Chapter 1: Has Been Captured
Chapter Text
Tim perlahan membuka matanya. Dia sempat hilang kesadaran.
Laki-laki itu terduduk, punggungnya bersandar ke sebuah kursi. Tubuhnya masih terasa begitu nyeri akibat kekerasan yang diterimanya beberapa saat lalu. Babak belur, lebam di mana-mana. Kulitnya memerah dan lecet, bagian dalam mulutnya terasa asin campur manis. Kostum bagian lehernya sobek, seseorang merusaknya dengan gunting sambil berkata kalau kostum tersebut adalah hal paling konyol yang pernah mereka lihat seumur hidup. Perih, gunting tersebut ikut mengiris kulitnya hingga berdarah, cairan merah merembes keluar dari sayatan kecil di leher. Kedua tangan serta kakinya terikat erat oleh tali, pergelangannya terasa lecet. Salah satu matanya bengkak, tapi untungnya, mata yang lainnya mengamati keadaan sekitar.
Sebuah lampu kecil yang berpendar redup tergantung di langit-langit yang terkelupas. Dia berada di sebuah ruangan gelap dengan dinding serta lantai metalik bernuansa suram. Tidak ada satu pun jendela, hanya ventilasi sempit yang terpasang di sudut tidak terjangkau. Satu-satunya jalan keluar yang ada di ruangan ini adalah pintu ganda yang tidak memiliki lubang kunci, kemungkinan besar terkunci dari arah luar. Ruangan ini kosong melompong. Tidak ada satu pun teknologi yang bisa dilihatnya sejauh mata memandang. Hanya ada beberapa kursi, salah satunya adalah kursi yang dia duduki. Dan sayangnya, kursi tersebut dibaut secara permanen ke lantai, mustahil untuk menggoyahkannya. Siapa pun yang meninggalkannya di sini, jelas-jelas mereka tidak ingin dia melarikan diri atau bergerak barang satu senti pun.
Berkali-kali Tim berusaha melepaskan diri sekuat yang dia bisa, tapi hasilnya selalu nihil. Semakin kuat dia mencoba, tangan serta kakinya semakin terasa sakit seolah akan berdarah.
Ini buruk. Sangat buruk, batinnya, mulai merasa panik.
Seharusnya dia bisa melihat ini datang. Harusnya dia sudah siap akan segala kemungkinan.
Tapi dia gagal mengkalkulasi—tidak biasanya dia gagal.
Tim tidak terlalu ingat dengan jelas apa yang terjadi sebelum dia berakhir dalam keadaan yang menyedihkan seperti ini. Yang dia ingat sebelumnya hanyalah sekelompok orang banyak yang tiba-tiba datang dan menyerangnya secara membabi buta. Sebagai Robin, sidekick Batman si pelindung Gotham, dia tentu terbiasa menghadapi dan berkelahi dengan para kriminal. Tapi, keadaan kali ini berbeda. Dia melakukan kesalahan—kesalahan fatal. Dia lengah selama beberapa detik ketika mereka mulai memakai cara licik, membuatnya berakhir di sini.
Pada titik ini, hal terakhir yang bisa dia lakukan adalah berharap yang terbaik, berharap siapa pun akan segera datang menyelamatkannya. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, mungkin hal tersebut tampak mustahil baginya sekarang. Pelacak yang ada di kostumnya dicabut, alat komunikasinya diambil paksa, senjatanya disita. Bahkan masker dan utility belt-nya hilang entah kemana, meninggalkannya tanpa jalan keluar. Kelihatannya, orang yang menghajarnya benar-benar membenci vigilante. Kini, laki-laki bergaya rambut undercut itu tidak memiliki apa pun lagi untuk meminta bantuan atau membebaskan diri. Selain berharap, yang bisa dia lakukan hanya menunggu. Menunggu seseorang, teman atau keluarganya, tersadar kalau dia tidak kembali.
Keheningan yang menyelimuti seisi ruangan semakin terasa menyesakkan dan menegangkan. Tapi setelahnya, sebuah suara langkah kaki misterius tiba-tiba terdengar dari luar, menarik seluruh perhatian miliknya. Tim otomatis mendongakkan kepalanya yang semula tertunduk lesu, dia menoleh ke arah pintu dengan mata yang melebar. Harap-harap cemas. Pikirannya mulai berpacu dengan berbagai kemungkinan. Apakah itu adalah orang yang menculiknya? Orang yang ingin menyelamatkannya? Atau sesuatu yang lain? Dia tidak tahu.
Cklek!
Pintu pun terbuka. Seseorang melangkah masuk. Dari siluet tubuhnya, itu adalah seorang perempuan. Sosok tersebut berjalan mendekat ke arah Tim. Lampu yang berpendar redup perlahan mengungkap penampilannya. Itu adalah seorang gadis dengan rompi putih berkerah biru tua yang cukup memperlihatkan belahan dadanya, dipadukan dengan celana pendek high waist berwarna senada yang mengekspos kedua kaki jenjangnya, yang anehnya, tidak memakai alas kaki. Rambut pendeknya yang berwarna biru tua mencuat tidak beraturan ke pinggir, sementara matanya yang berwarna emas berkilau dengan indah di bawah cahaya lampu.
"Oh, di sini," gadis itu bergumam pelan, nyaris tidak terdengar.
Dari balik poni berantakan yang sedikit menghalangi penglihatannya, Tim memperhatikan setiap pergerakan gadis itu dengan seksama. Memperhitungkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Tapi satu hal yang pasti, kemunculannya membuat dia sadar kalau dirinya masih belum dilupakan—siapa pun itu, mereka pasti masih memiliki urusan yang berbahaya dengannya.
Pergerakan gadis bermata emas itu tampak tenang. Dia tidak membawa apa pun di tangannya, dia bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia akan menyerangnya. Dia terlihat seperti seseorang yang datang tanpa persiapan atau bahkan tidak sengaja menemukannya di sini. Tim nyaris tidak merasakan ancaman apa pun darinya, tapi dia tahu ada sesuatu tentang gadis itu yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Dia tidak tahu apa yang mungkin tersembunyi di balik punggung atau rompi putihnya. Dia tidak boleh panik, sekalipun wajah dan identitas rahasianya terekspos pada orang lain. Saat ini, mengendalikan diri dan tetap tenang meskipun berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan adalah hal terpenting baginya.
"Apa aku mengenalmu?" tanya Tim. Suaranya terdengar datar dan dingin, dia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa gusar yang menggelayutinya sejak dia sadarkan diri.
"Apa kau mengenalku?" Gadis itu mengulangi pertanyaannya, kemudian dia menggelengkan kepala. "Tidak, kau tidak mengenalku," jawabnya sambil menarik sebuah kursi dan mendudukkan diri tidak jauh di hadapannya.
Sambil terus mengawasi gerak-gerik gadis itu, Tim diam-diam mengamati penampilannya. Gadis itu sangat menarik perhatian, terutama warna matanya yang tidak biasa dan pakaian yang dia kenakan. Siapa orang yang hanya mengenakan rompi berkerah dengan kombinasi celana pendek di malam yang dingin seperti ini? Dia jelas-jelas tidak memakai kostum yang tertutup dan aman sepertinya. Itu agak ceroboh dan tidak hati-hati. Apalagi belahan dadanya yang sedikit terlihat, itu agak mengalihkan perhatian Tim, dan pastinya orang lain. Oh, dia juga tidak mengenakan alas kaki. Benar-benar tidak masuk akal. Siapa gadis itu sebenarnya?
"Apa kau yang menyuruh 'mereka' untuk membawaku ke sini?" tanya Tim, dia berniat melihat sejauh mana gadis itu akan berbagi informasi. Semua yang menghajarnya tadi adalah pria, tapi akan selalu ada kemungkinan kalau dia adalah seseorang yang berada di balik layar.
"Bukan," balas gadis itu singkat.
Tim menahan diri untuk tidak mengerjap bingung, tapi dahinya berkerut samar. Kalau dia bukan bos, orang yang memberi mereka perintah untuk menculik dan menyiksanya, siapa dia? "Lalu siapa kau? Kenapa kau ada di sini?" tanyanya lagi, masih berusaha untuk bersikap tenang.
"Apa hal terakhir yang kau ingat?" gadis itu balik bertanya.
Tim sempat teralihkan oleh pertanyaan tersebut, dia terdiam selama beberapa saat. Dilihat dari raut wajahnya, kemungkinan besar gadis itu sudah tahu apa yang telah terjadi padanya. Dihajar habis-habisan dan disekap oleh sekelompok kriminal. Berbohong tidak akan mempermudah apa pun, dia terjebak tanpa jalan keluar di sini. Jadi, dia memilih untuk berkata jujur—meskipun tidak sepenuhnya, dia tidak akan mempercayai orang asing begitu saja.
"Sekelompok orang tiba-tiba menyerang dan menculikku," jawab Tim, nadanya sebisa mungkin terdengar meyakinkan. "Aku tidak tahu kemana mereka membawaku. Saat aku sampai di sini, mereka memukuliku hingga aku kehilangan kesadaran, dan inilah aku sekarang."
Sambil menunggu apa yang mungkin akan gadis itu katakan, otak pintar Tim mulai bekerja, memproses situasi yang sedang dia alami dan memikirkan apa langkah selanjutnya yang harus dia lakukan kalau saja gadis yang kini ada di hadapannya bukanlah seorang 'teman'. Dia tidak sedang berada dalam posisi yang memungkinkannya untuk bergerak dengan leluasa. Gadis itu bisa saja menghajar atau bahkan membunuhnya kalau mau, dan dia tidak akan punya kekuatan untuk melawan atau bahkan mengelak. Tapi dia tidak akan menyerah begitu saja. Tidak pernah.
"Mereka tidak tahu ampun," sambung Tim—dia tidak tahu kenapa dia mengatakannya.
"Ya, aku bisa tahu dari wajahmu, atau seluruh penampilanmu." Gadis itu terkekeh sambil menunjuknya dengan jari telunjuk dalam gerakan melingkar. "Aku tidak menyangka seorang Robin bisa tertangkap begitu saja," ucapnya, ada sedikit nada merendahkan dalam suaranya.
Gadis itu tahu kalau dia adalah Robin, tapi dia masih memiliki keberanian untuk mengejeknya. Jujur saja, Tim tersinggung. Dia ingin sekali memprotes dan mengatakan kalau sekelompok orang yang tadi menyerangnya menggunakan cara licik, kecurangan yang paling dia benci, dan memanfaatkan titik buta setiap orang bagai pengecut, bagai seorang kriminal rendahan. Tapi, sebelum dia sempat mengatakan apa pun untuk membantah perkataannya, gadis itu tiba-tiba mencondongkan tubuh ke depan. Mendekat ke arahnya, membuatnya bungkam.
Napas Tim seketika tercekat ketika gadis itu mengulurkan tangan untuk mengangkat dagunya, memaksanya mendongak untuk memperlihatkan lebam serta bengkak yang ada di wajahnya dengan jelas. Jarak di antara mereka cukup dekat hingga keduanya dapat merasakan hembusan hangat napas masing-masing. Suasana mendadak canggung. Gadis itu menatapnya lekat-lekat, memperhatikan penampilannya yang buruk dengan teliti. Entah mengapa, Tim seketika sadar diri. Dia pasti terlihat begitu menyedihkan di matanya. Apalagi gadis itu dapat melihat identitas aslinya yang selama ini selalu dia sembunyikan di balik masker hijau tua. Tidak menyenangkan.
"Terlihat jelas, huh?" ucapnya, mencoba terdengar masa bodoh.
Gadis itu menyunggingkan sebuah seringaian, kemudian dia menarik diri dan kembali bersandar di kursinya. Kali ini, dia melipat kedua tangannya dengan angkuh di depan dada.
Meskipun dia hampir tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa wajahnya yang terekspos membuatnya berkali-kali lipat lebih buruk, Tim pura-pura tidak peduli dan tidak terpengaruh. Dia harus tetap berkepala dingin, dan otaknya harus bekerja lebih keras. Persetan apakah gadis itu teman atau musuh sekarang, dia tidak bisa lagi berlama-lama berada di sini. Semakin lama dia berduaan dengan gadis itu di sini, persentase kalau dia adalah seorang teman semakin menyempit. Orang baik mana yang malah duduk dan menanyakannya macam-macam? Kalau gadis itu memang berniat menyelamatkannya, dia seharusnya sudah melakukannya sejak tadi.
Tim mengalihkan pandangan, melihat sekilas ke sekeliling ruangan yang ditempatinya untuk memeriksa kalau saja mungkin ada sesuatu yang tanpa sengaja dia lewati. Apa saja yang bisa dia gunakan sebagai senjata, sesuatu yang kecil dan sederhana seperti pena atau penjepit kertas. Apa pun itu tidak masalah. Karena dia harus keluar dari sini. Sekarang.
"Apa kau takut?" gadis itu tiba-tiba bertanya, membuat perhatiannya kembali padanya.
Tidak, Tim tidak takut. Pelatihan serta pengalamannya sebagai Robin selama bertahun-tahun tentunya membuahkan hasil yang memuaskan. Dia sudah terbiasa dalam keadaan seperti ini. Berhadapan dengan orang jahat bagai makanan sehari-hari baginya. Ini bahkan bukan kali pertama dia diculik dan dibuat babak belur. Dan kalau dia boleh jujur, keadaan ini berada di nomor paling rendah dari urutan situasi di antara hidup dan mati yang pernah dilewatinya.
"Kalau kau? Apa kau akan takut kalau kau berada di posisiku?" Kali ini Tim yang balik bertanya.
Gadis itu mendengus pelan, dia nyaris tertawa pahit mendengarnya. "Aku bertanya padamu, jadi yang harus kau lakukan adalah menjawab, bukan balik bertanya," ucapnya tajam.
