimaksnya. Sylus merasakan kehangatan di dalam dirinya, tindakan terakhir penghinaan yang membuat perutnya campur aduk. Caleb berlama-lama sejenak, berat tubuhnya menekan tubuh ringkih itu lebih dalam ke sofa, napasnya panas di leher Sylus. Ketika ia akhirnya menarik diri, matanya berkilat seolah ia telah memenangkan pertempuran tak terucap.

Sylus tak bergerak, tubuhnya ruai tak berdaya. Dadanya berguncang dengan napas pendek, setiap tarikan napas adalah sebuah perjuangan. Air mata telah berhenti, bukan karena rasa sakit berkurang, tetapi karena ia tak lagi memiliki apa pun untuk diberikan. Pergelangannya, akhirnya dilepaskan dari cengkeraman Caleb, jatuh lemas ke sisinya, kulitnya penuh bekas memar. “Lihat dirimu,” kata Caleb lebih lembut, nyaris penuh kasih, tetapi sindiran di dalamnya tak bisa disangkal. Ia berjongkok, menurunkan wajahnya sejajar dengan Sylus, dan mengulurkan tangan untuk menyisir sehelai rambut putih dari dahi Sylus yang basah. “Begitu indah, bahkan seperti ini. Jangan khawatir, Sylus. Aku akan menjagamu sekarang. Tak ada yang akan menyentuhmu lagi.”

Ia menyesuaikan pakaiannya dengan sikap acuh tak acuh, seolah kehancuran yang ia timbulkan hanyalah momen biasa. Lalu, tatapannya melembut, tetapi itu adalah kelembutan predator, seperti pemburu yang mengagumi mangsa yang terluka. “Kau kotor,” katanya dengan nada yang membuat kulit Sylus merinding. “Biar aku bersihkan.”

Jantung Sylus tersendat, gelombang panik baru melonjak dalam dirinya. Ia ingin berteriak, mendorong Caleb menjauh, tetapi tubuhnya menolak untuk patuh, anggota tubuhnya berat dan tak responsif. “Tidak,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Jangan sentuh aku.” Tetapi Caleb mengabaikannya, melangkah mendekat dan meraih lengan Sylus, menariknya dari sofa, tak memberi ruang untuk melawan. Kaki Sylus terhuyung, tubuhnya terlalu lemah untuk berdiri sendiri, tetapi rengkuhan Caleb tak kenal ampun, menyeretnya menuju kamar mandi.

“Kau tak bisa tetap seperti ini,” kata Caleb tak terbantahkan. “Aku akan menjagamu, Sylus. Aku akan mencuci bersih tanda-tanda mereka—Zayne, Xavier, Rafayel. Semuanya.” Kata-katanya adalah janji yang dipuntir, seolah tindakan membersihkan bisa menghapus trauma yang baru saja ia timbulkan, seolah itu bisa menulis ulang Sylus menjadi sesuatu yang hanya miliknya.

Kaki telanjang Sylus tersandung di lantai dingin. Pintu kamar mandi berdiri kokoh di depan, dan setiap langkahnya terasa semakin berat. Caleb mendorong pintu hingga terbuka, lampu neon berkedip menyala, memancarkan bayangan tajam di dinding ubin. Ruangan itu terasa steril, klinis, kontras tajam dengan kehangatan yang Caleb coba pura-pura.

“Masuk,” perintah Caleb tegas saat ia mengarahkan Sylus ke arah pancuran. Sylus mencoba menarik diri, pergelangan tangannya yang memar sakit di bawah genggaman Caleb, tetapi kekuatannya telah lenyap, terkuras oleh cobaan itu. “Caleb, berhenti,” ia memohon lirih. “Kau sudah cukup. Tinggalkan aku sendiri.”

Mata Caleb menggelap, tetapi senyumnya tetap ada. “Tinggalkan kau sendiri?” ulangnya, seolah ide itu absurd. “Kau berantakan, Sylus. Lihat dirimu—penuh dengan tanda mereka, bekas mereka. Akulah satu-satunya yang bisa membuatmu bersih lagi.” Ia menyalakan pancuran, air mendesis saat menyembur dari keran, uap naik di ruang kecil itu. Tanpa peringatan, ia mendorong Sylus ke bawah aliran air, air dingin menghantam kulitnya seperti kejutan, membuatnya tersentak.

