Chapter Text
Kata orang-orang, memasuki usia 20-an adalah masa-masa terbaik dalam hidupmu. Kehidupan kuliah yang jauh berbeda dengan SMA, orang-orang yang semakin beragam, pertemanan yang tak lagi kekanak-kanakan, kehidupan dewasa yang tak perlu pusing soal tagihan listrik, hingga rasa lelah baik fisik maupun mental yang tak terhindarkan namun dengan mudah sembuh hanya karena hal sederhana. Namun, bukan berarti semua orang senang memasuki gerbang kedewasaan. Tak ada masa-masa kuliah yang terkadang penuh pengalaman baru, tak ada waktu untuk bersenang-senang dengan teman sebaya, bahkan tak ada waktu untuk tersenyum dan tertawa. Terkadang, yang ada hanyalah rasa letih dan aroma sedap saus tteokbokki.
Itulah yang kini dirasakan oleh Park Gyujin, remaja 20 tahun yang kini sibuk mengantarkan sepiring tteokbokki ke pelanggan yang telah menunggu di luar kedai ibunya. Kedai tteokbokki milik ibunya yang selalu membuat Gyujin merasa bersalah.
“Tidak apa-apa. Eomma akan membuat tteokbokki yang sangat enak dan akan selalu membawa pelanggan datang.” Ibunya masih bisa tersenyum pada Gyujin saat mengatakan bahwa ia tak bisa lagi membuka kedainya. Si penyewa memutuskan hal itu secara sepihak, katanya karena ia tak mau anak pembuat onar itu datang ke tempatnya. Tentu saja, Gyujin adalah si pembuat onar yang dibicarakan olehnya. Gyujin pun tak akan menyangkal hal itu.
Insiden tiga tahun lalu di sekolah menengahnya adalah awal mula dari suramnya masa remajanya. Walaupun Gyujin hanya beberapa minggu di pusat pembinaan, tetap saja orang-orang akan berkata “Anaknya pernah masuk sonyeonwon* karena punya senjata api. Ibunya pasti tak becus mendidiknya.” Oh, ingin sekali rasanya Gyujin membungkam paksa mulut orang-orang yang bicara buruk pada ibunya.
Terserah, ia tak peduli jika mereka membicarakannya. Namun, jangan bawa-bawa ibunya soal ini. Meskipun, Gyujin tak bisa mengelak bahwa ia sendirilah yang membuat semua kekacauan ini. Untung saja ia tak benar-benar menarik pelatuknya. Sekarang, barulah terpikirkan oleh Gyujin betapa bodohnya dirinya dahulu. Namun, Gyujin tetap saja bukan satu-satunya yang harus disalahkan, bukan?
Ya, ada seseorang yang membuat Gyujin sangat ingin menarik pelatuknya. Entah bagaimana kabarnya sekarang, Gyujin tak tahu. Gyujin tak peduli.
“Gyujin-ah, pesanan pesan antar sudah siap!” Suara penuh kasih sayang dari ibunya terdengar.
Gyujin yang sedang mengambil piring kotor langsung pergi menuju dapur. Ia meletakkan piring kotor di dapur dan langsung pergi mengambil jaket dan kunci motornya. Ya, sebagai satu-satunya karyawan ibunya, Gyujin juga harus menjadi kurir untuk kedai mereka.
Tak bisa lanjut kuliah, bahkan tak lulus SMA, bagaimana lagi Gyujin akan membantu ibunya kalau tidak ikut bekerja? Lagi pula, Gyujin juga cukup menikmatinya. Kecuali jika ada pelanggan menyebalkan yang membuat keributan. Terkadang Gyujin yang memasang badan agar orang tersebut pergi, tapi tak jarang juga Gyujin yang terintimidasi karena kelakuan beberapa pria tua yang marah tanpa alasan jelas.
Kembali ke tugasnya untuk mengirimkan pesanan, Gyujin membelokkan motornya ke salah satu gang kecil. Gyujin menghentikan motornya di depan sebuah apartemen lima lantai. Meskipun sudah malam, beberapa lampu depan tak menyala, membuat apartemen itu sedikit gelap di beberapa sudut. Pesanan kali ini harus ia antarkan ke depan pintu salah satu unit di lantai tiga. Ya, ia hanya perlu menggantungnya di ganggang pintu karena itulah yang dipesankan oleh si pelanggan. Sebenarnya, tak jarang Gyujin mendapatkan pesan seperti ini, dan ia sejujurnya menyukainya. Setidaknya, ia tak perlu berbasa-basi dan bertemu dengan orang lain.
Begitu turun dari motornya, Gyujin yang membawa satu porsi tteokbokki langsung ketiban sial. Suara orang berteriak datang dari arah belakang, mengejutkannya. Namun, Gyujin memilih untuk tidak peduli karena palingan itu hanyalah seorang pria yang mabuk dan bertengkar dengan orang di sekitar. Di sinilah kesialan terbesarnya datang.
Bruk!
Gyujin terkejut bukan main saat tubuhnya terdorong oleh seseorang. Saking kerasnya dorongan itu, Gyujin sampai terjatuh dan tteokbokki yang dibawanya hampir tumpah. Ya, hampir tumpah karena untungnya Gyujin terlebih dahulu memikirkan tteokbokki itu saat jatuh ketimbang badannya sendiri.
“Aish, ssibal.... Ahjussi, kau tidak perlu sampai mendorong begitu.” Suara seorang pria muda menggema di belakang Gyujin.
Gyujin, yang masih terduduk di tanah, mendengus. Bahkan orang yang mendorongnya itu tak mau repot-repot untuk meminta maaf.
“Kau yang seharusnya menjaga sikap! Dasar anak jaman sekarang, tidak tahu sopan santun!” Suara pria tua itu lantang sekali, hingga Gyujin pikir pasti dapat terdengar oleh semua orang dalam apartemen.
Mendongak sedikit, Gyujin yang mencoba untuk bangkit mengintip sedikit ke belakang. Ia bisa melihat si pria tua yang sekali lagi mengumpat dan akhirnya pergi. Namun, bukan pria itu yang membuat Gyujin terdiam di tempatnya. Lawan ribut si pria tua itu, si pria muda yang barusan mendorong Gyujin itu memberikan kesan yang terlalu familier. Punggung itu membuat jantungnya tiba-tiba berdebar tak karuan.
Ia harap ia salah. Gyujin harap, ketika pria itu berbalik, ia tak akan mengenalinya. Namun, keinginannya tak terkabulkan.
Pria muda itu berbalik, dengan perasaan dongkol yang masih terlihat jelas, ia akhirnya bertemu pandang dengan Gyujin. Tangannya yang terangkat untuk mengusap rambutnya langsung berhenti. Ia terkejut seolah baru saja melihat hantu.
Kang Seongjun. Sudah tiga tahun lamanya Gyujin mencoba untuk melupakannya, dan sudah begitu lama Gyujin tak lagi mengucapkan namanya. Gyujin sampai terpaku, tak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Park Gyujin?” Ketika suara dingin itu memanggil namanya, seluruh badannya langsung merinding.
Tidak, Gyujin tidak takut sama sekali. Ia hanya... tidak percaya. Mimpi terburuknya selama di SMA kembali muncul di hadapannya. Ia hanya ingin menjalani hidupnya dengan tenang, tapi apa yang bajingan ini lakukan sekarang? Kenapa dia harus muncul ketika Gyujin perlahan sudah melangkah, menjauh dari semua kenangan buruknya.
“Kau Park Gyujin, kan?”
Pertanyaan itu membuat Gyujin tersentak. Apalagi karena Seongjun—yang masih menatapnya dengan keterkejutan di wajahnya—mengambil satu langkah mendekatinya. Kantong berisi tteokbokki itu digenggamnya dengan erat, seolah menjadikannya senjata kalau-kalau Seongjun mendaratkan tangannya padanya.
Tatapan itu masih sama. Tatapan bagaikan ular yang bermalam-malam membuat Gyujin kesulitan untuk tidur. Tak ada yang berubah darinya.
Berdeham, Gyujin menurunkan kembali kaca helmnya. Meskipun itu tak menutupi wajahnya dan ia masih bisa melihat Seongjun dengan jelas, setidaknya Gyujin punya penghalang untuk tak melihat mata Seongjun secara langsung.
Masih dengan tteokbokki di tangannya, Gyujin akhirnya mengalihkan pandangannya dan berbalik. “Bukan. Kau sepertinya salah orang.” Apakah suaranya gemetar? Apakah ia terdengar seperti seorang pengecut? Apakah itu membuat Seongjun tersinggung?
Oh, sepertinya Gyujin memang membuat Seongjun kesal dengan perkataannya. Mendengus, Seongjun langsung menarik paksa pundak Gyujin, membuat Gyujin mau tidak mau berbalik menghadapnya.
Gyujin dengan sengaja melangkah mundur sedikit karena Seongjun langsung mendekat begitu ia berbalik. Namun, setelah Gyujin mengambil langkah mundur, Seongjun juga langsung mengambil langkah maju. Ia lalu menunduk sedikit untuk menyejajarkan wajah mereka. Benar-benar masih sama. Tatapan itu masih sama. Yang sedikit berubah hanya... rasa penasaran yang ada di matanya.
“Kau memang Park Gyujin.” Seongjun mendengus lagi, kemudian menegakkan kembali tubuhnya. Pandangannya masih enggan untuk lepas dari Gyujin. “Benar-benar sudah lama. Apa yang kau lakukan di sini? Ah, tidak.... Apa yang, uh....” Seongjun tiba-tiba terlihat kebingungan dan tak bisa bicara dengan jelas. Ia sampai berdecak kesal, entah apa alasannya.
Gyujin tahu, ia tak boleh berlama-lama di sini, kecuali ia sendiri ingin bicara lebih lama dengan Seongjun. Untuk apa mereka melakukannya? Melepas kangen setelah tiga tahun tak bertemu? Seolah mereka adalah teman! Gyujin tak akan lupa bagaimana ia ditindas serta dipermalukan oleh Seongjun dan teman-temannya. Pun, Gyujin yakin seratus persen jika Seongjun juga tak lupa jika ia nyaris menghabisi nyawanya di pertemuan terakhir mereka.
Tak peduli dengan apa yang ingin dikatakan oleh Seongjun, Gyujin memilih untuk berbalik. Lagi pula, ia masih punya pesanan yang harus diantarkan.
“Hei, kau mau pergi begitu saja? Kau tidak mendengarkanku?” Seongjun kembali meraih lengan Gyujin, yang mana langsung saja ditepis olehnya. Seongjun kembali dibuat terkejut.
Mungkin, karena sorot mata nyalang yang diberikan oleh Gyujin, makanya Seongjun tak lagi menahan lengannya. Namun, Seongjun tetap berdiri di tempatnya, memasukkan tangan ke saku jaketnya dan memperhatikan Gyujin lekat-lekat.
“Kau jadi semakin berani sejak memegang pistol, huh? Bagaimana? Apa kau membawanya lagi denganmu?” Sudut bibir Seongjun terangkat, menciptakan senyum tipis di wajah tampannya.
Tangan Gyujin mengepal erat. Tidak, ia tak akan mengamuk di sini. Apalagi dengan seorang bajingan yang sudah lama tak ditemuinya ini. Gyujin kembali berbalik, meninggalkan Seongjun. “Aku sedang bekerja, jangan ganggu aku,” ucapnya dengan sengaja membuat suaranya terdengar seketus mungkin.