Tim mencibir dalam hati. Mendengar perkataannya, dia dapat menyimpulkan kalau gadis itu merupakan seseorang yang senang memegang kendali atas orang lain dan berlagak seolah dialah yang berkuasa. Dia mengenal banyak orang yang seperti itu dalam hidupnya. Tidak hanya para kriminal, teman atau keluarganya pun ada yang bersikap seperti ini.
"Aku pernah berada dalam situasi yang lebih buruk," kata Tim, "jadi, tidak. Aku tidak takut." Wajahnya tetap netral, tidak menunjukkan sedikit pun reaksi negatif atas ucapan gadis itu.
Dari beberapa hal yang bisa dia amati, Tim tahu kalau gadis itu berkata jujur. Dia bukan orang yang bertanggung jawab atas keberadaannya di sini. Gadis itu mungkin mulai menunjukkan sikap aslinya yang arogan dan menyebalkan, tapi dia tidak terlihat seperti seseorang yang memegang kekuasaan apa pun di tangannya. Gadis itu lebih terlihat seperti seseorang yang lebih suka dengan kebebasan dan melakukan apa pun yang dia inginkan daripada dikekang oleh tanggung jawab seperti 'bos' atau 'ketua' yang mendalangi penculikan dan penyiksaannya.
"Siapa namamu?" Tim akhirnya memutuskan untuk bertanya. Bohong kalau dia bilang dia tidak penasaran dengan identitas dari seorang gadis yang muncul tiba-tiba seperti itu di hadapannya.
"Apa namaku penting bagimu?" Gadis itu tersenyum tipis, menumpu dagunya dengan santai.
"Kalau kau ingin aku mempercayaimu, ya, itu penting," balas Tim berterus terang, "Aku ingin tahu dengan siapa aku berbicara," katanya. Dia mencoba menggunakan bakat manipulasinya.
Gadis itu terkekeh. "Kau pikir aku ingin kau mempercayaiku?" tanyanya.
Tim tidak yakin kenapa gadis itu tertawa akan jawaban yang dia berikan, dia tidak berpikir itu lucu sama sekali. "Yah, tidak." Dia menggelengkan kepalanya yakin. "Aku masih belum tahu siapa kau dan apa niatmu datang ke sini. Tapi, mengetahui namamu saja mungkin akan mempermudah sesuatu," balasnya. Suaranya yang semula datar kini mulai menajam.
Gadis itu lagi-lagi terkekeh. Tapi kemudian dia terdiam bagaikan mainan yang tiba-tiba kehabisan baterai, seolah dia tidak pernah tertawa. Gadis itu bergumam pelan, tampak memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya, dia pun membuka mulut dan menatap Tim tepat di mata. Matanya yang berwarna emas itu memantulkan cahaya lampu dengan sangat cantik.
"Namaku Vendetta," katanya.
Mendengarnya, Tim memicingkan mata. Dia yakin kalau nama itu hanyalah sebuah nama samaran seperti nama 'Robin' miliknya. Tidak mungkin itu nama asli. Orang tua mana yang memberikan nama anaknya dengan arti 'balas dendam'? Dan dia sebenarnya tidak peduli, tapi mengetahui bagaimana dia bisa memanggil gadis itu adalah hal yang bagus. Ini seperti sebuah permulaan yang mungkin akan membawanya ke suatu tempat. Keluar dari sini contohnya.
"Nama yang menarik," komentar Tim berbasa-basi. Nama yang aneh , batinnya.
"Aku tahu," balas Vendetta sambil membusungkan dadanya bangga.
Tim tidak ingin meladeninya, jadi dia tidak mengatakan apa pun.
Tim tidak berhenti memperhatikan. Dari kedua mata biru miliknya, gadis itu terus bersikap santai, bahkan terlampau nyaman. Dia melipat tangan di depan dada, menumpu dagu dengan tangan, sama sekali tidak terganggu dengan ketidakberuntungan yang sedang dirinya alami. Gadis itu bahkan tertawa sebanyak beberapa kali, tidak menunjukkan ekspresi cemas atau khawatir sekalipun. Tim tidak merasakan rasa kasihan darinya. Entah karena dia seseorang yang sama ahlinya dalam hal menyembunyikan perasaan sepertinya atau karena dia memang tidak berada di pihaknya sejak awal. Dia tidak tahu, dan hal tersebut mulai membuatnya frustasi.
"Jadi, apa kau hanya akan duduk diam saja di sana atau kau akan mengatakan apa maumu?" tanya Tim, suaranya mulai terdengar tidak sabaran. Dia mungkin tidak bisa menahannya lagi.
"Menurutmu?" Vendetta mengangkat sebelah alis, dia menantangnya secara terang-terangan.
Tim diam-diam mengeraskan rahang. "Jawab saja. Jangan bermain tebak-tebakan," katanya.
"Tidak." Gadis itu menggelengkan kepala.
Yang benar saja.
Tim memutar bola matanya dengan dramatis. Meskipun kesal, dia tidak bisa terus mengulur waktu. Otaknya tidak berhenti bekerja, memproses semua informasi yang telah dia kumpulkan tentang gadis itu sampai detik ini. Sikapnya yang acuh tak acuh, cara bicaranya yang arogan, seringaiannya yang sinis, pakaiannya yang tidak biasa, serta fakta kalau dia muncul secara tiba-tiba. Dipikir-pikir, semuanya terlalu mencurigakan. Tidak mungkin gadis itu hanya orang biasa.
"Kalau begitu, aku ingin bertanya sesuatu padamu," ucap Tim tegas. Dia memandang lurus pada kedua netra berwarna emas miliknya. Matanya tidak berkedip, menunjukkan keseriusannya.
"Apa itu, Robin?" ujar Vendetta, dia menekankan suara ketika alias itu meluncur dari bibirnya.
Hal tersebut, sialnya, berhasil membuat Tim menggeliat tidak nyaman di kursinya. Gadis itu mencoba untuk mengintimidasinya hanya dengan menyebutkan identitas rahasia yang dia miliki tepat di depan wajahnya yang tidak tersembunyi oleh masker. Dan usahanya, entah bagaimana, berhasil. Tapi, dia tidak akan menunjukkannya, dan dia tidak akan menyerah semudah ini. Lagipula, mereka berdua tahu wajah masing-masing sekarang, ini cukup adil.
"Apa kau seorang penjahat?" tanya Tim, langsung menuju intinya.
"Apa?" Vendetta tampak sedikit terkejut, matanya mengerjap cepat. Detik selanjutnya, dia menggeleng sambil melambaikan tangan. "Tidak, tidak, tidak. Bukan seperti itu," katanya.
Sesuatu tentang reaksi gadis itu membuat kehadirannya di sini semakin tampak mencurigakan. Gadis itu menyanggahnya dengan begitu cepat hingga membuat Tim bertanya-tanya apakah dia berbohong dan mengelak atau menentang dan mengatakan yang sebenarnya. Apa pun itu, pertanyaan tersebut pastinya tidak pernah dia duga hingga membuatnya bereaksi demikian.
"Kau yakin?" Sekarang Tim yang menantang sambil menyipitkan mata. "Karena menurutku, cara kau berlagak dan cara kau bicara tampak seperti mereka," katanya memancing.
"Jangan menilai seseorang dari penampilannya." Seringaian yang ada di bibir gadis itu kembali merekah, menjadi lebih sinis. "Menurutku kau terlalu khawatir," ucapnya meremehkan.
"Aku pikir berada dalam situasi ini memberiku banyak alasan untuk khawatir," respon Tim sesuai fakta. "Kalau kau memang bukan penjahat, lalu siapa kau sebenarnya?" tekannya.
"Aku bukan siapa-siapa," balas Vendetta, tetap tidak memberi petunjuk.
Mendengar balasan tersebut, Tim nyaris mengerang frustasi. Tapi dia menahan dirinya agar tidak menunjukkan kalau sebenarnya dia berada di jalan buntu. Jawaban itu tidak membantu, itu bukan jawaban yang dia inginkan. Sejak tadi, gadis itu selalu memberi jawaban yang tampak abu-abu dan tidak jelas. Sama sekali tidak cukup untuk memberi makan rasa penasarannya, tidak cukup untuk membuatnya rela menaruh sedikit kepercayaan padanya.
"Bagaimana keadaanmu? Apa ada tulang yang patah?" tanya gadis itu, mengalihkan topik.
Jujur saja, pernyataan itu tidak membuat Tim merasa jauh lebih baik dan tidak membuatnya merasa dipedulikan. Tiba-tiba memutuskan untuk menghentikan pembicaraan tentang siapa dirinya dan bertanya mengenai tentang kondisi tubuhnya adalah hal lain yang bisa dia curigai dari gadis tersebut. Kalau gadis itu ingin terlihat seperti orang normal, maka usahanya gagal.
"Tidak. Hanya memar dan lebam sana sini." Tim memilih untuk menjawab jujur, meskipun dia sadar kalau beberapa bagian tubuhnya terasa remuk. "Aku baik-baik saja, kecuali dengan fakta kalau aku terikat di kursi dan tidak tahu menahu tentang niat tersembunyi milikmu," katanya.
Itu sudah pasti sebuah sindiran. Tapi, gadis itu tidak peduli. "Tentu saja," ucapnya terkesan.
Tim menggerutu. Bagi seseorang yang mengaku kalau dia bukan penjahat, gadis itu terlihat seperti seseorang yang menikmati segala penderitaannya. "Ya, dan menurutku aku akan baik-baik saja menerima beberapa pukulan lagi," ucapnya bagai anak kecil pemarah, dia jengkel.
Vendetta perlahan memiringkan kepala. "Kau pikir aku ke sini untuk menghajarmu?" tanyanya.
Kebingungan, Tim mengernyitkan dahinya. Dia sungguh tidak bisa membedakan apakah gadis itu memang benar-benar tidak mengerti maksud dari pernyataannya atau hanya berpura-pura polos. Kalaupun dia memang berpura-pura, aktingnya patut diacungi jempol. Bagaimana gadis itu bisa berganti kepribadian dan sifat hanya dalam beberapa detik membuatnya terkesan tapi juga merinding di saat yang bersamaan. Seolah-olah gadis itu terlatih untuk menipu orang lain.
"Aku tidak tahu kenapa kau ada di sini," ucap Tim tajam. "Tapi aku punya cukup pengalaman untuk tahu kalau orang sepertimu tidak datang ke lokasi pahlawan hanya untuk minum teh."
Tawa Vendetta meledak. Kalimat tersebut entah mengapa terdengar sangat lucu di telinganya. "Aku mungkin bukan orang 'baik', tapi aku tidak datang ke sini untuk menyakitimu," katanya.
Kata-kata yang meluncur dari bibirnya mungkin terdengar ramah dan tampak meyakinkan—mungkin satu dari sekian banyak taktik manipulasi yang gadis itu miliki. Tapi, Tim bukan orang yang mudah percaya, tidak dalam keadaan seperti ini. Dia terlalu pintar untuk tidak menyadari kalau ada sesuatu yang tersembunyi di balik sorot matanya yang berkilauan berwarna emas.
"Jujur saja, kau menginginkan sesuatu dariku, 'kan?" kata Tim tegas, dia tidak pernah gentar.
"Menurutmu?" Seringaian gadis itu melebar.
Tim berhasil dibuat mendengus. Dia mulai merasa emosi karena dia harus terjebak dalam permainan tebak-tebakan 'Menurutmu?' ini lagi untuk yang kedua kalinya. "Jangan bertele-tele," ucapnya kasar. "Katakan padaku apa yang kau inginkan dariku," dia menekankan.
Vendetta lagi-lagi tertawa. Renyah dan ringan sekali, seolah dia terhibur dengan apa yang laki-laki itu katakan. Sementara itu, Tim semakin merasa gelisah, dia jelas-jelas berada diambang kesabarannya. Dia tidak tahu apakah gadis itu sengaja membuatnya kesal dengan setiap tawa yang dia miliki atau dia memang tertawa sungguhan karena sesuatu terasa lucu. Dua-duanya tidak masuk akal baginya, dan tidak mau lagi terjebak dalam permainan ini.
"Berhenti tertawa dan jawab aku!" Tim nyaris memekik. Dia ingin jawaban lebih dari apa pun.
Sekarang, gadis itu tersenyum. Senyum yang membuat siapa pun merinding karena tidak akan ada siapa pun yang bisa menebak apa yang ada di baliknya—
"Anggap saja aku penyelamatmu," katanya.
—Termasuk Tim.
* * *
Chapter 2: Killed Them All
Chapter Text
"Anggap saja aku penyelamatmu."
Pernyataan itu bagai seember air dingin yang ditumpahkan tepat ke wajah Tim, membuat bulu kuduknya merinding. Penyelamat? Itu adalah hal terakhir yang dia duga akan meluncur dari bibir miliknya yang berwarna merah tipis. Selama ini, seluruh sikap gadis itu membuatnya berpikir kalau dia kemungkinan besar adalah seorang musuh. Mengulur-ulur waktu, mempermainkan perasaannya, dan tertawa di atas penderitaannya. Tapi sekarang?
Tim mengerjapkan mata tidak percaya. "Penyelamat?" ulangnya memastikan.
"Ya." Vendetta mengangguk. "Aku akan mengeluarkanmu dari sini, bocah." Dia menyeringai.
Hanya karena satu kata itu saja, Tim dibuat mendengus, entah mengapa itu membuatnya gengsi. "Aku tidak bilang aku butuh bantuanmu, dan aku bukan bocah," katanya sebal.
"Kau tidak butuh bantuanku? Tapi kau terjebak di sini dan babak belur, loh." Vendetta menjawab dengan santai sambil menyandarkan punggung ke kursi, dia nyaris tertawa.
Gadis itu ada benarnya, sangat benar malah. Tapi Tim tidak mau menerima bantuan darinya begitu saja, selama ini dia terlalu menyebalkan. "Aku bisa mengatasinya sendiri," ucapnya.
