Chapter 1: Cheat Code - Sion
Chapter Text
Siapapun nantinya mungkin akan bertanya, itu semua memang kebetulan atau justru takdir yang melakukan. Karena siapa sangka? Siapa sangka.
Malam itu Sion hanya mengunjungi restoran salah satu temannya, sebuah restoran western dengan menu steak yang menawarkan beragam bentuk butter. Baru saja dibuka dua minggu sebelumnya, dan Sion dengan waktu senggang yang seringnya tidak dia miliki, baru memunginkan untuk hadir.
Malam itu, cuaca sedikit dingin, sisa sisa sore hari yang diberkahi hujan lumayan deras. Sion memilih duduk di luar, sedikit memisahkan diri dari meja-meja dekat pintu, tidak terlalu suka disiram asap rokok namun sedang tidak mood untuk berada di dalam ruangan. Dia pun sebenarnya paham kalau dia sedikit mencolok, namun yasudahlah. Bahkan paparazzi yang datang bisa melihat kalau dia hanya memakan steak, mengobrol bersama temannya, kemudian pulang.
Bahkan tidak hanya itu, dia sudah berencana memakai akun instagramnya yang lebih sering dihiasi konten promosi filmnya untuk memberitaukan kegiatannya malam ini.
Nanti, tentu saja. Tidak perlu menambahkan alasan orang-orang untuk mengerubunginya kalau dia memberitaukan dia ada dimana sekarang.
Malam itu seharusnya tidak ada yang istimewa. Setelah makan, Sion menunggu di depan restoran tersebut, menanti valet yang akan datang membawakan mobilnya. Sembari membayangkan kegiatannya besok pagi. Mungkin saja karena terlalu asik dan tidak awas, dia merasakan seseorang menabrak badannya, refleks, Sion meraih tubuh orang tersebut yang tampak sudah akan jatuh—kebetulan menemukan tangannya berada di pinggang orang itu yang bahkan tidak dia perhatikan wajahnya seperti apa; hanya seseorang berambut hitam yang tangannya sekelebat memegang pundaknya untuk menyeimbangkan badannya.
Kemudian Sion mengambilkan kunci mobil sang penabrak dan mengembalikannya. Melambaikan tangan tidak perlu ketika orang tersebut meminta maaf, tepat waktu dengan valet yang membawa mobilnya. Cayenne Hybrid berwarna putih. Membawanya kembali ke apartemen mewahnya di tengah kota.
Tidak menyadari bahwa malam itu akan mengubah hidupnya.
(Orang berambut hitam itu menuju ke mobilnya sendiri, Hyundai Ioniq 5 berwarna hitam, yang membawanya ke salah satu rumah dua lantai yang dia tinggali berdua dengan sepupunya.)
(a two shot bit blurry photo with someone unmistakably Sion looking like he’s comfortably hugging someone, then kneeling like he’s tying that someone’s shoe)
user1op - “Saw Sion last night! Looking cozy with someone? Tapi ganteng banget aslinya arghrghghr”
user2: “SEBENTAR?? ITU PACARNYA??”
user3: “………..Sejak kapan……..”
user4: “OP jangan sebar berita gak jelas kamu bisa dituntut”
user5: “Eh bentar, itu bukannya CM Yushi ya yang sama dia?”
“CM itu apa?” Tanya Sion ke managernya, Jaehee, yang menatap dari balik kacamata bingkai hitamnya.
“Candidate Master, kamu nggak akan ngerti juga sih.” Ujar Jaehee, walau sama sekali tidak mencibir, hanya karena dia tau betul Sion tidak memiliki ketertarikan ke arah sana.
“Ho, sounds smart,” ujar Sion, sembari melihat ke arah layar ponsel yang memperlihatkan foto laki-laki berambut hitam yang tampak serius, “looking very pretty juga.” Lanjutnya lagi.
“Kamu belum jawab pertanyaanku,” ujar Jaehee, memijat kening, “itu siapa? Dan kenal dengannya darimana?”
“Lah udah dijawab,” ujar Sion, “I have zero clue about this person, kemarin dia nabrak aku gak sengaja di restonya Wonbinnie terus aku cuma megang badannya supaya dia gak jatoh dan kita berdua akhirnya jatoh, terus habis itu aku ambilin kuncinya dia yang jatoh pas di deket kakiku. That’s all.”
Mengembalikan ponsel manajernya, Sion mengerucutkan bibirnya sedikit, he’s not a desparate hot-shot looking for a partner, kan. Dia cukup prominent sebagai bintang film yang bonafit, dengan akting yang sudah diakui beberapa penghargaan, dan wajah yang tentu saja jauh dari kata jelek. Kehidupan pribadinya pun lebih seperti kertas polos dengan cipratan tinta kecil dari skandal orang lain, dan tanpa berita berarti yang dia memang sengajakan.
Sion tidak tertarik menjadi bagian dari tabloid dan koran gosip.
Seperti saat ini.
Bermodalkan satu foto dari seorang yang tampaknya bukan paparazzi (sehingga agensinya tidak bisa membeli foto tersebut); dengan timing yang luar biasa tidak masuk akal (Sion memasukan update di storynya bahwa dia benar berada di tempat tersebut); ditambah tidak adanya berita tentang kehidupan pribadinya. Baru kali ini Sion akhirnya merasakan menjadi bulan-bulanan gosip. Atas sesuatu yang tidak ada, pula.
“Bukannya better kita nggak kasih statement apa-apa?” Ujar Sion, matanya melanjutkan membaca salah satu skrip baru yang dibawakan Jaehee untuknya.
“Itu namanya bunuh diri, bisa aja Tokuno Yushi malah memberikan media berita yang memberatkan buat kamu.” Ujar Jaehee, sambil mengetik dengan cepat di komputer jinjingnya. Sion selalu kagum dengan cara Jaehee menyambi antara pekerjaan, mengurusnya, dan bagaimana otaknya selalu seperti berlari 24/7.
“Jadi Candidate Master itu apa?” Ujar Sion, “catur ya? Berapa jauh dari Grandmaster?”
“Iya, catur, Candidate Master itu gelar Master terendah yang diberikan sama federasi internasionalnya; biasanya Candidate Master itu masih muda atau pernah menang di olimpiade catur.” Ujar Jaehee, “kenapa? tertarik kenalan sama Tokuno Yushi?”
“Oh, namanya bagus, otaknya bagus, wajahnya pun bagus. Aku pacarin beneran aja apa?” Ujar Sion, terkekeh.
Sebelum dahinya disentil managernya pelan.
Official Statement From Oh Sion Entertainment - Regarding the rumored relationship between Oh Sion and non-celebrities
“—there are no connection regarding Oh Sion and the man in the photo as it was just a coincidental circumstances and poorly timed photograph in a poorly lit environment.”
Sejujurnya, segera setelah merilis pernyataan tersebut, Sion menaruh hal tersebut jauh-jauh dari apa yang harus dia pikirkan. Biarkan dia kembali ke pesona tanpa ikatannya yang dulu. Terbuka, namun tertutup atas kehidupan pribadinya. Sion yang selalu terlihat tersenyum, namun senyumannya tidak memberikan celah orang lain untuk mengintip apa yang ada di dalam hatinya.
Menaruh nama Tokuno Yushi dalam bagian ‘terlupakan’. Karena sewajarnya mereka tidak akan berjumpa lagi setelahnya.
(Photo of a weird angle of Sion in the same restaurant and Yushi sit very close, clearly taken from far away inside the restaurant, but the poster zoom them in as if they sit very closely—in reality they’re sitting in separate table with Sion and his own friend and Yushi sitting with someone else.)
user5: “Honestly I don’t believe for a second kalau mereka sama sekali nggak ada connection, itu mereka keliatan banget lagi ngobrol gak sih?”
user6: “Bruh, I was there, Sion cuma berdua, itu meja yang beda, udahlah hargai dong Sion sama agensinya udah kasih statement.”
user7: “lol no pic hoax, bi**, ngomong ‘ I was there’ doang mah nenek jumpalitan juga bisa.”
Sion mengrenyitkan matanya ketika Jaehee datang lagi dan memberikan cerita baru dari hubungannya dengan that pretty black hair boy. Setelah selesai membacanya, Sion menaikkan alisnya ke arah sang manager, bingung dia diharapkan bereaksi seperti apa.
“Well, I sent my photos to you, apakah keliatan ada pretty black hair boy di meja gersang itu?” Ujar Sion, mengedikkan bahu.
“Sion, ini tuh PR disaster,” ujar Jaehee, kembali memijat kening, baru kali ini mendapatkan Sion berada dalam keadaan dimana dia menjadi bulan-bulanan gosip. “Kamu sama sekali nggak merasa ini aneh? Apa jangan-jangan kamu diikuti sama Tokuno Yushi ini dan dia mau memeras kamu?
Yang diajak bicara menatap Jaehee lekat-lekat, mulutnya menganga sedikit, sementara alisnya semakin lama semakin turun, pertanda tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Sejak kapan managernya seperti terlibat dalam penulisan naskah makjang drama yang bahkan dia saja agak malas menyentuhnya.
“Kau ngelindur kah? Atau lagi sakit, mungkin?” Tanya Sion, mengembalikan ponsel sang manager, “apa hubungannya, coba. Kalau memang benar iya mencari perhatian, harusnya dari awal berita itu muncul ya dia muncul jugalah mengaku jadi pacarku. Emangnya aku kurang menarik dijadikan pacarkah?”
Menemukan Jaehee yang menatapnya datar, Sion nyengir.
“It is what it is, mungkin memang akupun harus menerima dijadikan bahan gosip, gak usah diapa-apakan lah yang ini, kita udah bikin statement, dan itupun di tempat yang sama. Sepercuma buang garam ke lautan, tau gak.” Ujar Sion, tenang.
Percaya diri bahwa semua kegaduhan ini segera akan berakhir.
—Yang ternyata tidak dibarengi kepercayaan diri manager dan agensinya, melihat tidak sampai tiga hari setelahnya, dia dihadapkan dengan laki-laki yang sama yang sebelumnya menghias layar ponselnya, ketika dia mencoba mencari tau identitas orang tersebut. Yang tidak dia kira, bahwa dalam jarak sedekat ini, Tokuno Yushi is a very good looking guy. Dengan perpetual a bit pouty mouth, with lovely melancholy eyes, dan keseluruhan wajah yang tampak dipahat dengan begitu presisi.
Memang kepercayaan dirinya juga tidak dibarengi dengan kenyataan bahwa gaung tentangnya dan Yushi, yang sekali lagi, sebelumnya tidak pernah bertemu, sama sekali tidak berkurang. Komposisi gabungan antara kehidupan pribadinya yang memang non-existent, dan bahwa orang yang digosipkan dengannya diselimuti dengan banyak hal misterius. Banyak spekulasi spekulasi lucu yang menurut Sion sangat tidak masuk akal. Misalnya kalau Tokuno Yushi berkenalan dengannya sekitar tiga tahun yang lalu, dimana Sion dan Yushi ternyata berada di sebuah pesta pernikahan yang sama, dan mereka sudah menjalin hubungan selama dua tahun terakhir.
Gundulmu. Bahkan di pesta tersebut, Sion datang hanya lima menit untuk menyalami pasangan berbahagia yang seorang kenalan sutradara film yang sedang dia lakoni, dimana dia diundang karena sutradaranya yang sedang dalam perjalanan di van yang sama dengannya. Mana dia tau ada yang namanya Tokuno Yushi disana. Boro-boro berkenalan. Lalu darimana pula datangnya rumor dua tahun itu. Ada-ada saja akal-akalan orang butuh gosip.
Dia dan Yushi sedang berhadap-hadapan, di salah satu ruang pertemuan yang ada di agensinya. Berdua saja. Sion juga tidak mengerti apa yang diharapkan dari agensinya dengan melakukan ini. Jaehee bilang agar mereka benar-benar bisa berkenalan, tapi kan justru mereka tidak harus berkenalan. Itu intinya. Mereka tidak harus bersinggungan.
Sion jauh lebih memilih melindungi batas pribadinya sendiri.
Tapi sudah lima menit berlalu tanpa ada yang bicara.
“Apa kita akan tatap-tatapan saja seperti ini?” Tanya Sion, akhirnya. Tidak tahan dengan keheningan.
“Memang mau bicarakan apa?” Ujar Yushi, mengedikkan bahu, “Agensi anda yang mengundang saya ke sini, bahkan tanpa menjelaskan apapun. Saya ke sini tidak ada ekspektasi apapun.”
“Well, mungkin bisa dimulai dengan, perasaannya Tuan Tokuno Yushi terlibat dengan ini semua.” Ujar Sion, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, “atau mungkin juga, aku yang harus mulai dengan minta maaf. Maaf karena bertabrakan denganku, jadi membawa ini semua lari kemana-mana.” Lanjutnya meringis.
Mungkin hanya perasaannya saja, tapi mata Yushi yang awalnya tampak terlihat keras, sedikit melembut.
“Ah, harusnya aku yang minta maaf duluan karena menabrak Tuan Oh Sion,” ujar Yushi, “sungguh tidak sengaja, sepupuku mengagetkanku dan malah membuatku tersandung dan menabrakmu. Tapi sejujurnya, tempat segelap itu, aku sama sekali tidak mengenali wajahmu. Jadi semoga nggak ada pemikiran aku melakukannya dengan sengaja.” Lanjut Yushi, kalimat terakhir terdengar pahit. Sion tertawa.
“Tentu saja enggak,” ujar Sion, “I guess that’s also the thing ya, maaf ya, mungkin statement terakhir memang belum cukup untuk menyatakan itu semua cuma nggak sengaja yang sangat nggak banget timingnya.”
Tidak terucap tapi terdengar juga bahwa Sion percaya kalau Yushi benar sengaja, dari hari pertama itu semua terdengar, sudah tentu memanjat tangga popularitas Sion adalah hal pertama yang dia lakukan. Tapi Yushi tidak ada di sosial media, dia sudah cek. Hanya kontak terbatas yang memasang namanya sebagai salah satu penerjemah tersumpah di salah satu perusahaan penjual jasa terkait.
Ini semua semakin terdengar konyol.
“Oh ya, omong-omong, tunggu sebentar ya, aku nggak tau apa yang mereka inginkan. Mungkin sembari menunggu, kita bisa mengobrol?” Seloroh Sion, yang dijawab pemuda di depannya dengan memiringkan kepala.
A cat. Yushi terlihat seperti kucing. Yang menatap dunia tanpa minat dan cakar yang siap menyerang. Tadi, sih. Sekarang Yushi terlihat seperti kucing yang tampak berpikir menyerang hanya akan membuang-buang waktunya.
Lucu.
Belum sempat melanjutkan obrolan mereka, beberapa orang agensinya—dan Jaehee—masuk dan mulai memperkenalkan diri kepada Yushi. Dia mengenali PR managernya dan beberapa orang marketing. Semakin lama membuatnya semakin mengrenyit. Terlebih ketika mereka mulai membuka mulut untuk menawarkan bahwa Yushi dan Sion mengambil kesempatan berita mereka yang trafficnya masih sangat tinggi untuk diberikan perhatian lebih.