Meskipun jantungnya berdebar kencang, Gyujin tetap berusaha untuk terlihat tenang. Ia melangkahkan kakinya lebar-lebar agar bisa segera menjauh dari Seongjun. Ia bahkan enggan menoleh ke belakang untuk melihat apakah Seongjun masih berdiri di sana. Gyujin dengan sengaja tak menggunakan lift dan lebih memilih untuk naik tangga karena nanti bisa saja Seongjun juga ikut-ikutan naik lift.
Siapa sangka, Seongjun tak pula menaiki lift. Ia malah mengikuti Gyujin! Saat sudah berada di lantai tiga, Gyujin yang berbelok untuk pergi ke unit apartemen pelanggannya terpaksa bertemu pandang lagi dengan Seongjun yang mengikutinya.
Gyujin berdecak dan menatap tajam ke arah Seongjun. “Jangan mengikutiku!” teriak Gyujin padanya.
Kening Seongjun berkerut, ia mendengus lagi dan tertawa pelan. “Siapa yang mengikutimu? Aku cuma mau masuk ke apartemenku sendiri. Kau yang mau apa di depan pintuku.”
“Eh?” Gyujin berkedip beberapa kali. Meskipun ia tak bisa melihat raut wajahnya sendiri sekarang, tetapi Gyujin yakin sekali jika wajahnya konyol sekali. Gyujin lalu melirik tteokbokki di tangannya. Gyujin mencoba mengingat, tapi ia yakin jika pesanan ini bukan atas nama Kang Seongjun. Ah.... Benar juga. Pesanan ini atas nama tuan Kang. Pastilah Seongjun malas menyebutkan nama lengkapnya.
Gyujin mengangkat kantong plastik di tangannya dan memperlihatkannya pada Seongjun. “Jadi, ini pesananmu?”
“Pesanan? Ah, tteokbokki.” Seongjun menyeringai tipis. Ia kembali berjalan mendekati Gyujin yang kini tak berjalan mundur karena masih terkejut. “Kau kerja di kedai tteokbokki sekarang?”
Ada sesuatu yang sedikit aneh disadari oleh Gyujin. Ia yakin betul bahwa ia mendengar nada mengejek dari suara Seongjun, tetapi kali ini terasa berbeda dari biasanya. Meskipun sudah tiga tahun tak bertemu, tetap saja Gyujin masih bisa mengingat nada bicara penuh keangkuhan pria di hadapannya ini. Anehnya, kali ini ia tak menemukan keangkuhan itu.
Tanpa basa-basi, Gyujin langsung menggantung tteokbokki itu di gagang pintu. Tugasnya sudah selesai, ia hanya perlu mengantarkan pesanan, pun Seongjun sudah membayar, sehingga Gyujin tak perlu berlama-lama lagi di sini. Ia pun buru-buru melewati Seongjun yang masih menyeringai tipis.
“Park Gyujin, kau akan pergi begitu saja?” Seongjun kembali menahan lengan Gyujin. Kali ini, ia tak melepaskannya meskipun Gyujin menatap tajam ke arahnya. Ia menggenggam pergelangan tangan Gyujin begitu erat, tak membiarkannya pergi.
“Kang Seongjun, lepas.... Lepaskan!” Gyujin mencoba memberontak, tetapi percuma. Meskipun Gyujin ingat betul betapa pengecutnya Seongjun saat ia mengancungkan pistol ke arahnya, tetapi Seongjun tetaplah lebih kuat dalam urusan kekuatan fisik.
Tak langsung bicara, Seongjun hanya memperhatikan Gyujin. Seringai di wajahnya sudah hilang, digantikan ekspresi yang lain. Bagaimana Gyujin harus mendeskripsikan raut wajah yang dibuat oleh Seongjun sekarang? Bibirnya sedikit berkedut, menandakan bahwa ia ingin berbicara namun tak tahu bagaimana cara merangkai kata. Matanya yang biasanya menyorot setajam ular kini tampak bingung seolah tak tahu ke mana harus memandang, tetapi selalu berakhir bertukar pandang dengan Gyujin. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Seongjun? Sungguh Gyujin tak tahu.
“Kau... tak mau bicara denganku dulu?” Pertanyaan itu akhirnya keluar setelah Seongjun diam cukup lama. Suaranya sedikit serak saat mengatakannya, seolah tenggorokannya kering.
Gyujin langsung mengernyit. Ia tak lagi berusaha melepaskan genggaman tangan Seongjun. Malah, Seongjun sudah melemaskan kekuatannya, sehingga Gyujin bisa menarik tangannya dengan mudah. Gyujin menatap Seongjun dengan bingung, tetapi tetap meliriknya dengan tajam. “Untuk apa juga aku bicara denganmu?”
Seongjun tampaknya kesal dengan jawaban Gyujin, tapi ia tak mengatakan apa-apa lagi. Atau, Seongjun memang ingin mengatakan sesuatu, tapi tak tahu harus bilang apa lagi.
Tanpa menunggu perkataan Seongjun yang berikutnya, Gyujin langsung melenggang pergi. Ia tak ingin berlama-lama di sini. Melihat wajah Seongjun membuatnya muak.
“Hoi, Park Gyujin. Park Gyujin!” panggil Seongjun saat Gyujin sudah melangkah. Namun kali ini Seongjun tak sempat menahannya.
Gyujin melangkah dengan sangat terburu-buru meninggalkan Seongjun yang masih terus menerus memanggil namanya. Ia berlari-lari kecil saat menuruni tangga. Setelah sampai di motornya, Gyujin juga langsung naik dan ngebut ke jalanan. Jemarinya mengepal erat di setang motornya.
“Kang Seongjun....” Nama itu melebur bersama angin malam yang dingin.
.
.
“Gyujin-ah, kenapa kau melamun saat makan?” Suara ibunya membuat Gyujin tersadar dari lamunannya.
“Oh.... Ah, aku hanya masih mengantuk,” jawab Gyujin, setengah jujur, setengah berbohong. Ia memang masih mengantuk, sehingga rasanya ia bisa saja tertidur saat sedang sarapan, tetapi ia juga berbohong karena ia tak hanya sekadar mengantuk.
Setelah selesai dengan sarapannya, Gyujin kembali ke kamarnya. Duduk di pinggir ranjangnya, Gyujin tak dapat mencegah dirinya untuk memikirkan apa yang terjadi semalam. Saat ia bertemu kembali dengan Seongjun, Gyujin masih tak percaya jika itu semua bukanlah mimpi. Ia benar-benar bertemu dengan Kang Seongjun.
Diingatnya kembali tiap detik ketika bertemu dengan Seongjun. Tak ada yang berubah dari bajingan itu. Sorot matanya, suaranya, semuanya masih membuat Gyujin sesak. Kenapa ia tak pernah diberikan kesempatan untuk menjauh dari semua penderitaan ini? Seongjun sudah tahu di mana ia bekerja sekarang, untungnya Seongjun tak tahu jika kedai tteokbokki itu adalah milik ibunya. Sekarang, Gyujin hanya bisa berharap kalau Seongjun tak akan mencarinya. Namun, mengingat Seongjun tak jauh berubah, kemungkinan itu pastilah ada.
“Tunggu.... Ada yang berubah darinya.” Gyujin tiba-tiba menyadari sesuatu. Saat ia mengingat kembali apa saja yang terjadi malam itu, Gyujin menyadari beberapa hal yang sangat tidak cocok dengan Kang Seongjun yang dikenalnya di SMA. Pertama, ia hanya mendengar Seongjun memanggilnya “Park Gyujin”, bukan lagi “Fuck-Gyu” seperti yang biasa dilakukannya. Kedua, Seongjun terlihat... ragu-ragu. Ia tak seangkuh sebelumnya, meskipun wajah menyebalkan itu tetap ada.
“Dia aneh.” Hanya komentar itu yang bisa Gyujin berikan. Seongjun memang aneh malam itu.
Kembali berbaring, Gyujin menatap langit-langit kamarnya. Ia menghela napas dan mulai menutup matanya. Untuk apa ia peduli? Palingan, Seongjun bersikap seperti itu karena masih teringat dan mungkin trauma akan apa yang terjadi sebelumnya.
Ya, pasti hanya karena itu. Seongjun tak mungkin menahannya karena memang ingin bicara dengannya.
Gyujin hanya bisa berharap jika ia tak akan bertemu lagi dengan Seongjun. Namun, dugaannya soal Seongjun yang pasti tak akan melepaskannya begitu saja memang benar.
Tengah hari itu, saat ibunya menerima pesanan pesan antar, Gyujin sudah memiliki dugaan. Ia pun terpaksa melajukan motornya kembali ke sana.
Menghela napas lelah, Gyujin menatap apartemen di hadapannya. Masih dengan helm yang terpasang di kepalanya, Gyujin dengan malas melangkahkan kakinya menuju lantai tiga.
Di sini ia sekarang, di depan unit apartemen Seongjun, dengan kantong berisi tteokbokki yang panas.
.
.
To be continued
.
.
Notes:
Sonyeonwon (소년원): Lembaga permasyarakatan/pembinaan khusus anak-anak dan remaja di bawah umur.
Ini adalah fanfic keduaku untuk Seongjun x Gyujin. Ya... aku tahu ini ooc banget, tapi aku nggak tahan pengen nulis mereka lagi :) Semoga kalian suka ya~ Chapter 2 akan update hari Minggu besok~
See you!
Virgo
Chapter Text
Tak ada catatan dalam pesanan yang meminta agar tteokbokki itu ditaruh saja di gagang pintu. Bukannya Gyujin ingin berprasangka buruk pada orang lain, tetapi kalau Seongjun, ia yakin bahwa pemuda itu memang sengaja memesan agar mereka bisa bertemu lagi. Itulah mengapa Gyujin berdiri dengan ragu di depan pintu apartemen yang baru kemarin dikunjunginya.
Menghembuskan napas lelah, Gyujin akhirnya menaruh tteokbokki itu di gagang pintu seperti yang ia lakukan kemarin. Tak tahu apa tujuan Seongjun yang sebenarnya, Gyujin pun tak peduli. Jika pria itu memang hanya ingin mengganggunya, sebaiknya tak perlu Gyujin acuhkan. Ia tak takut, sungguh. Gyujin hanya lelah. Bukan hanya sekadar lelah fisik, tetapi juga lelah pikiran. Berurusan kembali dengan Seongjun hanya akan membuat kepalanya meledak karena stres.
Gyujin kembali melangkahkan kakinya menuju lift. Namun, sebelum ia sempat menekan tombol lift, tubuhnya menegang mendengar suara pintu yang terbuka dari belakang.
“Pelayanannya buruk sekali. Hanya karena kemarin aku minta agar pesananku ditaruh saja di depan pintu, sekarang pun kau hanya meninggalkannya dan langsung pergi? Astaga, haruskah aku meninggalkan ulasan jelek soal pengirimannya?”
Rasa jengkel kembali menggerogoti tubuhnya. Gyujin berbalik, menatap Seongjun yang kini bersandar di pintu. Ia menaikkan kaca helmnya dengan sedikit terlalu kasar. “Aku tahu apa yang kau inginkan, Kang Seongjun. Kau tidak mau tteobokki, kau hanya ingin menggangguku.”
