Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationships:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2018-11-04
Completed:
2019-08-11
Words:
4,210
Chapters:
3/3
Comments:
4
Kudos:
34
Bookmarks:
3
Hits:
436

Your Lies

Chapter 3

Notes:

Kebohonganmu © Ran Hime
KnB © Tadatoshi Fujumaki
MuraKiyo (Murasakibara X Kiyoshi)

(See the end of the chapter for more notes.)

Chapter Text

"Kakimu masih sakit?" Murasakibara menghentikan langkahnya ketika Kiyoshi tiba-tiba berhenti berjalan dan menatap kedua kakinya.

"Tidak." Kiyoshi mendongak dan tersenyum kepada Murasakibara, "sandalnya kekecilan." Kiyoshi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa tidak enak hati karena sedikit cerewet.

Murasakibara berjalan mendekati Kiyoshi. Ia menatap Kiyoshi cukup lama hingga membuat pemuda itu makin merasa tidak enak hati karena tidak tahu terima kasih. Sudah untung Aomine mau membelikan dia sandal. Murasakibara membungkuk lalu berjongkok di depan Kiyoshi. Menatap kedua kaki Kiyoshi yang salah satunya masih terlihat kurang baik.

"Lepas!"

"Hah?" Kiyoshi tidak mengerti bagaimana cara berpikir Murasakibara. Entah hanya dia atau pemuda itu yang memang sulit dimengerti .

Kiyoshi melepas sandalnya, menuruti perkataan Murasakibara. Untuk saat ini ia enggan berdebat dengan Murasakibara.

"Apa yang kau lakukan?" Kiyoshi hampir saja berteriak melihat Murasakibara melempar sandal pemberian Aomine itu. Ini sudah kedua kalinya Murasakibara melakukan hal seenaknya seperti itu.

Murasakibara bangkit dan menatap Kiyoshi sejenak sebelum akhirnya ia berbalik, "tunggu disini dan jangan kemana-mana." Murasakibara melangkah meninggalkan Kiyoshi sendirian.

.

.

.

"Masih kekecilan?" tanya Murasakibara ketika merasa Kiyoshi agak kesulitan berjalan. Ia tidak tahu berapa ukuran sandal Kiyoshi, namun ia cukup yakin jika sandal yang ia beli itu muat untuk Kiyoshi.

"Tidak." Kiyoshi mempercepat langkahnya mengimbangi Murasakibara, sekalipun ia selalu tertinggal di belakang.

Murasakibara berhenti berjalan lalu menunggu Kiyoshi sampai tepat di depannya. Diraihnya tangan kanan Kiyoshi lalu menggandengnya. Ia bukan pria romantis, jadi hanya ini yang bisa dia lakukan untuk Kiyoshi. Menggandeng pemuda dari Seirin itu agar tidak tertinggal di belakangnya.

"Kita akan kemana?" tanya Kiyoshi mencoba memecah keheningan yang ada. Sesekali ia menyentuh pipinya yang telah memerah akibat perlakuan dari Murasakibara.

"Menyaksikan kembang api."

Kiyoshi menatap punggung yang ada di depannya. Bagaimana bisa Murasakibara terasa tetap bersikap dingin bahkan ketika pemuda itu mengajaknya kencan. Mungkin sesekali Kiyoshi perlu ke Akita untuk menemui Himuro. Menanyakan tentang bagaimana seorang Murasakibara Atsushi.

"Acara hampir mulai. Kita tidak akan dapat tempat yang nyaman."

"Aku punya tempat tersendiri untuk menyaksikan kembang api," ujar Murasakibara. Ia berbelok dan mulai menaiki satu persatu anak tangga yang begitu banyaknya, "jika kau merasa kakimu sakit, kau bisa bilang."

"Ya, tentu saja." Kiyoshi tersenyum walau Murasakibara tidak melihat senyum merona agak malu. Ia bersyukur berjalan di belakang Murasakibara, sehingga Murasakibara tidak dapat melihat bagaimana wajahnya malu-malu yang kini menghiasi wajah Kiyoshi.

Dengan pelan, Murasakibara mencoba menaiki anak tangga. Sebisa mungkin tetap menjaga agar kaki Kiyoshi tidak terasa sakit yang lebih.

.

.

.

"Hei, Murasakibara .. Kenapa kau berhenti bermain basket?" tanya Kiyoshi. Matanya masih terpaku pada langit malam yang nampak cerah.