Singkatnya; berpura-pura kalau mereka memang benar-benar kenal, dan mereka memang menjalin hubungan. Hubungan apa saja, walau sangat di encourage untuk menyatakan bahwa mereka menjalin hubungan romantis, sehingga statement yang sebelumnya mereka katakan bisa direvisi dengan alasan mereka tidak mau membuat kegaduhan dan hubungan mereka masih cukup baru untuk diberitaukan ke dunia—Sion tidak habis pikir.
Melihat ke arah Yushi, Sion di dalam hati tersenyum. Kalau tadi dia merasa Yushi sudah retracting his claw, sekarang tampak cakarnya terlihat siap menerkam. Yushi menatap timnya seperti dia berada di status yang lebih tinggi dari semua orang. Dengan dagu yang sedikit terangkat angkuh dan mata yang tampak berkilat dalam kemarahan.
Belum selesai tim agensinya berbicara, Yushi berdiri. Kemudian mengambil barangnya—satu slingbag hitam dan ponselnya yang ditaruh terbalik di atas meja. Lalu berdehem keras. Menghentikan presentasi yang sedang berjalan.
“Saya tidak akan mendengar lebih dari ini.” Ujar Yushi, membungkukkan badan sedikit, “there will be no statement, no nothing from my side. Saya dan Tuan Oh Sion bisa melanjutkan hidup masing-masing tanpa perlu berpura-pura atas apapun. Terimakasih.” Lanjutnya.
Kemudian berhenti sebelum sampai di depan pintu.
“Seharusnya tidak perlu repot-repot menghubungi saya.”
Mungkin, mungkin, walau baru kali ini Sion bertemu dengan laki-laki itu, Sion sedikit banyak cukup kagum pada bagaimana rasa dingin meresap dalam kalimatnya yang begitu sopan.
Ketika akhirnya Yushi keluar ruangan, meninggalkan Sion dan teamnya; Sion tertawa terbahak-bahak.
“Oh dear oh dear,” ujarnya, menyeka air mata, “this is what you guys got for having such idea without consulting me first about it.” Katanya lagi, “minimal ya, sekongkol dulu lah kita.” Ujarnya, kemudian berdiri, mengakhiri pertemuan ini.
Sion tidak menyalahkan Yushi, bahkan manager dan teamnya, alih-alih bertanya pada Yushi akan apa yang terjadi di sisinya, benar-benar hanya berpikir dalam kapasitas celah PR. Imagenya yang tanpa cela. Sion menggelengkan kepala, tidak menyangka. Mungkin dia harus mengevaluasi teamnya dalam waktu dekat.
‘You think that’s a good PR Move?’ - You
‘Well, bukan aku yang buat strateginya!’ - Jaehee
‘That’s a stupid one still, kalau sempat kasih tau ke aku, I’ll give the biggest laugh ever known to mankind.’ - You
Memasukkan ponselnya ke saku celana, Sion menuju ke parkiran tempat mobilnya berada. Untungnya dia sedang tidak berafiliasi dengan proyek apapun, beberapa minggu belakangan. Proyek terbarunya baru akan diumumkan dua bulan lagi, dan read through baru akan dilakukan satu bulan setelahnya. Periode ini adalah masa-masa tenangnya, tapi dia tidak menyangka dia akan menghadapinya dengan menjadi sasaran media.
Karirnya memang belum selama itu, baru menginjak satu windu tiga bulan yang lalu, tapi tetap saja, delapan tahun adalah waktu yang lumayan lama untuk memiliki image yang cukup bersih.
Mengerjapkan mata, ketika dia berada di ujung tangga menuju tempat parkir gedung agensinya, dia berhadapan kembali dengan Yushi. Laki-laki di hadapannya terlihat mengunyah sesuatu.
“Mau?” Ujar Yushi, menyodorkan bungkus plastik ke arah Sion, “enak lho, sweet potato.” Lanjutnya lagi.
“Kenapa masih disini?” Ujar Sion, sambil mengambil satu stik panjang di dalam plastik tersebut.
“Nggak tau juga, sebenernya.” Jawab Yushi, nyengir; senyuman pertamanya ke arah Sion, “feels like your team kinda interrupting something.” Lanjutnya lagi, “and the fact that we’re yet to introduce ourselves properly?”
“Ha?”
“Sepupuku tadi bilang, setidaknya aku perlu memperkenalkan diri. Jadi, halo Oh Sion. Aku Tokuno Yushi. Hobiku bermain catur sampai pusing, dan aku senang belajar bahasa asing.” Ujar Yushi, membungkukkan badan sedikit. “I’d offer my hand, tapi tanganku kotor.”
“Oh, hah? Oke? Aku Oh Sion, aktor. Nggak punya hobi? Kayaknya.” Balasnya, ikut membungkukkan badan.
“Oke, sudah. Nanti aku akan kasih tau Riku. Selamat tinggal, Oh Sion.” Ujar Yushi, membalikkan badan.
“Hei! Bolehkah setidaknya aku punya kontakmu?” Ujar Sion, sebelum Yushi benar-benar menjauh.
“…Buat apa?” Ujar Yushi, matanya menyelidik, “tadi kan aku sudah bilang baiknya kita berjalan masing-masing saja dengan hidup masing-masing. Nggak perlu dilanjutkan lebih jauh. Kan?” Lanjutnya lagi, walau kali ini dihiasi dengan senyuman yang terlihat begitu manis di mata Sion.
“Kalau memang aku disuruh berteman dengan Sion, nanti semesta akan memberitau. Dan kalau memang nggak boleh, berarti semesta tidak dukung.” Ujar Yushi lagi, terkekeh. Kemudian melambaikan tangan.
Sion berdiri di tempat parkir, bingung dengan apa yang barusan dia alami.
Di tangannya masih tersisa setengah potong snack yang dia ambil dari Yushi, namun percakapan barusan seperti datang dari planet lain. Aneh sekali.
Chapter 2: P.O.V - Yushi
Notes:
this is the very first time I'm trying dual pov lol. Hopefully it works? And not confusing? Also it's kinda short, just need them to tie in for the next chapter.
Chapter Text
Yushi menatap layar ponsel yang diberikan Riku ke depannya. Mengrenyitkan alisnya sedikit, kemudian menatap balik mata yang mengamati. Ekspresi sepupunya seperti tidak bisa memutuskan apakah yang barusan dia baca adalah hal yang benar-benar terjadi atau hanya sebuah lawakan tingkat tinggi yang entah bagaimana melibatkan kakaknya.
Maniak catur yang sedang meniti jalannya ke arah Grandmaster; Candidate Master Tokuno Yushi merupakan satu dari sedikit chess Masters yang berasal dari Jepang yang lebih terkenal dengan ‘Go’ daripada catur. Sama sekali tidak pernah ada dalam otaknya untuk menjadi hal lain selain akhirnya meraih Grandmaster, entah kapan. Eh yah, mungkin menjadi ahli beberapa bahasa. Tapi itu berhubungan dengan pekerjaannya, bukan ambisinya.
“Itu siapa?” Ujar Yushi, malahan.
Riku menatapnya dengan mata membelalak, kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Iya ya, mana mungkin kamu kenal,” ujar Riku, menyeka airmatanya, “kecuali mereka Grandmaster, seorang Tokuno Yushi mana peduli.”
“Jadi?” Ujar Yushi, kembali ke layar laptopnya, “itu siapa? Terkenal?” Lanjutnya.
“Dia aktor, beberapa filmnya kita pernah nonton bareng lah,” ujar Riku, “walaupun kamu tidur ditengah-tengahnya sih.”
“Oh.” Jawab Yushi. Kentara tidak tertarik.
“Udah? Oh aja?” Ujar Riku, dengan nada masih ingin tertawa. “Kamu digosipin jadi pacarnya dia loh?”
“Kan kamu ada disitu, are we looking like we’re in a relationship?” Balas Yushi sekenanya.
Malam itu, Yushi berhasil mencuri point dengan upset win dari seorang FIDE Master yang membuatnya mengajak Riku untuk makan malam di salah satu restoran yang baru buka. Yushi senang merayakan dengan makan enak, dan Riku tidak pernah menolak makanan gratis, tentu saja. Mereka memutuskan duduk di luar, karena di dalam sudah agak penuh dan Yushi tidak pernah suka berada di tempat dimana suaranya tidak bisa dia dengar.
Sejujurnya, Yushi bukan orang yang memperhatikan sekitar, apalagi ketika ada makanan yang menjadi buffer dunia dan dirinya. Lagipula berbincang dengan Riku, yang mengetahuinya lebih daripada dirinya sendiri terkadang, sudah lebih dari cukup untuk kuota sosialnya.
Malam itu, tidak ada yang terlalu istimewa. Makanannya enak, dan companionnya menyenangkan, hanya ketika akhirnya mereka memutuskan untuk pulang, Riku meminta Yushi menunggunya sebentar untuk ke kamar kecil, lalu karena Yushi memang tidak terlalu memberikan perhatian ke sekitar, malah dikagetkan oleh Riku ketika dia berjalan ke luar restoran hingga menabrak seseorang yang sedang menunggu.
Yushi tidak pernah punya permasalahan keseimbangan, tapi namanya juga tabrakan tidak sengaja, dan tentu saja dia tidak bisa memutuskan refleks seperti apa yang diberikan orang lain. Sentuhan sekilas di pinggang, dan tangannya yang tidak sengaja meraih pundak; lalu dengan baik hati, sudahlah ditabrak, orang tersebut juga membantu Yushi mengambilkan kunci mobil yang jatuh karena insiden kecil mereka.
Pun yah, Yushi tidak bisa minta maaf lebih lanjut karena sang penolong sudah langsung memasuki mobilnya sendiri.
Sepanjang perjalanan pulang, Yushi mengomeli Riku untuk kejadian tersebut. Namun keesokan harinya, tentu saja sudah terlupakan.
Sebelum kemudian kira-kira lima hari setelahnya, Riku menyodorkan ponselnya untuk memperlihatkan satu post yang memperlihatkan wajahnya. Tampak dalam pose dengan intimasi luar biasa dengan orang yang bahkan sudah dia tidak ingat lagi bentuknya seperti apa.
“Ya enggaklah, tapi lucu banget aja,” sahut Riku sekenanya. “no one asking you about this?” Ujar Riku.
Dipikir lagi, beberapa kolega kerjanya memang terlihat lebih lekat mengamatinya beberapa hari belakangan ini. Yushi tidak peduli, dan dia tidak bertanya. Lagipula dia tidak memiliki sosial media, dan hanya berkutat dengan diagram catur sepanjang saat dia tidak bekerja. Mungkin koleganya juga tau dia tidak terlalu peduli.
Yang mungkin berpotensi menyebalkan namun tidak terlalu dia indahkan, memang belakangan ini setiap dia keluar rumah—yang jarang terjadi, mengingat dia delapanpuluhpersen bekerja dari rumah dan hanya keluar apabila ada pertandingan FIDE graded, yang pun tidak sering diadakan—selalu terasa ada yang mengikutinya. Entah benar-benar mengikuti secara fisik, atau kamera kamera berbagai jenis yang seperti menguntitnya beraktifitas.
Mungkin tidak seharusnya dia masa bodoh.
Tapi itulah. Dia tidak pernah terlalu peduli.
“Oh, oh, pas banget ini agensinya rilis official statement,” Ujar Riku terkekeh, “—the man in the photo as it was just a coincidental circumstances and poorly timed photograph in a poorly lit environment.” lanjut sepupunya membacakan untuk Yushi yang mendengarkan dengan setengah hati.
“Kan emang iya.” Jawab Yushi.
“Taruhan pasti nggak cuma sampe sini aja ini,” lanjut sepupunya, “traktir aku steak lagi kalau ternyata skandal kamu sama Oh Sion yang antara ada dan tiada ini masih berlanjut.”
“Lah? Kok malah jadi aku?” Ujar Yushi, setengah tidak terima.
“Soalnya kan kamu juga pasti nggak mau ngapa-ngapain, yes?” Jawab Riku, mengelus pelan rambut sang sepupu yang sedikit lebih muda daripadanya.
“Terserah.” Ujar Yushi, “sana hush jangan ganggu ini final Blitz chess baru mulai.”
In hindsight, mungkin Yushi harusnya memberikan lebih banyak perhatian tentang gosip yang melibatkannya. Dia tidak menyangka bahkan ketika dia berada di ruang publik, dia bisa merasakan dengan kentara bagaimana orang-orang memandangnya seperti dia melakukan suatu tindak kriminal. Padahal dia hanya sedang berdiri di salah satu rak di pusat perbelanjaan, melakukan agenda belanja rutinnya. Namun dia perlahan menyadari kalau orang-orang di sekitarnya bertambah semakin banyak.
Awalnya dia tidak memperhatikan, sebuah kelebihan dari ketidakpedulian.
Namun lama kelamaan, tidak lagi bisa diberikan label sebuah kebetulan. Belum lagi banyaknya kamera yang terarah kepadanya. Seperti berada di ruangan yang semakin lama semakin menghimpit dan membatasinya bernapas. Sebelum benar-benar terjadi, dia mengabaikan separuh daftar belanjanya, membayar semua yang dia bawa, dan segera pergi dari situ.
Yushi tidak pernah merasa nyaman di tempat ramai, tapi yang barusan terjadi bahkan sejujurnya tidak terpikir akan pernah dia alami. Dia sedang mengatur napasnya di dalam mobil, masih dikelilingi berbagai bentuk bungkusan belanjaannya, duduk di bangku belakang dalam usahanya menyembunyikan diri—dia akan menggelapkan semua bentuk kaca dan jendela di mobilnya besok—ketika dia merasakan ponselnya bergetar.
Biasanya, Yushi selalu otomatis mematikan telepon dari nomor yang tidak dia kenali, namun entah kenapa, dia mengangkat yang ini.
—yang ternyata dari seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai Jaehee.
Welp.
[Sebuah foto Sion dan Yushi yang terlihat mengobrol dekat di tempat parkir. Tampaknya diambil dari lantai yang sama dengan jarak yang agak jauh.]
[Rekaman suara “Kenapa masih disini?” —kentara suara Sion, dan “tadi kan aku sudah bilang baiknya kita berjalan masing-masing saja dengan hidup masing-masing. Nggak perlu dilanjutkan lebih jauh. Kan?” —suara Yushi, tersebar di beberapa outlet media.]
user08: “Yah jadi putus?”
user09: “Tuhkan udah pasti mereka sebelumnya pacaran, terus karena ketauan dan skandal jadi putus. Itu tuh tempat parkir agensinya Sion aku pernah ke sana soalnya.”