Seongjun mendengus, lalu menegakkan badannya untuk berjalan mendekati Gyujin. “Percaya diri sekali kau. Kau pikir semua yang aku lakukan di hidupku ada urusannya denganmu?” Seongjun kini sudah berdiri di depan Gyujin. Wajahnya masih dihias seringai menyebalkan seperti biasanya, walaupun seringai itu terlihat agak ganjil. Seolah, Seongjun tak tahu bagaimana caranya mengendalikan raut wajahnya.
Gyujin tak gentar walau ditatap tajam oleh Seongjun. Menurut Gyujin, Seongjun hanya ingin melihatnya gemetar ketakutan, maka Gyujin tak akan memberikan apa yang diinginkannya. Meskipun, jujur saja, Gyujin masih merasakan jantungnya berdebar kencang. Apa yang harus ia lakukan jika Seongjun menghajarnya? Sekalipun Gyujin melawan, Seongjun masih menang dalam urusan kekuatan. Dan, sebenarnya itu pulalah salah satu alasan mengapa Gyujin tak melepas helmnya. Setidaknya ia masih punya pelindung kepala. Pun, kalau Seongjun menghajarnya, ia bisa melemparinya dengan helm ini, kan?
“Ck. Apa-apaan matamu itu.” Seongjun berdecak, terdengar kesal. Tangannya kemudian terangkat tepat ke depan wajah Gyujin.
“Ugh!” Spontan saja, Gyujin bahkan tak sadar jika ia langsung mengangkat tangannya untuk melindungi kepalanya. Ia sudah lupa jika ia sedang mengenakan helm. Apakah ia memang trauma?
Namun, tak seperti dugaannya, Seongjun tak mendaratkan tangannya. Gyujin mengintip, dan mendapati bahwa Seongjun, yang masih dengan tangan yang terangkat, menatap ke arahnya dengan sorot mata yang... ketakutan. Kenapa malah Seongjun yang terkejut dan bahkan takut? Bukankah Gyujin yang seharusnya takut karena hampir dipukul oleh Seongjun?
Perlahan, Seongjun menurunkan kembali tangannya. Gerakannya menjadi canggung. Hal ini membuat Gyujin semakin bingung. Apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Seongjun?
“Aku.... Uh, aku tidak ingin memukulmu. Kau... tidak perlu sampai takut begitu.” Seongjun berdeham di akhir. Suaranya tiba-tiba menjadi serak dan bahkan terdengar nyaris seperti bisikan.
Gyujin, yang juga sama canggungnya, menurunkan tangan beserta pandangannya. Atmosfer di antara mereka menjadi seaneh hari yang dingin di tengah musim panas. Gyujin tak mengerti kenapa ia malah jadi malu karena berpikir kalau Seongjun akan memukulnya. Pun, yang lebih membuatnya bingung adalah, kenapa Seongjun malah terlihat seperti seseorang yang bersalah? Sejak kapan bajingan itu tahu bagaimana caranya merasa bersalah?
Hening yang membuat tak nyaman menemani mereka untuk beberapa saat. Gyujin kembali melirik Seongjun yang masih diam di tempatnya.
“Kalau kau ingin mendengarku mengucapkan maaf, baiklah,” ucap Gyujin memecah keheningan. Seongjun mengernyit mendengar perkataannya. Gyujin pun kembali mengangkat pandangannya, menunjukkan sorot mata yang menyala berani. “Maafkan aku. Jika itu memberikanmu mimpi buruk, maka maafkan aku. Tapi, kau harus ingat kalau aku tidak meminta maaf karena aku merasa bersalah, melainkan hanya kasihan padamu. Bagaimanapun, kaulah bajingannya di sini.”
Perkataan Gyujin disambut oleh ketegangan yang berteriak nyaring di telinga Seongjun. Raut wajahnya yang tadi masih bingung dengan apa yang dikatakan oleh Gyujin digantikan dengusan jengkel. Seongjun tidak menerima permintaan maaf itu. Atau, ia bahkan tak menginginkannya sama sekali.
Tidak peduli. Gyujin tidak peduli apakah Seongjun akan memaafkannya atau tidak. Namun, dari kerut di kening Seongjun dan seringai penuh cemooh di wajahnya, Gyujin menduga bahwa Seongjun tak akan memaafkannya begitu saja. Terserah. Bukankah seharusnya Seongjun yang meminta maaf padanya? Seongjun-lah yang membuatnya menderita selama ini.
“Park Gyujin....” Seongjun menggeram, tangannya mengepal hingga urat-urat di tangannya menonjol.
Gyujin tak yakin apakah ia benar atau tidak, tetapi Seongjun tampaknya sedang menahan emosi yang meledak-ledak dari dalam dirinya. Namun rahang Seongjun menegang, tak tahu bagaimana caranya bicara dengan benar.
Seongjun mengambil satu langkah lagi mendekati Gyujin, dan kali ini Gyujin memilih untuk mundur. Tangannya juga terangkat untuk menahan Seongjun yang semakin mendekat. Gyujin tak ingin memperpanjang masalah ini lagi.
Kembali menutup kaca helmnya dengan sedikit kasar, Gyujin masih menatap Seongjun tanpa gentar. Ia tak akan membiarkan Seongjun menganggapnya lemah lagi. “Mulai sekarang, berhenti menggangguku. Kita tidak punya urusan apa-apa lagi.” Gyujin lalu berbalik, menekan tombol lift dan masuk.
Saat pintu lift perlahan menutup, Seongjun masih berdiri di sana. Ia tak lagi menatap Gyujin, dan hanya menundukkan pandangannya. Gyujin masih dapat melihat kepalan tangannya yang semakin erat. Seongjun seolah bisa saja menghajar siapa pun yang ditemuinya sekarang juga. Namun sungguh, untuk apa Gyujin peduli.
.
.
Masih sama seperti biasanya, Gyujin akan menghabiskan waktunya membantu di kedai tteokbokki ibunya. Sesekali ia melayani pelanggan, sesekali ia mencuci piring di dapur, dan sesekali ia menjawab telepon untuk menerima pesanan. Gyujin tak lagi mengantarkan pesanan sejak seorang mahasiswa baru yang sedang libur musim panas bekerja di tempat mereka. Ia menyerahkan kunci motornya dan membiarkan mahasiswa itu mengantarkan pesanan.
Selain karena mahasiswa itu masih belum mahir dalam menyajikan pesanan ke pelanggan, tentu saja Gyujin juga punya alasan yang lebih personal untuk menyuruhnya menjadi kurir. Beberapa hari belakangan ini, mereka terus-terusan mendapatkan pesanan ke apartemen Seongjun. Ia tak mau bertemu dengannya, dan ini satu-satunya cara agar mereka tak bertemu. Pun, paling nanti Seongjun akan berhenti sendiri. Setelah tak lagi bertemu dengan Gyujin, Seongjun pasti akan merasa jengkel, lalu bosan, dan akhirnya melupakannya. Memangnya, apa pula yang membuat Seongjun akan tetap gigih menemuinya?
Kalau Seongjun masih mencari cara agar mereka bisa bertemu, maka pria itu sama saja dengan orang gila. Mana ada orang yang mau repot-repot hanya untuk mengganggu seseorang yang sudah tiga tahun tak ia temui? Ya, Seongjun tak akan mau membuang tenaga hanya untuk mengganggu Gyujin lagi.
Namun, sepertinya Seongjun memang segila itu.
Lonceng pintu berbunyi, menandakan seseorang baru saja masuk. Gyujin yang baru saja selesai mengantarkan pesanan ke salah satu meja ingin menyambut pelanggan yang baru datang tersebut. Namun Gyujin malah terdiam, terkejut mengetahui siapa yang datang.
“Selamat datang!” Sapaan yang dilontarkan oleh ibunya yang membuat Gyujin tersadar dari lamunannya.
Gyujin buru-buru mengalihkan pandangannya dan berbalik. Ia tahu jika usahanya untuk bersikap tak peduli akan sia-sia saja. Meskipun Seongjun bicara pada ibunya, mengatakan pesanannya, Gyujin tetap dapat merasakan tatapan Seongjun pada punggungnya.
Gyujin berdiri di dapur, menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Kebetulan, ibunya masuk ke dapur saat itu juga.
“Ada apa? Kau capek? Kalau iya, istirahat saja dulu,” ucap ibunya sambil mengusap kepala Gyujin dengan penuh rasa sayang.
Senyum yang diberikan oleh ibunya membuat Gyujin mau tidak mau balas tersenyum. Ia sebenarnya akan sangat lega jika bisa pergi beristirahat sebentar, sehingga ia tak perlu melihat sorot mata bagai ular yang diberikan oleh Seongjun. Namun, bagaimana ia bisa duduk berleha-leha saat ibunya malah sibuk bekerja? Bahkan, seharusnya Gyujin yang mengingatkan ibunya untuk beristirahat sejenak.
Pada akhirnya Gyujin menggeleng, mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
“Kalau begitu, bawa pesanan untuk pemuda tampan di pojok itu, ya.” Ibunya lalu menyajikan sepiring tteokbokki dan gimmari, menyodorkannya kepada Gyujin.
“Eh? Ah....” Untuk yang satu ini, Gyujin tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Bagaimana ia bisa bilang pada ibunya bahwa ia enggan untuk mendekati meja itu? Terlebih lagi, jika Gyujin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya di depan Seongjun, pasti Seongjun akan mengeluh dengan lantang, membuat ibunya menegurnya, lalu Gyujin akan diingatkan lagi untuk bersikap ramah kepada pelanggan.
Dengan sangat enggan, Gyujin mengangkat piring tersebut, berjalan keluar dari dapur. Gyujin tak terlihat berlebihan jika ia menarik napas panjang untuk mempersiapkan dirinya, kan? Ia sedang dalam perjalanan menemui makhluk paling menyebalkan yang pernah ditemuinya.
Baru juga Gyujin mengambil beberapa langkah, ia sudah dibuat muak oleh seringai tipis di wajah Seongjun. Lihatlah kepuasan di wajahnya itu. Ingin sekali rasanya Gyujin melemparkan tteokbokki yang panas ini ke wajah tampan Seongjun.
“Silakan.” Oh, belum pernah selama ini Gyujin bersuara seketus itu pada pelanggan sebelumnya. Ini service khusus untuk Seongjun, dan percayalah, Gyujin sudah berusaha bersikap seramah yang ia bisa. Gyujin pun langsung berbalik setelah selesai mengantarkan pesanan Seongjun. Ia tak meliriknya sama sekali.
“Hei, itu saja?” Seongjun bersuara di belakangnya, tetapi Gyujin tetap berlalu pergi.
Kalau lama-lama berhadapan dengan Seongjun, ia bisa darah tinggi setiap kali mendengar suaranya. Pun, Gyujin tak mau marah-marah di sini. Ia tak mau membuat pelanggan lain jadi tidak nyaman dan akhirnya tak datang lagi.
Setelah mengantarkan pesanan Seongjun, Gyujin lanjut melayani pelanggan lainnya. Ia sesekali masuk ke dapur untuk mencuci piring atau menggantikan ibunya menyajikan. Ia akan melakukan apa pun asalkan bisa mengabaikan Seongjun. Namun, apa mungkin Seongjun berpikir untuk tetap tinggal di sini?
Melirik dari belakang, Gyujin diam-diam menatap Seongjun yang sudah menghabiskan ttekbokki dan gimmari di depannya. Namun ia tetap saja tak beranjak dari tempatnya. Malah, Seongjun kembali mengangkat tangannya ke arah ibu Gyujin, mengatakan bahwa ia ingin tambah tteokbokki, eommuk, dan gimbab.