Murasakibara hanya diam. Ia tidak sedikitpun tertarik untuk membahas masalah itu. Yang lebih penting untuk saat ini adalah menikmati pesta kembang api.

"Bagaimana pengobatanmu setahun terakhir ini?" Murasakibara balik bertanya,mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Tentu saja sudah lebih baik." kiyoshi menoleh dan memberikan senyum kepada Murasakibara

"Jadi begitu."

Murasakibara menunduk. Menatap hamparan laut yang terlihat biru gelap seperti halnya langit malam. Ia terdiam setelah melihat bagaimana ekspresi Kiyoshi ketika mengatakan soal kondisi kedua kakinya yang pernah cedera itu. Untuk saat ini ia akan percaya pada kata-kata kiyoshi sekalipun kalimat dari Kagami begitu mengusik pikirannya.

Tidak ada yang bisa dicurigai ketika selama perjalanan Kiyoshi tidak sekalipun menampakkan ekspresi kesakitan setiap kali berjalan. Lalu ... Apa maksud perkataan Kagami?

Angin malam mulai terasa dingin meski kini sedang berada di puncak musim panas. Murasakibara mencengkeram besi pembatas. Menikmati malam pesta kembang api dari atas sana memang lebih nyaman. Ia tidak perlu berdesakan dengan banyak orang. Ia lebih suka keadaan sepi seperti ini.

Tidak ada pembicaraan setelah itu. Mereka lebih memilih untuk menahan kata-kata yang ingin mereka ungkapkan. Dan Murasakibara tetap dengan egonya. Seperti dua tahun yang lalu ketika ia lebih memilih diam lalu meninggalkan Kiyoshi di Amerika bersama Alex. Tidak ada satu kata pun yang ia ucapkan sebelum pergi. Seperti setahun yang lalu sebelum Kiyoshi pergi lalu menghilang. Bahkan ia masih tetap keras kepala dan lebih memilih diam.

Murasakibara kian mencengkeram semakin erat besi pembatas. Mungkin inilah waktu yang tepat sebelum terlambat dan dia akan tetap berada dalam penyesalan.

"Suki."

Blaar ... Duarr

Kalimat yang bertahun-tahun tersimpan itu terucap dengan sia-sia ketika suara kembang api meredamnya. Haruskah ia mengutuk kembang api yang meletus di waktu yang tidak tepat? Ataukah ia harus mengulang kata itu di saat yang tepat?

"Kau bicara apa?" ujar Kiyoshi. Ia tertawa hambar merasa bersalah karena tidak dapat mendengar kata yang diucapkan oleh Murasakibara, "maaf aku tidak mendengarnya dengan jelas."

Murasakibara menggeser posisinya, lebih dekat lagi di samping Kiyoshi yang masih menatapnya dengan ekspresi bersalah. Murasakibara berbalik menghadap Kiyoshi. Menatap wajah lembut itu hingga sedikit salah tingkah. Murasakibara hanya diam sambil terus menatap Kiyoshi. Ia memajukan kepalanya dan menyejajarkan wajahnya dengan wajah Kiyoshi.

"Suki."

Murasakibara mengambil ciuman kedua Kiyoshi tepat di bibir. Membuat Kiyoshi terkejut bahkan tidak mampu berbuat apapun meskipun ciuman itu terasa begitu lembut, berbeda dengan ciuman penuh nafsu ketika berada di rumah Aomine. Hanya sesaat namun mampu membuat hati Kiyoshi menghangat.

Murasakibara melepaskan ciumannya. Ia menegakkan kembali tubuhnya.

"Ayo kembali." Murasakibara berbalik siap untuk melangkah. Namun ia menahan langkahnya ketika Kiyoshi masih terdiam dengan posisinya, "Kiyoshi!"

"Maaf!" serunya setelah tersadar dari keterkejutan akibat ulah Murasakibara. Ia masih tidak percaya akan kata yang diucapkan Murasakibara dengan nada datar dan terkesan dingin itu.

Murasakibara mengulurkan tangannya, seolah menyuruh Kiyoshi untuk menggapainya.

.

.

.

"Kita berpisah di sini."

Hanya itu yang mampu Kiyoshi ucapkan ketika mereka telah berada di jalan menuju jalan raya. Ia tidak tahu apa lagi yang mesti ia katakan kepada Murasakibara. Pemuda itu hanya diam menatapnya seperti biasa. Kiyoshi benar-benar tidak mengerti akan sikap Murasakibara.