➡️user10: ”Ssg ya kak wkwkwk”
user11: “Padahal mereka cocok loh, Sion looking very soft di foto mereka pelukan kemarin huhu.”
user12: “Iyaa, Yushi juga cakep bangett, kemarin aku liat dia lagi belanja, bahkan diem aja ekspresinya so pretty.”
‘Masih berpikir yang kemarin bad PR move??’ - Jaehee
—read—
Chapter 3: Videohood - Sion
Summary:
“You firestar. Pool of moonburst.
You turned my skin to dust.”― Jeanann Verlee, Said the Manic to the Muse
Notes:
I'm having fun, lol.
Chapter Text
—short videos hosting site—
- “Analisis body language Sion & Yushi, comparison ketika mereka di restoran & ketika mereka di tempat parkir”
- (Scroll)
 
 - “Siapa sih Tokuno Yushi itu? Apa itu Candidate Master?”
- (Scroll)
 
 - “Rumored Oh Sion’s next project! Terancam batal?”
- (Scroll)
 
 - “Chess move, analyzing Tokuno Yushi last chess match! Big surprise upset win!”
- (Scroll)
 
 - “FIDE and how it differs with other International Chess Federation”
 
Sion setengah melamun, kembali lagi di ruangan yang sama dengan presentasi ide yang sama yang sempat dia tertawakan, dikemas ulang memang, tapi intinya tetap sama. Di dalam ruangan itu ada Yushi, dan sepupunya. Riku, tadi dia dikenalkan. Berada di sini sebagai agen dadakan Yushi. Setidaknya ide dengan kemasan baru ini sempat dia lihat dulu sebelum diperlihatkan kepada Yushi.
—yang menatap presentasi tersebut tanpa minat. Jemarinya dia ketukan pelan di meja. Mulutnya mengerucut (lucu). Tampak enggan sama sekali berada di tempat ini. Tapi setidaknya dia terlihat menyadari kalau meledaknya berita mereka kali ini juga ada tanggung jawabnya. Yang tidak mencoba memikirkan resiko pembicaraan yang akan terjadi di tempat parkir.
Jujur saja, awalnya Sion hanya ingin menutup mulut dan meneruskan kehidupan; tapi Jaehee dan dia sempat berdebat akan terlihat seperti apa dia di hadapan fans-fansnya yang bersikeras mendukungnya.
Fake relationship.
Terdengar lucu, sebenarnya. Sion tentu saja pernah dengar hal tersebut terjadi di beberapa koleganya, tapi aneh sekali rasanya menjadi pelaku dan korban dalam hal ini. Lebih lagi karena lawan main aktingnya kali ini adalah orang yang sama sekali tidak terlihat ingin terlibat dalam lampu sorot jenis apapun—setidaknya tidak tanpa tameng papan catur dan bidaknya.
Setelah presentasi tersebut selesai;
- They’ll announce that they are indeed in a relationship—but it’s really only a talking and sporadic dating stage. Not official; yet.
 - The restaurant photo was actually their first date, hence why the announcement.
 - The news did indeed put a damper to their plan—long term relationship, that make it a bit shaky, tapi mereka sudah mengobrol dan memutuskan untuk melanjutkan that talking-dating stage a bit longer and thus decide to open them to public. It already public consumption anyway.
 - Mereka kenalan memang tiga tahun yang lalu (Sion dan Yushi sama-sama bertatapan tidak setuju) tapi baru memulai talking stage 6 bulan lalu. Sion yang sibuk dan Yushi yang sering ke luar negeri mencari FIDE graded competition membuat mereka baru bisa first date tiga bulan setelahnya.
 - Mereka kenalan difasilitasi oleh sepupu Yushi dan manager Sion, mutual connection—Sion mengangkat alis mendengar ini, Jaehee terlihat bungkam.
 - This will be on written contract for 6 months, and will assess the situation after.
 - That’s all. For now.
 
“Now, apakah aku boleh minta your chat detail?” Ujar Sion, nyengir.
“Riku sama Jaehee beneran sudah kenal sebelumnya?” Tanya Yushi, malahan. Terlihat penasaran. Sepupunya dan manager Sion keluar dari ruangan dengan kedok memberikan mereka waktu untuk mengobrol. Sion tidak tau poin mana yang membuat mereka berpikir begitu.
“Nggak tau juga, tapi kalau iya aneh banget.” Ujar Sion, “kamu nggak apa-apa dengan perjanjian ini?”
Yang ditanya hanya mengedikkan bahunya, kemudian menyodorkan ponselnya ke arah Sion.
“Masukan aja,” ujarnya, “your chat detail.” Lanjut Yushi, dengan nada datar.
Mengawasi gerak-gerik dan melihat ekpresi Yushi, Sion tersenyum kecil. Laki-laki berambut hitam itu terlihat datar, tapi ekspresinya menggemaskan. Kadang kalau Yushi sedang terlihat mempertimbangkan sesuatu, alisnya bertaut sedikit. Lalu kalau dia tidak suka, kerutan di sekitar hidungnya mendadak muncul. Seperti kucing yang siap berteriak karena tidak diberikan perhatian.
Namun Sion masih mengingat tawa renyah dan senyum separuhnya.
Gawat.
“Should we grab some dinner together, then, Yushi?” Kata Sion kemudian, mengembalikan ponselnya ke arah lawan bicara. Mendapati Yushi menatapnya lekat-lekat. Seperti melakukan penilaian.
“Kamu terlihat sangat free mengingat pekerjaanmu adalah artis.” Ujar Yushi—Sion seperti melihat kucing yang mengelilinginya, meminta jawaban dengan dagu sedikit terangkat.
“Well, ini berkaitan dengan imageku dan pekerjaanku,” ujar Sion, mengedikkan bahu, ”proyek aktingku baru akan diumumkan beberapa minggu ke depan dan rangkaian shootingnya akan mulai satu bulan setelah pengumuman.” Lanjutnya jujur.
“Hoo…” Balas Yushi, Sion bisa merasakan sedikit canggung dari nadanya, kemudian Sion tertawa.
“Kenapa? Khawatir denganku?” Tanyanya, “nggak perlu, shootingnya nggak lama kok, paling tiga sampai empat bulan.”
“Nggak juga sih, tapi yang begitu kan biasanya panjang dan melelahkan.” Ujar Yushi, menatap dengan penasaran. Lucu.
“Well. Kalau kamu penasaran, kapan-kapan ikut saja, after we announce the news, kamu bisa ikut aku kalau kamu mau.” Ujar Sion terus terang, “mungkin aku juga bisa ikut kamu pertandingan catur.” Lanjutnya, “cukup penasaran soalnya, seperti apa sih di tempat penuh dengan orang pintar begitu.”
Mendengar itu, Yushi menatapnya lembut. Lalu dia tersenyum kecil. Seperti ada sesuatu yang membuatnya begitu senang.
“Kalau benar ingin tau, boleh. Bulan depan akan ada turnamen Grand Swiss, tapi di Samarkand. Itu sekitar sepuluh hari sih, dan mungkin aku juga nggak akan menang banyak match, tapi karena nggak ada eliminasi aku akan disana selama sepuluh hari penuh; kalau mau ikut aku bisa aja.” Ujar Yushi, menggaruk belakang kepalanya.
Canggung.
Sion tersenyum.
“Nanti aku cek dengan Jaehee ya, tapi harusnya bisa kok.” Jawab Sion, “omong-omong, nama lombanya Grand Swiss, tapi diadakannya di Samarkand?” Ujarnya lagi, “itu bukannya di Uzbekistan ya?”
“…kamu beneran mau tau atau ini cuma basa-basi aja? Soalnya ini bakalan panjang banget penjelasannya.” Ujar Yushi, mendekatkan dirinya ke arah Sion. Terlihat menahan diri untuk bercerita lebih banyak.
Yang ditanya memiringkan kepalanya sedikit, menurut Riku—Sion berbincang sedikit dengannya, Yushi tidak punya terlalu banyak orang yang mengobrol dengannya tentang catur. Dia bukan seorang prodigy, dan orangtuanya tidak sepenuhnya mendukung keinginannya untuk bermain catur sebagai karir, tapi Yushi menyukainya.
“Sure, aku mau tau semua tentang kamu kalau diperbolehkan.” Ujar Sion.
Yushi menatapnya, entah bagaimana, matanya menjadi jauh lebih lembut. Sebelum menjelaskan bahwa nama turnamennya diambil dari sistem turnamen walaupun memang diberi nama karena pertama kali dilakukan di Switzerland tahun 1890an. Sion menatap Yushi lekat-lekat. Di pertemuan kedua mereka—dia tidak akan menghitung tabrakan mereka sebagai pertemuan pertama—Sion mengakui tidak terlalu keberatan kalau misalnya apa yang nanti diumumkan dari Agensinya ternyata ada benarnya.
Pembicaraan mereka berlanjut hingga ke makan malam. Agensi mereka memutuskan untuk membiarkan mereka makan malam ditempat yang relatif dapat dijangkau dan tidak sepenuhnya discreet. Selain untuk memberikan spark baru di rumor hubungan mereka, juga supaya menjaga agar beritanya tetap relevan untuk mereka bisa memberikan pernyataan resmi. Sion tidak suka. Tapi tidak merasa benar-benar ingin menyanggah.
Walau Yushi memang adalah orang yang cenderung pendiam, dia bercerita dengan lincah. Yushi juga adalah seorang pendengar yang baik. Mendapatkan kalau pendapat yang diberikan oleh Yushi selaras dengan pemikirannya atas cukup banyak hal. Tidak menyangka, sebenarnya. Karena kalau dilihat sekilas, tidak ada yang bisa menebak mereka banyak setuju di beberapa hal yang mungkin menyerempet kontroversial.
Bahkan selera makanan mereka pun mirip. Sampai ke selera makannya.
“Kapan-kapan kita ke restoran kemarin lagi yuk,” ujar Sion, menyenderkan wajahnya ke tangan, menatap lekat wajah lawan bicara. Dia bisa merasakan adanya kamera yang mengarah ke meja mereka. Tapi walau menyebalkan, Sion berusaha memusatkan perhatian pada Yushi di hadapannya. Dengan wajah yang sedikit lebih tertutup dari ketika mereka di ruang pertemuan agensinya, tapi toh Sion sudah mendengarkan bagaimana Yushi yang bersemangat berbicara.
“Asik ditraktir,” ujar Yushi sekenanya, “tapi boleh juga, aku penasaran picanhanya.”
“Wah kemarin aku pesan itu,” sambar Sion, “sayang aku belum kenal sama kamu.”
“Kurang kenceng lho barusan, biar sekalian gitu semua orang dengar.” Ujar Yushi, tertawa kecil, “nanti kontradiktif sama statement agensi kamu.” Lanjutnya lagi, terkekeh.
“Oh ya, aku ada sedikit penasaran.” Ujar Sion, menegakan badan, “tapi kalau kamu nggak mau jawab nggak apa-apa ya.”
Yang akan ditanya menaikan alisnya, ikut membenarkan posisi duduk.
“Serius kah pertanyaannya?”
“Maybe, tergantung jawaban kamu,” ujar Sion, “kenapa ujungnya setuju sama penawaran agensiku? I mean, there’s really minimal monetary compensation, selama beberapa bulan you might be stuck with me tergantung perkembangan, and, well, kamu nggak terlihat kamu suka manusia in general.”
“That’s true, actually,” ujar Yushi, menerima air minum dari pelayan yang datang, memesan soda float, a pretty surprising choice of drink, sebenarnya. “Aku nggak suka manusia in general, kecuali mungkin Riku, tapi Tuan Sion juga nggak terlalu buruk kok.” Lanjutnya, nyengir, “mungkin karena kamu minta maaf duluan pas kita pertama ketemu.” Ujarnya, “Ya kan technically nggak ada yang salah di sini, tapi kamu minta maaf duluan.”
“Hah? Terus apa hubungannya dengan setuju sama penawaran aneh agensiku?”
“Waktu sebelum kita ketemu, setelah keluar statement pertama itu, I’ve got swarmed di supermarket. Jadi waktu Jaehee telepon, aku bertekad akan marah-marah. Berani-beraninya mengusik kehidupanku yang sebenarnya sudah sangat sepi dan sangat menyenangkan. Tapi bahkan kamu minta maaf sebelum kita berkenalan.” Ujar Yushi, gantian menyanggah mukanya dengan tangan, “setelah dipikir lagi, nggak mungkin cuma hidupku aja yang jadi menyebalkan, this might be your whole life, tapi kamu minta maaf duluan.”
Matanya menatap mata Sion, intense, tapi teduh.
“Sebenarnya di tempat parkir itu juga, aku belum minta maaf. Tapi yasudahlah ya?” Lanjutnya kemudian, tertawa kecil. Menaruh minuman pesanan Sion—fragrant fruity americano—di depannya. “Kenapa sih malam-malam malah minum kopi?”
“I’ll ask forgiveness again karena mengganggu berkaitan denganku mengganggu hidup kamu, ya.” Ujar Sion, menawarkan senyuman, “ya karena suka dong. Kamu pesan soda float juga karena suka kan?”
“Tenang aja, biasanya kalau melihat trennya, kalau sudah diberikan konfirmasi, beritanya dan hebohnya akan turun jauh kok. We’re interesting right now because we’re mysterious.” Ujar Yushi, kemudian mengambil pesanan mereka. “Kenapa aku ya yang jadi bilang tenang aja.”
“True, padahal kan harusnya itu kalimat dariku." Ujar Sion, nyengir.
Chapter 4: Steady - Yushi
Summary:
"I hold my hand out to the rain, simply to feel it, wet
and literal. It spills and tumbles in my palm."― Carol Ann Duffy, Bridgewater Hall
Notes:
the blitz game is something that happened lol, check them here! So fun https://www.youtube.com/watch?v=nNziqRLayOM
Chapter Text
Satu minggu kemudian, Yushi berada di sebuah kafe dekat rumahnya ketika dia mendapatkan notifikasi dari aplikasi peramban web di ponselnya tentang Sion—dan by extension, berhubungan juga dengannya. Pernyataan resmi dari agensi Sion tentang hubungan mereka.
Kalimatnya persis seperti yang mereka sepakati. Sion, Yushi, Riku, Jaehee dan team PR agensi Sion duduk bersama selama kurang lebih dua jam. Yushi sejujurnya tidak punya pendapat, dia tidak terlalu peduli apa yang pernyataan tersebut tuliskan dan persepsikan tentangnya. Sementara Sion bersikeras tidak memperbolehkan statement tersebut menyatakan nama Yushi sama sekali; dan bagaimana semua yang dituliskan tidak boleh sampai ada persepsi bahwa Yushi lah yang sengaja melakukan semuanya.
(Di perjalanan pulang, Riku menggodanya habis-habisan.
“Feels like kalian beneran lagi talking stage,” ujarnya, tertawa kecil, “kalau nanti kalian beneran jadian, might as well kasih aku penghargaan karena udah ngagetin kamu waktu itu.”
Yushi menyentil dahi Riku. Pelan kok.)