Gyujin sampai tercengang. Haruskah ia memuji kegigihan Seongjun untuk mengganggunya?
Gyujin mengantarkan pesanan Seongjun yang berikutnya. Sekarang ia membalas tatapan Seongjun padanya. Gyujin bahkan tak peduli dengan wajahnya yang benar-benar jutek. Bagaimana ia bisa tersenyum saat Seongjun malah menyeringai menyebalkan di hadapannya?
“Pergilah setelah kau menghabiskannya.” Gyujin bicara sambil mengatupkan giginya agar tak terdengar oleh ibunya ataupun pelanggan lain.
Seongjun mendengus. Seringai di wajahnya semakin lebar, menunjukkan rasa puas di wajahnya. Ia mengangkat alisnya dan menyenderkan tubuhnya ke depan. “Kau mengusir pelangganmu?”
“Tch.” Gyujin tahu, semakin ia meladeni Seongjun, maka Seongjun akan semakin berulah. Makanya, dengan jengkel, Gyujin berbalik dan langsung meninggalkan Seongjun yang masih tersenyum ke arahnya.
Gyujin tak benar-benar menghitung, tetapi ia tahu bahwa Seongjun sudah duduk di sana selama satu jam penuh. Ibu Gyujin sampai-sampai mengira bahwa Seongjun sangat suka dengan masakannya, sehingga tambah terus-menerus. Oh, apa kata ibunya nanti kalau tahu bahwa pria itu bukan datang untuk tteokbokki melainkan untuk mengganggu putranya?
“Oi, kau pura-pura tak mendengarku, ya?”
Gyujin memutar mata lelah. Ia berhenti di dekat meja Seongjun, tetapi ia bahkan tak mau repot-repot untuk menoleh. Bahkan, bukan keinginan Gyujin untuk berhenti di sana. Seongjun meraih tali celemeknya, memaksanya untuk berhenti. Meskipun Gyujin mencoba untuk maju, Seongjun tetap tak melepaskan tangannya, membuat perut Gyujin sedikit sakit karena ikatan celemek yang semakin kuat.
Tahu bahwa Seongjun tak akan melepaskannya sebelum ia bicara, dan tak ingin membuat keributan, Gyujin akhirnya menoleh. Ia memandang dengan malas, menunjukkan keengganannya untuk bicara dengan Seongjun. Oh, Gyujin bahkan enggan untuk berada di satu ruangan yang sama dengan Seongjun.
“Apa? Kau masih mau memesan lagi?” tanya Gyujin dengan nada ketus. Seorang pelanggan yang duduk di meja di depan Seongjun sampai menoleh sekilas ke belakang. Gyujin hanya bisa berharap jika ia tak membuat reputasi kedai tteokbokki ibunya menjadi jelek.
Mendengus, Seongjun menampilkan seringainya. Ada sedikit kepuasan di wajahnya karena Gyujin akhirnya menaruh perhatian padanya. “Aku bosan, temani aku di sini.”
“Kau benar-benar gila.” Gyujin mengerlingkan mata. Ia sungguh tak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh Seongjun sekarang.
Gyujin baru saja ingin kembali melangkah, saat tangan Seongjun kembali terangkat untuk menahan celemeknya. Gyujin menatap tajam ke arah Seongjun yang hanya mengangkat alis tak peduli. Genggaman Gyujin pada nampan di tangannya semakin menguat. Kalau bisa, ia ingin memukul kepala Seongjun sampai ia pingsan dan berhenti menyeringai.
“Gyujin-ah, ada apa?” Suara ibunya membuat Gyujin tersentak. Ia menoleh ke arah ibunya yang sedang berada di konter.
Gyujin buru-buru membuang raut kesalnya dan tersenyum. “Ah.... Oh, bukan apa-apa, kok.” Ia memastikan untuk terus tersenyum hingga ibunya kembali berbalik untuk masuk ke dapur.
Setelah ibunya tak lagi memperhatikan, Gyujin kembali menoleh ke arah Seongjun yang masih tersenyum puas. Hilang sudah senyum manis itu digantikan oleh tatapan yang siap membunuh kapan saja.
Tak tahan lagi, Gyujin akhirnya menghela napas. Ia menendang pelan kaki kursi yang diduduki oleh Seongjun. “Berdiri. Kita bicara di luar.”
Seongjun mendengus, kemudian berdiri dengan senyum yang anehnya malah semakin lebar. Ia lalu mendahului Gyujin dan keluar. Gyujin terlebih dahulu menaruh nampan yang dibawanya dan mengatakan pada ibunya bahwa ia akan keluar sebentar.
Seongjun sudah berdiri di depan pintu masuk sambil bersandar di dinding selagi menunggu Gyujin keluar. Sorot matanya yang bagaikan ular berbisa itu masih saja menyebalkan. Gyujin mencoba memberi lirikan yang sama, tetapi ia tetap tak bisa benar-benar mengintimidasi Seongjun dengan tatapan matanya. Oh, sialan. Kenapa sorot mata menyebalkan Seongjun malah membuatnya semakin menawan?
Gyujin tak akan bicara di sini. Ada beberapa pelanggan yang duduk di meja luar, dan ia tentunya tak boleh marah-marah di depan mereka. Gyujin pun akhirnya mengajak Seongjun untuk bicara di gang kecil, tempat bak sampah dan kucing-kucing liar berkumpul.
“Maumu sebenarnya apa, sih?” Gyujin tak menahan dirinya dan langsung meninggikan suaranya. Ia menatap kesal ke arah Seongjun yang masih saja bersikap tak peduli dengan tangan yang dimasukkan ke saku celananya.
Seongjun tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Gyujin yang masih saja marah-marah dengan rambut yang sedikit berantakan.
Pun, Gyujin tak mau menunggu hingga Seongjun menjawabnya. Ia lanjut mengeluarkan unek-unek yang sudah disimpannya sedari tadi. “Berhentilah menggangguku! Apa kau tidak lihat kalau aku sedang bekerja? Lagian, kenapa kau harus datang ke sini, sih? Apa kau sebegitunya ingin membuatku kesal? Kau tak lagi bisa bertemu denganku saat mengantarkan pesanan ke tempatmu, makanya kini kau muncul di hadapanku? Apa kau juga ingin membuat ribut di kedai ibuku agar bisa membuatku semakin muak padamu? Apa kau berharap jika aku akan kembali tunduk padamu? Tidak akan! Kang Seongjun, kuperingatkan kau, jangan pernah menggangguku lagi!”
Gyujin bicara tanpa henti. Teriakannya sampai-sampai membuat kucing-kucing yang tadi sibuk mencari makan akhirnya pergi karena terkejut. Gyujin juga tak lagi peduli pada beberapa orang lewat yang melirik ke arah mereka.
Namun, tidak peduli seberapa merahnya wajah Gyujin karena marah, Seongjun masih tetap berdiri di tempatnya, dengan tangan yang dimasukkan ke saku, dan mata yang tak lepas dari Gyujin.
Sialnya, saat menyadari tatapan itu, Gyujin langsung terdiam. Ia tidak diam karena takut. Gyujin malah heran mendapati Seongjun terus saja menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Bukan hanya sekadar ingin membuat Gyujin kesal, tetapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat jantung Gyujin berdebar kencang tak karuan.
Bukannya melangkah mundur, Seongjun malah membungkuk, menyejajarkan wajahnya dengan Gyujin. “Akhirnya kau bicara juga. Sepertinya, aku benar-benar harus membuatmu kesal dulu sebelum bicara denganmu.”
Suaranya yang masih saja dingin itu menggema di gang sempit yang sunyi. Untuk beberapa saat, hanya suara tonggeret yang memekakkan telinga yang mengisi kebisingan. Gyujin tak dapat membuka mulutnya untuk bersuara. Sinar asing yang menyirat dari manik gelap Seongjun membuatnya bungkam. Ia tak bisa mengerti. Ia tak bisa membaca apa yang dipikirkan oleh pria tinggi itu sekarang.
Tidak, ini tidak sama dengan tatapan tajam yang selalu diberikan oleh Seongjun padanya. Bukan pula tatapan jijik yang selalu Seongjun berikan untuk memandang rendah dirinya. Sedikit, sedikit saja, Gyujin melihat mata Seongjun gemetar takut. Ya, ada sedikit sorot ketakutan dalam tatapan itu, tetapi Gyujin tak bisa melihat apa yang ditakutkan oleh Seongjun. Juga, Gyujin menemukan keraguan dalam tatapan Seongjun.
Sadar jika ia menatap Seongjun terlalu lama—dan Seongjun juga menatapnya terlalu lama tanpa bicara apa-apa, Gyujin akhirnya mendorong Seongjun dengan sangat keras hingga membuat Seongjun mundur sedikit. “Berhentilah muncul di hadapanku, Kang Seongjun. Aku sudah muak padamu.”
Seongjun mendengus, tetapi dengusan itu terdengar seolah Seongjun sedang mengejek dirinya sendiri. “Kau pikir aku tidak muak padamu? Aku juga tak tahan melihat tatapan menyebalkanmu itu.”
“Kalau begitu berhenti menggangguku!” Gyujin kembali menaikkan suaranya. Ia benar-benar sudah muak. Gyujin menarik napas panjang, sebelum akhirnya menghembuskannya dengan keras. Ia lalu menunjuk Seongjun tepat di depan wajahnya. “Aku sudah mencoba untuk melupakan semua hal tentang dirimu, Kang Seongjun. Aku menjalani hari-hari terbaikku saat aku tak perlu lagi melihatmu. Hidupku bahagia sekali karena tak ada sedetik pun aku teringat padamu. Jangan datang untuk mengacaukan hidupku lagi. Jika kau hanya ingin mencari anak anjing untuk menghiburmu, maka carilah orang lain. Aku tidak akan lagi menjadi mainanmu.”
Gyujin bernapas dengan berat. Kedua manik Seongjun yang tak kunjung berhenti menatapnya sungguh membuat darahnya mendidih.
“Ck.” Gyujin akhirnya berbalik, meninggalkan Seongjun yang masih berdiri, tak melepaskan pandangannya.
“Park Gyujin, aku benar-benar tidak boleh lagi bicara denganmu?” Pertanyaan yang dilontarkan oleh Seongjun membuat Gyujin berhenti.
Menoleh ke belakang, Gyujin menatap tajam ke arah Seongjun. Ia lalu mengacungkan jari tengahnya. “Dalam mimpimu!” Dan ia langsung mempercepat langkahnya untuk kembali ke kedai tteokbokki.
Di belakang, Seongjun hanya mendengus. Tak ada lagi seringai terlukis di wajahnya. Namun, kejengkelan dan kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Ia berdecak kesal, menendang kerikil yang bahkan tidak menghalangi jalannya.
.
.
To be continued
.
.
Notes:
Chapter 2 done! Makasih buat yang mau baca sampai sini :) Lanjut?
Update berikutnya hari Sabtu depan!See you!
Virgo
Chapter Text
“Aku memesan tteokbokki biasa, bukan cheese tteokbokki. Lalu, apa ini? Twigim? Aku tidak memesan twigim, tapi eomuk! Aah! Apa-apaan ini! Aku tak sudi membayar, kembalikan uangku!” Seorang pria berperawakan tiga puluh tahun dengan kaos oblong putih berteriak pada Gyujin yang masih mengenakan helmnya. Beberapa orang yang lewat menoleh, tetapi kemudian pura-pura tak melihat.