"Murasakibara."

Kiyoshi maju selangkah ketika Murasakibara berbalik dan berhadapan dengannya. Ia berjinjit dan memberikan ciuman singkat di bibir pemuda besar itu.

"Terima kasih." Kiyoshi tersenyum malu ketika lagi-lagi Murasakibara menatapnya dengan pandangan tajam itu. Perlahan ia mulai tertawa hambar sambil menggaruk kepala belakangnya ketika Murasakibara tetap diam tanpa mengatakan apapun.

"Cepat pulang dan istirahatlah!"

"Ya, tentu saja."

Lagi Kiyoshi tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya. Ia menatap punggung Murasakibara yang mulai menjauh darinya.

Andai saja Murasakibara lebih cepat menyadari kehadirannya di Tokyo, apakah Murasakibara akan bersikap seperti itu? Apakah akan ada hari menyenangkan seperti ini? Apakah ia akan bisa menikmati pesta kembang api seperti malam ini bersama Murasakibara?

Begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan. Namun ketika punggung Murasakibara telah benar-benar tidak terlihat olehnya, senyumnya pun memudar. Kiyoshi jatuh terduduk begitu saja. Ia sedikit khawatir ketika tidak dapat merasakan kedua kakinya. Ia menyeret tubuhnya ke pinggir jalan. Bersandar di salah satu pohon besar yang berdiri di sepanjang jalan. Diambilnya ponsel miliknya di saku celananya lalu mencoba menghubungi Hyuga.

"Hyuga, bisakah kau menjemputku?"

"Kakiku. Tiba-tiba kakiku tidak dapat kugerakkan," ucapnya sembari tertawa seolah tidak ada penyesalan atas semua yang ia lalui hari ini.

"Aku ada tidak jauh dari tempat festival kembang api."

"Tunggu sebentar," ujarnya ketika Hyuga menanyakan tanda atau apapun yang bisa menjadi petunjuk dimana kiyoshi berada. Dan ketika ia mengangkat wajahnya, matanya pun melebar.

"Murasakibara." Ponsel di tangannya jatuh begitu saja ketika melihat Murasakibara berada satu meter di depannya. Menatapnya tajam penuh amarah.

Kiyoshi tidak mampu berkata apapun ketika pemuda dari Akita itu berjalan mendekat ke arah dimana ia tengah bersandar pada pohon besar. Mata cokelatnya terus saja mengikuti setiap gerakan Murasakibara. Hingga ketika Murasakibara telah sampai di hadapannya dan berjongkok. Ia dapat melihat mata amethyts itu menyimpan banyak kekecewaan.

"Kecurigaan Kise ternyata benar." Murasakibara menatap wajah Kiyoshi yang terlihat kurang nyaman itu. Murasakibara mengangkat kedua tangannya lalu menyentuh kedua pipi Kiyoshi, "bagaimana bisa kau bersikap seolah semua baik-baik saja?"

"Murasakibara ..."

"Bagaimana bisa kau seegois ini dan membiarkan kedua kakimu semakin hancur?"

"Murasakibara .. "

Perlahan Kiyoshi dapat mendengar jika suara Murasakibara semakin parau.

Murasakibara membingkai wajah Kiyoshi dengan tangan besarnya itu, "Apa kau tidak tahu bagaimana aku mengkhawatirkanmu selama ini, hah?" Murasakibara hampir berteriak jika saja suara isakannya mampu ia tahan.

Seketika itu mata Kiyoshi terbelalak. Tidak menyangka jika Murasakibara sebegitu mengkhawatirkan dirinya. Ia bahkan masih begitu jelas mengingat mata Murasakibara menatapnya penuh kebencian hari itu.

"Maaf!" seru kiyoshi menatap Murasakibara dengan penuh rasa bersalah, "maaf." ia mengangkat tangan kanannya lalu memegang pergelangan tangan Murasakibara. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi selain kata itu. Rahasianya telah terbongkar dan dia tidak mungkin lagi membohongi Murasakibara setelah semua ini.

.

.

.

"Hari itu kau tidak mengangkat telponku, jadi kupikir kau sudah tidak peduli lagi." Kiyoshi terus berceloteh sepanjang perjalanan pulang, "lalu kudengar kau berhenti bermain basket, jadi aku tidak kembali ke Amerika."