"Oh, ya? Kau yakin?" Vendetta menaikkan sebelah alis, menggodanya, kemudian dia melipat kedua tangannya di depan dada. "Karena kalau dari yang kulihat, kau tidak memiliki apa pun untuk membebaskan diri. Kedua kaki dan tanganmu terikat, dan aku sangat yakin mereka juga menghancurkan semua alat-alat vigilante berhargamu itu," balasnya dengan nada mengejek.
Kata-kata tersebut menghancurkan segala upaya yang telah Tim lakukan untuk tetap tenang dan terkendali di hadapannya. Dia merasa seperti dipukul oleh kenyataan yang ada di depan mata yang selama ini dia coba abaikan, membuatnya seolah terhempas kuat dan jatuh ke tanah. Dia sama sekali tidak mau memperlihatkan pada siapa pun kalau dirinya sedang berada dalam posisi lemah dan tidak berdaya, tapi gadis itu sudah lebih dari menyadarinya, dan dia berhasil mengendalikan situasi dengan memanfaatkan hal tersebut. Tepat seperti yang dia inginkan.
"Sialan," Tim bergumam pada dirinya sendiri. Hanya itu yang bisa dia katakan.
"Jangan bersikap sok keras, bocah," ucap Vendetta, masih sambil melipat kedua tangannya di depan dada seakan dia tahu apa yang sudah dia lakukan. Dia terlihat sangat arogan sekarang.
Kata 'bocah' yang kembali meluncur dari bibirnya hanya membuat pikiran Tim semakin kusut, hampir tidak bisa berpikir jernih. Dia selalu kesal jika ada orang yang memanggilnya seperti itu, terutama bagi seseorang yang lebih tua dan sombong darinya, seperti gadis tersebut—dia tidak terlihat lebih tua, tapi dia tahu kalau gadis itu berusia beberapa tahun di atasnya, dan gadis itu pasti sengaja melakukannya untuk membuatnya kesal. Bagaimanapun, dia adalah Robin, dia tidak pantas disebut bocah hanya karena umurnya belum mencapai dua puluh.
"Berhenti memanggilku bocah," gerutu Tim jengkel.
"Kenapa? Itu cocok untukmu. Terdengar menggemaskan." Vendetta tertawa renyah.
Kalimat tersebut berhasil membuat wajah Tim sedikit memerah, pipinya menghangat. Dia merasa dirinya akan meledak sebentar lagi, entah karena marah atau karena tersipu menahan rasa malu—dia tidak tahu dan dia tidak mau tahu. Seumur hidup dia berhadapan dengan orang asing, tidak ada satu pun dari mereka yang pernah mengatakan hal sememalukan itu padanya. Gadis itu terus bermain-main dengan perasaannya sejak pertama mereka berbicara dan itu semakin membuatnya menggeliat dengan tidak nyaman karena tidak tahu apa tujuannya.
"Tidak. Itu sama sekali tidak menggemaskan karena aku bukan bocah." Tim menggerutu.
Tapi, bagi seseorang seperti Vendetta, Tim hanyalah seorang laki-laki biasa di matanya. Laki-laki itu mungkin seorang Robin, sidekick Batman yang memberantas berbagai kejahatan di Gotham. Dan menurutnya, mereka tidak sepadan. Mereka berbeda, dan menjadi vigilante bukan berarti laki-laki itu jauh lebih baik darinya dan patut dihormati atau ditakuti. Dia bahkan tidak merasa terintimidasi olehnya. Sejak awal, dia bukan penggemar dengan vigilante atau superhero.
"Lalu, bagaimana aku harus memanggilmu?" tanya Vendetta pada akhirnya.
Tim mengerucutkan bibir. "Robin," balasnya singkat, seolah itu hal paling jelas di dunia.
Dilihat dari ekspresi wajahnya yang berubah tidak puas, sudah jelas kalau gadis itu tidak akan menerima jawaban yang dia berikan begitu saja. Itu pasti bukan jawaban yang dia inginkan.
"Itu bukan nama aslimu. Aku ingin tahu nama aslimu," ujar gadis itu tajam.
Benar saja.
Tim otomatis memutar bola mata dramatis mendengarnya. Kalau saja mereka berada di situasi yang berbeda, dia tidak akan pernah mau menjawabnya. Tapi, situasi tidak berbeda sekarang. Dia terikat di kursi yang terbaut permanen di lantai, maskernya hilang, wajahnya terekspos. Siapa pun yang berada dalam jarak sedekat ini pasti dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas. Dan dia yakin gadis itu tidak akan melupakan wajahnya begitu saja. Jadi, hal apalagi yang bisa membuat keadaan menjadi jauh lebih buruk? Semua hal telah dikompromikan di sini.
"Tim. Panggil aku Tim," dia menjawab dengan enggan.
Gerakan yang sembrono—teman-temannya pasti tidak akan terkesan—tapi lebih baik dia dipanggil dengan secuil nama aslinya, Timothy Jackson Drake, daripada dipanggil dengan sebutan 'bocah'. Itu terlalu memalukan dan mencoreng harga dirinya. Lagipula, dia pernah melakukan hal yang lebih bodoh sebelumnya, yaitu ketika dia sempat menggunakan nama samaran 'Drake' yang mana merupakan nama keluarganya. Entah kenapa dia melakukan itu.
Vendetta mengulas sebuah senyum puas. "Senang bertemu denganmu, Tim," katanya.
Senyum itu tidak membuat Tim merasa kalau gadis itu senang bertemu dengannya, itu justru membuat benaknya semakin bertanya-tanya. Apakah gadis itu memang benar-benar bersikap baik padanya atau ada sesuatu yang jauh lebih jahat yang bersembunyi di balik senyum serta tawanya renyahnya? Dia tidak tahu karena dia tidak bisa menemukan apa pun. Sejak tadi, pertanyaan yang dia lontarkan dan pertanyaan yang berputar dalam benaknya hanyalah pertanyaan tanpa jawaban. Tentang siapa gadis itu dan apa tujuannya datang ke sini.
Tidak ingin bermain-main, Tim memutuskan untuk tidak merespon.
Keadaan sempat hening selama beberapa saat, keduanya bungkam. Ini lagi-lagi menjadi situasi yang canggung bagi Tim. Karena, meskipun gadis itu tidak berbicara, mata emasnya yang terus menatapnya lurus tanpa berkedip seakan mengatakan banyak hal padanya. Atau lebih tepatnya, menantangnya, membuatnya merasa sedang ditelanjangi secara perlahan dan dipermalukan tanpa langsung. Dia tidak terlalu suka bagaimana gadis itu memandangnya, sorot mata itu membuatnya sadar diri kalau dia sedang dalam keadaan lemah dan tidak bisa apa-apa.
"Apa kau bisa berjalan?" tanya Vendetta tiba-tiba. Dia selalu menanyakan hal di luar perkiraan.
Tim tidak mengerti kenapa gadis itu lebih peduli dengan kondisi tubuhnya daripada intonasi permusuhan yang meluncur dari bibirnya sejak awal bertemu. "Ya. Kenapa?" tanyanya ketus.
"Bagus, itu artinya aku tidak perlu susah payah menggendongmu," kata gadis itu senang.
"Aku bisa berjalan, aku tidak butuh bantuanmu untuk menggendongku kemana-mana," ucap Tim tegas, dia tidak ingin dianggap lemah. "Kau mengulur terlalu banyak waktu. Sekarang aku jadi ragu apa kau benar-benar ingin membantuku atau tidak," ucapnya terus terang.
Mendengar hal tersebut, Vendetta pun terkekeh. "Aku benar-benar ingin membantumu, jangan khawatir," katanya sambil melambaikan tangan di depan wajah, seolah berkata 'tenang saja'.
Tentu saja Tim khawatir, cemas akan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di sekitarnya. Dia tidak bodoh, dia jenius. Dia tahu kalau semakin lama dirinya berada di sini, semakin besar pula kemungkinan kalau gadis itu adalah seorang musuh yang hanya ingin bermain-main dengannya demi kesenangan semata sebelum menyiksanya di akhir, seperti apa yang mereka lakukan. Dia tidak boleh membiarkan hal ini terus berlanjut, bisa-bisa dia mulai kehilangan harapan dan akal sehat yang dia miliki. Otaknya tidak boleh berantakan, atau dia akan mengacaukan segalanya.
"Kalau begitu berhenti main-main dan lepaskan aku," tekan Tim, suaranya menajam.
Vendetta lagi-lagi tertawa dan Tim lagi-lagi terheran akan apa yang menurutnya lucu. Gadis itu sering sekali tertawa, membuatnya berpikir kalau tawa itu mungkin bisa menghantuinya dalam mimpi. Dia tidak tahu apakah itu hal yang buruk atau bukan, dan itu membuatnya merasa tidak nyaman dengan cara yang aneh. Untungnya, beberapa detik kemudian, tawa itu terhenti. Tim terus memperhatikan gerak-gerik gadis itu dari balik poninya, dia menelaah wajah tersebut dalam diam. Entah kenapa, ekspresinya yang semula tampak main-main kini mulai serius.
"Apa kau mempercayaiku?" tanya Vendetta. Pertanyaan tidak terduga lainnya.
Tim mengedipkan mata. Haruskah dia melontarkan pertanyaan seperti itu?
Percaya?
Pertanyaan tersebut membuat Tim terdiam sejenak. Apa dia mempercayainya? Mungkin tidak, tidak sama sekali. Dia tidak yakin. Dia masih belum bisa mengungkap apa niat sebenarnya gadis itu datang ke sini, tapi dia juga tidak bisa melawan instingnya yang mengatakan kalau gadis itu memang peduli dengan kondisinya. Bisa saja ini berarti sesuatu, entah dia bodoh dan salah menilai atau semua akan berubah menjadi lebih baik. Mungkin gadis itu memang akan menyelamatkannya meskipun sikapnya tidak tertahankan dan sangat menyebalkan.
"Tidak, belum," jawab Tim jujur. "Aku masih tidak tahu niat aslimu," katanya.
"Sudah kuduga."
Untuk yang pertama kalinya, gadis itu menghela napas. Pelan, tapi terdengar kekecewaan di dalamnya. Tim mengerjapkan mata seolah itu adalah hal mustahil yang terjadi di hadapannya. Dia tidak menduga kalau gadis itu bisa menampilkan emosi lain selain sikap santai, acuh tak acuh, dan masa bodoh miliknya. Dia justru berpikir sebaliknya, dia mengira kalau gadis itu akan mulai kasar, marah-marah, atau menghajarnya sehabis mendengar jawaban jujur darinya. Tapi, sepertinya gadis itu memang selalu melakukan hal yang berada di luar dugaannya.
"Setidaknya, apa kau bisa berjanji kalau kau tidak akan kabur dariku?" tanya Vendetta lagi.
Ada sesuatu yang aneh dengan permintaannya, tapi itu sama sekali tidak menghentikan Tim untuk menatapnya tepat di mata. "Untuk sekarang aku tidak berencana untuk kabur darimu karena kau bilang kau akan menolongku," dia membalas, suaranya ikut serius. "Tapi, kalau kau ingkar janji, kau tahu apa yang akan kulakukan kalau ada kesempatan sedikit saja," ancamnya.
Gadis itu bergumam 'hm' pelan, mempertimbangkan sesuatu. Kemudian dia mengangguk dan balas menatapnya tidak kalah lurus. "Kalau begitu, tetap diam dan bersiaplah," katanya.
Tim menahan sorot matanya beberapa detik lebih lama, menunjukkan kalau dia tidak takut padanya sekalipun dia berada dalam kondisi yang menyedihkan. Akhirnya, dia memutuskan untuk memberinya sedikit kepercayaan dan tetap diam sesuai apa yang gadis itu inginkan.
Vendetta bangkit dari duduk dan berjalan ke belakangnya. Detik selanjutnya, Tim justru dibuat terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Matanya hampir membulat sempurna begitu dia melihat sebuah belati berwarna hitam yang tiba-tiba muncul dalam genggaman tangannya. Selama ini gadis itu membawa senjata bersamanya. Tapi, di mana dia menyembunyikannya? Bagaimana dia menyembunyikannya? Dia mengenakan pakaian yang terlalu simpel dan pendek untuk membawa serta menyembunyikan sesuatu seperti belati atau senjata lain dengannya, dia bahkan tidak membawa wadah atau tas kecil apa pun di sekitar tubuhnya. Bagaimana bisa?
Tim memperhatikan setiap pergerakan gadis itu dari balik bahu dengan jantung yang berdebar, dia tidak boleh lengah saat belati setajam itu berada dekat dengannya dan bisa mengirisnya kapan pun. Ketika gadis itu mulai memotong tali yang mengikat tangannya dengan hati-hati, gerakannya tampak begitu lihai seolah-olah dia sangat terampil menggunakan senjata tersebut. Setelah selesai dengan tangannya, gadis itu segera mengambil beberapa langkah ke depan dan mulai memotong tali yang mengikat kedua kakinya. Belati yang dia pakai memiliki ujung yang mengkilat tajam, tidak butuh waktu lebih dari semenit untuk memotong semua tali tersebut.
"Selesai," ucap Vendetta sambil melangkah mundur.
Beban yang ada di pundak Tim seketika terangkat, membuatnya merasa ringan. Badannya mungkin masih terasa kaku lantaran telah terikat dan tidak bisa bergerak dalam waktu lama, tapi akhirnya dia bisa menggerakkan anggota tubuhnya dengan bebas dan leluasa. Ini adalah saat yang dia tunggu-tunggu. Dia merentangkan tangan dan kakinya, melakukan peregangan selama beberapa saat untuk meredakan nyeri pada ototnya. Kemudian dia berdiri dari kursi, dan mengambil napas panjang merasakan kebebasan yang selama ini dia dambakan.
Tim diam-diam mengamati Vendetta dari ujung matanya. Meskipun ancaman yang gadis itu miliki tidak sebesar sebelumnya karena dia sudah terbebas dari jeratan dan dapat melakukan segala jenis perlawanan serta pertahanan diri, bukan berarti dia boleh merasa lega. Dia masih harus mewaspadainya, mencurigainya bahkan. Dia tidak tahu apa yang akan gadis itu lakukan, dan kalau gadis itu memilih untuk melakukan hal yang tidak dia sukai—kejahatan dan tindak kriminal—maka dia akan memastikan kalau gadis itu menyesal telah membebaskannya.