Gyujin menarik napas dalam-dalam, menahan emosinya. Ia membacakan kembali apa yang tertulis di struk pesanan pelanggan di depannya. “Tapi, Anda benar-benar memesan cheese tteokboki dan twigim. Kami tidak mungkin salah mencatat pesanan” Gyujin bersikeras. Ia yakin jika kesalahan bukan berada pada mereka. Walaupun, ia juga sedikit ragu karena yang tadi mengurus pesanan pria ini adalah si mahasiswa yang bekerja paruh waktu dengan mereka. Ah, si mahasiswa tak lagi menjadi kurir karena ia ternyata tak begitu pandai menemukan alamat pelanggan dan mendapatkan banyak komplain karena pengantaran yang lama. Sehingga, Gyujin kembali menjadi yang bertanggung jawab untuk mengantarkan pesanan.
“Tidak mungkin! Aku tidak mungkin lupa dengan apa yang aku pesan. Aku selalu membeli tteokbokki dan eomuk dalam hidupku, mana mungkin aku yang keliru. Tentu saja kesalahannya ada pada kalian! Sudahlah, jangan membalas lagi, kembalikan saja uangku!” Pria itu kembali berteriak. Ia sama sekali tidak malu dengan tetangga-tetangganya yang menggeleng-gelengkan kepala mereka.
Gyujin masih mencoba untuk sabar. Tentu saja ia tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria ini. Pesanannya tidak salah, tetapi ia berlagak seperti ini karena menginginkan makanan gratis. Gyujin pernah ditimpa kejadian yang sama sebelumnya. Ada seorang pelanggan yang memesan, dan kemudian setelah Gyujin mengantarkannya, ia bersikeras kalau pesanannya salah sehingga Gyujin pun mengembalikan uangnya. Padahal, tak ada yang salah dengan pesanannya dan tidak seharusnya Gyujin melakukan refund.
“Tuan, saya benar-benar minta maaf, tapi itulah yang Anda pesan.” Gyujin kembali mencoba, tetapi ia tetap saja diteriaki oleh si pria.
“Dasar tak tahu malu! Bisa-bisanya kau masih mengatakan kalau akulah yang salah. Kau yang salah di sini, dasar keparat!”
Oh, Gyujin tak sanggup lagi. Siapa keparat yang sebenarnya di sini? Mengepalkan tangannya dengan erat, Gyujin bersiap untuk membalas si pria, saat suara yang familier menggema di belakangnya.
“Aigoo.... Apa-apaan ini? kenapa kau ribut-ribut di sini, huh?” Kang Seongjun, yang entah bagaimana bisa berada di sini, berjalan dengan santai ke arah Gyujin yang bahkan tak menyembunyikan keterkejutannya. Begitu sampai di samping Gyujin, Seongjun langsung menatap pria di hadapannya. “Ahjussi, apa sih, yang dari tadi kau ributkan? Kau membuat seluruh penghuni apartemen ini terganggu, lho.”
Pria itu menatap Seongjun dengan kening berkerut. “Siapa kau? Apa urusanmu di sini? Lagian, wajar aku marah karena aku tidak mendapatkan apa yang aku inginkan, kan?”
Seongjun mendengus, kemudian tanpa bicara terlebih dahulu, ia mengambil struk yang dipegang oleh Gyujin. Ia mulai membacakan pesanan apa saja yang tertulis di sana, lalu nama hingga alamat penerima. Seongjun kemudian membawa pandangannya ke papan nama yang tertera di samping pintu. “Oh, Gyujin-ah, sepertinya kau memang salah.”
Gyujin mengernyit, menatap Seongjun dengan bingung sekaligus terkejut. Pertama, ia bingung karena dibilang melakukan kesalahan. Kedua, ia terkejut dengan cara Seongjun memanggilnya.
Seongjun mengembalikan struk tersebut sambil menunjuk nama yang tertera di sana. “Nama penerimanya berbeda. Di sana tertulis tuan Shim Gijun, sedangkan ini rumahnya tuan Sagikkun*.” Seongjun melirik pria di hadapannya yang kini mengeram karena kesal. Seongjun menyeringai puas melihat wajah si pria.
“Dasar tidak punya sopan santun! Bagaimana bisa kau bicara seperti itu pada orang yang lebih tua?” Pria itu menunjuk-nunjuk Seongjun dengan wajah yang sudah memerah.
“Ah, benar juga, desah Seongjun sambil memukul pelan keningnya. Ia memasang tampang seolah baru saja teringat sesuatu. “Kau kan sudah tua, bagaimana jika kau berhenti marah-marah sekarang? Itu tidak baik untuk kesehatanmu, ahjussi.”
Muka pria itu semakin merah, bahkan lebih merah dari gochujang. “Dasar brengsek!” Ia sudah tak bisa lagi menahan emosinya dan mengangkat tangannya, bersiap untuk memukul Seongjun.
Gyujin sampai tersentak saking terkejutnya. Namun, Gyujin tak takut karena ia sendiri tahu jika Seongjun akan menahannya. Bahkan, saat Seongjun berhasil menangkap tangan si pria, Seongjun dengan sengaja menahannya meskipun pria itu berusaha keras untuk menarik kembali tangannya.
“Lepaskan tanganku, dasar bocah sialan!” teriak si pria yang menarik tangannya dengan kencang.
Seongjun dengan sengaja melepaskan tangan pria itu saat ia menariknya keras-keras, sehingga pria itu langsung terhuyung ke belakang. Seongjun terkekeh puas.
Berdecak, si pria akhirnya kembali melirik Gyujin yang masih berdiri tegak tanpa sedikit pun gentar. “Awas saja kau! Tteokbokki sialan! Semoga kalian bangkrut!” Dengan emosi yang masih tak bisa ia kendalikan dan wajah yang masih memerah, ia akhirnya menutup pintu. Tentu saja ia membantingnya dengan keras, hingga Gyujin pikir pintu itu pasti akan rusak.
“Oh, dia tetap membawa tteokbokki yang ‘salah’ itu dengannya,” ucap Seongjun sambil terkekeh geli. Ia kemudian membalikkan badan, menoleh ke arah Gyujin yang menatapnya dengan tampang datar di balik kaca helmnya.
“Kau baik-baik saja?” Pertanyaan itu keluar dengan spontan, dan Seongjun berdeham, pura-pura tak pernah mengatakannya. Seongjun mengangkat alisnya sambil tersenyum miring. “Bagaimana? Aku keren, bukan? Hah.... Entah apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak datang.”
Gyujin hanya memutar mata malas, tidak peduli. Tanpa bilang terima kasih, Gyujin langsung berbalik dan beranjak dari sana.
“Oi! Park Gyujin, kau pergi begitu saja? Kau tidak mau bilang terima kasih atau sebagainya?” Gyujin sudah menduga jika Seongjun akan mengejarnya. Mana mungkin Seongjun akan pergi begitu saja tanpa mengganggu Gyujin.
Seongjun langsung berada di samping Gyujin yang masih enggan untuk bicara dengannya. Ia melirik Gyujin yang kini sibuk dengan ponselnya. saat Seongjun mengintip, ia langsung mengernyit. Tanpa aba-aba sebelumnya, Seongjun menarik pundak Gyujin, menghentikannya dengan paksa.
Gyujin berdecak kesal dan menatap tajam ke arah Seongjun. “Apa lagi sekarang?”
“Kau benar-benar akan mengembalikan uang si bajingan itu?” Seongjun menatap Gyujin dengan ketidakpercayaan.
Gyujin melepaskan tangan Seongjun yang masih berada di pundaknya. Ia menghela napas, menatap Seongjun seperti menatap nasib sial yang sudah pasrah diterimanya. “Kalau kau tidak mengerti apa-apa, sebaiknya kau diam saja. Apa kau tahu? Kaulah yang membuat dia semakin marah dan pada akhirnya menyumpahi kami akan bangkrut. Kalau saja kau tidak memporovokasinya lebih jauh, maka dia tidak akan semarah itu.”
Seongjun mendengus, tercengang mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Gyujin. “Aku baru saja menolongmu, lho? Kenapa kau malah mengeluh padaku?” Seongjun mengambil satu langkah untuk berdiri semakin dekat dengan Gyujin. Namun Gyujin hanya bergeming dan tetap berdiri di tempatnya dengan tatapan datar seolah tak peduli.
Sudut bibir Seongjun terangkat sedikit. “Kau benar-benar menyebalkan,” ucapnya. Seongjun lalu kembali mengambil langkah mundur, raut wajahnya masih terlihat jengkel. “Lalu, apa itu artinya kau tetap harus mengembalikan uangnya? Bukannya dia akan tetap mengutuk kedai tteokbokki kalian sekalipun kau mengembalikan uangnya?”
“Setidaknya itu akan membuatnya berhenti mengoceh dan menjelek-jelekkan kami.” Gyujin kembali menundukkan kepalanya untuk memeriksa ponselnya. Sorot matanya perlahan meredup. Suaranya menjadi lebih pelan dari semilir angin yang menyejukkan di tengah musim panas. “Aku tidak mau merepotkan ibuku lagi.”
Kata-kata Gyujin melayang di udara untuk waktu yang lama. Tidak peduli sepelan apa ia bicara, perkataannya terdengar lantang di telinga Seongjun.
Atmosfer di antara mereka tiba-tiba berubah menjadi canggung. Sungguh, Gyujin tak menduga ini. Ia pikir, Seongjun pasti akan langsung meledeknya setelah mengatakan itu. Namun Seongjun hanya diam, menatapnya tanpa ada kebencian dan jijik di sorot matanya. Sungguh tatapan yang membuat Gyujin merasa janggal. Ia tak tahu dari mana datangnya, tetapi ia merasa tenang karena Seongjun tak mengatakan apa-apa dan hanya diam menatapnya seolah mengasihaninya.
Berdeham, Gyujin menghapus semua kecanggungan itu. Dagunya kembali terangkat, menatap Seongjun dengan alis berkerut. “Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di sini? Jangan bilang kalau kau mengikutiku seharian ini?” Gyujin menatap Seongjun dengan horor di matanya. Seongjun sudah tampak seperti seorang psikopat gila baginya.
Seongjun mendengus kesal sambil mengerlingkan mata malas. “Untuk apa aku mengikutimu, huh?” Seongjun memasukkan tangannya ke saku jaketnya. “Temanku tinggal di lantai atas, aku baru saja dari sana. Dan, saat aku mau pulang, tepat setelah aku keluar dari lift, aku mendengar seseorang marah-marah dan itu sangat menggangguku. Saat kulihat ‘anak kecil’ yang berdiri di depannya tampak familier, aku langsung mendekat. Ternyata, itu kau.” Seongjun menyungging seringai di wajahnya.
“Oh, begitu,” balas Gyujin, tak lagi merasa peduli. Hah, lagian, kenapa pula ia sampai berpikir jika Seongjun benar-benar mengikutinya?
Tanpa bicara apa-apa lagi, Gyujin langsung berbalik, meninggalkan Seongjun yang masih mencoba untuk menahannya. Gyujin benar-benar dibuat lelah oleh Seongjun. Gyujin sungguh tak mengerti kenapa Seongjun sangat keras kepala begini. Apakah perkataan Gyujin padanya beberapa hari yang lalu itu kurang jelas?