Sylus mengejang, air es menyengat memar dan kulitnya, tetapi Caleb tak gentar. Ia melangkah masuk ke pancuran dengan pakaian lengkap, air membasahi kemejanya, melekat pada tubuhnya saat ia menekan dirinya ke arah Sylus. “Biar aku bantu,” gumam Caleb, tangannya bergerak ke bahu Sylus, menjepitnya ke dinding ubin. Air itu tak menghapus kenangan buruk, hanya memperkuat perasaan terekspos, terperangkap.

“Caleb, jangan,” bisik Sylus tak terdengar di atas suara air. Tubuhnya gemetar, bukan hanya dari dingin tetapi dari kengerian yang bergolak di perutnya. Tetapi tangan Caleb sudah bergerak, licin oleh air, meluncur di lengan Sylus, lalu ke pinggangnya, posesif dan tak kenal lelah.

“Kau milikku,” kata Caleb, suaranya seperti geraman rendah. “Dan aku akan memastikan kau tahu itu.” Ia mengambil sabun, menggosokkannya di antara tangannya, dan mulai mengusapkannya di dada Sylus, gerakannya lambat dan sengaja, seolah ia mengklaim setiap inci kulit. Perut Sylus bergolak, tubuhnya menegang saat tangan Caleb merayap lebih rendah, sabun menjadi alasan tipis untuk sentuhannya. Air mengalir di atas mereka, rambut putih Sylus menempel ke wajahnya, mengaburkan pandangannya, tetapi ia masih bisa merasakan beban obsesi Caleb, berat seperti uap yang memenuhi ruangan.

“Berhenti,” kata Sylus, tetapi tangan Caleb tak mau berhenti. Mereka bergerak penuh tujuan, menelusuri memar di tubuh Sylus, berlama-lama di tanda-tanda yang ditinggalkan orang lain seolah untuk menimpanya dengan miliknya sendiri. “Kau tak bisa terus melakukan ini,” kata Sylus naik satu oktaf. “Kau bukan menyelamatkanku, Caleb. Kau sama seperti mereka.”

Rahang Caleb menegang, matanya berkilat dengan intensitas berbahaya itu lagi. “Bukan seperti mereka,” bentaknya, tangannya mencengkeram pinggul Sylus, menjepitnya lebih rapat ke dinding. “Mereka memanfaatkanmu. Aku membuatmu milikku.” Air mengalir deras, memperkuat setiap sensasi, membuat Sylus merasa lebih rentan.

Tubuh Sylus bereaksi tanpa kehendaknya, gemetar saat tangan Caleb bergerak lebih rendah, menjamah dan tak kenal ampun. Sabun terlepas dari jari Caleb, terlupakan, saat sentuhannya menjadi lebih agresif, jari-jarinya menggali kulit Sylus, meninggalkan tanda baru untuk menggantikan yang lama. Lutut Sylus tertekuk, tetapi Caleb menahannya, kekuatannya luar biasa. Pancuran, yang dimaksudkan untuk membersihkan, menjadi panggung lain untuk dominasi Caleb, setiap sentuhan adalah pernyataan kepemilikan.

Pikiran Sylus berteriak, jantungnya berdegup kencang. Ia mendorong dada Caleb, tangannya lemah dan gemetar, tetapi Caleb tetap kokoh, tubuhnya seperti dinding panas dan otot di bawah air yang mendidih. “Berhenti,” suaranya parau dengan perlawanan, meski tubuhnya mengkhianatinya dengan reaksi tak disengaja. “Aku bukan milikmu.”

