Chapter Text
Kaedehara Kazuha duduk menghadap langit malam saat ini, seperti malam-malam sebelumnya. Satu tangannya terulur, seakan sedang berusaha menggapai sesuatu yang tak mampu Gorou lihat. Satu kaki menggelantung dari sisi dermaga kayu tempatnya duduk. Wajahnya pucat. Tatapan mata semerah rubinya diliputi duka mendalam yang sudah sering Gorou lihat. Bahkan, kepedihan itu selalu melekat pada seluruh eksistensinya.
Seandainya, ada yang bisa dia lakukan untuk menghapus lara itu....
“Hei!” seru Gorou seraya mendatangi sahabatnya itu. “Sedang apa malam-malam begini?”
Kazuha menoleh pelan, menurunkan tangan yang tadi terulur. Sinar bulan separuh menerpa wajahnya, memantulkan kerlip magis pada mata yang sayu. “Mencari inspirasi untuk puisi baruku. Seperti biasa.”
Gorou tahu, dia bohong. Dia tahu Kazuha sudah menulis begitu banyak puisi. Dia tahu, Kazuha bisa mendapatkan inspirasi dari mana dan apa pun di sekelilingnya. Gorou paham betul, kawannya yang kini pemurung itu masih memendam memori lama yang tak kunjung terobati.
“Kau ini pembohong yang buruk,” kata Gorou setelah duduk di sebelah kawannya. Debur ombak yang menyentuh tiang-tiang penyangga dermaga terdengar silih berganti. Air memercik ke kakinya yang dibiarkan tergelantung bebas melalui sisi dermaga. Ekornya dibiarkan terkulai di permukaan yang dingin, sesekali menepuk malas.
Kazuha terkekeh pelan. “Memang.”
Mata biru Gorou terarah pada bintang-bintang yang bertaburan di langit malam. Pikirannya melambung kembali pada insiden di Tenshukaku beberapa malam lalu. Dia melirik Kazuha, memastikan bahwa yang ada di sisinya saat ini adalah manusia sungguhan alih-alih sebatas fatamorgana. Karena, bagaimanapun, menantang seorang Archon adalah kesalahan besar yang patut dimaki sampai mati. Sampai mati.
Seperti lelaki itu.
“Kau sendiri sedang apa, Gorou?” Kazuha balik bertanya. “Ini sudah waktunya istirahat. Kau besok masih harus memberikan pengarahan-pengarahan pada para pasukan, kan? Jangan sampai kesiangan dan bikin malu Nona Sangonomiya.”
Gorou mengusap belakang kepalanya, memainkan telinga dengan spontan. “Memangnya itu bakal terjadi? Lagi pula, tadi aku mencarimu.”
“Mencariku? Untuk apa?”
“Tidak tahu.”
Kazuha mendenguskan tawa singkat. “Dasar aneh.”
“Ugh, oke, oke. Tadi aku sedang memeriksa barak, lalu beberapa pasukan bilang kau pergi sendirian ke pantai seperti hari-hari sebelumnya. Karena kau ini tamu kehormatan, jadi aku mengambil inisiatif untuk menjadikan keselamatanmu sebagai prioritasku. Dan, ta-da! Aku di sini.”
“Sudah berapa hari?”
“Berapa hari apanya?”
“Sudah berapa hari kau membuntutiku?”
“Semenjak malam di Tenshukaku? Lima hari? Enam hari? Aku lupa detailnya.”
“Oh. Ada yang suka menguntit, ternyata.”
Saat tatapan Gorou tertuju pada kawannya, sesuatu dalam hatinya terketuk. Untuk sekejap tadi, Kazuha tampak baik-baik saja. Dia tampak begitu tenang, nyaman, dan damai. Bagi Gorou, kebahagiaan Kazuha lebih dari segala jenis harta karun di dunia ini.
Mengingat kalau pemuda itu sempat nyaris mati beberapa malam lalu membuat jantung Gorou kembali tertikam.
“Aku sudah mengatakannya seribu kali, dan aku akan mengatakannya lagi. Kau gila. Sangat gila,” kata Gorou tanpa tedeng aling-aling.
Kazuha tertawa lagi.
“Amat sangat gila!” seru Gorou, satu tangan meraih puncak kepala Kazuha dan menggosokkan buku jemari ke ubun-ubunnya. “Kukira kau bakal mati di sana!”
“Tapi aku masih hidup, kok,” kata Kazuha santai. “Akan selalu ada seseorang yang berani menantang terangnya petir. Seperti yang kawanku bilang waktu itu.”