Official Statement and Update regarding Oh Sion relationship
“—Oh Sion would like to ask for the blessing of his fans over this confirmation—”
Teleponnya berdering. Nama yang beberapa minggu terakhir selalu dia lihat terpampang di ID caller ponselnya.
“Udah baca?” Terdengar suara Sion, hari itu dia ada pemotretan sebuah majalah yang sudah dilakukan sejak pagi. Yushi mengetahui jadwalnya selama satu bulan ke depan, Sion memberitaunya sendiri, walau Yushi tidak tau kenapa dia harus diberitau.
“Statementnya manis banget,” ujar Yushi, tertawa kecil, “what would they said kalau misalnya nanti kita mendadak gak saling kenal?” Lanjutnya, memegang ponselnya di telinga.
“Nanti deh kalau udah sampai ke situ baru kita address beneran,” ujar Sion, ikut tertawa, “walaupun aku sih menolak ya kalau mendadak gak saling kenal.” Lanjutnya lagi, di belakangnya terdengar banyak suara-suara yang lumayan ramai walau tidak mengganggu. “Omong-omong, jadi mau ke apartemenku hari ini?”
“Oke, nanti aku langsung ke sana aja ya,” ujar Yushi, “nggak bawa mobil sih, mobilnya dipinjam Riku, tapi harusnya sejam lagi aku bisa ke sana.”
“Oh kalau satu jam lagi, mau kujemput aja nggak?” Ujar Sion, mendadak suara-suara ramai tadi menghilang, tampaknya sang lawan bicara berpindah tempat. “Jaehee nggak mengantarku hari ini, jadi aku bawa mobil.” Lanjutnya lagi.
“Sure,” balas Yushi ringan, “kesempatan untuk dijemput aktor terkenal, kapan lagi kan?”
Yushi mendengarkan ketika lawan bicaranya tertawa mendengar celetukannya.
“Kirimkan lokasi kamu ya, I’ll take care of it nanti aku kabari kalau aku sudah bisa jemput.” Ujar Sion, kali ini agak terdengar terburu-buru, “meet you soon, Yuyushishi.” Lanjutnya. Kemudian menutup panggilan tanpa Yushi sempat menjawab.
Beberapa menit Yushi memandangi ponselnya setelah panggilan tersebut selesai. Ada sedikit perasaan sedih setelah percakapan mereka berhenti. Rasa-rasanya Yushi tidak keberatan untuk mendengarkan suara Sion lebih lama. Pemuda itu memiliki nada bicara yang ringan dan menyenangkan. Yushi bukan orang yang banyak berbicara, tapi Sion selalu tidak keberatan untuk mengisi keheningan tersebut tanpa Yushi merasa tidak dilibatkan.
Like, how is that fair? To be stupidly attractive and socially adept at the same time? Bfr.
Memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum pikirannya berlari lebih jauh, Yushi mengalihkan pandangannya kembali ke layar laptopnya. Mencoba menenggelamkan pikiran tidak jelas yang muncul di otaknya dengan kembali berkutat dengan lautan huruf yang harus diberikan perhatian. Inginnya sih dia hanya berkutat dengan catur saja sepanjang hidup, tapi untuk sekarang, uang championshipnya belum cukup untuk bertahan hidup.
Jadi yasudah.
Beberapa waktu berlalu, Yushi juga sudah mengirimkan lokasinya ke Sion. Yang diberitau juga sudah memberikan kabar kalau dia sudah dalam perjalanan. Dia sendiri sedang memeriksa ulang pekerjaannya sebelum benar-benar berberes, Sion akan datang kurang lebih dalam 15 menit.
“Yushi kan ya?” Ujar seseorang di dekatnya mendadak mendekat.
Yushi menoleh, refleks setelah mendengar namanya. Di hadapannya ada dua orang perempuan yang tampak malu-malu, tapi tangan mereka mencengkram buku tulis dan pena. Yushi mengrenyit sedikit, tapi mengangguk.
“Iya, ada apa ya?” Ujar Yushi menjawab, dalam hati merutuk, tidak siap dikerubungi sendirian begini.
“Ah, anu, kami fansnya Sion, apakah boleh kalau misalnya kami berfoto dengan Yushi?” Ujar salah satunya, “kami sangat dukung Sion dengan kamu, you’re so very pretty!” Lanjutnya lagi.
Mendengarnya, Yushi mengerjap. Sekali. Dua kali. Kebingungan, karena dia tidak menyangka akan diminta berfoto, sekaligus diberikan pujian seperti itu. He did actually knows he’s pretty, thank you very much; walau nggak tau apakah cukup pretty untuk benar bersama ‘The Oh Sion’.
“Ah, terimakasih banyak, tapi anu—” ujarnya mencoba menjawab.
“Dia bersamaku, maaf ya, Yushi bukan tokoh publik, jadi nggak bisa dimintakan foto.” Ujar seseorang yang mendadak muncul di sebelahnya. Menggapai pundaknya untuk didekatkan dengan tubuh sendiri.
Sion, seperti ksatria berbaju zirah, dengan senyumnya yang selalu lembut terpasang, dan tangan yang memegang pundaknya seperti akan melindunginya dari dunia.
“Tapi kalau kalian mau, boleh foto sama aku, aku nggak se-pretty Yushi sih tapi,” lanjut Sion terkekeh.
Yushi melihat ketika dua orang tersebut dengan antusias mengangguk. Melihat ketika mereka bertiga berfoto bersama dan sedikit membuatnya merasa seperti outsider, tapi kerlingan mata Sion kepadanya membuatnya menyadari, ini salah satu cara Sion melindunginya.
Menerima permintaan maaf dari dua orang perempuan tersebut sebelum mereka akhirnya pergi, Yushi memandangi Sion yang masih nyengir. Aromanya masih menguarkan bau hairspray berlebih, Yushi bahkan bisa melihat kalau Sion masih belum membersihkan make-upnya.
“Nih,” ujar Yushi, memberikan fruity americano yang dia sengaja pesan untuk Sion, berniat memberikannya sebagai imbalan menjemputnya.
Tidak disangka, mata Sion berbinar melihat minuman tersebut. Memberikan kesan kegembiraan yang membuat Yushi bingung. Itu cuma satu gelas kopi.
“Ei, kamu ingat pesananku!” seru Sion, senang, “ahhh, aku belum minum kopi enak seharian ini, kopi yang ada di studio seperti air dikasihkan gula dan setitik kopi, banyakan manisnya daripada kopinya.” Ujarnya, sambil menunggu Yushi membereskan barang-barangnya.
(Yushi merasakan telinganya memanas. Entah kenapa.)
“Sogokan udah bersedia jemput,” ujar Yushi, menggendong tasnya, “dan mengundangku ke apartemenmu.”
“Ohoh, pleasure’s all mine, Yushishiw,” ujar Sion, jenaka. Kemudian mengarahkan mereka ke mobilnya yang terparkir persis di depan kafe. “Kamu mau makan apa? Nanti sekalian aku pesan di perjalanan.”
“Apa aja boleh sih,” jawab Yushi, sekenanya. Dia sudah tau kalau apa yang Sion pilih akan dia sukai.
(Yang dia nggak tau, apa yang harus dia rasakan dengan fakta itu?)
“Oke, nggak boleh protes ya.” Ujar Sion, nyengir sedikit. “Let’s do some classic friend chicken today then.”
“Boleh,” ujarnya, “ini ke apartemenmu mau ngapain sih emang kita?”
“Katanya Riku, kamu belum pernah nonton filmku?” Ujar Sion, sambil menyetir dengan mata yang tidak mengarah ke Yushi.
“….ha?”
“Hahahahah, nggak nggak, aku gak senarsis itu untuk ngajak kamu nonton film isinya mukaku sendiri.” Sanggah Sion, terbahak, “dunno, unwind, main game, atau kamu bisa kasih liat your fave chess competition.”
“Oh serius?” Ujar Yushi, tersenyum lebar, “ada blitzgame Carlsen lawan Nakamura yang suka aku tonton berulang-ulang.”
“They’re good?” Ujar Sion, “tolong jangan di judge, aku gak tau apa-apa tentang catur.”
Giggling, Yushi kemudian menghabiskan waktu perjalanan mereka—dijeda dengan Sion yang mengambil pesanan di salah satu restoran pinggir jalan yang tidak Yushi kenali namanya—dengan menjelaskan tentang siapa itu Magnus Carlsen dan Hikaru Nakamura, dan bagaimana blitz speed chess work.
Sepanjang penjelasannya, Yushi memperhatikan bahwa Sion mendengarkan lekat-lekat. Kadang memberikan pertanyaan. Kadang merespon dengan kekaguman atau bersuara yang memberikan kepastian kalau dia mendengarkan. Yushi tau kalau dia bisa jadi sangat berisik, dalam menjelaskan catur. Riku misalnya, bisa memintanya untuk berhenti sebentar membicarakan tentang catur karena Riku tidak terlalu mengerti. Bless his soul, still, sih. Banyak orang lain yang kelihatan langsung berhenti mendengarkan—maka Yushi berhenti bercerita.
Tapi Sion mendengarkan. Dan Yushi tidak tau bagaimana harus menghadapi kenyataan itu selain terus bercerita.
“Emangnya gak bosen dengerin cerita ini?” Ujar Yushi, ketika akhirnya mereka memasuki suatu komplek apartemen.
“Kenapa bisa bosen?” Ujar Sion, malah balik bertanya, matanya menatap ke arah Yushi seperti ada tanda tanya di atas kepalanya, “kan kamu lagi cerita, sesuatu yang kamu suka? Yang aku pun nggak ngerti dan ingin ngerti.” Lanjutnya, memarkirkan mobilnya kemudian.
“Yah tapi kan kamu nggak suka Catur, Sion.” Ujar Yushi, entah mengapa merasa sedikit kesal.
“Nggak tau bukan berarti nggak suka, aku nggak tau Catur, bukan berarti kalau aku kenalan sama catur aku bakalan nggak suka, kamu juga nggak tau akting, kali aja kalau kamu belajar kamu bakalan suka, kan?” Lanjut lawan bicaranya, menghentikan mobil, sambil menghidupkan lampu dan menatap ke arah Yushi, “mungkin belum tertarik, iya, tapi kan belum tertarik sebenernya juga karena kurang informasinya.” Ujarnya mengedikkan bahu.
Seakan diberikan pencerahan, Yushi terdiam. Kemudian mengikuti Sion mengekor ke dalam apartemennya. Apartemen Sion cukup besar untuk ditinggali hanya seorang diri, Sion juga sempat menjelaskan kalau sebenarnya sampai enam bulan yang lalu, Jaehee tinggal dengannya, sampai kemudian mungkin managernya cukup bosan bertemu dengannya terus, jadi Jaehee akhirnya pindah. Tetap di komplek apartemen yang sama dengan Sion, tapi setidaknya tidak selalu bertemu selama 24 jam.
“Aku sempat curiga dia punya pacar,” ujar Sion terkekeh, “tapi setiap ketemu dia tetap profesional seperti biasanya, jadi mungkin bukan. Mungkin dia cuma bosan denganku.” Lanjutnya.
Entah bagaimana, Yushi mendengar sedikit kesedihan disana.
“Sion juga nggak punya teman ya?” Celetuknya, kemudian melihat Sion yang menatapnya kaget, terlihat tersinggung, “aku juga kok.” Ujar Yushi. “Apa karena itu Sion nggak terlihat bosan dengar aku cerita panjang-panjang?” Lanjutnya lagi, “aku mau kok jadi temanmu walau kamu nggak terlalu suka catur.” Ujarnya, meringis.
Bukannya mendapat jawaban, Sion tertawa. Lama-lama pelan, kemudian terbahak-bahak. Yushi agak khawatir dia akan tersedak. Tapi tidak lama kemudian tawa itu berhenti. Yushi hanya memandang Sion, setengah paham, tapi juga sedikit bingung.
“Oh wow, kamu memang aneh ya,” ujar Sion, “itu benar-benar impresi paling aneh yang kudengar. Tapi ada yang sedikit salah, Yushishi,” lanjutnya, “aku benar-benar ingin tau tentang apa yang kamu suka. Bukan hanya karena ingin berteman denganmu, tapi caramu bercerita sungguh menarik. Lepas dan bikin senang.” Ujarnya, menata makanan mereka di meja depan televisi.
“Kalau gitu gantian dong,” ujar Yushi, menyamankan duduknya, menyandarkan punggung di kursi, “Sion sukanya apa? I’m willing to listen.” Lanjutnya.
“Lho itu dia masalahnya,” jawab Sion, mengambil satu potong ayam, “aku sempat coba banyak hal, tapi nggak ada yang benar-benar aku suka atau jadikan hobi.” Lanjutnya lagi, “aku suka nonton film, tapi itu terlalu dekat dengan pekerjaanku; aku sempat coba memancing, tapi aku nggak tau aku menikmati solitary experiencenya atau memancingnya, karena aku jarang dapat ikan; aku sempat beberapa kali travel sendirian, tapi aku nggak terlalu menikmatinya.” Ujar Sion.
Yushi sekali lagi memperhatikan sedih tidak kentara yang seperti menyelimuti Sion lembut.
“Terus, film kesukaan Sion apa?” Lanjut Yushi. Bersikeras untuk menghilangkan sedih itu, betapapun lembut.
“Biasanya dia nggak suka ngomongin hal lain selain catur. Jadi sabar-sabar saja ya ngobrol sama dia.” - Riku (Yushi’s cousin)
(Malam itu, Sion merasa Riku membohonginya.)
Chapter 5: Dunk Shot - Sion
Summary:
"Friend, I want to be the mirror that reminds you to love yourself.
I want to be the air in your lungs that reminds you to breath."― Sarah Kay & Phil Kaye, An Origin Story
Chapter Text
Bandara pada pukul sebelas malam terasa seperti ekosistem yang berbeda dari hiruk pikuk kota di luar dindingnya. Sion menunggu di salah satu kursi ruang tunggu dengan satu koper kabin dan ranselnya. Sebuah negara yang sama sekali asing untuknya, Uzbekistan. Namun entah kenapa Sion jadi sangat bersemangat. Bisa pergi ke negara lain dimana dia tidak dikenali sama sekali. Betapa menyenangkan!
Managernya bahkan hanya menganggukkan kepala dan menyuruhnya pergi. Hitung-hitung relaksasi setelah roller coaster tentang kehidupan pribadinya beberapa bulan belakangan. Yushi benar, segera setelah berita konfirmasi-ada-sesuatu-tapi-bukan-hubungan-resmi itu, berita tentang mereka berdua jauh berkurang. Tidak lagi diselimuti misteri dan toh tokoh lain mencuri perhatian setiap hari.
Ada sedikit masalah, sebenarnya, kalau pun bisa disebut masalah.
Sion tampaknya benar tertarik dengan Yushi.