Senyum Caleb dingin, predator. “Kau akan jadi milikku,” katanya saat ia menekan dirinya lebih dekat, air memperkuat setiap sensasi, membuat Sylus merasa lebih terjebak. Ia semakin mendesak, tangan dan tubuhnya mengklaim apa yang Sylus tolak untuk berikan, setiap dorongan adalah pengulangan dari pelanggaran sebelumnya, serangan tanpa henti pada otonomi Sylus.

Kuku Sylus mencakar lengan Caleb, mengeluarkan darah, tetapi itu hanya memicu semangat Caleb. Air membersihkan darah, sabun, air mata, tetapi tak bisa menghapus rasa sakit, pengkhianatan, beban obsesi Caleb yang menyesakkan. Pikiran Sylus mundur lagi, mencari perlindungan dalam bara amarahnya, satu-satunya yang mencegahnya hancur sepenuhnya. Ia tak akan membiarkan Caleb menang. Tidak sepenuhnya.

Dan kemudian, dengan suara parau, Caleb mencapai klimaksnya lagi, air membawa bukti tetapi tidak luka. Ia berlama-lama, napasnya panas di leher Sylus, tangannya masih bertengger di pinggul Sylus seolah untuk menegaskan klaimnya. Ketika ia akhirnya mundur, matanya berkilat gembira, seolah ia percaya telah memenangkan sepotong jiwa Sylus lagi. "Kau bersih sekarang,” katanya lembut tetapi sarat kepemilikan. “Tak ada tanda orang lain di tubuhmu. Hanya milikku.” Kata-kata Caleb menggantung di udara seperti kabut beracun, klaim kepemilikannya adalah cemoohan pahit atas kepedulian yang ia pura-pura tawarkan. 

Sylus merosot ke dinding ubin, air tak lagi mengalir di atasnya tetapi meninggalkan kulitnya lembap dan dingin. Tubuhnya sakit, setiap otot berteriak karena ketegangan akibat serangan tanpa henti Caleb, dan pikirannya terasa seperti cermin yang pecah, memantulkan pecahan-pecahan rasa hina, amarah, dan perlawanan. Ia tak bisa mengumpulkan kekuatan untuk menjawab, suaranya hilang dalam kerawanan tenggorokannya, tetapi matanya membara dengan sumpah diam—ia tak akan pernah menjadi milik Caleb.

Caleb mematikan pancuran, keheningan mendadak memekakkan, memperkuat suara napas Sylus yang tak normal. Ia meraih handuk dari rak, seolah ia bisa menghapus kebrutalan tindakannya dengan perhatian palsunya. “Ayo,” gumamnya, membungkus handuk di sekitar bahu Sylus yang gemetar. Kain itu lembut tetapi terasa seperti amplas di kulitnya. Tangan Caleb berlama-lama, mengarahkan Sylus keluar dari pancuran, mendekapnya sebagai bentuk mendukung sekaligus posesif, memastikan ia tak bisa menciptakan jarak.

Kaki Sylus gemetar, nyaris tak mampu menahan berat tubuhnya. Tetapi Caleb menahannya tetap berdiri, mengarahkannya kembali ke kamar tidur. Udara di sini lebih sejuk, kontras tajam dengan kamar mandi yang penuh uap panas, dan Sylus menggigil saat Caleb mendudukkannya di tepi ranjang. “Kau kedinginan,” kata Caleb. Ia mengobrak-abrik laci di dekatnya, mengeluarkan kemeja longgar berukuran besar dan sepasang celana pendek—pakaian Sylus sendiri, tetapi di tangan Caleb, mereka terasa seperti alat kendali lainnya.

Caleb membungkuk di depan Sylus, mengeringkan kulitnya menggunakan handuk secara lambat dan metodis, seolah ia sedang memoles harta paling berharganya. Sylus mengejang setiap kali disentuh, tubuhnya refleks menjauh, tetapi ia terlalu lelah untuk melawan. Pikirannya berteriak agar ia berontak, mendorong Caleb menjauh, tetapi anggota tubuhnya terasa seperti timah, berat oleh beban yang dipikul. Tangan Caleb menyeka air dan jejak kelicikannya sendiri, seolah ia bisa menghapus bukti kekejamannya sambil meninggalkan tandanya tetap utuh.