Jantung Gorou berdenyut nyeri seperti baru ditusuk. Tiap kali Kazuha membicarakan tentang lelaki itu, tentang kawannya yang kini hanya tinggal sebatas memori, dia bisa saja terjun dari tebing tertinggi. Sebab kilau di mata Kazuha selalu redup. Sebab senyum Kazuha selalu lenyap. Sebab Kazuha masih belum kunjung merelakan kepergiannya. Dan Gorou tidak cukup kuat untuk menghadapi semua itu. Tidak cukup berani untuk meyakinkannya bahwa kini sudah saatnya melihat ke depan. Bahwa kini, ada dirinya yang siap menemani Kazuha kapan pun dan di mana pun.
Namun, kadang, ketika Kazuha menceritakan tentang kawan baiknya itu, ada kasih sayang dalam kata-kata dan tatapannya. Ada sebuah perasaan rindu dan penuh terima kasih yang bersandingan dengan pilu.
Gorou tidak begitu mengenal kawan baik Kazuha, tapi dia jelas ingin tahu, seperti apa lelaki ini sesungguhnya? Lelaki macam apa yang bisa membuat Kazuha menjadi seorang Kazuha yang dia sayang saat ini?
“Waktu itu keren sekali!” ungkap Gorou dengan senyum lebar, berjuang menyembunyikan rasa penasaran dan iri yang tadi sempat meluap. Telinganya berdiri tegak, bergoyang-goyang mengikuti alunan debur ombak. “Apa mungkin kau bisa melakukannya lagi lain kali?”
Kazuha mengangkat bahu. “Entah. Vision kawanku sudah ada di tempat seharusnya dan sudah padam, jadi ... tidak tahu.”
“Bagaimana kalau kau pegang Vision-ku sebentar? Mungkin kau bisa pakai jurus baru lagi,” tawar Gorou.
“Tidak, Gorou. Ini tidak semudah kelihatannya.”
“Oh.”
“Ambisi kawanku yang memberikan kekuatan untuk melawan Shogun waktu itu. Meski dia sudah tidak ada, meski tubuhnya telah luruh bersama bumi, dia selalu melindungiku.” Senyum melintang di bibir Kazuha saat mengucapkannya. Tatapannya yang tadi sayu, kini dipenuhi kasih. Bahkan, nada suaranya berubah menjadi lebih lembut, lebih jujur. Lelaki itu, lelaki yang menjadi sahabat terbaik Kazuha itu, adalah alasan konkret kebahagiaan Kazuha.
Betapa Gorou juga ingin menjadi alasan di balik semua itu.
“Aku juga punya ambisi!” Gorou nyaris berteriak saat mengucapkannya. “Aku juga bisa melindungimu!”
Kazuha terdiam. Kepalanya ditundukkan. “Gorou....”
“Kau bisa melupakannya, Kazuha!” Kini, seluruh luapan emosi itu memerintah Gorou untuk meremas lengan kanan Kazuha, memaksa pemuda berkucir itu menghadapnya. “ Aku—kami semua ada untukmu! Jadi ... jangan sedih! Kau ... kau harus selalu tersenyum! Oke?”
Untuk beberapa saat yang terasa setahunan, Kazuha hanya mengerjap. Hingga akhirnya seberkas senyum tampil di bibir. “Terima kasih, Gorou.”
Baru saat itu, Gorou sadar apa yang telah terjadi. Wajahnya mendidih, dan dengan cepat, dia melepas pegangannya dari lengan Kazuha.
“Ehem. Tidak masalah. Bagaimanapun, kita ini rekan yang hebat.” Dia membuang wajah, mengutuk dirinya sendiri yang sempat lepas kendali tadi.
Kazuha bangkit dari duduknya—ditandai dengan gemeresik pakaian yang terangkat. “Aku mau kembali ke barak. Tidur. Kau juga harus lekas tidur. Jenderal Gorou yang terhormat tidak boleh bangun kesiangan. Jangan berikan contoh yang tidak baik, oke?”
“Hei, apa maksudnya itu?” protes Gorou dengan tawa yang gagal disembunyikan, mendongak pada pemuda berpakaian serba merah dan hitam di sisinya.
“Malam, Gorou.”
Gorou mematri pandangan pada kawannya yang meninggalkan dermaga dan pesisir itu. Angin malam berembus, meniup pakaian dan rambut Kazuha dengan lembut. Tidak ada kata-kata atau aksi apa pun lagi dari pemuda itu. Seakan dia telah begitu larut dalam keputusannya, atau mungkin sudah terlalu lelah.
“Tapi kalau kau memang butuh bantuan atau butuh teman, kau ... kau tahu di mana harus menemukanku.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Gorou. Dan Gorou tidak menyesalinya.
Kazuha berhenti sejenak, bergumam, “Tentu.”
Punggung Kazuha menjauh, kemudian lenyap di balik bebatuan di sekitar pesisir. Kini, Gorou merasakan kesepian yang menggigit. Dia kembali menatap langit malam, membuang napas panjang. Paling tidak, Kazuha masih ada di sini sekarang. Dalam jangkauan tangannya. Nyata.