Masalahnya tidak pernah tentang apakah Sion mengakuinya atau tidak, semenjak kecil, Sion sudah terbiasa dan memang dibiasakan jujur dalam memahami dirinya sendiri. Tidak pernah sulit untuknya menyatakan tidak atau iya; suka atau tidak suka; mengerti atau tidak; mengetahui apa yang dia inginkan, sekaligus membiasakan kejujuran adalah ajaran yang sudah dibentuk sejak dini dalam keluarganya.
Masalahnya adalah, harus bagaimana dia menyikapinya.
Dia dan Yushi baru berkenalan kurang dari tiga bulan. Bahkan di tengah kemelut yang tidak jelas itu, melihat dan bersama cukup dekat dengan Yushi—bahkan bukan atas keinginan agensinya, membuatnya menyadari kalau laki-laki yang lebih muda darinya itu sangat menyenangkan. Seringkali memang, Sion masih merasa seperti menghadapi seseorang yang tidak terbiasa dengan tanda sosial. Pun hal yang dia ucapkan kadang terasa membingungkan.
Tapi Sion menyukainya. Dia menyukai bagaimana Yushi tertawa setiap mendengar hal konyol yang mungkin tidak lucu untuk orang lain. Dia menyukai bagaimana Yushi bisa berbicara dengan kecepatan 100km/jam (berlebihan) tentang hal yang dia sukai—seringnya catur atau eskrim—namun kemudian akan seperti radio yang tidak disetem dengan sesuai apabila berhadapan dengan makhluk hidup lain. Dia juga menyukai sisi disiplin Yushi, yang bersikeras menyisihkan waktunya setidaknya satu jam untuk terbiasa dengan pola-pola catur; yang sekarang sedikit banyak diajarkan ke Sion. Sion pun menyukai bagaimana kontradiksi dari Yushi yang merupakan seorang penyuka rutinitas dan keteraturan kadang memberikannya kejutan atas apa yang dia mendadak lakukan.
Sion seperti melihat seseorang yang setiap hari selalu membuatnya berpikir ‘tingkah apa lagi yang akan dia lihat dari Yushi?’
—Namun bukan berarti dia tidak takut bahwa ini hanya ketertarikan sesaat. Seperti bertemu mainan baru.
“Uwah,” ujar seseorang di dekatnya, membuat Sion tersadar dari lamunan, “maaf ya jadi menunggu lama. Tadi aku dua kali bolak-balik ke rumah, kupikir chargerku tertinggal, ternyata salah masuk dompet kecil yang kusiapkan. Lalu kupikir aku juga lupa bawa chessboard portable ku, ternyata sudah di dalam koper dan nggak kumasukkan ke dalam ransel.”
“Tumben sekali kamu nggak cek berulang-ulang?” Ujar Sion, “nggak biasanya kamu nggak teratur?”
Yushi tertawa, tapi mengangguk.
“Betul betul, kayaknya aku setengah mengantuk pas packing, Riku juga sepanjang perjalanan berangkat ini mengomeliku, katanya aku seperti anak sd yang apa-apa saja tertinggal,” ujarnya berceloteh, “tapi kan nggak ada yang ketinggalan! Aku cuma lupa ditaruh dimana. Berlebihan sekali dia itu.” Lanjutnya, sedikit bersungut-sungut.
“Tapi sempat makan malam?” Ujar Sion, memperhatikan Yushi yang mengomel sambil menyandarkan badan di sofa sebelahnya.
“Sempet kok, nasi kepal,” jawab Yushi, terkekeh, “can’t do too much meal sebelum perjalanan jauh.”
“Makannya di pesawat?” Tawar Sion, setengah khawatir, “biasanya perutmu butuh banyak asupan biar berfungsi.”
“Mungkin banyak aturan aturan yang nggak perlu diikuti kalau kita bakalan ada lebih dari 15 jam di dalam burung besi.” Ujar Yushi, suaranya semakin pelan, “bangunkan… boarding…”
Terkekeh, Sion mengamati Yushi yang terlihat nyaman dengan jaket tebalnya dan kacamata berbingkai hitam. Bahkan dia tertidur tanpa melepas kacamatanya. Sungguh sangat terlihat tidak nyaman. Sion jadi agak gatal untuk mengambil kacamata Yushi dan menyimpannya, hanya agar rekan perjalanannya itu sedikit lebih nyaman; tapi dia tau Yushi akan segera terbangun sekiranya dia merasakan guncangan sedikit saja.
Heran. Kenapa rasanya Sion tau begitu banyak tentang Yushi padahal mereka belum lama berkenalan.
Alih-alih membereskan kacamata Yushi, Sion diam-diam mengambil foto dari keadaan menggemaskan di depan matanya. Sedikit menjauh dari tempatnya duduk, karena bahkan bunyi kameranya bisa saja jadi resiko Yushi yang terbangun. Masih ada waktu sekitar 45 menit boarding mereka. Sion membiarkan Yushi yang tampak membutuhkan waktu tidur tersebut. Mencatat dalam hati untuk mempertanyakan apa yang membuat Yushi terjaga semalaman.
Kemungkinan besar jawabannya akan berkisar tentang catur; bagaimanapun perjalanan ini adalah untuknya mencuri banyak-banyak skor agar dapat meningkatkan rank masternya. Ada kemungkinan juga ini tentang pekerjaannya, sih, tapi Sion ingat beberapa malam yang lalu Yushi menyombongkan bahwa dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya lebih awal dari yang dijadwalkan, sehingga dia bisa fokus untuk berlatih.
Perjalanan sepuluh hari ini, nantinya akan ditutup dengan pengumuman pekerjaan barunya.
Sebuah film tragikomedie yang mengangkat lakon saduran dari “Kaj Pa Leonardo?”—”What About Leonardo? “ tentang sekumpulan orang di dalam fasilitas kesehatan mental yang kemudian diobrak-abrik dengan datangnya seorang wanita ambisius. Proyek yang juga ambisius dari Sutradara yang sudah beberapa kali bekerja dengannya.
Sion tidak menjadi pemeran utama, sih. Bukan karena kurang kemampuan, tapi memang tidak sesuai dengannya. Dia menjadi tritagonis dari lakon tersebut. Dan sejujurnya, Sion tidak sabar menjalaninya.
Yang membuat kehidupannya membingungkan, dia bahkan sudah memberitau Yushi, dan kadang dalam rangka mencari kegiatan, memintanya untuk bermain peran dengannya. Pernah suatu saat Yushi tertawa, merasa sedikit ironis; bermain peran dalam permainan peran yang mereka juga mainkan. Berseloroh kalau mungkin dia bisa juga menjadi aktor, suatu saat nanti.
—Sejujurnya, mereka tidak harus semenempel itu, hal yang juga Jaehee katakan padanya ketika melihat Yushi bersamanya nyaris setiap malam. Kadang melakukan banyak hal, seperti tadi membantunya mendalami naskah; atau kadang mereka hanya mengobrol dengan ditemani cemilan dan minuman, entah minuman apa.
Sion hanya sempat bilang pada manajernya kalau, senang rasanya memiliki orang yang bisa dia sebut teman—selain Jaehee, sebelum dia bisa melihat ekspresi terluka dari managernya. Kadang dia yang menawarkan, kadang Yushi. Jaehee menatapnya lekat-lekat. Kemudian mengedikkan bahu. Ini toh tidak menghalangi atau menghambat pekerjaannya, sebaliknya, malah. Ini cukup sesuai dengan arahan agensinya.
“Semoga nggak cuma jadi teman,” celetuk Jaehee, dalam ingatannya, “bosan juga aku delapan tahun sama sekali nggak melihat kamu jatuh suka sama orang.”
Lalu akan kembali lagi pada dilema masalah yang tidak dia ketahui sebenarnya masalah atau bukan. Apakah boleh dia jatuh suka pada Yushi ditengah kontrak dengan batas waktu yang semakin creeping in? Sebenarnya gampang saja, dia bisa bertanya. Tapi dia juga belum pernah bertemu ramai yang sedamai ini. Hidupnya sunyi, dan Yushi yang aneh, dan menyenangkan, dan pendiam, dan menghabiskan satu jam waktunya berkutat dengan diagram catur yang tidak dia mengerti, dan berhasil membuatnya berpikir, mungkin tidak apa-apa jatuh suka walau dunia banyak suka membercandainya.
Sion tidak punya jawabannya.
Perjalanan mereka panjang, dan melelahkan. Tapi Sion sejak mendarat merasa sangat… bebas. Mungkin angan-angannya terlalu tinggi untuk mengharapkan tidak akan ada yang mengenalinya. Tidak apa.
“Selamat liburan,” ujar Yushi, di sebelahnya, nyengir lebar. “Sebagai tamu, sayangnya kamu nggak bisa masuk tempat lombanya, tapi aku udah izin untuk bawa kamu nonton di area terbatas kalau kamu mau.” Lanjutnya, “tapi! Kalau kamu maunya jalan-jalan dan nggak ikut aku ke area pertandingan juga nggak apa-apa ya.”
“Aku sih ingin lihat bagaimana kalau kamu bertanding,” ujar Sion, bersemangat, “tapi mungkin, mungkin ya, kalau aku bosan aku akan berjalan-jalan sebentar.” Lanjutnya, terkekeh.
Yushi sempat bercerita kalau turnamen kali ini diadakan di komplek resort besar yang memang separuhnya dibangun untuk turis. Akan ada beberapa waktu dimana mereka—the chess players—akan memiliki waktu luang, dan Yushi juga menyatakan tidak sabar untuk berjalan-jalan. Uzbekistan bukan negara yang muncul di kepala ketika menyatakan tentang traveling, ujarnya.
“Sebenarnya ranking ku tidak seharusnya bisa masuk turnamen ini,” ujar Yushi, di dalam mobil dalam perjalanan ke akomodasi mereka—sejujurnya Sion tidak menyangka perlakuan yang diberikan kepada pemain catur profesional ternyata sebaik ini—”tapi aku dinominasikan untuk spot dari empat kontinen, dan aku dapat kursi karena ada beberapa pemain dari kontinen Asia yang dinominasikan sudah punya kualifikasi yang cukup untuk masuk ke turnamen utama tahun depan.”
Sion masih ingat ketika Yushi menceritakan cepat tentang siklus turnamen catur dunia yang membuat Sion kebingungan. Lalu Yushi menertawakannya dan memberikannya bagan tentang bagaimana turnamen catur bekerja. Intinya sebuah dunia yang terlalu jauh darinya namun didekatkan karena pemuda dengan cengiran yang membuatnya beberapa kali lebih—ah. Cantik.
“Lumayan kok, kalau aku bisa menang sampai posisi 50 akan dapat duaribuduaratus dollar,” kekehnya, “tapi kalau enggak ya sudah, anggap saja liburan gratis.”
“Walau lumayan stress dulu?” Tanya Sion, tersenyum, kemudian menepuk pelan puncak kepala Yushi. “You’ll do well, kok. As well as you prepare them. Ya?” Lanjutnya lagi, “kalaupun nggak menang, nanti aku traktir good steak kalau kita sudah pulang.”
“Picanha?” Jawab Yushi, matanya berkilat usil.
Mereka terbahak berdua.
Jadwal Yushi untuk dua pekan kedepan sebenarnya tidak padat-padat amat. Setiap hari satu ronde dengan durasi kurang lebih dua setengah jam; Sion sempat diajari kontrol waktu untuk setiap pertandingan, dan menghitungnya agak membuatnya pusing—dan satu hari dengan waktu bebas. Selain dari itu, dia cukup bebas untuk berkeliaran. Terlebih Yushi sendiri mengaku padanya kalau dia tidak stress sama sekali, karena bahkan poinnya sekitar duaratus poin lebih rendah dari pemain dengan ranking terdekat darinya.
—Teorinya sih begitu.
Chapter 6: Wichu - Yushi
Summary:
"When the walls come down, when the thunder rumbles, when nobody else is home, hold my hand,
and I promise I won’t let go.”― Sarah Kay & Phil Kaye, An Origin Story
Chapter Text
Menarik napasnya. Kemudian menahannya selama delapan hitungan. Kemudian dihembuskan. Yushi bisa merasakan tangannya mulai basah karena keringat. Kemarin adalah hari pembukaan turnamen catur yang dia ikuti. Terlalu bergengsi untuk dilewatkan, dan sejujurnya gunung yang terlampau tinggi untuk dia lalui sekarang. Mungkin kalau dia sudah memiliki duaratus poin lebih dari yang dia miliki sekarang, dia akan memiliki kepercayaan diri untuk mencoba percaya diri.
Namun diantara seratus lebih sedikit orang di aula turnamen, bahkan hanya dirinya yang tidak memiliki gelar Grandmaster saja sudah bisa memberitau semua orang bahwa dialah si yang paling lemah itu. Bermimpi untuk percaya diri saja sudah sebuah kebodohan.
Sekarang pukul tiga sore, Samarkand terasa panas dan terang benderang hari itu. Pagi tadi, Yushi teringat Sion yang terbangun dan mengendap-endap untuk melaksanakan olahraga pagi harinya. Percaya bahwa dia sudah sebisanya mengeluarkan suara sesedikit mungkin agar Yushi tidak terbangun. Bermata sayu, namun nyaman di dalam selimutnya, Yushi akhirnya hanya memperhatikan punggung Sion yang menutup mata, perlahan-lahan sedemikian rupa. Kemudian dia tersenyum.
Sion seperti bertekad untuk menjadi pelayan pribadinya selama dia mereka berada di sini.
Sejak mendarat dua hari yang lalu, yang dia rasa dia lakukan hanya duduk manis. Dengan Sion yang seperti bisa mendengar pikirannya. Entah bagaimana apa yang dia inginkan bisa saja mendadak muncul di hadapan, atau apa yang dia butuhkan—buku tulis dan penanya, misalnya—bisa tiba-tiba berada di tangannya. Seperti sulap.
Walau Yushi paham bahwa ini semua berada dari keinginan Sion untuk merasa berguna. Padahal, tujuan Yushi mengajaknya ke tempat ini justru adalah agar Sion bisa meninggalkan beban hanya dari menjadi dirinya sendiri di negara asal mereka. Di sini, dia hanyalah Oh Sion orang biasa, yang—seharusnya—menikmati waktu liburan mereka.
Lucu juga, memikirkan Sion membuat kegelisahannya jauh berkurang.
Tersenyum ke lawan mainnya, kemudian menyodorkan tangan. Walaupun dia tau kemungkinannya untuk menang begitu tipis, Yushi tau kalau setidaknya dia akan harus melakukan yang terbaik untuk membuat persentase menangnya menjadi lebih besar.
Dan walau hanya ada di dalam imajinasinya, di dalam kepalanya masih terngiang You’ll do well, kok. As well as you prepare them. Dengan suara Sion yang lebih menaruh percaya dibanding Yushi pada dirinya sendiri.