Vendetta tidak mengatakan apa pun selama beberapa saat, mata emasnya mengerjap pelan, seakan sengaja memberinya waktu untuk mengambil napas dan menikmati kebebasannya. Sampai akhirnya, dia tiba-tiba mengulurkan sebelah tangan ke arahnya. "Ayo," katanya.
Tim tidak menerima uluran tangannya. Dia berpura-pura tidak melihat—meskipun dia tahu kalau usahanya kemungkinan besar telah gagal—dan mulai melangkahkan kaki untuk keluar dari ruangan yang selama ini telah menjadi penjaranya. Melihat Tim yang sengaja mengabaikan uluran tangannya seperti itu, Vendetta hanya menaikkan sebelah alis dan mengangkat kedua bahu acuh tak acuh lalu menyusulnya dan mempercepat langkah untuk memimpin jalan keluar.
Selama berjalan, semenjak dia keluar dari ruangan tersebut, Tim memperhatikan sekelilingnya dengan teliti. Tempat yang menahannya tampaknya merupakan sebuah gedung bertingkat yang cukup mewah, penampilannya bahkan menyerupai hotel. Ketika dia berjalan melewati lorong yang panjang, dia melihat banyak sekali pintu yang berjajar. Masing-masing dari pintu tersebut pastinya memiliki kegunaan yang berbeda. Ruang pribadi, ruang rapat, ruang arsip, atau lain sebagainya. Tapi, hal yang paling menarik perhatiannya adalah barang-barang mahal yang terpajang di berbagai tempat. Siapa pun yang mendesain tempat ini pasti seorang hedonis.
Seperti tempat kumpul para mafia, batin Tim tanpa berpikir panjang.
Gedung yang sedang dia pijak mungkin tampak mewah dan berkelas tinggi, memberikan kesan kalau tidak sembarang orang bisa berada di sini. Tapi anehnya, semakin dia melangkah lebih jauh, yang dia rasakan hanyalah kekosongan yang tidak pernah berubah. Dia tidak merasakan kehadiran siapa pun di sana, dia juga tidak bertemu orang lain selama perjalanan. Jangankan bertemu, dia bahkan sama sekali tidak mendengar satu pun bisikan-bisikan halus atau pembicaraan. Seolah-olah tempat mewah ini telah ditinggalkan oleh para penghuninya.
"Kemana semua orang?"
Ketika mereka berdua berhasil keluar dari gedung, Tim memutuskan untuk bertanya. Dia mengharapkan sesuatu yang berbeda, tapi saat dia memutar kepalanya ke arah mobil-mobil yang terparkir sempurna di parkiran, semuanya masih tampak hening dan kosong. Sang pemilik mobil tidak bisa ditemukan di mana pun, memberikan kesan kalau mobil itu telah ditinggalkan.
"Itu tidak penting," jawab Vendetta, "yang penting kau sudah bebas dari sana," katanya datar.
"Tentu saja itu penting," ucap Tim, menyanggah omongannya dengan keras. "Kau tidak pernah menjawab saat aku bertanya kenapa kau ada di sini, jadi paling tidak, yang bisa kau lakukan sekarang adalah menjawab pertanyaanku yang satu ini. Ini tidak begitu sulit!"
Mendengar emosi yang hampir meledak darinya, Vendetta otomatis menoleh ke arahnya. Dia memicingkan mata, menatap laki-laki itu dengan wajah yang berkerut. Tim tidak mengerti apa arti dari tatapan tersebut, tapi dia tidak akan menyerah sampai dia mendapat penjelasan. Ada sesuatu di sekitarnya yang membuat perasaannya sesak dan tidak nyaman. Firasat buruk mulai menguasainya, dan dia tidak bisa melakukan apa pun untuk selain berprasangka buruk.
"Jawab saja pertanyaannya. Kenapa tidak ada orang di sini? Kemana mereka semua pergi!?" Tim kembali bertanya, suaranya kasar. Kali ini, dia benar-benar menuntut sebuah jawaban.
Vendetta mengalihkan perhatian darinya. Kedua matanya yang berwarna emas memandang gedung kosong yang ada di hadapannya tanpa selera. "Mereka tidak pergi," jawabnya dingin.
"Apa? Lalu di mana orang-orang? Kenapa aku tidak melihat siapapun?"
Tim mengerjap, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia benar-benar kebingungan sekarang, tidak habis pikir. Gadis itu berkata kalau semua orang tidak pergi dari sini, tapi dia jelas-jelas tidak bertemu dengan siapa pun sejak mereka keluar dari ruangan yang selama ini telah menjadi penjara baginya. Ini sangat tidak masuk akal. Ada apa sebenarnya? Sesuatu pasti telah terjadi di sini, ketika dia masih ditahan di ruangan tersebut. Tapi dia tidak tahu apa itu.
"Omong kosong." Tim nyaris berseru. "Kalau mereka tidak pergi, di mana mereka!?"
Setitik keputusasaan yang terdengar dalam suara laki-laki itu membuat Vendetta kembali menoleh ke arahnya. Sekarang, bukan sorot mata menantang atau tajam yang dia tunjukkan, melainkan sorot mata tanpa setitik perasaan. "Kau ingin aku menjawabmu?" tanyanya.
Tim mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak bergidik. "Tentu saja!" balasnya keras.
Tim tidak akan membiarkannya lolos kali ini. Dia akan memastikan kalau dirinya mendapatkan jawaban sekarang, setelah semua pertanyaannya diabaikan dan perasaannya dipermainkan berkali-kali. Dia tidak lagi peduli dengan alasan kenapa gadis itu datang ke sini—lagipula dia sudah dibebaskan dan bisa melakukan apa pun—yang dia pedulikan sekarang adalah kenapa tidak ada seorang pun yang dapat terlihat di tempat yang selama ini telah menahannya.
Tapi, tanpa diduga, kedua ujung bibir gadis itu perlahan terangkat. Senyum yang dipadukan dengan sorot matanya yang tidak berperasaan membuat Tim mau tidak mau merasakan bulu kuduknya merinding sekeras apa pun dia mencoba untuk menyangkal kenyataannya.
"Mereka semua mati," jawab Vendetta pasti
Tim membeku, matanya melebar. "Mereka semua mati?" ulangnya, suaranya sedikit gemetar.
"Lebih tepatnya, mereka semua terbunuh," gadis itu membenarkan. Dia mengangkat kedua bahu, kemudian mengalihkan pandangan ke sekitar seolah-olah perkataannya bukan apa-apa. "Tidak masalah, lagipula mereka semua hanyalah para penjahat yang menyiksamu," katanya.
Tim menelan ludah, tenggorokannya mendadak terasa kering.
Membayangkan genangan darah yang lengket serta mayat kaku yang saling bertumpuk hingga menggunung membuat perutnya bergejolak. Mereka mungkin orang jahat yang telah menculik dan membuatnya babak belur, tapi, apakah mereka pantas untuk dibunuh? Seumur hidup dia menjadi vigilante, sejahat apa pun seseorang, dia tidak akan pernah membunuh. Menurutnya, semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua dan keadilan atas kejahatan mereka. Memikirkan tentang kematian masal seluruh penghuni gedung tersebut, dia ingin muntah.
Saat ini, hanya ada satu kesimpulan yang ada di otaknya.
"Apa kau yang membunuh mereka semua?" tanya Tim, dia harap dugaannya salah.
Keduanya saling bertatapan, tidak ada seorang pun yang berkedip. Keadaan hening selama beberapa saat. Dan dalam waktu yang singkat itu, semuanya terasa menyesakkan, seolah ada sebuah tangan yang perlahan mencekik lehernya hingga dia kehabisan napas. Gadis bermata emas itu tidak menjawab dengan kata-kata, tapi dia tiba-tiba tertawa. Tawa yang semula terdengar mengejek dan meremehkan kini berubah jahat dan berdarah dingin.
Tim bisa gila. "Aku bertanya padamu! Apa kau yang membunuh mereka semua!?" serunya.
Vendetta tahu pasti kalau Tim sudah mencapai batasnya. Laki-laki itu kehilangan sikap tenang serta kepala dingin yang sejak awal terus dia pertahankan sekuat tenaga. Sekarang, dia terlihat marah. Dadanya naik turun dengan tidak beraturan, tangannya terkepal, hidungnya kembang kempis, seolah dia bisa menyerangnya kapan saja sekarang. Jujur saja, dia terkesan karena laki-laki itu ternyata dapat mengendalikan dirinya lebih lama dan lebih baik dari yang dia kira.
Vendetta kembali tersenyum. "Ya, aku yang membunuh mereka," katanya.
Kalimat itu bagaikan petir yang menyambar hebat.
"Apa kau gila!?" teriak Tim dengan seluruh tenaganya.
Gadis itu sama sekali tidak bergeming mendengar teriakannya yang menggelegar. Sebaliknya, dia justru termenung sambil menumpu dagu dengan tangan, memikirkan perbuatannya seakan dia tidak tahu kalau itu sangat salah. "Hm ... mungkin aku tidak membunuh semuanya. Mungkin ada beberapa di antara mereka yang masih hidup dan hanya hilang kesadaran," gumamnya.
"Berapa?" Tim menggertakkan gigi, rahangnya mengeras, alisnya menukik tajam. "Berapa yang masih hidup? Dan berapa yang sebenarnya kau bunuh!?" tanyanya menggebu-gebu.
Vendetta mengernyitkan dahi, dia heran dan tidak terkesan. Ini bukan kali pertama dia mendengar pertanyaan tersebut. Orang-orang selalu menanyakan hal yang sama padanya, orang-orang selalu penasaran akan berapa banyak nyawa yang telah dia akhiri di tangannya. Pertanyaan yang sangat tidak penting. Pertanyaan yang tidak masuk akal. Dia tidak memiliki jawabannya karena dia memang tidak pernah menghitung. Untuk apa dia menghitungnya?
"Dengar."
Vendetta berbalik ke arah Tim, membuat mereka saling berhadapan di tengah suasana yang memanas. Dia perlahan melangkah mendekat dan mencondongkan tubuh untuk menghapus jarak, memastikan kalau lawan bicaranya tidak akan bisa melihat ke arah lain selain wajahnya.
"Tidak mudah bagiku untuk memasuki tempat ini dan berbaik hati menyelamatkanmu. Jadi sebaiknya kau tidak banyak tanya," katanya tajam. Ancaman terdengar jelas dalam suaranya.
Gadis itu tiba-tiba mengulurkan tangan dan menarik kencang bagian atas ujung jubah milik Tim, membuat jarak yang terbentang di antara bibir mereka menipis dan hanya tersisa beberapa senti saja. Tim terkejut, napasnya tercekat dan tubuhnya membeku. Tapi, dia tidak sempat melakukan apa pun untuk menghentikan pergerakannya, untuk menghentikan semuanya.
Vendetta menatapnya nyalang. "Lain kali, kau harus siap akan apa yang akan terjadi," desisnya.
Bagaimana cara gadis itu bertingkah, bagaimana cara gadis itu bergerak, bagaimana cara gadis itu berbicara. Sikapnya yang terlampau santai seolah-olah tidak terganggu, perlakuannya yang berubah-ubah seakan bisa berganti kepribadian suatu saat, suaranya yang terdengar main-main dan juga mengancam di waktu yang bersamaan, serta jarinya yang tampak lentik tapi ternyata lihai menggunakan senjata berupa belati yang tajam. Semuanya terasa begitu berbahaya.
Tim tidak bisa berkata-kata. Dia tidak sanggup berbicara.
Sialan, dia merasa dia tidak pernah sebodoh ini sebelumnya.
* * *
Chapter 3: No Fingerprints
Chapter Text
Sejak awal, Tim tahu kalau gadis itu menyembunyikan sesuatu. Entah sesuatu yang baik atau buruk, tidak terlihat terlalu jelas dari gerak-gerik serta ucapannya. Tapi itu ada di sana, samar sekali. Dia tidak akan merasa aneh atau terkejut kalau ternyata gadis itu adalah salah satu dari orang yang membawanya ke sini dan memukulinya sampai babak belur. Mengingat sikapnya yang misterius dan sok mengintimidasi, itu bukan sebuah hal yang mustahil. Tapi, di antara semua kemungkinan, bukan ini. Bukan ini yang dia kira. Ini benar-benar di luar dugaannya.
Bisa-bisanya Tim tertipu oleh penampilannya yang menarik perhatian dan tidak biasa, terutama gerak-geriknya yang selalu tampak santai dan terkendali, membuatnya lengah dan melewati bahaya yang ternyata selama ini bersemayam dan terpendam di dalam sorot mata tajamnya yang berkilauan berwarna emas. Sebuah bahaya besar yang mematikan, yang membuat siapa pun merinding mendengarnya. Ternyata, sikap santai dan terkendalinya adalah perwujudan dari hatinya yang tidak peduli dan tidak berperasaan. Seseorang yang berdarah dingin.
Demi apa pun, ternyata gadis itu adalah seorang penjahat.
Dia membunuh mereka semua, katanya.
Apa itu benar? Orang gila mana yang membunuh semua orang yang ada di dalam suatu gedung?
Tim sulit mempercayainya. Tidak, dia tidak mau mempercayainya.
Kalau gadis itu memang orang yang menghabisi mereka semua, maka apa yang sebenarnya gadis itu inginkan darinya? Kenapa dia datang ke sini dan menyempatkan waktu untuk berbaik hati dan membebaskannya? Apakah itu hanya permainan pikiran untuk membuatnya percaya, padahal, dia adalah target selanjutnya untuk dibunuh? Kalau itu benar, berarti kebebasannya dari tempat ini bukanlah akhir dan semuanya tidak akan berjalan sesuai yang dia inginkan.