“Selesai,” kata Caleb penuh kepuasan saat ia mengeringkan tubuh Sylus sepenuhnya. Ia mengenakan kemeja pada Sylus, mengarahkan lengan lemasnya melalui lengan baju, lalu membantu mengenakan celana. “Jauh lebih baik.” Mata Caleb menjelajahi Sylus, menikmati pemandangan dirinya mengenakan pakaian bersih, hasil dari kerja keras usahanya.

Sylus duduk di sana, tubuhnya kaku, pandangannya terpaku pada lantai. Ia tak bisa memandang Caleb, tak tahan melihat kemenangan di matanya. Setiap serat dalam dirinya ingin meledak, berteriak, merobek kedok kepedulian yang Caleb sembunyikan, tetapi kekuatannya telah lenyap. 

Caleb berdiri, kehadirannya yang menjulang menciptakan bayangan di atas Sylus. “Kau perlu istirahat,” katanya. Ia mengarahkan Sylus untuk berbaring di ranjang, kasur itu lembut tetapi tak menawarkan kenyamanan. Tangan Caleb masih menyentuhnya, mengaturnya seperti boneka. Di sisi lain, Sylus hanya menurut, terlalu lemah untuk melawan, saat Caleb menarik selimut menutupi tubuhnya yang gemetar.

“Tidur jika kau lelah,” gumamnya menyisir sehelai rambut putih yang basah dari dahi Sylus. Sentuhannya sengaja berlama-lama, menelusuri lekuk pipi Sylus. Meski Sylus harus melawan dorongan untuk menjauh, kulitnya merinding di bawah kontak itu. “Aku akan ada di sini,” tambah Caleb.

Mata Sylus berkedip sungkan, kelelahan menariknya seperti pasang, menyeretnya ke ambang ketidaksadaran. Ia tak ingin tidur, tak ingin menurunkan kewaspadaannya, tetapi tubuhnya mengkhianatinya lagi, terlalu lelah untuk menahan godaan kehilangan kesadaran. Napasnya melambat, penglihatannya kabur saat ia berada di ambang tidur, berpegang pada bara lemah tekadnya untuk mencegah dirinya tenggelam sepenuhnya.

Namun tiba-tiba, suara tajam menembus keheningan—bel pintu yang berdering nyaring, memotong udara berat seperti pedang samurai. Mata Sylus terbuka lebar, jantungnya hampir keluar dari dadanya, adrenalin melonjak melalui nadinya. Caleb membeku, tangannya masih bertumpu di pipi Sylus, ekspresinya berubah dari kepuasan yang angkuh menjadi terganggu.

“Siapa itu…” gumam Caleb, matanya menyipit saat ia meluruskan tubuh. Ia menunduk, mendaratkan ciuman sekilas ke dahi Sylus. “Tetap di sini. Aku akan lihat siapa itu.” Ia menarik selimut lebih tinggi, menutupi tubuh Sylus seolah untuk melindunginya—atau menyembunyikannya—sebelum melangkah terpaksa menuju pintu.

Sylus terbaring diam, pikirannya berpacu meski kabut kelelahan menyelimutinya. Bel pintu berbunyi lagi, mendesak, dan secercah sesuatu—harapan, ketakutan, atau keduanya—berkobar di dadanya. Ia menajamkan telinga, napasnya pendek, saat langkah Caleb memudar menuju bagian depan apartemen. Suara pintu yang terbuka sampai ke telinganya, diikuti oleh suara rendah yang familier yang membuat tulang punggungnya merinding.

“Caleb,” kata suara itu bernada yang terlalu dikenal oleh Sylus. Itu Zayne.

Udara di apartemen semakin berat, ketegangan antara Zayne dan Caleb berkobar seperti listrik statis sebelum badai. Sylus terbaring membeku di ranjang, sesaat ia menahan napasnya tanpa sadar. Setiap kata dari lorong memotong kabut kelelahan yang mengancam menariknya ke bawah. Tubuhnya sakit, memar dan mentah akibat serangan Caleb sebelumnya, tetapi suara Zayne—dingin, penuh wibawa, dan nada khasnya—membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Ketakutan, ya, tetapi juga secercah sesuatu yang lain, sesuatu yang berbahaya—percikan harapan, atau mungkin kengerian, bahwa kehadiran Zayne mungkin bisa mengubah dinamika menyesakkan yang telah menjebaknya.