Kiyoshi tidak mungkin bisa melupakan kejadian hari itu. Ketika Murasakibara menyuruhnya berhenti bermain basket. Ketika ia mengalami kekalahan telak, terus dan terus hingga Murasakibara membanting bola basket dan meninggalkan dirinya sendirian.

Kiyoshi tidak akan lupa ketika Murasakibara mengabaikan panggilan darinya bahkan tidak satu pun pesannya yang terjawab. Lalu .. Ia mendengar jika Murasakibara berhenti bermain basket ketika ada pencari bakat mengincarnya. Kiyoshi pun memutuskan untuk tidak kembali ke Amerika. Dan meminta Hyuga mencarikan tempat untuknya ber'istirahat'.

"Hei, Murasakibara ... Kau akan bermain basket lagi, kan?"

"Diamlah jika kau tidak ingin jatuh."

"Kau tetap dingin walau telah mengatakan perasaanmu." Kiyoshi mengeratkan kedua tangannya merangkul leher Murasakibara, "Suki," bisiknya lalu menyembunyikan wajah memerahnya di balik punggung Murasakibara.

"Aku mengantuk," lanjutnya lalu menutup mata. Ia membiarkan Murasakibara membawanya. Karena itu lebih baik dari pada ia sendirian di sini dengan kaki yag tidak bisa membawanya pulang.

"Aku akan membangunkanmu nanti."

Murasakibara terus melangkah, menggendong Kiyoshi di balik punggungnya. Ia merasa dejavu ketika Kiyoshi berada di gendongannya. Pemuda itu memang keras kepala dan tidak peduli akan apapun asal kemauannya bisa terpenuhi.

Bagi Murasakibara, Kiyoshi tidak lebih dari pemuda bodoh yang tidak pernah memikirkan konsekuensi yang akan ia dapat. Lalu .. Apakah suatu hari nanti ia akan bisa mengendalikan kecerobohan Kiyoshi?

.

.

.

Seminggu berlalu sejak hari itu. Kiyoshi terbangun dari rumah sakit. Mendapatkan ceramah demi ceramah dari Hyuga. Seperti biasa, ia hanya tertawa seolah tidak melakukan hal yang membuat orang lain cemas bahkan ingin marah.

Dokter menyarankan agar Kiyoshi tidak berjalan untuk sementara waktu dan menyarankan agar mulai melakukan rehabilitasi pada kedua lututnya di Amerika jika ingin segera pulih. Ia ingin menolak namun Murasakibara menatapnya tajam seolah berkata, "menolak dan kau akan tamat' dan mau tidak mau ia pun setuju.

"Kau harus menjaga Kiyoshi!" Hyuga menatap Murasakibara serius. Untuk kali ini ia berharap Kiyoshi tidak akan mengulangi kebodohannya setahun yang lalu.

"Murasakibaracci, jangan lupa bawa uang yang banyak." kise mencoba menahan tawa setelah melihat wajah marah Murasakibara.

"Kiyoshi senpai semoga cepat sembuh." Kagami kemudian menatap ke arah Murasakibara, "dan kau .. Jangan coba-coba meninggalkan Kiyoshi senpai." walau berat hati mau tidak mau ia harus merelakan Kiyoshi bersama Murasakibara ke Amerika.

"Kami harus pergi." untuk terakhir kalinya Kiyoshi berpamitan.

Kiyoshi cukup bersyukur teman-temannya mau menerima keputusannya itu. Dan ia juga bersyukur karena Murasakibara tidak meninggalkan dirinya. Sekalipun ia tidak pernah berharap lebih tentang hari ini.

Kiyoshi tersenyum merasakan bagaimana Murasakibara mendorong kursi rodanya degan hati-hati.

Setelah malam dimana ia terbagun di rumah sakit, Murasakibara memutuskan untuk menemani dirinya. Walau ia tidak tahu apakah itu sebuah lamaran, mengingat bagaiman Murasakibara mengatakannya dengan datar.

Setelah malam itu, Murasakibara memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Amerika setelah menerima tawaran bermain basket dari pencari bakat. Dengan begitu, Murasakibara tidak perlu bolak balik ke Jepang - Amerika demi mengontrol perkembangan Kiyoshi.

Dan malam itu mereka memutusakan untuk hidup bersama, entah untuk hari ini, besok dan mungkin juga sampai nanti.

.

.

End

Notes:

Akhirnya saya bisa kembali dengan chapter terakhir. Semoga kalian menikmati ff ini :)