Tim menepis kasar tangan Vendetta, membuat cengkeraman gadis itu yang ada pada jubahnya seketika terlepas. Dia melompat mundur sebanyak beberapa langkah, menjaga jarak aman di antara keduanya. Suasana berubah genting. Meskipun tongkat yang biasa dia gunakan untuk memberantas kejahatan dan alat-alat berharga miliknya hilang entah kemana, dia masih punya tangan serta kaki yang bisa dia gunakan untuk melawan. Pelatihannya sebagai Robin selama bertahun-tahun tentu tidak akan mengecewakannya dalam keadaan mendesak seperti ini.
"Apa? Sekarang kau takut?"
Vendetta mempertemukan mata mereka, emas dan biru, lalu menatapnya lekat-lekat sambil bertanya dengan suara yang kelewat tenang seolah apa yang baru saja dia katakan beberapa menit lalu adalah ucapan normal sehari-hari dan dia sudah biasa mengatakannya pada orang lain. Intonasi miliknya yang datar tanpa setitik pun rasa bersalah membuat Tim mengepalkan tangan akan sikapnya yang dipikir-pikir sama sekali tidak masuk akal, nyaris mendekati gila.
"Kau bilang kau bukan penjahat, tapi sekarang kau bilang kau membunuh mereka semua. Apa kau sadar betapa tidak masuk akalnya itu?" Tim berkata dengan tegas, rahangnya mengeras.
Merasa lucu, gadis itu terkekeh. "Aku tidak bohong. Aku memang bukan penjahat. Aku hanya orang yang melakukan pekerjaanku," katanya sambil melambaikan tangan di depan wajah.
Tim menggeram tertahan. "Biar kutebak, pekerjaanmu membunuh orang?" cibirnya tajam.
"Benar." Vendetta menjentikkan jari bangga seolah laki-laki itu memenangkan tebak-tebakan.
"Apa yang membuatmu berpikir kalau itu bukan pekerjaan orang jahat, huh?" respon Tim sedikit lebih kasar, kepalan tangannya semakin menguat hingga buku-buku jarinya memutih.
Seorang penjahat yang mengaku kalau dirinya baru saja membunuh seluruh penghuni gedung dalam satu malam—malam ini—kini sedang berdiri tidak jauh di hadapannya. Postur tubuhnya tidak menunjukkan tanda kalau gadis itu akan menyerang. Tim dapat melihat kedua tangannya yang ada di samping tubuh, dan keduanya tidak menggenggam belati yang semula dia gunakan untuk memotong tali. Tapi, itu sama sekali tidak menutup kemungkinan kalau ada banyak cara lain yang bisa gadis itu gunakan untuk menyerangnya tanpa perlu menggenggam senjata.
Tim meneguk liur, dia melihat sekeliling. Tidak ada siapa pun atau apa pun di sekitarnya. Hotel ini sudah pasti berada di lingkungan yang terpencil, mungkin di ujung Gotham, atau bisa juga di kota lain. Dia tidak yakin. Tapi satu hal yang pasti, gedung yang menjulang tinggi di sekelilingnya tampak remang-remang, tidak banyak lampu yang menyala. Dia tidak tahu apakah kekosongan ini adalah hal buruk atau tidak. Yang dia pikirkan sekarang adalah apa dia harus menjatuhkan gadis itu atau mengambil langkah tenang dengan negosiasi? Mana keputusan yang lebih baik?
"Tenang saja, aku tidak akan membunuhmu," ucap Vendetta, mencoba membuatnya tenang.
Tim menarik napas panjang dan menahannya sejenak. Bahkan setelah kalimat tersebut sampai ke telinganya, kewaspadaannya tidak boleh menurun. Sebenarnya, dia tidak terlalu peduli apakah gadis itu akan mengincar nyawanya atau tidak, tapi fakta kalau dia telah membunuh banyak orang membuat mereka berdua otomatis menjadi musuh. Dia adalah vigilante yang memberantas kejahatan dan kriminalitas, sedangkan gadis itu adalah seorang pembunuh. Dia tidak bisa membiarkannya begitu saja hanya karena gadis itu telah membebaskannya dari sana.
Vendetta sedikit mengerucutkan bibir, dia tidak suka melihat ekspresi permusuhan yang terlihat dengan jelas di wajah dan sorot mata biru milik Tim. Dia tahu pasti 'apa' mereka, dia tahu kalau mereka musuh, tapi dia tetap tidak menyukainya. Menghela napas, dia pun mendekat sebanyak beberapa langkah, hendak menyentuh lengan laki-laki itu dengan jarinya ketika sesosok pria tiba-tiba muncul. Melompat dari arah langit dan melesat dengan sangat cepat ke arahnya.
Jubah berwarna hitam yang berkobar dan membaur dengan gelapnya langit malam serta kostum berwarna abu-abu kelam yang memantulkan cahaya bulan. Tidak salah lagi;
Batman.
"Sialan."
Dengan refleks yang cepat, Vendetta menghindar, melompat menjauh dari tempatnya berdiri.
Batman—Bruce Wayne—mendarat di atas aspal dengan kedua kakinya yang kuat dan kokoh. Logo berbentuk kelelawar berwarna hitam terlihat jelas di dadanya, mengkilap diterpa cahaya. Logo itu adalah logo yang membuat banyak kriminal kelas rendahan bergidik ngeri. Dari balik masker, Bruce memicingkan mata, memperhatikan seorang gadis yang berdiri dengan siaga penuh di hadapannya. Meskipun sedikit terlambat menyadari kedatangannya, dilihat dari refleks serta caranya mengelak, gadis itu bukan orang biasa. Dia adalah seorang petarung.
Bruce sekilas melirik Tim dari balik bahunya. "Kau tidak apa-apa, Robin?" tanyanya.
"Ya, aku baik-baik saja." Tim mengangguk singkat, pandangannya tetap mengarah lurus ke depan. Kondisinya bukan hal yang perlu dikhawatirkan sekarang. Dia baik-baik saja walaupun mata sebelah kirinya masih bengkak dan lebamnya masih terasa nyeri. Ini bukan apa-apa.
"Apa dia yang melukaimu?" Bruce kembali bertanya, suaranya terdengar lebih tegas sekarang.
Tim menggelengkan kepala. "Bukan, dia yang membebaskanku," katanya pahit. Dia jeda sejenak, mengambil napas untuk menenangkan detak jantungnya. "Tapi, dia bilang dia telah membunuh semua orang yang ada di gedung ini. Aku tidak ingin percaya, tapi aku benar-benar tidak menemui siapa pun sejak aku dibebaskan. Kalau ini benar, ini berarti masalah besar."
Bruce ikut memandang lurus ke depan. Dia menatap tajam gadis bermata emas itu dalam diam.
Meskipun wajah pria itu terhalang oleh masker, Vendetta tahu apa arti dari tatapan tersebut. Itu bukan sebuah tatapan yang terasa asing baginya. Dia terkadang mendapatkan tatapan tersebut dari beberapa orang tolol yang memiliki perbedaan sudut pandang dengannya, sekaligus orang yang memiliki cukup keberanian untuk menatapnya langsung tepat di mata. Tidak semua orang itu suka dengannya, apalagi pekerjaannya. Tapi itu tidak masalah, dia sudah terbiasa.
"Apa kau benar-benar melakukannya? Bilang padaku kalau kau tidak melakukannya," ucap Bruce, berat dan tajam. Dibanding pertanyaan, kata-katanya lebih terdengar seperti ancaman.
Vendetta tidak mengatakan apa pun, dia membiarkan tatapan tersebut melayang dan mendarat ke arahnya begitu saja, tidak terpengaruh. Dia tidak bergeming, dia hanya balas menatap sosok kekar berkostum serba hitam yang berada di hadapannya tanpa berkedip, menunjukkan kalau dia tidak akan pernah tunduk pada apa pun—dan pria itu tahu, kalau diamnya berarti 'ya'.
Bruce mengepalkan kedua tangannya erat-erat. "Apa kau sudah kehilangan akalmu? Apa kau sadar apa yang kau lakukan?" katanya, suaranya berubah kasar. Emosinya seakan mendidih.
"Yang benar saja." Vendetta merespon dengan sebuah hembusan napas tidak selera. "Jangan mulai menceramahiku tentang hal ini, aku tidak mau dengar, Batman," ucapnya acuh tak acuh.
Dia mengamati Bruce dari tempatnya berdiri. Pria itu tampak siap menyerang, seakan-akan akan melesat ke arahnya kalau saja dia tertangkap menggerakan satu jari pun. Tapi dia tidak tertarik, dia tidak mau berkelahi. Dia tidak pernah berseteru dengan vigilante di Gotham atau kota lain sebelumnya, jadi dia tidak akan mencari masalah dengan Batman, pelindung dari kota yang dipenuhi oleh korupsi dan kriminalitas ini. Lagipula, dia juga tidak memiliki cukup dendam apa pun untuk membunuhnya, dan seseorang jelas-jelas tidak membayarnya untuk hal itu.
"Aku tidak ada urusan denganmu, Batman," ujar Vendetta ketus, dia sungguh tidak mau berurusan dengan hal-hal klise dalam komik seperti 'keadilan' atau sebagainya sekarang.
"Kau ada di kotaku," ucap Bruce, dia menggertakkan gigi. "Sejauh yang aku lihat, kau baru saja membuat masalah besar, jadi kau otomatis berurusan denganku," tegasnya.
Gadis itu memicingkan mata. "Ini bukan kotamu, nenekmu tidak membuat kota ini," ucapnya.
"Kau—"
Sebelum Bruce sempat melanjutkan kata-katanya, Vendetta melesat dengan sangat cepat ke arahnya, sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk berkedip. Gadis itu mengayunkan tangan, menggunakan sebuah belati tajam berwarna hitam yang entah sejak kapan sudah dia genggam erat untuk melancarkan sebuah serangan mematikan. Tapi, The Dark Knight tentunya tidak kalah cepat, dia tidak boleh diremehkan. Pria itu segera bereaksi dan menangkis serangan tersebut dengan sarung tangannya berbahan Kevlar, yang bisa menandingi kekuatannya.
Vendetta tidak menyerah, ditangkis satu kali bukan berarti dia akan mundur dan berhenti. Dia segera melayangkan sebuah pukulan lain dengan tangan kirinya, yang lagi-lagi dapat dihindari dengan cukup mudah. Bruce tidak akan membiarkannya mendominasi pertarungan begitu saja, dia pun memutuskan untuk melancarkan sebuah serangan balik sebagai sebuah tanda kalau dia akan meladeni perseteruannya. Gadis itu berhasil mengelak dengan cepat dari kepalan tinjunya, tapi belati miliknya terlepas dari genggaman dan terlempar jauh dari sana.
Tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil mendaratkan serangan, semuanya ditangkis dan dihindari dengan sempurna. Adu pukul dan tendang terjadi dengan intens, tapi setiap detiknya, Bruce semakin mengungguli kekuatan gadis bernama Vendetta itu. Dia telah menguasai hampir semua seni bela diri yang ada di dunia, dan itu lebih dari cukup. Kini, dia nyaris mendaratkan sebuah tinju fatal pada wajah gadis itu, tapi gerakannya tiba-tiba terhenti di udara ketika dia merasakan rasa sakit di kakinya. Dia refleks menunduk ke bawah, matanya terbelalak begitu mendapati belati lain yang berhasil menembus kostum yang dia miliki, menyayat kulitnya.
"Kau tidak menyadarinya?" Vendetta menghentikan serangan, kemudian melesat mundur beberapa meter, menciptakan jarak. "Kehilangan satu belati bukan berarti aku tidak punya belati lain, loh," ucapnya sambil memainkan belati yang dia genggam bagai mainan.
Bruce hendak membalas perkataan sombongnya atau mungkin menyiapkan diri barangkali ada serangan mematikan lain yang akan datang ke arahnya, tapi dia seketika dapat merasakan otot-ototnya melemah. Kaki kirinya yang tersayat belati mendadak tidak kuat lagi menopang beban tubuh. Perlahan, badannya limbung lantaran tidak bisa menahan keseimbangan dan pada akhirnya, dia pun jatuh, berlutut di atas aspal yang kasar. Racun, tidak salah lagi, batinnya.
"Batman!" Tim berseru panik, dia segera berlari ke arah Bruce yang terpuruk di tanah.
"Ada racun di senjatanya, membuatku tidak bisa bergerak. Racunnya bereaksi sangat cepat," gumam Bruce, ekspresinya berubah masam sekali. "Dosis kecil, tapi mematikan," katanya.
Tim memeriksa sayatan yang ada di kaki Bruce. Lukanya tidak dalam, tapi racun yang masuk melewatinya berhasil melumpuhkan. Racunnya mematikan, bukan karena dapat membunuh, melainkan karena dapat bekerja dengan sangat cepat dan efektif dalam dosis kecil. Dia terdiam selama beberapa saat, memikirkan sekian banyak kemungkinan yang ada. Satu hal yang pasti, sama seperti Bruce, dia tidak menduga kalau belati yang sempat menyelamatkannya ternyata mengandung racun. Dia juga tidak menyangka kalau belati tersebut dapat menggores kostum yang terbuat dari bahan berkualitas terbaik, padahal sebelumnya, Bruce bisa menahannya dengan mudah hanya dengan sebelah tangan. Ada sesuatu yang janggal dengan gadis itu.
"Dia mencuri grapple gun-ku. Itu tujuannya sejak awal," ucap Bruce tidak senang. Dia berusaha keras untuk berdiri dengan kedua kakinya untuk melanjutkan pertarungan, tapi dia gagal total.
Begitu mendengar hal tersebut, Tim sontak mendongakkan kepala. Dia dapat melihat Vendetta yang sedang tersenyum puas ke arahnya. Benar saja, grapple gun milik Bruce sudah berada dalam genggaman tangannya. Gadis itu mengayunkannya dengan jahil seolah dia berhasil memenangkan benda tersebut, senyumnya memberi kesan kalau dia meremehkannya.