Pertandingannya berjalan sesuai yang dia duga—kalah. Namun Yushi tetap merasa cukup puas. Setidaknya dia berhasil menjalankan lebih dari tigapuluh langkah melawan seorang Grandmaster. Memang dia harus berani melawan orang dengan ranking yang jauh lebih tinggi darinya untuk Yushi bisa merasakan kepuasan ini.
Begitu dia keluar aula, dia bisa melihat Sion yang bertatap mata dengannya, kemudian seperti gerakan lambat, Yushi melihat wajah yang tadinya datar mengembangkan senyuman. Kemudian lambaian tangan yang diarahkan kepadanya. Seperti seorang teman lama. Yushi menatap ke arah Sion agak lama, hingga yang ditatap terlihat bingung, dengan tangan yang perlahan turun. Kemudian dia tertawa dan berjalan menghampiri Sion.
Sion dengan senyuman selebar itu, terlihat begitu indah.
Dia tidak tau apakah dia diberikan izin untuk berpikiran seperti itu. Yushi tidak pernah jatuh hati. Tidak tau apakah dia bisa jatuh hati, sebenarnya. Tapi Sion yang tidak seperti selebriti dan sindrom terkenal mereka yang banyak beredar di cerita-cerita. Seperti memberikannya kesempatan untuk merasa bahwa Sion sering sekali terlihat bersinar di mata Yushi. Silau, namun menariknya untuk mendekat.
Terdengar sangat seperti awal dari perasaan suka.
Beberapa minggu lalu, sepulangnya Yushi dari apartemen Sion untuk pertama kali, Yushi sampai mencari dalam mesin pencari tentang seperti apa deskripsi orang-orang yang jatuh suka; walau pada akhirnya dia tidak berani untuk mencari tau lebih jauh. Tidak berani mengakui kalau mungkin, mungkin saja dia mulai memiliki perasaan suka pada orang yang memiliki kontrak hubungan pura-pura dengannya.
Lalu kembalilah dia ke titik nol.
“Lama ya? Maaf ya, nggak menyangka aku bisa sampai ke langkah ke-35.” Ujar Yushi, tertawa bersemangat, “tadi nunggu di mana?” Lanjutnya lagi.
“Di kamar aja sih, tapi nggak tahan juga, jadinya turun deh.” Jawab Sion, terkekeh, kemudian menyodorkan satu kaleng soda. “Nih, turunin dulu tegangnya.”
Menerima dengan senyuman, Yushi kemudian membuka kaleng soda tersebut dan meminumnya perlahan. Sensasi terbakar pada tenggorokannya sesuatu yang dia terima dengan senang.
“Mau langsung makan malam? Tadi aku lihat-lihat tempat ini banyak restoran dan bar yang buka sampai malam.” Ujar Sion, nyengir, “masih jam 5 sore sih. Atau mau ke hotel dulu? Mungkin kita bisa grab dinner di resto hotel atau room service?”
“Sion.” Panggil Yushi, mendadak berhenti. Dengan kaleng soda di tangannya. Dan kehangatan di ujung jemarinya.
“Eh, iya?” Jawab yang dipanggil. Menatapnya dengan mata penuh tanda tanya.
“Relax.” Ujar Yushi, meringis. “Kamu nggak disini untuk jadi managerku, apalagi pelayan pribadiku hanya karena aku disini ikut turnamen dan kamu enggak.” Lanjutnya, menyenggol bahu Sion dengan bahunya sendiri, “have some fun! Di sini ada wellness center yang oke, ada eternal city kalau mau jalan-jalan, atau, hell, kamu main ke pusat kota Samarkand juga nggak apa-apa. I’ll be fine.” Ujarnya lagi. Menatap ke arah lawan bicaranya, tersenyum kecil.
Sang lawan bicara, menatapnya balik. Lama, kemudian Sion memiringkan kepalanya sedikit, seperti menilai dan mencerna apa yang barusan Yushi katakan kepadanya. Lalu dia tertawa. Terbahak-bahak. Seperti ada lelucon internal yang tidak dia ketahui pun tidak dibagi kepadanya.
Ketika tawanya sudah mereda, Sion menepuk kepalanya. Sekali. Dua kali.
“Kamu yang harusnya relax.” Ujar Sion, senyumnya mengembang, indah. “Buat apa aku ngelakuin itu semua sendirian kalau aku kesininya sama kamu? You really don’t have to worry about me, you know. Kamu udah cukup banyak yang harus dipikirkan, aku cuma berusaha untuk meringankan itu. I do like doing it, you know. Bukan karena mendadak mau jadi manager apalagi pelayan pribadi Tuan Yushi ini.” Jelasnya, panjang lebar.
“Aku juga nggak akan tenang sih, jalan-jalan nggak jelas sementara pikiranku ke kamu yang mungkin banyak merasa gelisah. Banyak dikelilingi orang dengan ambisi yang sama, pula. Nggak apa-apa, aku juga sekalian belajar, kamu main catur kayak apa. Mungkin nantinya aku bisa jadi teman kamu latian.”
Yushi merasakan perasaan hangat yang tidak bisa hentikan menjalar dari hanya di ujung jemarinya hingga hinggap di dadanya. Tidak menyangka.
“Well? Mau balik ke kamar atau langsung makan malam?”
“Balik ke kamar dulu deh, I smell like ambition and fresh wood.” Jawabnya kemudian.
Yushi melambaikan tangan ke salah satu pemain yang menyapanya. Berbincang sebentar atas pertandingan masing-masing dan kemudian berpisah. Matanya mencari Sion yang beberapa waktu lalu masih berada di dekatnya. Mendapati yang dicari sedang melihat-lihat suvenir. Mungkin mempertimbangkan akan membeli apa untuk Jaehee dan timnya. Riku sih sudah memberikannya daftar barang-barang apa yang diharapkan akan Yushi belikan untuknya.
Hari ini adalah hari ke-enam mereka berada di Samarkand. Dan karena sudah memasuki pertengahan pertandinga, ini adalah hari bebasnya. Hari ini dia sudah bertekad untuk melakukan eksplorasi sekitarnya. Mengunjungi Eternal City, dan nanti malam dia dan Sion sudah memesan paket wellness yang katanya mumpuni untuk menebas kelelahan di tubuh. Sesuatu yang dia tau dia butuhkan untuk kembali prima.
Yang tadi dia cari sedang menatap ke arah gapura Eternal City yang terlihat megah berdiri dalam pendar keemasan. Senyumnya lembut, benar-benar hanya memandang, bahkan tidak mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan. Tergelitik, Yushi mengambil ponselnya sendiri untuk menjadi yang mengabadikan momen itu. Dia ingin memiliki Sion yang terkagum dalam sinaran matahari Samarkand untuk melihat monumen cantik yang mungkin belum tau kapan lagi akan dia temukan.
“Cantik ya?” Ujar Yushi, ketika akhirnya mendekat ke Sion, “seperti disuruh membayangkan beratus tahun yang lalu seperti apa jalur sutra.”
Sion terkekeh, suaranya terdengar riang.
“Iya nih aku lagi mengagumi kecantkannya,” jawab Sion, “kamu nggak mau foto disitu? Nanti cantiknya double.” Lanjutnya ringan. Seperti tidak baru saja mengimplikasikan kalau seorang Sion mengatakan Yushi cantik yang dapat disandingkan dengan pendar emas di depan mereka.
Yushi hanya bisa menatap ke arah Sion, tidak tau harus mengatakan apa. Sementara yang ditatap memandangnya balik, mengangkat alisnya. Seakan menantang Yushi dan mempertanyakan apa yang salah dari kalimatnya barusan. Sementara Yushi memutuskan untuk mengabaikannya. Walaupun dia bisa merasakan pipi dan telinganya yang mulai memerah.
“Tidak ah, terimakasih tawarannya,” ujar Yushi terkekeh, “sudah memutuskan mau belanja apa? Di sudut sana tadi aku baca ada workshop keramik. Tertarik nggak?”
“Aku agak takut bawa pecah belah sih, tapi coba kita lihat apa yang bisa dibeli?” Jawab Sion, mengangguk.
Pada akhirnya mereka masing-masing sepakat memberikan beberapa potong kain khas Samarkand, baju dan paket suvenir yang tidak mereka pahami apa tapi terlihat cantik. Setelah berbelanja, mereka kemudian memutuskan untuk duduk di pinggir kanal Eternal City, sambil menunggu waktu pemesanan paket wellness mereka sekitar dua jam lagi.
“Menyesal nggak ikut aku ke sini?” Tanya Yushi, tersenyum, “maaf kalau aku belum jadi teman peralanan yang baik yah. Mana banyak stressnya.” Lanjutnya lagi. Membenturkan bahunya ke arah Sion.
“Nggak kok, this place is beautiful and so lovely,” jawab Sion, “tenang banget juga, nggak kayak kota kita. Banyak berisikna daripada diamnya. Seperti tangan-tangan nggak terlihat tuh nggak rela kalau tidak penuh hiruk pikuk.” Ujarnya lagi. “Udah dong jangan minta maaf terus, kan memang tujuan utama ke sini menemani kamu turnamen.”
“Becanda aja sebenernya,” sahut Yushi, “walau aku gak becanda untuk bagian teman perjalanan yang buruk. Kamu bahkan belum ambil foto sendirian lebih dari jumlah jari di tanganku lho.”
“Yaudah, if you feel bad, travel kita selanjutnya aku akan ekspek kamu untuk be the perfect travel friend.” Ujar Sion. Terkekeh.
Yushi terdiam. Tidak berani menyatakan dan menanyakan apa iya mereka masih akan ada lain waktu untuk travel berdua lagi setelah saat ini berlalu? Jadilah dia hanya nyengir lebar. Tidak berani menyanggah atau mengatakan sesuatu.
“Nanti kalau Sion udah punya pasangan beneran, bawa aja ke sini.” Ujar Yushi terkekeh, jantungnya berdentum, dengan dingin yang mendadak terasa membelai pipinya ringan. Yushi jago membuat dinding tebal untuk banyak orang, tapi ada getaran tidak terima ketika dia mencoba membangun batasan tersebut dengan Sion.
Yang diajak berbicara pun hanya terdiam. Tidak menanggapi. Tidak menatapnya. Tidak melakukan apa-apa. Hanya menatap ke kanal-kanal dengan pendar biru emas memantulkan lampu-lampu manis berwarna kuning. Sepuluh. Limabelas menit. Yushi tidak lagi memperhatikan. Hanya keheningan tidak nyaman yang membuatnya merasa bersalah walau tidak tau dimana salahnya.
“Yuk, biar nunggu di tempat pemesanannya aja.” Ujar Sion, memecah keheningan, sebelum membalik badan dan meninggalkan Yushi untuk berjalan lebih dulu.
Di dadanya, seperti ada buncahan kembang api yang tertahan dan mati tanpa sempat tersulut api.
Chapter Text
Sion.
Menatap ke arah gedung tempat dilaksanakannya turnamen yang Yushi ikuti, Sion menghela napas.
Hari ini adalah hari terakhir turnamen catur yang diikuti Yushi berjalan. Penutupan akan dilakukan malam ini dan besok pagi mereka akan pulang. Dengan keadaan yang jauh berbeda dari ketika mereka datang. Sion tidak tau harus bagaimana menanggapi kecanggungan ini.
Dia tau tidak seharusnya dia tersinggung atas apa yang Yushi nyatakan di hari bebasnya saat itu. Tapi dia tidak bisa terus menerus terpikir tentang bagaimana Yushi menolak rencananya untuk travel ke tempat lain dan menampik dengan ‘kalau Sion sudah punya pasangan’; Seperti perjalanan ini tidak membuatnya semakin yakin kalau dia benar menyukai si pemain catur.
Tidak ada kesadaran yang terasa seperti ‘oh’ italic di tengah paragraf dari berbagai macam cerita romantis yang sempat dia konsumsi. Hanya suatu hari dia sedang makan sarapan, dengan Yushi yang terlihat mengantuk dan lelah di hadapannya. Yang tertawa karena minuman mereka hari itu berwarna lebih orange dari biasanya. Sesuatu yang tidak Sion pahami, tapi suara tawa itu membuatnya hangat.
Sion tidak serta-merta memutuskan untuk mengejar Yushi. Tidak ketika otaknya masih penuh dengan hal-hal seperti turnamennya. Tapi menurutnya sangat menyenangkan menyadari dan memperhatikan bagaimana konfirmasi rasa suka membuatnya melihat Yushi dengan kacamata yang berbeda.
Yushi yang tersenyum seperti menyembunyikannya tanpa memperbolehkan dunia mencurinya. Yushi dengan dahi yang berkerut, mempelajari permainan. Yushi yang tersenyum lebar ketika memakan sesuatu yang menurutnya enak. Yushi yang melamun dan menatap ke arah kanal yang mengelilingi eternal city setelah mengatakan hal yang membuat Sion mendadak kedinginan; yang kemudian menyelimuti kesunyian di antara mereka.
Bukan salah Yushi untuk berasumsi—walau dia tidak suka. Sion cukup beruntung karena dia bisa menemukan teman dalam hubungan anehnya dengan Yushi. Berani bertaruh, dia yakin banyak orang lain yang akan memanfaatkannya. Yushi tidak demikian, hanya pelan-pelan menusuknya dengan kalimatnya yang bernada polos namun mengulitinya hingga tuntas.
Sion tidak tau harus melakukan apa. Hanya harus mengakui, kalau semua Yushi yang dia lihat dan alami, masuk dalam daftar hal yang paling dia sukai.
Sayangnya, dalam usahanya untuk tidak membuat keributan, Sion malah jadi menghindar dari Yushi. Yang bahkan menurutnya terasa terlalu kontras, Sion sebelum waktu bebas, dan Sion setelah. Sebenarnya dalam hati dia sudah berniat akan berbicara dengan Yushi, mungkin meluruskan apa yang terjadi. Walau masih tidak yakin apakah dia akan juga mengkomunikasikan perasaannya.
Awalnya, dia berusaha bersikap biasa saja. Makan bersama untuk sarapan, lalu mengobrol seperti biasa dan membantu Yushi bersiap sebelum kemudian mendekam di kamar untuk mempelajari scriptnya. Tapi setelah dua hari berjalan, Sion tidak suka dengan kecanggungan yang membuat mereka berdua hanya eksis dalam diam. Sehingga beberapa hari terakhir dia kemudian berbohong dan menyatakan kalau dia harus bertemu beberapa orang dalam keperluan pekerjaan, dan sisanya berbelanja untuk oleh-oleh.
Besok, ketika mereka sedang terbang, proyek barunya akan diumumkan. Sion sejujurnya setengah tidak sabar untuk akhirnya kembali sibuk menyelam dalam peran. Mungkin sedikitnya cukup untuk membuatnya mengalihkan perhatian dari rasa suka yang sudah lama tidak dia rasakan. Tidak apa-apa; atau setidaknya, itu yang dia katakan pada dirinya sendiri.