Gyujin menepis tangan Seongjun dengan sekuat tenaga. Ia berdiri berhadap-hadapan dengan Seongjun yang tampaknya juga sedikit terkejut karena dorongannya. Gyujin membuka kaca helmnya, menatap tajam ke arah Seongjun. Ia tak bisa menahannya lagi. “Kang Seongjun! Berhenti menggangguku! KUMOHON BERHENTI!” Meskipun sudah berada di luar gedung apartemen, tetap saja suara teriakan Gyujin sampai mengejutkan penghuni di lantai atas. Teriakannya tak main-main. Semua amarah dan kekesalannya ia luapkan.
Gyujin bernapas dengan berat sambil terus menatap Seongjun. Ada sedikit rasa puas... atau, malah amarah yang semakin bertambah saat melihat sorot mata Seongjun yang tak lagi merendahkannya. Kenapa matanya menyorot dengan penuh penyesalan begitu? Ke mana semua hinaan itu pergi? Gyujin tak suka. Gyujin tak mau melihat mata ular itu bersedih dan merasa bersalah kepadanya. Biarlah ia dihina oleh tatapan itu karena sungguh... ia tak kuat bila Seongjun menatapnya dengan tulus begitu.
Dadanya entah kenapa menjadi sesak. Gyujin menundukkan wajahnya, benci dengan matanya yang mulai terasa panas. Menarik napas dalam, Gyujin kembali bicara. “Kang Seongjun... kumohon, berhentilah menggangguku....”
Biarlah ia terlihat lemah kali ini saja. Biarlah ia memberikan kesempatan pada Seongjun untuk mengejeknya. Mungkin, dengan Seongjun yang mencaci makinya, ia akan merasa lega dan bisa melepaskan sesak di dadanya.
Namun, sialan. Seongjun benar-benar seorang bajingan. “Aku tidak ingin mengganggumu.” Kata-kata itu meluncur mulus dari mulut Seongjun.
Tidak, itu sama sekali tidak membuat Gyujin merasa lebih baik. Ia semakin muak mendengarnya.
“Park Gyujin,” panggil Seongjun kembali. Suara itu terlalu lembut untuknya. Seorang Kang Seongjun seharusnya tak boleh memanggilnya dengan nada selembut itu. “Bagaimana jika kubilang... kalau aku ingin minta maaf?”
Diam, Gyujin bahkan tak bisa membuka mulutnya. Ia mendongak, menatap Seongjun dengan tidak percaya. Ia baru saja mendengar hal paling konyol dalam hidupnya. Omong kosong paling membuat hatinya perih. Gyujin tak bisa memberikan reaksi yang lebih baik daripada mendengus geli.
“Berhenti bicara omong kosong.” Gyujin memaksakan tawanya. “Itu lelucon paling buruk yang pernah kudengar.”
“Aku tidak bercanda.” Seongjun kembali membalas. Ia menghembuskan napas panjang sambil mengacak rambutnya. Ia frustrasi karena tak bisa bicara dengan baik. Ia tak pandai menyusun kata-kata untuk bisa mengungkapkan semua kekacauan dalam kepalanya. “Katakanlah aku gila, karena memang begitulah kenyataannya. Selama tiga tahun ini, aku tak bisa melepaskan bayanganmu yang mengacungkan pistol ke arahku. Aku takut setengah mati, tapi yang paling membuatku takut adalah tatapanmu.” Seongjun mengepalkan tinjunya, memukul pelan pada pilar di sampingnya.
Gyujin masih bungkam. Mulutnya tertutup rapat, menahan gejolak yang membakar dadanya. Ia tak bisa terus berlama-lama mendengar omong kosong ini.
Seongjun tak jauh berbeda. Dadanya juga sesak, keringat membanjiri keningnya. “Aku... tak bisa berhenti memikirkanmu. Rasa bersalah memenuhi diriku. Aku tersiksa selama ini, Gyujin....” Suaranya melemah, hingga Seongjun tak yakin apakah Gyujin bahkan dapat mendengarnya.
Namun Gyujin dapat mendengarnya dengan jelas. Terlalu jelas hingga memekakkan telinga. Gyujin tak bisa menahan tawa. Ia tertawa kencang, sampai-sampai membuat Seongjun bingung. Gyujin menunjuk Seongjun dengan sudut bibir yang masih terangkat. “Kang Seongjun, kau benar-benar aktor yang hebat! Berapa lama kau menyiapkan kata-kata itu, huh? Apa kau menangis saat berlatih di depan cermin?”
Gyujin terus tertawa, tak memedulikan Seongjun yang menatapnya dengan jengkel. Percayalah, tawa itu tidak datang dari kepuasan apalagi rasa senang karena telah mendengar permintaan maaf dari Seongjun. Tawa itu terdengar menyedihkan, dan Gyujin pun menyadarinya.
“Park Gyujin....”
“Kang Seongjun.” Suara Gyujin tegas, tak dapat membuat Seongjun menyela dan langsung bungkam. Gyujin tak lagi tertawa, raut wajahnya keras. Ia tak marah, tak sedih, bahkan tak peduli. Ia menatap Seongjun dengan mata gelapnya yang tak memancarkan sinar apa pun.
“Kau tersiksa?” Suara Gyujin dingin, hingga membuat musim panas terasa seperti musim dingin. “Kalau kau tersiksa, bagaimana denganku? Kau pikir aku baik-baik saja?” Pertanyaan itu menggema di telinga Seongjun, tetapi Gyujin tak memberinya kesempatan untuk menjawab. “Aku lebih berharap untuk mendengar caci maki dan umpatan keluar dari mulutmu. Biarlah aku mendengar semua kata-kata menjijikkan itu daripada harus mendengar permintaan maafmu. Kau tahu kenapa? Karena aku sangat membencinya. Aku membencinya karena takut jika itu semua hanyalah omong kosong. Aku membencinya karena aku takut jika itu malah membuatku memaafkanmu, sementara semua yang kau lakukan dahulu tak pantas untuk dimaafkan.”
Gyujin kembali menatap ujung sepatunya. Dadanya sakit, seolah diperas hingga kering. Ia tak suka dengan perasaan tak nyaman ini. Apakah semua penderitaan yang selama ini ia tanggung dapat disembuhkan hanya dengan sebuah permintaan maaf yang bahkan terdengar seperti kebohongan?
Gyujin tetap tak mengangkat pandangannya. Ia kembali menutup kaca helmnya dan berbalik. “Jangan pernah bicara omong kosong di depanku lagi.” Kemudian ia langsung berjalan menuju motornya, meninggalkan Seongjun yang masih terdiam di tempatnya.
Melihat melalui kaca spion motornya saat pergi, tampak Seongjun yang masih terus menatapnya. Meskipun hanya dari jauh, Gyujin dapat melihat bahwa Seongjun masih ingin bicara lebih lama dengannya.
Rahang Gyujin mengeras, benar-benar tak membiarkan mulutnya terbuka. Begitu sudah cukup jauh, Gyujin membelokkan motornya menuju terowongan pendek yang gelap. Ia berhenti di tepi, mematikan mesin motornya.
“Sialan.... SIALAN!” Gyujin memukul pelan motornya. Ia dengan kasar membuka helm dan langsung mengacak rambutnya hingga berantakan. Ia benci. Sangat benci pada air mata yang malah membasahi wajahnya.
Hening, tak ada isak tangis yang keluar. Gyujin akan sangat marah bila ia mendengar dirinya sendiri menangis.
Kenapa rasanya sakit sekali? Kata maaf yang diucapkan oleh Seongjun bagaikan belati yang menusuk langsung ke jantungnya. Napasnya sesak karena ia berusaha keras untuk tak terisak. Lehernya serasa dicekik oleh tatapan penuh rasa bersalah yang diberikan oleh Seongjun.
Gyujin tahu bahwa ia tak akan pernah bisa memaafkan Seongjun, sehingga ia tak perlu repot-repot untuk memikirkannya. Namun, rasanya terlalu sakit. Seongjun, orang yang meninggalkan lubang paling dalam di hidupnya, mimpi buruk terbesarnya, orang yang berhasil membuat Gyujin hampir menarik pelatuknya, meminta maaf saat semuanya telah berlalu, saat Gyujin hampir bisa melupakannya untuk selamanya.
Gyujin menutup matanya dengan telapak tangan. Kenapa ia jadi cengeng begini? Ia tidak lemah, tetapi kenapa air matanya terus mengalir?
Apakah Seongjun bahkan serius dengan perkataannya? Apakah permintaan maaf itu tak hanya sekadar candaan? Apakah Seongjun kini meratap di tempatnya berada?
Dia bukan Kang Seongjun.... Gyujin terus mengulang kalimat itu di kepalanya. Baginya, Kang Seongjun bukanlah manusia yang akan dengan mudah mengatakan kata maaf.
Gyujin buru-buru menghapus air mata yang menganak sungai di pipinya. Ia juga berdeham, tak ingin jika nanti suaranya malah menjadi serak. Gyujin kembali memasang helm dan menyalakan motornya, melaju kembali ke kedai tteokbokki ibunya.
Ia tak boleh menangis seperti orang bodoh di sini. Apalagi, alasannya menangis adalah Kang Seongjun. Kang Seongjun dengan permintaan maafnya yang konyol.
.
.
To be continued
.
.
Notes:
Sagikkun (사기꾼): Penipu.
Bagaimana, guys? Masih mau lanjut? Hari Minggu besok ya~
Btw, thank you untuk komen kalian guys~ :)See you!
Virgo
Chapter Text
“Park Gyujin, bagaimana jika kubilang... kalau aku ingin minta maaf?”
Ia sendiri yang mengatakannya, dan ia pula yang tidak percaya. Seongjun baru saja sampai di apartemennya, dan ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Seongjun menutup matanya sesaat, yang kemudian terbuka dan menatap langit-langit ruangan. Ia terdiam, begitu lama hingga hanya suara detik jam yang terdengar.
Saat terdengar rintik hujan di luar, Seongjun melirik ke jendela yang terbuka. Hujan musim panas turun dengan deras tanpa dimulai oleh gerimis.
Apakah hujan selalu membuat suasananya menjadi sendu begini? Seongjun terdorong untuk berdiri dan duduk di kursi yang berada di balik jendela. Suara rintik hujan yang semakin deras anehnya malah membuat Seongjun teringat pada suara Gyujin yang memohon, memintanya untuk berhenti mengganggunya, dan kemudian wajah datarnya saat tak menerima permintaan maaf Seongjun.
Buk!
Seongjun mengepalkan tangannya dan memukul meja dengan keras. Buku-buku jarinya sampai memutih saking eratnya ia mengepalkan tangan. Perasaan sialan yang membuat dadanya sesak itu membuatnya jadi begini.
Seongjun menghela napas berat, menyandarkan punggungnya sambil terus memandangi hujan. Ia merenung, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganjal di pikirannya.
Apa yang sebenarnya ia inginkan? Memang benar bahwasanya ia telah dihantui oleh rasa bersalah atas apa yang diperbuatnya pada Gyujin selama di SMA. Ia tak bisa tidur nyenyak, selalu terpikirkan Gyujin yang berdiri di hadapannya, dengan moncong pistol terarah padanya. Seongjun langsung tahu bahwa ia tak akan bisa lepas dari bayang-bayang Gyujin. Ia tahu, bahwa ia harus meminta maaf kepada Gyujin, mengatakan bahwa ia menyesali perbuatannya. Namun, Seongjun tak bisa melakukannya karena ia tidak tahu di mana keberadaan Gyujin. Teman-teman mereka juga tak ada yang tahu di mana Gyujin karena mereka tak ingin peduli padanya lagi.