"Jaga dirimu lain kali, jangan sampai terculik lagi."
Vendetta mengulas sebuah seringaian terakhir sebelum akhirnya dia menembakkan grapple gun tersebut ke bangunan yang berada tidak jauh di belakangnya. Talinya yang kuat seketika menarik tubuh gadis itu, membuat dia terangkat ke udara dan mulai berayun pergi dari sana. Dia hendak melarikan diri, dan seseorang harus melakukan sesuatu untuk menghentikannya.
Tim terkesiap, dia tersadar. "Tunggu! Kau tidak—"
"Robin!" Bruce tiba-tiba berseru kencang, menghentikannya.
Pandangan Tim otomatis teralih ke arahnya. Dahinya berkerut, bibirnya mengerucut cemas.
"Kita pulang. Sebelum orang lain datang dan melihat wajahmu," ucap Bruce lugas, erangan halus lolos dari bibirnya ketika dia merasakan kakinya mati rasa. "Kita akan selidiki ini nanti—sial, efek racunnya semakin terasa—kita juga harus merawat luka-lukamu lebih dulu," katanya.
Tim seketika bimbang. Di satu sisi, dia ingin mengejar gadis itu dan menangkapnya saat ini juga. Tapi di sisi lain, dia tahu kalau keadaan mereka berdua sangat tidak memungkinkan sekarang. Dan itu adalah salahnya. Perasaan tidak enak perlahan menyelip dalam hatinya dan bergelayut di sana. Seharusnya, dia mencegah gadis bermata emas itu. Dia membiarkan dirinya lengah, dia tidak sempat terpikirkan kalau gadis itu mengincar sesuatu dalam rencananya melarikan diri, bukan untuk bertarung dengannya. Karenanya, Bruce berada dalam keadaan seperti ini.
Pada akhirnya, Tim hanya bisa mengangguk patuh dan membantu Bruce untuk bangkit berdiri dengan hati-hati. "Bruce, apa kau tahu siapa dia?" tanyanya pelan, harap-harap cemas.
Tapi, yang dia dapatkan adalah gelengan kepala. "Tidak. Dan itu masalahnya," jawab Bruce.
* * *
Tidak butuh waktu lama bagi Tim dan Bruce untuk membuat penawar racun yang efektif dan melaju menggunakan Batmobile secepat mungkin, kembali ke tempat di mana penculikan dan pembantaian itu terjadi. Begitu sampai, mereka melihat banyak orang berseragam memenuhi gedung tersebut. Orang-orang itu adalah anggota dari Gotham City Police Department—yang biasa disingkat GCPD—kepolisian yang ada di Gotham. Sayangnya, berkat beberapa masalah yang belakangan ini terjadi di kota, hubungan antara vigilante dan GCPD sedikit bergejolak.
Tidak ada waktu untuk berurusan dengan para petugas GCPD yang kemungkinan besar hanya akan mempertanyakan keterlibatan dan menaruh sebagian kecurigaan pada mereka. Batman dan sidekick-nya, Robin, memutuskan untuk datang dalam diam, langkah kakinya ringan dan sunyi. Mereka mengamati dari balik bayangan, memeriksa tempat kejadian perkara tanpa ada yang menyadari keberadaannya sambil memastikan tidak ada hal yang luput dari perhatian.
"Ada beberapa orang yang masih hidup, tapi sayangnya, mereka melarikan diri sebelum kita tiba." Terdengar suara tegas seorang wanita. Itu adalah Renee Montoya, seorang komisaris yang sedang mengarahkan bawahannya. Renee menunjuk salah satu mayat yang berada tidak jauh di depannya, mayat yang sedang diperiksa oleh tim forensik. "Waktu kematiannya diperkirakan pukul xx menit xx, hanya memiliki rentang waktu sekitar beberapa menit dan detik dengan kematian korban selanjutnya. Siapa pun yang melakukan ini, dia sangat ahli membunuh."
Sangat ahli dalam membunuh.
Tim mendengarkan secara seksama sambil memperhatikan mayat-mayat yang terkujur kaku tanpa mengatakan apa pun, lidahnya terasa kelu. Banyak hal yang berputar dalam kepalanya, dan dia tidak sanggup mengungkapkan segalanya. Dalam jarak mata memandang, yang dia lihat hanyalah bagian tubuh yang tertikam belati serta genangan darah yang mengental. Tapi, dia diam-diam bersyukur karena mereka semua mati dengan cara yang wajar. Terlalu banyak hal gila yang terjadi di Gotham, mati karena tusukan senjata jauh lebih baik dari semua hal itu.
"Hampir semua orang yang ada di sini terbunuh. Mereka yang mati dibunuh dengan cara yang sama; ditikam atau diiris menggunakan senjata." Seorang petugas memberikan analisisnya.
Suara petugas itu sedikit teredam oleh keramaian yang menyesakkan serta bau amis darah yang menyengat. Tim hanya bisa meresapi perkataannya sambil menahan perasaan tidak enak yang ada di lidahnya. Jari-jarinya yang terbungkus sarung tangan menyapu permukaan dinding yang terciprat darah dengan hati-hati, membayangkan bagaimana pembantaian itu terjadi dalam benaknya. Berarti, gadis itu berkata jujur, dia tidak membunuh semua orang. Hanya saja, itu tidak membuatnya merasa jauh lebih baik. Meskipun ini bukan kali pertama dia berurusan dengan kasus pembunuhan—dan bukan kali terakhir—dia tidak akan pernah terbiasa.
Bruce, yang berdiri di sisi lain ruangan, mengambil sesuatu dari lantai yang dipenuhi mayat. Tim menoleh dan mengamati dengan rasa penasaran yang terpancar di matanya. Sesuatu itu adalah sebuah belati berwarna hitam pekat yang memiliki ujung tajam dan mengkilap. Dia tidak asing dengan belati tersebut. Itu adalah belati yang sama dengan belati yang gadis itu gunakan untuk memotong talinya sekaligus belati yang sama dengan belati yang menembus armor milik The Dark Knight pelindung Gotham dan membuatnya lumpuh hanya dengan dosis kecil racun.
"Belati ini tidak memiliki sidik jari." Ucapan Bruce memecah keheningan yang mencekik.
"Tidak ada sidik jari?" Tim mengerjapkan matanya tidak percaya, dahinya mengernyit. "Aku jelas-jelas melihatnya menggunakan belati itu tanpa sarung tangan," katanya kebingungan.
"Bukan, itu bukan karena dia tidak menyentuhnya secara langsung." Bruce membantah perkataannya, suaranya serius dan tegas. "Tapi, belatinya memang terbuat dari bahan yang membuat sidik jari tidak berbekas, dan aku tidak tahu bahan apa yang dia gunakan," jelasnya.
Ketika Tim berjalan mendekat untuk melihat dengan lebih jelas, Bruce merogoh sesuatu dari utility belt-nya, sebuah senter berukuran praktis yang selalu dia bawa untuk keadaan seperti ini. Dia menyalakan senter tersebut. Cahaya ultraviolet berwarna ungu lembut menerpa belati yang ada dalam genggamannya, memantul di antara permukaannya yang menyerap cahaya. Benar saja, tidak ada satu pun sidik jari di sana. Seolah gadis itu tidak pernah menyentuhnya.
"Ini berarti masalah besar." Bruce tampak tidak senang, raut wajahnya mengeras.
Tim terdiam, pandangannya tertuju pada belati tersebut, tapi dia berkesimpulan hal yang sama.
"Dia adalah orang sangat berbakat yang selama ini berhasil menyembunyikan dirinya," Bruce berujar. Matanya memicing tajam, sorot matanya berbahaya. Dia marah. "Tidak mungkin dia melakukan kesalahan seperti ini, tidak mungkin dia membuat kekacauan tanpa sengaja setelah sekian lama bersembunyi. Dia pasti melakukannya untuk mencapai sesuatu," ucapnya kasar.
Tim mengangguk setuju, kemudian dia menyapu pandangan ke sekitar ruangan untuk yang kesekian kalinya. Matanya melihat begitu banyak hal mengerikan yang membuat orang biasa mungkin sudah memuntahkan seluruh isi perutnya. Sebuah pembantaian dalam skala yang cukup besar, di mana mayat-mayat tersebar di berbagai sudut tempat, di mana darah kental berbau amis membuat genangan di lantai, di mana puluhan belati yang tidak lagi terpakai tergeletak tidak beraturan bagai seonggok sampah. Pemandangan bagai mimpi buruk.
Orang-orang yang terbunuh itu mungkin bukan golongan orang baik. Mereka menculiknya, mereka menyiksanya entah untuk apa. Tapi, sekalipun lawan yang dia hadapi adalah orang paling jahat di dunia, vigilante tidak membunuh. Itu adalah sebuah aturan yang paling Tim pegang teguh dalam hatinya sebagai Robin, sekalipun sesuatu dalam dirinya berbisik kalau ini bukanlah akhir. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya dia hadapi. Satu hal yang pasti, dia tidak akan membiarkan hal seperti ini terjadi lagi. Dia harus menghentikan gadis bernama Vendetta itu bagaimanapun caranya.
* * *
Chapter 4: No Other Trace
Chapter Text
Suasana di gedung tempat pembantaian itu terjadi semakin terasa mencekam seiring waktu berlalu, seolah-olah gedung ini akan berubah menjadi tempat angker setelah semua orang melangkah pergi. Terlihat beberapa wajah petugas yang tampak tidak senang campur cemas karena hal mengerikan terjadi di kota yang mereka tinggali. Beberapa di antaranya merasakan ketakutan yang menjalar, sedangkan beberapa yang lainnya khawatir berita ini akan tersebar sangat cepat dan membuat kegaduhan di kota sebelum mereka bisa menenangkan siapa pun. Tidak hanya membuat masyarakat panik, berita ini juga bisa mempengaruhi para kriminal yang menguasai setiap sudut kota. Mereka bisa memanfaatkan ini demi keuntungan mereka sendiri.
Membagi tugas dengan Bruce agar pencarian menjadi lebih cepat, Tim pergi dari satu ruangan ke ruangan lainnya tanpa menimbulkan suara. Sampai sekarang, tidak ada seorang petugas pun yang menyadari keberadaannya. Tapi, para petugas itu tahu kalau vigilante yang melindungi kota pasti akan turun tangan, sekarang atau nanti. Mereka hanya tidak ambil pusing. Mereka lebih memilih untuk mengurusi tempat kejadian perkara yang kacau balau daripada harus mengkonfrontasi segelintir orang yang memberantas kejahatan sambil memakai masker.
Detak jantung Tim berpacu cepat dan tidak pernah mereda sejak kakinya membawanya kembali ke sini. Matanya menyapu seisi ruangan, menelisik setiap sisi paling tersembunyi dengan teliti, mencari barang bukti atau petunjuk. Tangannya terulur, bergerak lincah ke sana kemari dengan hati-hati. Dia harus menemukan sesuatu, sesuatu yang bisa membawanya ke titik terang.
Selain belati tersebut, Tim masih belum menemukan apa pun. Ini membuatnya merasa buntu dan sedikit frustasi meskipun dia tahu dia tidak boleh menyerah begitu saja. Gadis bernama Vendetta itu mungkin berhasil menghilangkan seluruh jejak miliknya dengan sempurna, tapi orang lain yang menjadi korban pasti jauh berbeda dengannya. Mereka bukan tandingannya. Ada kemungkinan besar kalau mereka tidak pernah memperkirakan penyerangan tersebut, itulah kenapa mereka semua kalah dan terbunuh. Dan kalau dia beruntung, dia pasti bisa menemukan sesuatu yang tidak sempat mereka tutupi setelah serangan dadakan tersebut.
Tim ingat kalau gadis itu pernah menyebut orang-orang yang pernah berada di sini sebagai penjahat, yang menunjukkan kalau kedua pihak tersebut bermusuhan dan dia kemungkinan datang untuk balas dendam atau merebut sesuatu, bukan membunuh tanpa alasan. Satu hal yang pasti, begitu mereka melihat kedatangannya, mereka tidak akan saling sapa, melainkan saling menyerang. Kalau sesuai dengan alokasi waktu pembunuhan dan waktu di mana gadis itu bertemu dengan dirinya yang sedang terikat tidak berdaya, mereka pasti tidak mendapat banyak waktu untuk menghilangkan semua barang bukti yang ada selain jejaknya sendiri.
Kalau Tim bisa mengungkapkan apa yang tersembunyi di balik misteri ini, seperti membunuh dua burung dengan satu batu, dia bisa tahu siapa sebenarnya orang yang berani menculiknya sekaligus siapa dan kenapa gadis itu membunuh mereka semua. Keduanya pasti berhubungan, keduanya pasti memiliki konflik yang memanas. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini barang sedikit pun. Dia bertekad untuk melakukan semua yang dia bisa demi menangkap gadis itu dan melindungi semua orang di kota ini. Tidak boleh ada korban lagi yang berjatuhan.
"Aku menemukan ini." Suara Bruce yang berat kembali memecah keheningan, dia memutar tubuh ke arah Tim lalu menunjukkan sesuatu yang berada di telapak tangannya.
Tim mencondongkan tubuh, mendekat. Itu adalah sebuah pin logam perak berbentuk bulat dengan sebuah lingkaran tipis berukuran besar di bagian tepinya. Di dalam lingkaran tersebut, terdapat ukiran berwarna hitam berbentuk segitiga sama kaki sebanyak dua lapis yang saling bertumpuk, ukiran berwarna hitam lain berupa genangan air bergelombang di bagian tengah, serta tulisan 'Black Water' yang ditulis dengan gaya font tegas yang menghiasi sekitarnya.
"Black Water," gumam Tim, mengeja nama tersebut secara hati-hati dengan bibirnya.