“Sedang apa kau di sini?” Suara Zayne memecah keheningan, tajam dan terkendali, tetapi dengan arus bawah kecurigaan.

Tanggapan Caleb santai, nyaris mengejek, tetapi Sylus bisa mendengar ketegangan di baliknya, permusuhan yang nyaris tak tersembunyi. “Apa aku tidak boleh menjenguk temanku yang katanya sedang tidak enak badan itu?”

“Aku tidak melarangmu,” jawab Zayne “Tapi minggir. Aku di sini untuk mengobati Sylus.”

“Tidak perlu,” sergah Caleb, suaranya meninggi. “Kau pulang saja.”

“Apa katamu?” Kata-kata Zayne lambat, sengaja, setiap suku kata membawa beban yang membuat udara terasa lebih tebal.

“Kau tuli? Aku bilang pulang,” bentak Caleb penuh sikap menantang. Sylus bisa membayangkan bagaimana rahang Caleb menegang, bagaimana mata ungunya berkilat dengan kemarahan posesif.

“Kau memerintahku?” Suara Zayne merendah, nada berbahaya merayap masuk, seperti pedang yang ditarik dari sarungnya.

“Hei, Sylus sudah tidak membutuhkanmu lagi,” kata Caleb, mengkhianati frustrasinya. “Sekarang pulanglah. Dia sedang tidur.”

“Minggir,” kata Zayne tak kenal kompromi, perintah yang tak memberi ruang untuk bantahan.

Caleb mengeluarkan tawa pahit, suaranya menggores saraf Sylus. “Tuhan, kau benar-benar menyebalkan, Zayne. Tidak, kau baiknya pulang sekarang.”

Satu-satunya respons Zayne adalah seringai dingin, kehadirannya memancarkan aura intimidasi yang bisa dirasakan Sylus bahkan dari kamar tidur. “Minggir,” ulang Zayne seperti geraman rendah, setiap kata sarat dengan otoritas. Udara seolah menggaungkan beratnya kehadiran Zayne, janji dingin tentang apa yang mampu ia lakukan jika didesak.

Di lorong, sikap Caleb tak goyah, tubuhnya yang lebar menghalangi ambang pintu seperti penjaga. Suaranya meneteskan racun saat ia berbicara. “Kau pikir kau bisa seenaknya masuk ke sini, Zayne? Kau sudah punya kesempatanmu dengannya. Kau menghancurkannya. Sekarang dia milikku.”

Seringai Zayne tak memudar, tetapi sorot matanya sedingin es. “Milikmu?” Gelak ringan menggema dari bibirnya. “Kau delusional jika berpikir Sylus milik siapa pun—apalagi milikmu.” Ia melangkah maju, memperpendek jarak di antara mereka, kehadirannya menjulang meski Caleb memiliki keunggulan fisik. “Minggir, atau aku akan memaksamu.”

“Kau akan memaksaku? Aku ingin lihat kau mencobanya, dokter.” Kata ‘dokter’ diludahkan seperti hinaan, sarat dengan dendam bertahun-tahun. Tangan Caleb mengepal, buku-buku jarinya memutih, tetapi ia belum mengayunkan tangan—belum.

Napas Sylus tersendat di tenggorokannya, tubuhnya menegang saat ia mendengarkan. Ia ingin bergerak, menyeret dirinya dari ranjang dan campur tangan sebelum ini meningkat lebih jauh, tetapi anggota tubuhnya terasa seperti ditambatkan ke kasur, ditimbun oleh kelelahan dan rasa sakit. Memar di kulitnya berdenyut, pengingat konstan dari penyerangan Caleb sebelumnya, dan kenangan akan manipulasi dingin Zayne membayang sama beratnya. Ia terjebak dalam mimpi buruk di mana setiap pilihan adalah jebakan, dan pikiran menghadapi kedua pria itu sekaligus membuatnya dipenuhi kengerian.