Namun, dengan satu pesanan tteokbokki hari itu, Seongjun akhirnya menemukannya. Gyujin berdiri di depannya, dengan wajah yang sama terkejutnya dengan dirinya. Jantungnya berdebar kencang, kepalanya langsung penuh dengan kata-kata yang selama ini ia siapkan. Namun tetap saja, tak sekali pun kata maaf keluar dari mulutnya. Ia canggung, tak tahu harus bilang apa, tak tahu harus bersikap bagaimana.
Seongjun sayangnya membuat reuni yang buruk dengan Gyujin. Oh, bagaimana mungkin mereka akan saling menyapa dengan hangat dan berpelukan dengan akrab setelah semua yang terjadi. Seongjun hanya berharap jika ia setidaknya punya kesempatan untuk mengobrol sejenak dengan Gyujin. Masalahnya, ia tak tahu bagaimana cara melakukannya. Pada akhirnya, Seongjun hanya bisa bersikap seperti bajingan yang sama yang menghancurkan masa SMA Gyujin.
“Bodoh. Kau benar-benar bodoh, Kang Seongjun,” monolog Seongjun yang kemudian mendengus geli. Ia benar-benar orang paling bodoh yang tak pandai bicara. Namun, setidaknya Seongjun sudah meminta maaf, kan? Hanya itu yang diinginkannya sedari dahulu. Ia akan meminta maaf pada Gyujin, kemudian hidup dengan tenang tanpa perlu mengingat kembali soal pria itu.
Namun nyatany ia salah besar. Seongjun malah makin tak bisa menghilangkan Gyujin dari pikirannya. Manik yang berkaca-kaca itu seolah melarangnya untuk berpaling. Suara Gyujin saat meneriakinya membuat Seongjun tak dapat lagi mendengarkan rintik hujan. Apakah Gyujin menangis? Apakah setelah mereka berpisah tadi, Gyujin meneriakkan namanya bersama dengan sumpah serapah? Seongjun harap begitu.
Seongjun menghela napas panjang. Ia tak tahu mana yang lebih diinginkannya, dimaafkan atau tidak sama sekali. Ia harap, rasa bersalah yang menghantuinya dapat segera hilang begitu ia meminta maaf pada Gyujin. Pun, Seongjun tak ingin lagi bertemu dengan Gyujin. Ia akan menyimpan masa lalu itu, menguncinya hingga tak akan pernah terungkit lagi. Namun, bagaimana cara melakukannya?
Seongjun benar-benar tak mengerti. Ia sudah meminta maaf pada Gyujin, tetapi mengapa ia masih saja memikirkannya? Kenapa Seongjun tak bisa mencegah dirinya dan terus menemukan keinginan untuk bertemu dengan Gyujin?
Seongjun ingin memandang sepasang manik gelap itu lagi. Seongjun ingin mendengar suara yang kini begitu dingin itu lagi. Seongjun ingin bertemu dengan Gyujin.
“Tidak, aku harus melupakan semuanya sekarang. Setidaknya, aku sudah mengungkapkan permintaan maafku. Terserah dia akan memaafkanku atau tidak, aku tidak akan peduli lagi.” Seongjun bangkit dari kursi, berjalan menuju kamarnya. Biarkan ia tidur sejenak untuk mengistirahatkan pikirannya dari Park Gyujin.
.
.
Lupakan soal keinginan Seongjun untuk melupakan semua hal yang terjadi di masa lalu dan tak akan peduli lagi dengan Gyujin. Bagaimana bisa ia melupakan Gyujin jika ia masih saja berdiri di depan kedai tteokbokki itu. Percayalah, Seongjun baru sadar dengan apa yang ia lakukan setelah memarkirkan motornya. Saat tersadar jika ia malah kembali menemui Gyujin, Seongjun langsung menjadi dungu. Ia mendadak tak tahu apa-apa, tak dapat mengucapkan apa pun, bahkan tak mampu untuk kabur.
Mengintip melalui pintu kaca, Seongjun langsung menemukan Gyujin yang tengah melayani pelanggan. Tak sama seperti saat ia membawakan pesanan Seongjun, Gyujin tersenyum begitu ramah pada pelanggannya. Senyum itu mungkin menjadi salah satu alasan kenapa kedai tteokbokki ini tak pernah sepi.
“Hah? Yang benar saja!” Seongjun menegur dirinya sendiri. Ia terkejut karena bisa-bisanya malah terpesona oleh senyum Gyujin.
Menggelengkan kepalanya, Seongjun menepis pikirannya soal senyum Gyujin. Seongjun berdeham, menenangkan dirinya sendiri dan akhirnya melangkah masuk. Ia mendorong pintu dan langsung disambut dengan aroma lezat saus tteokbokki.
“Selamat datang.... Ugh, Kang Seongjun.” Gyujin, yang baru saja ingin menyapa pelanggan yang baru masuk, langsung membuang senyumnya. Sekarang raut wajah Gyujin benar-benar sangat tidak ramah. Ia sudah melupakan SOP menyapa pelanggan.
Raut wajah jengkel dan sangat jelas enggan itu malah membuat Seongjun gemas. Ia mendengus, berusaha menyembunyikan senyum yang hampir saja muncul tanpa ia minta.
Tentu saja Seongjun berharap jika Gyujin akan menghampirinya, atau setidaknya bertanya apa pesanannya. Namun, Gyujin membuang muka dan langsung pergi ke dapur. Jujur saja, itu membuat Seongjun sangat kesal. Pada akhirnya, Seongjun mengatakan pesanannya pada si mahasiswa yang bekerja paruh waktu.
Seongjun menikmati tteokbokki pesanannya sambil terus melirik Gyujin yang masih sibuk di belakang. Kalau begini terus, ia tak akan punya kesempatan untuk bicara dengannya. Namun, setiap kali Seongjun memanggil, Gyujin tak pernah datang. Hanya ibunya dan si mahasiswa yang terus saja meladeninya. Lagi-lagi Seongjun menghabiskan waktu lama di sebuah kedai tteokbokki.
Ketika Gyujin akhirnya keluar dari dapur, Seongjun langsung menegakkan punggungnya. Namun dilihat dari jaket yang kini dikenakan oleh Gyujin, sepertinya ia akan pergi mengantarkan pesanan.
Benar saja. Gyujin yang telah mengenakan jaket itu kemudian mengambil helm dan kunci motor. Setelah helm terpasang di kepalanya, Gyujin kemudian mengambil pesanan yang harus diantarkannya.
Seongjun mengambil kesempatan saat Gyujin berjalan melewatinya. Ia langsung menahan lengan Gyujin yang membuat pemuda itu berhenti. “Kau menghindariku?” tanya Seongjun tanpa berbasa-basi.
Gyujin memutar mata malas, begitu enggan meladeni Seongjun. “Aku tidak menghindarimu. Aku hanya tidak mau melihat wajah menyebalkanmu itu.”
“Park Gyujin.” Seongjun berusaha untuk menahan lebih lama, tetapi Gyujin sudah menepis tangannya. Seongjun pun akhirnya berdiri, ingin mengikuti Gyujin, sebelum Gyujin sudah lebih dahulu berbalik dan bicara padanya.
Gyujin yang baru saja ingin membuka pintu berbalik menghadap Seongjun. Ia menunjuk Seongjun tepat di wajahnya. “Kang Seongjun, jangan mengikutiku. Dan, ingat, kau belum membayar pesananmu.”
Ah, benar juga. Seongjun lupa akan hal itu. Ia akhirnya terpaksa melepaskan Gyujin.
Setelah Gyujin pergi, Seongjun kembali duduk di mejanya. Ia bersandar, tak lagi menemukan selera makannya. Tak pernah terbayangkan oleh Seongjun jika ia akan dibuat duduk oleh Park Gyujin. Sebenarnya, bisa saja Seongjun langsung membayar dan kemudian mengikuti Gyujin, tetapi ia tak melakukannya. Mungkin, karena Seongjun berpikir jika Gyujin akan mengamuk lagi padanya seperti kemarin? Entahlah. Pun, sia-sia jika Seongjun benar-benar mengikuti Gyujin. Nanti juga Gyujin akan kembali ke sini.
Selama menunggu, Seongjun sibuk dengan ponselnya. Sesekali ia mengangkat pandangan, menelusuri seisi kedai tteokbokki yang sempit ini. Seongjun juga tak bisa mencegah dirinya untuk memperhatikan ibu Gyujin yang tersenyum ramah saat mengantarkan pesanan pelanggannya. Sekarang Seongjun tahu dari siapa senyum manis Gyujin berasal.
“Tunggu, aku pasti sudah gila.” Seongjun mendesah lelah. Ia menutup matanya, menopang kepalanya dengan tangan yang bertumpu di atas meja. Seongjun kemudian menyisir rambutnya ke belakang, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Seongjun berusaha sebisa mungkin untuk melupakan apa yang baru saja ia pikirkan. Senyum Park Gyujin manis? Pasti barusan ia kerasukan. Mana mungkin Seongjun akan berpikir jika Gyujin manis, bukan?
Mungkin, tteokbokki ini yang membuatnya mulai berpikiran aneh-aneh. Seongjun pun akhirnya menyerah untuk menunggu Gyujin dan akhirnya memilih untuk pergi. Setelah tak lupa untuk membayar pesanannya, Seongjun bergegas menjauh. Mungkin, ia akan mengajak teman-temannya untuk minum malam ini. Setidaknya, dengan begitu ia bisa mengalihkan perhatiannya dari Gyujin. Namun percayalah, Seongjun tak akan pernah bisa mengandalkan dirinya sendiri lagi.
.
.
Hanya berselang dua hari, dan Seongjun sudah kembali tiba di kedai tteokbokki itu. Ia duduk di meja luar karena di dalam penuh. Kali ini, ia cukup beruntung karena Gyujin sendiri yang mengantarkan pesanannya. Seongjun kembali mengambil kesempatan dan menahan Gyujin. “Hari ini cukup ramai, ya?”
Gyujin mengernyit, menatap Seongjun dengan kengerian terpancar di matanya. Itu memberikan sedikit rasa puas pada Seongjun. “Sejak kapan kau mau basa-basi denganku?”
Seongjun mengedikkan bahunya, bersikap bahwa ini bukanlah hal yang baru. Ia lalu mengambil sumpitnya, mengambil satu potong tteok dan menyodorkannya pada Gyujin. “Mau bergabung?” tawanya, sambil mengangkat alis.
“Huh, lucu.” Gyujin memilih untuk meninggalkan Seongjun.
Mendengus, Seongjun menyuap tteok sambil menyeringai puas. Setidaknya, ia berhasil membuat Gyujin bicara padanya hari ini. Ah, tapi, apakah itu penting? Kenapa Gyujin harus bicara dengannya? Bukannya Seongjun tak ingin lagi berurusan dengan Gyujin mengingat ia sudah menyelesaikan keinginannya untuk meminta maaf?
Pokoknya, Seongjun puas, dan ia ingin membuat wajah kesal Gyujin itu kembali.