Selama Yushi berkompetisi, Sion membereskan barang-barangnya. Sebenarnya, dia membeli sesuatu untuk Yushi, dalam rangka merayakan berakhirnya turnamen. Bukan sesuatu yang besar atau berarti, hanya satu helai scarf handmade khas Uzbekistan berwarna biru yang penjualnya mengatakan terbuat dari sutra. Sion tidak tau apakah Yushi akan menyukainya atau tidak, tapi ketika membelinya, dia merasa Yushi akan cocok mengenakannya.
Kalau dia juga berpikir Yushi seharusnya cocok mengenakan semua kelembutan yang ada dunia ini, pemikiran yang bikin geli itu cukup dirinya dan Tuhan saja yang tau.
Sekarang pukul lima sore, satu jam lagi adalah jam biasanya Yushi kembali dari turnamen. Kadang dia kembali lebih awal, ketika permainannya tidak cukup untuk menembus tigapuluh langkah pertama. Ada kalanya juga dia kembali bahkan hingga pukul tujuh, ketika dia mendapatkan satu poin kemenangan kala itu. Tapi rata-rata, jam 6 sore, Sion akan mendengarkan ketukan di pintu kamar mereka. Kadang Yushi akan masuk dengan racauan, atau senyuman lebar ketika dia merasa cukup puas dengan hasil pertarungannya.
Tapi setidaknya tiga hari terakhir, Yushi masuk ke kamar mereka dalam keheningan. Menyapa Sion sambil tersenyum kecil, membersihkan diri, makan malam, kemudian berkutat dengan komputer jinjingnya hingga dia memutuskan untuk tidur. Hilang sudah candaan ringan atau bagaimana Yushi menceritakan langkah demi langkah permainannya agar Sion mengerti apa yang terjadi.
Hari ini, Sion bertekad kalau mereka harus bicara. Entah membicarakan apa. Mungkin dia harus meminta maaf. Mungkin dia bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Dia tidak ingin mereka kembali lalu kemudian asing.
‘Aku stay di sini sampai closing ceremony selesai ya' — Yushi
‘Kalau terlalu malam, jangan ditunggu ya, tidur aja.’ — Yushi
‘Memang kira-kira selesai jam berapa?’ - You
‘Kkk, aku akan menyelinap keluar sekitar jam 10. Nggak akan ada yang sadar kok.’ — Yushi
‘Okee.’ — You
Apabila melihat percakapan pesan mereka sebenarnya tidak terlihat apakah ada yang aneh. Masih seperti biasa saja. Sion masih memakai stiker-stiker aneh yang akan ditertawakan Yushi dengan emoji tidak kalah aneh yang dia miliki. Apalagi karena mereka melakukan perjalanan ini berdua, rasanya Yushi tidak pernah alpa untuk mengabarkan keadaannya.
Namun dia merasakan jarak yang semakin lama semakin lebar. Seperti dia tau, kalau dia biarkan, bahkan bukan hanya kehilangan orang yang dia suka, dia akan kehilangan teman.
(Dia juga bisa membayangkan kalau Jaehee mendengar ini, managernya akan menatap Sion tidak percaya sambil bertanya ‘kenapa sih harus sedramatis ini?’ maafkan deh kalau Sion sudah terlalu karatan dalam hal suka-sukaan. Selama satu windu terakhir, hidupnya hanya berkisar antara lembar naskah dan kamera, soalnya.)
Kamar itu cukup besar. Standar bintang empat dengan dua tempat tidur yang dipisahkan oleh meja kecil tempat mereka menaruh telepon genggam sebelum tidur. Di dekat jendela, ada dua sofa dengan meja kecil yang lebih sering mereka gunakan untuk makan berdua kalau sedang tidak ingin mencari tempat makan di luar hotel. Di seberang tempat tidur, dengan layout yang sangat umum, ada televisi besar yang seringkali dihidupkan hanya sebagai suara yang mengiringi mereka bersiap. Di bawahnya, ada meja yang lebih tinggi dengan tempat duduk tanpa lengan. Ada laptop Yushi di atasnya.
Tidak ada yang spesial, di dalamnya. Hanya 12 hari kehidupan yang separuh terisolasi dari dunia luar. Sebuah linimasa yang bahkan tiga bulan lalu tidak ada dalam jadwal hidupnya.
Duabelas hari yang menurutnya membolak-balik perasaannya seperti telur di penggorengan—oke itu pengandaian yang buruk, sih. Tapi maksudnya, dia merasa enam hari pertamanya di atas angin dan tinggal berselancar untuk mendarat dengan mulus pada awan seempuk kasur air, yang kemudian satu hari muncul dengan kalimat menusuk sampai ulu hati, lalu membuatnya jatuh total dari atas angin menuju Palung Mariana. Tak ubah seperti Icarus sang pemimpi ambisius.
Matanya masih lekat menatap gedung tempat aula turnamen diadakan, menatap dari jendela kamar mereka yang dikejar waktu untuk beralih nama menjadi kamar orang lain..
Yushi
Memperhatikan layar ponselnya dengan jendela pesan singkat yang menampakkan nama Sion, Yushi menghela napas.
Pertandingan terakhirnya berantakan total hari ini. Setiap kali ditanya, Yushi akan tertawa kemudian mengatakan kalau dia sudah lumayan lelah berhadapan dengan turnamen dan memang ini adalah turnamen tingkat tinggi pertama yang dia ikuti dengan sistem tanpa eliminasi. Yang tidak dia katakan adalah, konsentrasinya hancur berantakan mengingat apa yang dia lihat dan alami pagi tadi.
Biasanya harinya dan Sion dimulai dari Sion yang bangun pagi-pagi untuk berolahraga, setau Yushi dia akan lari mengitari kompleks Silk Road ini, tapi Yushi tidak pernah benar-benar tau. Karena toh dia belum terbangun sampai setidaknya satu jam setelah. Tapi pagi ini tidak. Pagi ini dia yang terbangun lebih dulu. Bahkan sekitar setengah jam dari bunyi alarm yang Sion pasang.
Yushi jarang memperhatikan orang yang sedang tidur. Menurutnya itu tidak sopan, apalagi sampai mengambil foto mereka. Banyak yang seringkali melakukan hal tersebut untuk menggoda mereka secara publik, padahal menurut Yushi, tidur adalah satu dari sangat sangat sedikit masa dimana seseorang ada berada titik paling rentan mereka. Tidak hanya karena mereka hilang kesadaran, bahkan ingatan, bahkan setiap orang harus pasrah pada keadaan tubuh setiap hal itu terjadi agar masing-masing fungsi tubuh bagian dalam bisa menjaga untuk tetap hidup.
Pagi itu, pertama kalinya dia melihat Sion yang tertidur. Benar-benar memperhatikannya, tidak hanya melihat sosok itu terbaring sambil lalu.
Terdengar dengkuran sangat halus yang hanya terdengar karena mereka Sion tertidur dengan badan yang terarah kepadanya. Yushi memperhatikan bagaimana Sion, dalam keadaan rentannya, terlihat damai. Tidak ada kerutan di dahinya, tidak ada senyuman yang kadang ingin Yushi tarik sedemikian rupa—tidak semua hal harus diberikan senyuman, tidak ada keteraturan tegas pada matanya yang tidak terbuka. Sion terlihat begitu manusiawi.
Yah, maksudnya, dia selalu terlihat manusiawi sih, hanya bagaimanapun dalam kehidupan bermasyarakat ada perbedaan kentara dengan Sion dibandingkan dengan Yushi. Menurutnya itu adil. Dia tidak akan ada kesabaran untuk berada di posisi Sion. Dalam kebalikannya pun, Sion terlalu luar biasa untuk berada di posisinya sekarang. Itu yang selalu ada di pikiran Yushi, berhubungan dengan Sion dan bagaimana situasi mereka.
Melihatnya tertidur begitu lelap dan begitu insani, menyadarkannya bahwa Yushi sudah berlaku sangat tidak adil.
Menaruhnya pada posisi lebih tinggi darinya membuatnya berpikir terlalu berat sebelah. Entah padanya, atau pada Sion. Yushi tidak buta, dan dia pun tidak sebegitu bodohnya untuk tidak menyadari kalau Sion menaruh ketertarikan kepadanya. Entah karena apa. Hubungan mereka—kalau bisa disebut hubungan—tidak dimulai dengan normal. Bahkan kalau dia diberitau apa yang akan terjadi padanya di titik ini. Dia akan tertawa. Datar dan tidak terkesan.
Dan karena itu dia memberikan jarak yang begitu jauh dari Sion.
Karena Yushi tau betul apa yang dia katakan di pinggir kanal dalam waktu bebasnya, adalah waktu dimana dia menaruh Sion di tempat yang lebih tinggi dalam hirarki imajinasinya.
Tidak berapa lama sejak dia memperhatikan wajah Sion—dia mengambil satu foto dari ponselnya, untuk kenang-kenangan. Walau tidak jelas kenang-kenangan untuk apa—Yushi kemudian menyadari kalau napas Sion mulai terdengar lebih berat. Khawatir yang diperhatikan akan segera bangun, Yushi segera menutup matanya dan berpura-pura tidur. Merasa sedikit bodoh, namun dia yakin betul belum siap bertemu sapa dengan aktor yang tidur di sebelahnya.
Alarm Sion kemudian berbunyi tidak lama setelahnya, lalu Yushi mendengar alarm tersebut dimatikan tidak lama kemudian. Yushi tidak tau dia mengharapkan apa, dia tidak pernah ada di posisi dimana dia terbangun lebih dulu, soalnya. Yang dia tidak menyangka adalah, alih-alih menghidupkan televisi; dia ingat Sion membutuhkan sedikit suara dengung untuk bersiap—dia mendengar Sion berbicara sendiri.
Panjang lebar. Kadang tentang scriptnya, kadang tentang daftar sesuatu yang dia runutkan dengan sistematis. Yushi sudah nyaris tertidur seandainya dia tidak mendadak mendengar namanya diucapkan.
“—Yushi gak mau nonton sama aku sih semalam,” ujar Sion, “We Live In Time, judulnya. Mungkin besok aku mau cari romcom deh bilang sama Jaehee.” Lanjutnya terkekeh sendiri.
Ada keheningan sebentar di sana. Suara-suara yang mengikuti ocehan pelan Sion pun ikut terhenti.
“There's a very distinct and real possibility that I am about to fall in love with you.” Ujar suara itu. Lebih lembut, seperti bisikan. Lalu terdengar tawa kecil yang terdengar begitu merana.
Kemudian suara pintu dibuka lalu ditutup kembali.
Yushi seperti merasa disiram air es.
Maka maafkan dia ketika permainan catur terakhirnya di Turnamen terlampau bergengsi darinya ini berantakan total. Bahkan Yushi harus susah payah dan terseok untuk bisa mencapai langkah ke duapuluh lima hingga akhirnya mengibarkan bendera putih. Tidak lagi dia pedulikan diagram langkah-langkahnya. Untuk apa? Sekedar menyadari dia menyabotase dirinya sendirikah? Dan itu bahkan tidak hanya berkaitan dengan permainan caturnya.
Konyol luar biasa, memang. Yushi sampai merasa harus berbohong dan mengatakan dia tidak kembali ke kamar karena langsung menghadiri acara penutupan. Kalau sebelumnya dia merasa tidak siap untuk menghadapi keheningan, yang toh kemudian dia hadapi juga, dia lebih tidak siap menghadapi dan menyadari kalau dia merasa sangat tertekan dengan apa yang Sion katakan kepadanya.
Ingin sekali dia mengguncang-guncangkan badan Sion. Untuk menyuruhnya mencari kemungkinan cinta lain di luar sana yang tidak sepertinya. Aneh dan canggung. Yang dengan frekuensi terlalu sering dalam hidupnya diberi panggilan seperti Alien dan teman-temannya. Sion tentunya tidak kekurangan orang atraktif dalam profesinya, kan? Dan pikiran-pikiran lain sejenis yang membuatnya kemudian memutuskan. Lebih baik lebih lama di tempat ini sekarang.
Daripada menghadapi kepastian yang tidak tau harus dia hadapi dengan cara apa.
Tetap saja. Matanya masih melekat di layar ponsel dengan nama Sion di jendela pesannya. Dengan tangan yang kebas dari rasa yang tidak tau harus dia lampiaskan kemana.
Chapter 8: Our Adventures - 3rd Person
Summary:
"And one by one the nights between our separated cities
are joined to the night that unites us."―Pablo Neruda, Ode and Burgeonings
Notes:
I'm struggling with continuity lol, please let me know if you found things that doesn't make sense!
It should be uphill from here on.... right? :)
Chapter Text
“Halo,” ujar Sion dari sofa kamar mereka, “bener-bener jam 10 ya.”
Yang baru membuka pintu, merasa terpanggil, kemudian mendongak dan tersenyum. Yushi terlihat lelah. Matanya yang sayu menyapu ruangan, kemudian terhenti di koper Sion yang sudah rapi. Terlihat mengerjap sedikit, Yushi kemudian berbalik dan menutup pintu di belakangnya. Gerak-gerik yang tampak diperhatikan oleh Sion yang menawarkan senyuman.
“Kok belum tidur? Nggak menungguku, kan?” Ujar Yushi, menaruh semua barang-barangnya di atas meja, dekat dengan laptopnya. Sion tersenyum.
“Nggak kok, tadi lagi beres-beres aja. Sama meeting sebentar sama Jaehee buat announcement besok.” Melirik ke arah jam tangannya, “well technically di sana sudah besok sih.”
“Oh iya, kita di pesawat, proyek kamu announced ya.” Ujar Yushi sambil lalu, kemudian mengambil handuknya dan mengarah ke kamar mandi.
“Yushi,” panggil Sion, ketika tangan Yushi meraih kenop pintu, “aku mau bicara ya. Nanti, kalau kamu sudah selesai mandi tapi maksudnya.”
Setengah ditodong, dengan kalimat yang tampak misterius dan terlalu serius begitu, Yushi menatap ke arah Sion. Lama. Kemudian dia tersenyum, dan mengangguk.
Masih terduduk, Sion mengempaskan tubuhnya dan menengadahkan kepalanya. Tubuhnya terasa menegang, tekanan yang seperti datang dari seluruh penjuru seperti membuat ketegangan di dalam dirinya terasa hingga keluar. Tangannya terkepal, merasakan buku-buku jarinya menegang dan kukunya tertancap pada telapak tangannya.
Dia belum tau akan mengatakan apa pada Yushi, kalau boleh jujur. Permintaan maaf karena menghindar, mungkin, namun dia lalu harus menjelaskan mengapa dia merasa harus menghindar ketika kata-kata yang Yushi berikan seharusnya tidak berarti apa-apa karena dia benar. Mungkin juga dia harus mengakui perasaannya, setidaknya mereka berdua berada di tempat yang benar-benar tertutup, saat ini. Hanya ada Yushi dan dirinya. Tanpa perlu khawatir akan ada yang menyadap pembicaraan mereka dan memutarbalikannya pada publik.