Tentu, banyak organisasi jahat yang pernah Tim temui dan lawan sejak dia menjadi Robin. Organisasi yang melakukan tindak kriminal dan mengancam banyak nyawa orang yang tidak bersalah, organisasi yang bertujuan untuk menghancurkan dunia, dan lain sebagainya. Tapi, dia tidak pernah mendengar nama itu, dia juga tidak pernah melihat logo yang begitu asing itu sebelumnya. Begitu juga dengan Bruce, wajahnya mungkin tersembunyi di balik masker, tapi Tim tahu kalau pria itu juga tidak tahu apa pun baik tentang logo ataupun nama tersebut.
Black Water.
Siapa pun mereka, sudah jelas kalau mereka adalah organisasi rahasia yang bekerja jauh di bawah tanah, bernaung dan bersembunyi di balik bayangan tergelap sekaligus radar dari para vigilante pelindung Gotham. Termasuk Batman. Dan selama ini, tidak ada satu pun orang yang berhasil melakukan hal seperti itu dengan sangat baik sebelumnya, kecuali mereka. Apa pun yang mereka lakukan, mereka tidak bisa diremehkan. Mereka berhasil menutupi jejaknya dengan sangat rapi. Setidaknya sampai gadis itu datang dan mengubah segalanya.
"Ini berarti sesuatu," ucap Tim, dia memperhatikan pin tersebut lekat-lekat, mengingat setiap bentuk yang terukir dalam memori. Mau tidak mau, dia pun mengakui, "Sepertinya kita butuh bantuan beberapa orang, atau mungkin meretas beberapa hal dan melakukan lainnya."
Bruce mengangguk tegas dan tidak puas. "Ya, dan kita harus bergerak sekarang," katanya.
* * *
Tim dan Bruce akhirnya memutuskan untuk melakukan pencarian secara terpisah agar proses penyelidikan bisa berjalan lebih efektif dan efisien. Dengan pembunuhan yang terjadi begitu cepat serta korban yang terbilang cukup banyak, mereka harus segera menemukan jawaban dari segala misteri yang ada atau nyawa lainnya bisa jatuh ke dalam bahaya. Terlalu banyak harga yang dipertaruhkan selama mereka tidak mengetahui apa pun, dan mereka tidak bisa mengambil resiko tersebut. Sementara Bruce mencari dengan caranya sendiri, Tim mulai ikut bergerak dan menghubungi rekan vigilante-nya yang berjulukan 'Oracle' dan pergi ke Gotham Clock Tower, sebuah menara jam yang dijadikan markas rahasia mereka, untuk menemuinya.
Oracle, atau yang bernama asli Barbara Gordon, bekerja di balik layar menggunakan berbagai teknologi serta komputer paling canggih untuk membantu superhero maupun vigilante lainnya dengan mengoperasikan hampir seluruh jaringan yang ada di dunia. Hal ini membuatnya bebas melakukan spionase serta intelijen guna mendapatkan informasi dan koordinasi paling terkini yang mungkin sangat dia butuhkan guna melindungi banyak orang ataupun mengalahkan para penjahat. Gotham Clock Tower merupakan tempat rahasia di mana dia biasa bekerja ketika dia tidak terjun langsung ke medan pertempuran sebagai Batgirl. Layar-layar lebar serta komputer yang memproses data silih berganti memenuhi ruangan dengan kabel yang saling terhubung.
"Aku sama sekali tidak pernah dengar tentang Vendetta atau Black Water," Barbara berkata sambil membenarkan kacamatanya yang sedikit merosot dengan jari telunjuk. "Ini tidak ada hubungannya dengan Black Mask, 'kan?" gumamnya pelan, nadanya terdengar sedikit skeptis.
Tim datang beberapa menit lalu dengan kabar buruk—meskipun Barbara sebenarnya sudah mendengar apa yang terjadi di gedung tersebut sebelumnya. Dan sayangnya, selama Tim dan Bruce berada di sana, yang dia bisa lakukan di sini hanyalah menunggu informasi yang mereka dapatkan untuk diantarkan kepadanya dan diproses. Tapi, ketika laki-laki bermantel Robin itu hadir dan memberinya beberapa bukti yang dia inginkan, semuanya terasa membingungkan. Ada sesuatu yang tidak pas, dan seharusnya dia sudah menyadari hal itu ketika pembunuhan besar-besaran seperti ini muncul tanpa bisa diduga ataupun dihentikan oleh The Dark Knight.
"Tidak, sepertinya tidak." Tim menggelengkan kepala, tapi dia juga sebenarnya tidak yakin.
"Kau sungguh tidak menemukan hal lain di gedung itu?" tanya Barbara dengan dahi yang berkerut. Tidak bisa dipungkiri kalau dia sempat berharap Tim mendapat lebih banyak bukti.
"Selain pin itu? Tidak," jawab Tim serius. "Mereka sangat ahli menyembunyikan jejak. Seluruh CCTV yang ada di gedung rusak dan rekaman hari ini dihapus. Tapi, berdasarkan rekaman hari-hari sebelumnya, gedung itu tampak normal. Tidak ada perkelahian sama sekali dan tidak ada orang yang kukenali. Seolah-olah itu hanya tempat berkumpul biasa bagi para orang kaya, yang mana sedikit mencurigakan. Aku jadi yakin kalau gedung itu bukan pusat, tapi hanya cabang."
Itulah yang bisa Tim simpulkan sejak dia pertama kali mengamati keadaan gedung tersebut ketika dia akhirnya terbebas dari tali yang membelenggunya. Tidak ada satu pun hal di sana yang mencerminkan tempat yang bisa dijadikan markas utama oleh mereka yang disebut 'Black Water'. Tidak ada alat-alat canggih ataupun berbahaya, tidak ada pula ruangan penting seperti lab, pusat komando, dan lainnya. Gedung itu benar-benar tampak seperti hotel dengan barang-barang mewah yang dibeli oleh orang yang gemar menghamburkan uang. Meskipun begitu, mereka tetap bagian dari Black Water, dan gadis bernama Vendetta itu mengincarnya.
"Aneh," gumam Barbara, dia menggigit bibir. "Kalau begitu aku akan coba sesuatu," ucapnya.
Wanita berkacamata itu segera memutar kursi dan berbalik menghadap komputer canggih yang menyala terang di hadapannya. Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard sementara matanya terfokus ke arah layar yang menunjukkan ratusan data yang datang silih berganti. Dia mencari informasi yang mereka butuhkan melalui dua kata kunci tersebut. Tidak hanya dari satu sumber saja, tapi juga dari beberapa sumber yang bisa dia jangkau sejauh mungkin, setiap akses yang biasa dia gunakan dalam aktivitasnya sebagai Oracle. Tim memperhatikannya dalam diam, menunggunya selesai melakukan pekerjaan. Sebenarnya, dia bisa ikut membantu, dia juga pintar menggunakan komputer. Tapi, kali ini dia akan membiarkan Oracle yang beraksi.
"Tidak, tidak ada. Sama sekali tidak ada apa pun tentang Vendetta atau Black Water yang kutemukan di sini." Barbara menghela napas frustasi sambil memijat batang hidungnya, kekecewaan terselip dalam suaranya. Padahal, sebelumnya dia mengira kalau dirinya bisa menemukan beberapa informasi yang dapat berguna dalam keadaan genting seperti ini.
Tim mengernyit. "Ini buruk. Aku tidak menduga mereka jauh lebih terampil dari ini," katanya.
"Aku juga tidak menduganya, tapi ...." Barbara menunduk, tidak melanjutkan kalimatnya.
Tim tidak mengatakan apa pun selama beberapa saat. Dia termenung, tidak memusingkan apa yang ingin Barbara ungkapkan padanya. Dia terlalu sibuk memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi di dalam otaknya yang tidak pernah sekalipun berhenti bekerja. Sejauh ini, Barbara adalah orang yang paling paham mengenai teknologi sekaligus orang yang paling ahli meretas di antara seluruh anggota Batman Family—atau Bat-Family—selain pemimpin mereka, Bruce. Berapa pun lapisan firewall atau data terenkripsi yang ada, pada akhirnya, dia selalu berhasil menerobos masuk. Tidak mungkin dia tidak menemukan sesuatu di sana, sekecil apa pun itu.
"Kecuali, kalau kedua kata kunci itu tidak cukup," ucap Tim pasti. "Keduanya sangat penting, seperti rahasia. Rahasia mereka. Itulah kenapa kita tidak pernah mendengarnya, itulah kenapa kau tidak bisa menemukannya. Itu berarti, kita butuh kata kunci lain yang sama pentingnya." Dia mendekat dan memicingkan matanya, seolah mencari sesuatu yang barangkali terlewat.
Barbara ikut memicingkan mata. "Ya, tentu saja," katanya sambil mengangguk setuju, kemudian dia menegakkan punggung. "Kalau begitu, aku akan perluas pencarian. Kita butuh lebih dari dua kata kunci itu. Untuk sekarang, katakan padaku bagaimana penampilan gadis tersebut."
Tim perlahan menyelam ke dalam memorinya. Tentu saja dia tidak akan melupakan wajah gadis bernama Vendetta itu barang satu detail pun. Malah, dia mengingatnya dengan sangat jelas. Vendetta bukan orang asing, dia juga bukan orang lain yang tidak dikenal lagi baginya. Sejak gadis itu membuat keputusan untuk membantunya dan mengaku dengan percaya diri kalau dia telah membunuh hampir semua orang yang ada dalam gedung tersebut, mereka berdua tanpa sadar telah terikat. Mau tidak mau, suka atau tidak suka. Sebagai musuh alami satu sama lain, seorang vigilante dan seorang penjahat. Bagai dua sisi koin yang berbeda.
"Dia bermata emas dan berambut pendek biru tua. Rambutnya agak berantakan, mencuat ke pinggir," Tim menjawab dengan hati-hati, dia tidak yakin bagaimana cara mendeskripsikannya. "Dia memakai rompi putih berkerah biru tua yang sama dengan rambutnya serta celana pendek berwarna putih juga. Aku tidak tahu itu kostumnya atau bukan, tapi itu jelas bukan baju sehari-harinya. Oh, dan dia juga tidak mengenakan sepatu atau alas kaki apa pun," dia menjabarkan.
"Emas?" Barbara menaikkan sebelah alis tidak percaya. "Penampilan yang tidak biasa, harusnya mudah ditemukan," gumamnya, lalu dia seketika tersadar. "Tunggu, dia bertelanjang kaki?"
Tim merespon dengan sebuah anggukkan yang singkat tapi pasti.
"Apa kalian sudah melacak jejak kakinya?" tanya Barbara memastikan. "Mungkin itu bisa membantumu menemukan petunjuk, atau sesuatu. Aku tidak tahu." Dia mengangkat bahu.
"Tentu saja," Tim menjawab dengan tegas, tapi kemudian nadanya berubah pahit. "Masalahnya, dia datang tidak diundang, seakan dia tiba-tiba muncul begitu saja di sana bagai sihir. Jejaknya juga hanya membawa kita ke korban lainnya, seolah-olah dia hanya berjalan untuk membunuh orang di setiap ruangannya. Dia juga pulang tidak diantar—sebut saja seperti itu—dia mencuri grapple gun milik Bruce dan melesat pergi begitu saja dari sana juga. Seperti hantu."
Menghela napas berat, Barbara memijat pelipisnya. "Kalau begitu aku akan meretas semua kamera pengawas di kota," katanya, dia membenarkan letak kacamatanya sekali lagi, lalu kembali memusatkan konsentrasi pada layar komputer yang berada di hadapannya.
"Kau berniat mencarinya di antara semua orang di Gotham lewat kamera pengawas?" tanya Tim. Matanya mengerjap, tidak percaya sekaligus kagum dengan apa yang baru saja dia dengar.
Barbara mengangguk pasti. "Ya, dan sepertinya ini akan memakan sedikit waktu," jawabnya.
Tim ikut menghela napas berat. Tentu saja itu akan memakan waktu, dan dia tahu kalau waktu yang dibutuhkan tidak akan sedikit—Barbara mengatakannya hanya untuk menenangkannya. Meskipun keadaan hampir berada di luar kendali, dia tidak akan banyak memprotes. Dia yakin Barbara juga akan melakukan segala yang dia bisa demi mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dan mengantisipasi bencana lain yang sama mengerikannya yang mungkin akan datang. Jadi, mencoba salah satu cara yang terbilang cukup merepotkan seperti ini pun patut dicoba, bisa saja ini membuahkan hasil. Inilah yang terjadi kalau mereka berhadapan dengan sebuah organisasi rahasia sekaligus seorang gadis yang sangat ahli menyembunyikan jejak mereka.
"GCPD mengurus semua orang yang sempat terekam CCTV—kalau ada yang beruntung dan masih hidup—tapi aku tidak bisa mengandalkan mereka untuk bekerja lebih cepat dari kita. Kita harus menggunakan cara kita sendiri, dan aku mengandalkanmu," ucap Tim sambil membalikkan tubuh, mulai berjalan menjauh. "Aku pergi dulu. Hubungi aku kalau kau menemukan sesuatu, Babs. Apa pun itu," tegasnya, tidak ada ruang untuk keraguan.
"Tapi, Tim—"
Barbara memutar kepalanya dengan sangat cepat, hendak mengatakan sesuatu. Sayangnya, Tim sudah menghilang dari sana, sosoknya tidak lagi terlihat. Pada akhirnya, dia hanya bisa mengusap wajah gusar, seharusnya dia mengungkapkan kalau perasaannya tidak enak dan memberitahu kalau apa yang sedang mereka hadapi bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Mereka harus berhati-hati dan menghadapinya bersama. Tapi, hatinya juga tahu, meskipun dia mencoba menghentikannya bertindak seorang diri, laki-laki itu tidak akan pernah berhenti.