Seperti yang biasanya ia lakukan, Seongjun bertahan duduk di kedai tteokbokki itu begitu lama. Sebenarnya, beberapa kali Seongjun berpikir untuk pergi karena sesekali terpikirkan sesuatu yang konyol. Misalnya, Seongjun sempat kesal karena Gyujin tertawa bersama beberapa pelanggan. Atau, saat Seongjun sempat-sempatnya berpikir kalau Gyujin menggemaskan sekali saat kewalahan menangani pesanan yang begitu banyak.
Namun Seongjun menahan keinginannya untuk pergi dan buru-buru menghapus semua pikiran konyol itu. Ia memang sering memikirkan Gyujin akhir-akhir ini, dan itu semua karena permintaan maafnya yang tak jelas apakah diterima atau tidak. Seongjun meyakinkan dirinya bahwa ia memikirkan Gyujin hanya karena hal itu dan bukan hal lainnya.
Saat Gyujin kembali ke luar, kali ini untuk mengantarkan pesanan, Seongjun kembali mengambil kesempatan dan menahannya. Seongjun menarik bagian bawah jaket Gyujin untuk memaksanya berhenti.
Helaan napas Gyujin terdengar begitu lantang. Ia menoleh, menatap Seongjun dengan malas. “Apa lagi maumu?”
Seongjun mengedikkan bahunya. Seongjun sebenarnya tak punya niatan untuk bersikap menyebalkan seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi. Gyujin juga tak akan menerimanya jika ia bersikap bersahabat, bukan? Pun, Seongjun bukan ahlinya dalam bersikap ramah.
Karena Seongjun yang tak kunjung bersuara dan hanya bersikap semakin menyebalkan, Gyujin pun kembali bicara. Ia kini menatap Seongjun dengan sorot mata yang serius. “Kau memang masih ingin menggangguku, kan? Apa kau berpikir untuk mendengarku memaafkanmu?”
Seongjun seketika mengernyit. Ia tak pernah membahas ataupun menyebutkan soal permintaan maafnya yang sebelumnya. Bahkan, sejujurnya Seongjun enggan untuk mengingatnya kembali. Ia anehnya tak mau jika Gyujin kembali menatapnya dengan penuh kebencian seperti sebelumnya.
“Kang Seongjun, aku tidak mau membuat keributan di tempat ibuku. Jadi, sebaiknya kau pergi saja.” Suara Gyujin yang dingin dan sangat jelas membangun dinding antara dirinya dan Seongjun kembali mengudara. Ia menatap Seongjun agak lama, hingga akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja.
Seongjun tentunya tak langsung pergi. Untuk beberapa saat, Seongjun tetap di tempatnya, memperhatikan Gyujin yang terus bekerja dan bersikap seolah Seongjun tak ada. Lagi-lagi, Seongjun menghabiskan waktunya hanya untuk mengamati Park Gyujin.
.
.
Tanpa ia duga, Seongjun mendadak menjadi langganan di kedai ibunya Gyujin. Entah sudah yang keberapa kalinya ia datang, sampai-sampai Seongjun hafal semua menu dan harga yang ada di papan menu. Ibunya Gyujin bahkan sudah mulai akrab dengan kehadirannya, tak tahu saja jika Kang Seongjun adalah alasan utama kenapa putranya sampai mempunyai senjata api saat di SMA dahulu.
Gyujin? Ia adalah yang paling menderita. Seongjun puas setiap kali berhasil membuat Gyujin menghela napas sambil mengerlingkan mata malas. Ia semakin puas lagi saat Gyujin dengan terang-terangan mengusirnya, bahkan di depan pelanggan yang baru datang.
“Park, Gyujin, kau tidak boleh menolak pelanggan, lho.” Seongjun menyeringai lebar pada Gyujin yang berusaha mencegahnya untuk masuk.
“Aku tidak akan menolak pelanggan, kecuali kau!” Gyujin mencoba mendorong Seongjun, tetapi Seongjun bergeming. Oh, betapa senangnya Seongjun melihat raut kesal Gyujin.
“Apa sih, yang sebenarnya kau mau? Kupikir kau tak akan muncul lagi setelah meminta maaf padaku karena berpikir jika kau sudah melenyapkan rasa bersalahmu. Tapi, ternya kau masih saja menggangguku.” Gyujin bahkan tak sadar jika ia memasang raut cemberut yang menggemaskan.
Pertanyaan Gyujin sempat membuat Seongjun merenung sejenak. Jujur, Seongjun juga tak mengerti alasan mengapa ia terus datang untuk mengganggu Gyujin. Sebelumnya, jelas jika ia ingin menyampaikan permintaan maafnya agar bayangan Gyujin yang mengarahkan moncong pistol ke arahnya tak akan pernah muncul lagi. Sekarang, setelah ia berhasil mengungkapkan permintaan maafnya, yang mana ia juga tak peduli apakah Gyujin memaafkannya atau tidak, Seongjun juga seharusnya tak punya alasan lagi untuk menemui Gyujin, kan? Benarkah ia hanya ingin membuat Gyujin kesal? Apakah ia tak akan pernah bisa menghilangkan si bajingan Kang Seongjun yang hanya tahu bagaimana caranya merundung orang?
“Kang Seongjun!” Suara lantang Gyujin yang menyebut namanya mengeluarkan Seongjun dari lamunannya. Ternyata Gyujin sudah berkali-kali memanggilnya dan ia tak kunjung mendengarkannya.
“Ayo cepat pergi. Kau menghalangi jalan,” omel Gyujin sambil kembali mencoba mendorong Seongjun.
“Makanya, biarkan aku masuk.”
“Tidak boleh!”
“Ya sudah, kalau begitu aku duduk di luar.”
“Di sana juga tidak boleh!”
Seongjun mendengus, sedikit jengkel dengan kegigihan Gyujin. Namun Seongjun ogah berhenti. Ia masih ingin terus mengganggu Gyujin.
“Gyujin-ah, kenapa kau melarang-larang pelanggan masuk?” Terdengar suara ibu Gyujin dari dalam.
Gyujin menengok ke belakang untuk menjawab ibunya. “Dia bukan pelanggan, kok!”
Seongjun lagi-lagi mendengus. Park Gyujin ternyata selucu ini.
Setelah begitu lama menahan Seongjun, Gyujin akhirnya terpaksa menyerah karena ia harus pergi mengantarkan pesanan. Seongjun akhirnya bisa mendapatkan tempat duduk dan memesan satu porsi tteokbokki dan gimbab. Ia harus menunggu sekitar sepuluh menit hingga Gyujin akhirnya kembali.
Begitu Gyujin masuk, Seongjun langsung melambaikan tangannya, menggoda Gyujin dengan cara yang benar-benar menyebalkan. Kemudian, Seongjun akan melakukan hal yang biasanya ia lakukan. Ya, Seongjun akan terus memanggil Gyujin. Bahkan mungkin, semua pelanggan di sana sudah familier dengan nama Park Gyujin.
“Cola-mu belum habis, kenapa kau memesannya lagi, sih?” Gyujin meletakkan sekaleng cola di meja Seongjun dengan sedikit terlalu keras.
Seongjun mengedikkan bahunya, bersikap menyebalkan agar Gyujin terus mengomel padanya. Seongjun dengan santainya membuka kaleng cola yang baru, menyeringai sambil terus menikmati raut wajah Gyujin yang masam.
Plop!
Suara kaleng cola yang terbuka dengan sempurna. Namun, Seongjun dikejutkan dengan ledakan yang tak terduga.
“Aish! Apa-apaan!” Seongjun buru-buru menjauhkan kaleng cola yang isinya menyembur keluar itu. Ia benar-benar terkejut, sampai-sampai tak bisa langsung mengumpat kepada Gyujin.
Benar-benar bodoh. Seharusnya Seongjun sudah menduga hal ini. Bukankah sangat aneh melihat Gyujin yang malah menyembunyikan cola itu di belakang tadi? Pasti Gyujin mengocoknya di belakang punggungnya sebelum memberikannya pada Seongjun.
“Pfft!”
Seongjun akhirnya mendongak menatap Gyujin yang kini berusaha keras menahan tawanya. Tidak, Gyujin tak benar-benar mencoba menahan diri. Walaupun ia memalingkan mukanya, Seongjun bisa melihat senyum lebar di wajahnya.
“Fuck-gyu.” Ah, sudah lama rasanya ia tak menyebutkan nama itu.
Tak langsung marah mendengar nama panggilan yang memenuhi mimpi buruknya itu, Gyujin malah membalas tatapan Seongjun dengan berani. Sudut bibirnya masih terangkat, tersenyum penuh kemenangan. “Makanya, siapa suruh menggangguku terus,” ucapnya, kemudian langsung hadap kanan untuk kembali bekerja.
Seongjun benar-benar kehilangan kata-kata. Terdapat dua alasan dibalik keterdiamannya. Pertama, karena pembalasan usil namun sangat berdampak yang dilakukan oleh Gyujin. Kedua, karena senyum kemenangan Gyujin yang seharusnya terlihat menyebalkan itu malah dianggap manis olehnya.
“Ck.” Seongjun yang kini mengelap tangannya dengan serbet tak bisa menahan rasa jengkelnya. Raut wajahnya yang berusaha untuk menunjukkan ketidaksukaannya pada Gyujin sayangnya terlihat sedikit merona merah. Oh, sepertinya Seongjun tak akan bisa menghilangkan senyum itu dari pikirannya untuk beberapa hari mendatang.
.
.
To be continiued
.
.
Notes:
Akhirnya POV Seongjun ~ Mau lagi baca POV Seongjun gak? Chapter berikutnya update hari Rabu besok~
See you!
Virgo

kendynuna on Chapter 1 Sat 18 Oct 2025 02:02PM UTC
Comment Actions
Virgo_Takao on Chapter 1 Sat 18 Oct 2025 04:24PM UTC
Comment Actions
theswagger2007 on Chapter 1 Sat 18 Oct 2025 08:39PM UTC
Comment Actions
Virgo_Takao on Chapter 1 Sun 19 Oct 2025 01:15PM UTC
Comment Actions
gywon (Guest) on Chapter 1 Sun 19 Oct 2025 05:06AM UTC
Comment Actions
gywon (Guest) on Chapter 1 Sun 19 Oct 2025 05:06AM UTC
Comment Actions
Zhulfi (Guest) on Chapter 2 Sun 19 Oct 2025 11:28AM UTC
Comment Actions
Virgo_Takao on Chapter 2 Sun 19 Oct 2025 01:16PM UTC
Comment Actions
ASHLEY_JHULLY (Guest) on Chapter 2 Sun 19 Oct 2025 07:02PM UTC
Comment Actions
Virgo_Takao on Chapter 2 Mon 20 Oct 2025 01:21PM UTC
Comment Actions
MorcegoXD_8555 on Chapter 2 Mon 20 Oct 2025 09:58PM UTC
Comment Actions
gywon (Guest) on Chapter 2 Tue 21 Oct 2025 02:52PM UTC
Comment Actions
ASHLEY_JHULLY (Guest) on Chapter 3 Sat 25 Oct 2025 01:20PM UTC
Comment Actions
Virgo_Takao on Chapter 3 Sun 26 Oct 2025 07:44AM UTC
Comment Actions
ASHLEY _JHULLY (Guest) on Chapter 4 Mon 27 Oct 2025 03:50AM UTC
Comment Actions