“Kau tak berhak menentukan apa yang Sylus butuhkan,” kata Zayne masih menunjukkan dominasinya. “Kau bukan penyelamatnya, Caleb. Kau hanya lintah lain yang melekat padanya, berpikir kau bisa mengklaim apa yang tak pernah kau perjuangkan.”

Wajah Caleb memelintir dengan amarah, mata ungunya membara. “Perjuangkan? Kau bicara soal memperjuangkannya setelah kau meninggalkannya hancur? Kau tak bisa berlagak pahlawan sekarang, Zayne. Aku yang ada di sini. Aku yang melihat apa yang kau lakukan padanya—apa yang mereka semua lakukan. Dan akulah yang memperbaikinya.” Suaranya sedikit pecah, mengkhianati campuran amarah dan keputusasaan, seolah ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri sama seperti Zayne.

Jantung Sylus berdegup lebih kencang, pikirannya berpacu. Kata-kata Caleb adalah kebenaran yang diputarbalikkan, menggambarkan dirinya sebagai pelindung sambil mengabaikan luka-luka baru yang ditimbulkan. Tapi Zayne, kehadiran Zayne juga bukan suatu penyelamatan. Sylus mengingat bagaimana tatapan dingin Zayne bisa menahannya di tempat, bagaimana kata-kata yang penuh perhitungannya membuatnya tercerai-berai, meninggalkannya mempertanyakan nilai dirinya sendiri. Gagasan Zayne “mengobati” dirinya sekarang terasa seperti melangkah dari satu kandang ke kandang lain.

Lorong itu hening sejenak, udara pekat ancaman tak terucap. Lalu, gerakan tiba-tiba—suara gesekan, bunyi kain bergesek dan erangan pelan. Napas Sylus tersendat, tubuhnya tersentak tegak meski rasa sakit menjalar melalui dirinya. Ia mendorong selimut ke samping, tangannya yang gemetar mencengkeram tepi ranjang saat ia memaksa dirinya duduk. Penglihatannya bergoyang, tetapi ia menajamkan telinga, mendengar suara langkah kaki—satu langkah tegas, yang lain sedikit mundur.

“Cukup main-main,” kata Zayne terdengar lebih dekat ke arah Sylus, seolah ia telah mendorong Caleb melewatinya. “Aku akan menemuinya. Sekarang.”

Suara Caleb menyusul, tegang akan ledakan emosi yang nyaris tak terkendali. “Kau sentuh dia, dan aku akan menghabisimu, Zayne. Aku bersumpah!”

Dada Sylus sesak, nadinya mengaum di telinganya. Ia tak tahu apa yang ia inginkan—apakah Zayne masuk, melihat keadaan yang Caleb tinggalkan, atau Caleb menahannya, mempertahankan ilusi rapuh kendali yang Sylus pegang. Kedua pilihan itu sama buruknya, tetapi percikan perlawanan di dadanya berkobar lebih terang. Ia bukan milik mereka untuk diperebutkan. Ia bukan hadiah untuk diklaim. Ia adalah Sylus, dan ia akan menemukan cara untuk merebut dirinya kembali.

Pintu berderit, dan kepala Sylus menoleh ke arahnya, mata merahnya melebar dengan campuran ketakutan dan tekad. Siluet Zayne memenuhi ambang pintu, tatapan dinginnya berpendar ke seisi ruangan sebelum mendarat pada Sylus. Sesaat, mata mereka bertemu, dan Sylus melihat sesuatu berkedip di ekspresi Zayne—sesuatu yang mungkin adalah kepedulian, atau kasihan, atau sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Di belakangnya, Caleb berdiri tegap, wajahnya memerah amarah, tangannya masih mengepal seolah siap menerjang.

“Sylus,” kata Zayne melunak, tetapi tak kalah memerintah. “Aku di sini.”