Terlalu lama melamun, sampai terbuyarkan dengan bunyi pintu yang terbuka. Yushi dengan rambutnya yang basah dan piyama gemas bercorak kucing orange. Sion tidak sadar tersenyum, yang kemudian membuatnya bertabrak mata dengan Yushi, membalas senyumnya. Sion ingin sekali Yushi tau kalau senyuman barusan cukup untuk membuatnya merasakan dunia sanggup berputar tanpa mereka berdua.
“How’s the ceremony,” ujar Sion, memperhatikan ketika yang diajak bicara duduk di hadapannya.
“Nggak seru,” ujar Yushi, terkekeh, “kan kamu tau aku gak terlalu suka mingle, paling makanannya ya enak, tapi aku nggak mood minum hari ini, jadi pulang ajalah. Mending tidur.”
“Wah, maaf deh kalau agenda tidurnya terganggu sebentar, nggak apa-apa kan?”
Alih-alih menjawab, Yushi mencondongkan badannya ke arah Sion. Kemudian tersenyum kecil. Menyentil pelan dahi Sion yang terlihat berkerut.
“Kalau bukan kamu yang mau ngobrol, aku yang akan ajak.” Jawab Yushi, nyengir kecil.
Bukannya ikut tertawa, air muka Sion perlahan seperti semakin tegang. Cengiran di wajah Yushi perlahan meluntur seiring dengan muka serius Sion yang seperti sedang menyiapkan dirinya membicarakan hal yang menyangkut kemakmuran suatu negara walau Yushi sendiri sudah bisa menebak apa yang mungkin akan Sion utarakan kepadanya.
“Oke, mukamu seperti akan bilang padaku kalau ada orang yang akan mati dalam lima detik jadi daripada aku yang cemas sendirian aku duluan yang akan mulai,” Ujar Yushi, ketika dia melihat Sion menarik napasnya untuk berbicara. Katakanlah dia egois; well, mungkin dia memang egois, sih. “Aku minta maaf.” Lanjutnya kemudian.
Bukannya mengelaborasi, Yushi menatap Sion lekat-lekat. Seperti ingin menilai bagaimana ekspresi wajah Sion atas apa yang dia katakan. Keheningan kemudian menyelimuti mereka berdua. Entah satu menit, atau satu jam. Tidak ada dari mereka yang tau kalau lawan bicara masing-masing seperti kelu. Menunggu.
“Minta maaf? Kenapa minta maaf?” Ujar Sion, memecah keheningan kemudian, “perasaan nggak ada yang salah sepanjang perjalanan ini?” Lanjutnya, tersenyum kecil. “Aku justru mau berterimakasih.”
“Terimakasih… kenapa?” Ujar Yushi, merasakan tangannya sedikit berkeringat, kegugupan yang tidak dia mengerti seperti menyergapnya tiba-tiba di depan Sion.
“Sudah mengajakku ke tempat ini, dong.” Lanjut Sion, “selamat untuk selesainya turnamen catur internasional pertama kamu, dan semoga kamu cukup puas sama hasilnya.” Ujar Sion, Yushi merasa tensi yang terlihat di bahu Sion perlahan mengendur.
“Er, terimakasih?” Jawab Yushi, sejujurnya bingung dengan hal yang dia hadapi. Tidak menyangka malah diberikan terimakasih dan ucapan selamat.
“Aku, justru yang seharusnya minta maaf.” Lanjut Sion, lagi. Tidak memberikan celah Yushi untuk menyambar lebih jauh, “nggak seharusnya aku kasih kamu distraksi untuk turnamen kamu yang penting sekali ini. Nggak seharusnya aku nambah-nambahin pikiran gak jelas ke kamu cuma karena aku punya masalahku pribadi. Sampai harus menghindari kamu, pula. Aku minta maaf, ya? Dimaafin nggak?”
“Aku nggak ngerti.” Aku Yushi. Kentara bingung.
“Lah, jadi nggak dimaafkan?” Tanya Sion, dengan kerling mata yang terlihat usil.
“Mau ngerti dulu sebelum maaf-maafan,” ujar Yushi, keras kepala, “kenapa harus ada permintaan maaf dari kamu? Dan apa maksudnya masalah pribadi?”
Bukannya menjawab, Sion tergelak. Yushi menatapnya, sedikit sebal sambil memanyunkan mulutnya sedikit. Melihatnya, Sion berhenti tertawa. Gantinya, senyuman lembut menghiasi wajah tampan aktor tersebut, membuat Yushi menelan ludah.
“Kamu gemas tau nggak,” ujar Sion, “Riku sempat cerita kalau kamu, walau memang menolak memiliki banyak teman memiliki sejuta ekspresi yang sebenarnya bisa buat orang gampang tertarik sama kamu, kalau kamunya mau membuka diri. Aku, waktu diceritakan begitu sebenernya agak bingung, tapi sekarang aku paham,” lanjutnya bercerocos, seolah sedetik saja dia berhenti maka dunia juga akan ikut berhenti, “kamu dan binar mata kamu kalau sedang bicarakan hal yang kamu sukai, dan gimana kamu senang diberikan perhatian, lalu gimana gampangnya kamu senyum—”
“Sion.” Ujar Yushi, memegang tangan lawan bicaranya, menemukan tangan Sion yang sama basah, dia tersenyum. “Dimaafin kok, kamu nggak perlu deklarasi kegemasanku untuk ini. Bukan itu pertanyaan aku. Aku mau ngerti apa yang terjadi sama kamu dan apa maksudnya masalah pribadi.”
“Yushi, yang kamu dengar barusan itu, itu masalah aku.” Lanjut Sion, melepaskan tangannya dari tangan Yushi, tetap tersenyum, “aku minta maaf karena kasih kamu hawa dingin pas kamu bilang aku bisa bawa pasangan ‘beneran’—(Sion memberikan kutipan dari jarinya, di kata ini)—pas aku ajak kamu pergi. Soalnya aku, saat itu dan saat ini, nggak terpikir dan nggak peduli dengan orang lain selain Yushi.”
Melihat wajah Yushi yang tidak berubah, Sion merasa seperti ada sesuatu yang mendorongnya lebih jauh.
“I think I like you,” ujar Sion, tersenyum, “cut me some slack dengan aku pakai kata I think, sudah sangat lama sejak aku suka sama orang lain.”
Apabila sebelumnya ada diam yang menekan mereka berdua dalam percakapan di ruangan tertutup itu, kali ini keheningan memberikan suatu rasa nyaman. Memberikan waktu, untuk yang satu mengatur dan merasakan degup kencang jantungnya setelah berani mengutarakan, dan memberikan waktu yang sama untuk yang satu mencerna apa yang dia dengar.
Yushi menatap Sion lekat-lekat, bahkan fisiknya mencondongkan badannya untuk menatap mata Sion. Dia, sejujurnya tidak tau apa yang ingin dia temukan dari mata tersebut. Tapi mata itu menatapnya dengan tatapan yang sama ketika Sion meminta maaf padanya ketika pertama kali mereka bertemu. Sejujurnya, Yushi belum pernah suka dengan orang lain. Dia tidak tau harus bertanya ke siapa, dan bagaimana memastikan kalau yang dia rasakan, apapun itu kepada Sion, adalah rasa suka, karena tidak ada orang sebelum Sion, selain Riku, yang akan dia ajak bicara dengan senang.
“Kalau makin dekat, nanti aku cium, loh.” Ujar Sion, yang perlahan memundurkan tubuhnya walau tidak ada space lain dari kursi yang dia duduki. “Enggak, enggak, I will not cross that line. Aku bilang ini, nggak minta Yushi untuk balas apa yang aku rasain kok,” lanjutnya terkekeh, “seperti biasa aja, seperti Yushi yang matanya berbinar untuk kasih tau aku trick move keren dari grandmaster keren; atau kalau aku bisa tebak kamu mau makan apa; atau ya, apa aja sih. You’re fascinating in the way you’re always so honest with yourself.”
“Emangnya, kalau suka itu kayak apa rasanya?” Ujar Yushi, sebenar-benarnya bingung, “kalau dibuku-buku kayaknya dramatis banget, tapi aku sih masih bisa ya hidup kalau misal-misalnya amit-amit Sion mendadak nggak ada di depan aku. Kayaknya tapi aku bakal sedih sih,” lanjut Yushi, matanya masih menatap Sion lekat-lekat. “Kalau aku yang coba cium, boleh gak?” Ujarnya justru.
Kemudian matanya memperhatikan ketika mata Sion terbelalak. Menatapnya balik. Lalu perlahan, Yushi melihat Sion mengangguk.
Maka dicondongkanlah wajahnya, perlahan menutup mata. Kemudian menempelkan bibirnya ke bibir Sion. Pelan. Lembut. Seperti otomatis, tangannya meraih leher Sion dan menariknya lebih dekat, seakan masih ada batas di antara mereka berdua. Yushi kemudian merasakan Sion menggenggam bahunya, dan mendorong Yushi lembut. Lalu mencuri kecup kecil sebelum memberikan jarak lebih jauh di antara mereka berdua.
“I don’t know if that’s fair or unfair,” ujar Sion, tergelak, Yushi bisa melihat telinga dan pipi Sion memerah, “tapi kalau lebih lama dari tadi, bisa-bisa aku tarik Yushi ke pangkuanku.” Lanjutnya.
“Aku nggak keberatan,” ujar Yushi enteng, “kayaknya aku juga suka sama Sion.” Lanjutnya, tersenyum kecil, “I like kissing you. Tapi jujur aku nggak tau seberapa suka, ya.”
Ketika dia melihat Sion malah melongo, Yushi tertawa.
“Tadi itu, aku minta maaf, soalnya aku tau Sion mulai suka sama aku, tapi aku sengaja bilang gitu biar… nggak usah dilanjutin aja sukanya.” ujarnya pelan, “we’re not meeting in the most normal circumstances, dan nggak tau juga bakalan gimana. Aku nggak bohong waktu bilang nggak pernah suka sama orang lain, dan kan sebentar lagi jadwal kamu bakalan padat dan nggak akan kayak gini.”
“So let’s do a talking stage for real,” ujar Sion, “aku nggak perlu juga dijawab kita sekarang statusnya pacaran atau enggak.” Lanjutnya, terkekeh, “talk to me, makes time, mungkin tanya apa yang menurut Yushi menarik untuk ditanya. We can do this the normal way, walau kita nggak ketemu di most normal circumstances.”
Diberikan pernyataan sedemikian, membuat Yushi merasakan hangat yang asing. Kemudian mengangguk.
Setelahnya, tidak ada yang spesial.
Mereka tidur di tempat tidur mereka masing-masing, mengemas barang-barang masing-masing, dan kemudian ketika pagi menjelang, bersiap-siap masing-masing. Yang berbeda adalah Sion terkadang, secara terbuka akan mengedipkan matanya ke arah Yushi; tersenyum begitu lebar. Di dalam pesawat, dengan mereka duduk bersebelahan, Sion menggenggam tangan Yushi lembut, memainkan jari-jari kurus itu dan Yushi membiarkannya.
Mereka bercerita, menghabiskan sisa sedikit waktu dimana tidak ada yang merasa berhak tau atas apapun yang sedang mereka jalani. Sion mengaku dia belum memberitau Jaehee, Yushi kemudian tertawa dan menyatakan bahwa Riku juga belum tau. Senang menyimpan rahasia kecil mereka berdua.
“Yushi,” panggil Sion, ketika mereka sudah akan berpisah di bandara.
“Hm?” Sahut yang dipanggil, kemudian berjalan ke arah Sion. Saat itu tengah malam, dan walau paham tidak ada waktu sepi di sebuah bandara, mendekat di tempat umum dengan orang-orang yang mengenali Sion tetap terasa sedikit mendebarkan. Selembar kain begitu halus berwarna biru muda dengan rumbai krem disampirkan ke lehernya.
“Waktu kemarin cari oleh-oleh, aku lihat itu, jadi keingat kamu.” Ujar Sion, nyengir, “take care dan banyak istirahat ya. I’ll call you later.”
“Oh Sion next project: An Absurd Tragicomedy - movie adaptation of ‘What About Leonardo?’”
—in his first tritagonist role, Oh Sion will be a young psychiatrist trying to make a difference with his suggestion to science. The Director, who’s famous with absolute control over his movie, already confirm they will have an isolation shooting time where all of his cast member know nothing about the news of the world.

arahime on Chapter 1 Mon 06 Oct 2025 12:52AM UTC
Comment Actions
teecoffee on Chapter 1 Wed 15 Oct 2025 03:21PM UTC
Comment Actions
aiwonyo on Chapter 1 Mon 06 Oct 2025 02:49PM UTC
Comment Actions
teecoffee on Chapter 1 Wed 15 Oct 2025 03:21PM UTC
Comment Actions
wishsymphony on Chapter 2 Tue 07 Oct 2025 02:19PM UTC
Comment Actions
milkycob on Chapter 3 Thu 09 Oct 2025 02:36AM UTC
Comment Actions
teecoffee on Chapter 3 Wed 15 Oct 2025 03:21PM UTC
Comment Actions
juluist on Chapter 3 Thu 09 Oct 2025 11:40AM UTC
Comment Actions
teecoffee on Chapter 3 Wed 15 Oct 2025 03:23PM UTC
Comment Actions
wishsymphony on Chapter 4 Sun 12 Oct 2025 12:12AM UTC
Comment Actions
teecoffee on Chapter 4 Wed 15 Oct 2025 03:22PM UTC
Comment Actions
mrstokuno on Chapter 4 Tue 14 Oct 2025 11:38AM UTC
Comment Actions
mrstokuno on Chapter 6 Tue 14 Oct 2025 12:10PM UTC
Comment Actions
teecoffee on Chapter 6 Wed 15 Oct 2025 03:23PM UTC
Comment Actions
midnitestori on Chapter 6 Wed 15 Oct 2025 04:55AM UTC
Comment Actions
teecoffee on Chapter 6 Wed 15 Oct 2025 03:23PM UTC
Comment Actions
milkycob on Chapter 6 Sat 18 Oct 2025 01:02PM UTC
Comment Actions
sugarinjoy on Chapter 7 Sun 19 Oct 2025 08:19AM UTC
Comment Actions
teecoffee on Chapter 7 Mon 20 Oct 2025 07:17AM UTC
Comment Actions
bluesky4505 on Chapter 7 Sun 19 Oct 2025 10:02AM UTC
Comment Actions
teecoffee on Chapter 7 Mon 20 Oct 2025 07:17AM UTC
Comment Actions
midnitestori on Chapter 7 Sun 19 Oct 2025 12:53PM UTC
Comment Actions
teecoffee on Chapter 7 Mon 20 Oct 2025 07:17AM UTC
Comment Actions
midnitestori on Chapter 8 Thu 30 Oct 2025 08:08PM UTC
Comment Actions
ayy45 on Chapter 8 Sun 02 Nov 2025 04:47AM UTC
Comment Actions