* * *
Jam hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Tim kembali ke sana, dia berdiri di atas sebuah bangunan yang berada tepat di sebelah gedung di mana pembantaian itu terjadi. Angin malam yang dingin berhembus, tapi dia sama sekali tidak bergeming. Berdiri pada ketinggian seperti ini dan mengamati secara teliti dengan bantuan satu atau dua gadget canggih sudah menjadi makanan sehari-hari baginya sebagai seorang vigilante. Beberapa bagian tubuhnya mungkin masih terasa sakit, tapi itu bukan masalah besar. Dia bahkan mengabaikan orang yang sempat berkomentar tentang penampilannya dan menyuruhnya untuk beristirahat sejenak. Tidak, dia tidak boleh beristirahat sekarang. Lagipula matanya sudah tidak bengkak, dia baik-baik saja.
Suasana yang ada di gedung itu berangsur-angsur sepi. Para petugas GCPD yang sebelumnya tampak sibuk dengan pekerjaan mereka kini satu demi satu mengundurkan diri dari tempat kejadian perkara, kembali ke kantor atau pulang ke rumah masing-masing lantaran hari nyaris berganti. Sudah beberapa jam berlalu sejak pencarian barang bukti dan pembersihan semua mayat dimulai. Tim mengamati ekspresi wajah mereka yang serupa, frustasi campur kelelahan, menunjukkan dengan jelas kalau mereka juga tidak berhasil menemukan petunjuk lainnya.
Di tengah keheningan, Tim tiba-tiba mendengar suara 'klik' halus dari alat komunikasi yang ada di tangannya. Seseorang menghubunginya. Tanpa ragu, dia pun menerima panggilan tersebut.
"Robin!"
Seseorang memekik kencang. Itu adalah suara milik Superboy, atau yang bernama asli Conner Kent atau Kon-El, sahabat sekaligus teman satu timnya di Young Justice dan Titan yang memiliki ras setengah Kryptonian. Satu detik kemudian, wajah khas laki-laki itu terpampang jelas dalam bentuk hologram penuh warna, memancar dari sebuah device yang menyerupai jam tangan di pergelangan tangannya. Tim sudah menduga ini akan datang. Teman dekatnya itu pasti cemas mendengar apa yang telah terjadi di Gotham dan dia pasti akan menyempatkan waktu untuk menghubunginya. Baik itu untuk menanyakan kabar atau untuk berceloteh panjang lebar.
"Aku dengar apa yang terjadi. Tentang kau yang diculik dan ... pembunuhan itu," ucap Conner, suaranya memelan pada dua kata terakhir. Dia jeda selama beberapa saat, mengambil napas untuk menenangkan diri. "Apa kau baik-baik saja?" Suaranya terdengar sangat khawatir.
"Aku baik-baik saja," jawab Tim singkat, tidak perlu basa-basi. Dia merasa baik-baik saja.
"Tapi sepertinya matamu tidak terlihat baik-baik saja." Conner menunjuk lebam keunguan yang entah bagaimana berhasil menyelip dari balik masker Robin milik Tim. "Ceritakan semua yang terjadi. Apa dan siapa yang sebenarnya sedang kau kejar? Supervillain?" desaknya penasaran.
Tim bungkam sejenak, mempertimbangkan permintaan tersebut. Conner sedang tidak berada di Gotham, mungkin dia sedang berada di Metropolis atau lokasi lainnya, melakukan misi yang berbeda dengannya. Ada sedikit keraguan untuk memberitahu laki-laki berkostum mencolok berwarna biru campur merah itu tentang semua yang menjadi sumber masalah dan apa saja yang membuat segalanya terasa begitu sulit. Dia mungkin akan menanyainya semakin banyak hal dan mengajukan saran yang terkesan ceroboh dan keras kepala seperti biasanya. Tapi tidak ada pilihan lain, kasus kali ini bukanlah kasus penculikan saja, ini adalah kasus pembantaian.
"Apa kau pernah dengar sesuatu tentang Vendetta?" Tim akhirnya memutuskan untuk bertanya.
Conner mengernyitkan dahi mendengarnya. " Vendetta? Maksudmu 'balas dendam? Siapa yang sedang balas dendam, Tim? Siapa pada siapa?" responnya, kebingungan dan salah paham.
"Bukan, Vendetta yang kumaksud adalah nama seseorang." Tim otomatis memasang ekspresi datar, yang sedetik setelahnya kembali berubah menjadi serius. "Aku tidak—aku belum bisa menemukan apa pun tentangnya. Vendetta, dia adalah orang yang melepaskanku sekaligus orang yang membunuh hampir semua penghuni gedung tersebut," dia menjelaskan.
"Gila! Serius!?" Conner memekik tidak percaya. "Kenapa dia tidak membunuhmu juga!?"
Kenapa Conner terdengar kecewa karena dia masih hidup?
Tim nyaris memutar bola matanya. "Tidak tahu. Itu yang sedang aku coba cari tahu sekarang." Dia menghela napas. "Apa kau juga pernah dengar sesuatu tentang Black Water?" tanyanya.
"Black Water?" Conner menaikkan sebelah alis. Sepertinya dia memang tidak tahu apa pun.
"Aku menemukan sesuatu di gedung itu, pin dengan tulisan Black Water," ucap Tim sambil menunjukkan pada Conner foto pin yang sempat diambilnya dengan kamera sebagai tanda bukti. "Aku yakin itu adalah nama sebuah organisasi, organisasi mereka," sambungnya.
Conner menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak pernah dengar nama atau lihat logo itu."
Hening sesaat. Tim terdiam dan hanya bisa menghela napas berat. Dia mengira kalau Conner mungkin mendapat sedikit informasi yang dia dapat dari luar Gotham, dari Metropolis misalnya, atau dari mana pun itu yang bisa membantu. Tapi ternyata dia tidak juga punya informasi yang berguna. Dia sama seperti dirinya dan semua orang, sama-sama tidak menemukan titik terang ataupun jalan keluar dari kasus ini. Masih terlalu banyak rahasia yang harus dicari tahu.
"Tim, kalau kau butuh bantuan, aku bisa bantu," kata Conner, suaranya terdengar sungguh-sungguh sekarang. "Aku bisa membantumu mencari dua nama itu dari sini," tawarnya serius.
Tim tidak langsung menjawab. Sejujurnya, dia tidak mau membebani temannya yang sedang berada jauh di sana, dia merasa sedikit segan. Lagipula, dia lebih sering mengatasi semuanya sendirian daripada ikut membahayakan teman-temannya. Tapi, dia juga tahu kalau ini bukan waktu yang tepat untuk merasakan sok mandiri ataupun gengsi. Dia harus menghadapi fakta kalau seseorang seperti dirinya pun masih membutuhkan bantuan orang dari lain. Dia sudah meminta bantuan Bruce dan Barbara, dan mungkin beberapa anggota Bat-Family lainnya mulai dari sekarang. Bantuan lainnya, sekalipun itu dari luar keluarga, sama sekali bukan hal buruk.
Tim menghembuskan napas panjang. "Kalau begitu aku mengandalkanmu, Superboy," katanya.
"Kenapa kau gemar sekali menginvestigasi hal yang tidak jelas, sih?" Conner kembali menjadi dirinya yang kekanakkan. "Minggu kemarin kau coba menginvestigasi kelompok yang katanya melakukan eksperimen metahuman ilegal, tapi ternyata itu hanyalah sebuah rumor belaka dan semua pencarianmu tidak membuahkan hasil, alias sia-sia. Dan sekarang ini!?" dia menggerutu.
Sambil mendesah malas, Tim mengusap wajahnya lelah. "Hentikan itu, Kon," protesnya lemah.
Benar, seperti yang Conner katakan. Seminggu yang lalu Tim mendengar sebuah rumor kalau ada suatu kelompok yang katanya melakukan eksperimen terhadap metahuman, manusia yang mempunyai kekuatan super. Entah apa yang dia sedang pikirkan saat itu, sebagai vigilante yang menjunjung tinggi keadilan dan keamanan warga Gotham, dia merasa sangat terganggu dengan rumor meresahkan tersebut. Dia selalu ingin mengungkap kebenarannya, jadi dia segera turun tangan dan menginvestigasi. Dia mencari tahu semuanya sendiri, teman-temannya tidak ada yang membantu karena mereka yakin itu hanyalah sebuah rumor belaka. Sayangnya, karena pada akhirnya dia tidak menemukan apa pun selain bahaya, dia menghentikan pencarian.
"Jangan bawa dirimu ke dalam bahaya, Tim," ujar Conner, dia sedang tidak bercanda sekarang.
"Aku akan baik-baik saja, percayalah," jawab Tim dengan nada yang terdengar lebih tenang, mencoba meyakinkan teman dekatnya—atau mungkin dirinya sendiri, dia tidak yakin.
"Terserah kau saja." Conner tidak bisa menahan diri untuk mengerucutkan bibir. "Yang penting, kalau kau sangat butuh bantuan, segera hubungi aku. Awas saja ya!" katanya penuh peringatan.
Tim tidak mengatakan apa pun lagi, dia hanya mengangguk singkat dan mengakhiri panggilan secepat mungkin. Wajah Conner menghilang dan suaranya tidak lagi terdengar saat hologram tersebut dimatikan, hanya deru angin malam yang menemaninya. Ketika Tim menoleh ke arah gedung di mana tragedi itu terjadi, hanya tersisa sekitar empat atau lima petugas GCPD dalam jarak pandangnya. Mungkin dia juga harus melakukan hal yang sama. Dia membalikkan tubuh, kemudian melangkah pergi, berayun di antara bangunan menggunakan grapple gun miliknya.
* * *
Chapter 5: Men's Suicides
Chapter Text
Batman adalah sosok yang paling ditakuti di antara semua vigilante yang ada di Gotham. Bukan karena metode memberantas kejahatan yang dia gunakan atau level bertarungnya yang berada di atas rata-rata, melainkan karena otaknya yang genius. Ada alasan kenapa dia disebut sebagai The World's Greatest Detective. Batman, atau Bruce, adalah seorang pria dengan pengetahuan yang tidak bisa diragukan. Dia hanya perlu petunjuk serta detail terkecil untuk memecahkan sesuatu dengan sangat akurat. Intuisi manusia adalah salah satu alat paling efektif miliknya. Misteri apa pun, dia dapat sampai pada kesimpulan yang benar hanya dengan sebagian data.
Pada akhirnya, dengan kemampuan deduktifnya, Bruce berhasil menemukan petunjuk yang berhasil membawanya ke suatu tempat. Tanpa basa-basi lagi, Tim segera pergi ke lokasi yang dikirim olehnya. Dan ketika dia sampai, dia dapat melihat ekspresi pria itu yang tampak sangat serius. Matanya tidak berkedip, pandangannya tertuju pada sebuah bangunan sepi yang ada di bawahnya. Bangunan itu adalah sebuah gudang tidak terawat yang berdiri di penghujung jalan kumuh, tempat di mana orang-orang yang berhasil lolos dari pembantaian di gedung tersebut sedang bersembunyi. Tidak sulit bagi The Dark Knight untuk mengendus keberadaan mereka yang panik sehabis kejadian berdarah beberapa jam yang lalu. Orang yang baru saja melewati kejadian mengerikan seperti itu jauh lebih ceroboh dan cenderung melakukan kesalahan.
Tim memperhatikan ke arah yang sama, mengamati dengan tidak kalah serius, tidak ingin melewatkan detail barang sekecil apa pun. Night vision yang terpasang di maskernya bekerja, membantunya melihat ke dalam ruangan yang remang-remang dengan sangat baik—teknologi yang dia gunakan memang tidak boleh diremehkan. Di sana, dia dapat melihat tiga orang pria berusia sekitar tiga puluh tahun. Mereka bertiga adalah orang yang berhasil melarikan diri dari pembantaian di gedung tersebut. Tampaknya mereka memiliki cukup keberuntungan untuk tetap bertahan hidup—atau mungkin gadis itu sengaja membiarkannya, tidak ada yang tahu.
"Apa yang akan kita lakukan!? 'Dia' akan membunuh kita semua!" Seorang pria berambut pirang berantakan berseru dengan panik, urat-urat menonjol di lehernya yang kotor dan berkeringat.
"Tidak tahu! Hubungi pusat!?" Pria berkuncir tidak kalah panik, dia berjalan ke sana kemari bagaikan binatang yang terkurung di dalam kandang—tidak bisa menemukan jalan keluar.
Pusat?
Mendengar kalimat tersebut, Tim otomatis mengernyitkan dahinya. Kalimat itu mengonfirmasi dugaannya. Ternyata, apa yang dia pikirkan seratus persen benar. Gedung tempat pembunuhan itu terjadi hanyalah salah satu dari beberapa banyak cabang yang mereka—Black Water—miliki, cabang yang bisa diputus kapan saja bagai ekor cicak kalau sudah tidak lagi dibutuhkan atau mengancam keberadaan mereka yang berada di pusat. Salah satu ciri-ciri organisasi rahasia yang berbahaya. Kalau cabang saja tidak terlacak, maka pusat lebih mematikan dari itu.
"Tidak bisa! Mereka memutus seluruh komunikasi! Semua nomor yang bisa kita hubungi tidak aktif lagi!" Pria berjas hitam di antara mereka mendengus frustasi sambil mengusap wajah. Di antara mereka bertiga, dia yang paling rapi. Tapi bahkan dia pun berada dalam keadaan sulit.
"Sudah kuduga mereka hanya akan membuang kita kalau kita ketahuan!" Pria berambut pirang ikut memekik sambil mengacak-acak rambutnya, nyaris sinting. "Mau mati atau hidup pun sama saja, pada akhirnya 'dia' akan mendatangi dan membunuh kita semua!" dia meraung-raung.
Bruce menoleh ke arah Tim, begitu pula sebaliknya. Tanpa perlu mengatakan apa pun, mereka mengangguk secara bersamaan, penuh determinasi. Dengan aba-aba sebuah gerakan tangan singkat, keduanya segera melompat dari tempat mereka berdiri. Mereka meluncur ke arah gudang tersebut. Menerjang dengan kekuatan serta kecepatan tinggi dan masuk dengan memecahkan kaca jendela, bersiap untuk memberantas kejahatan. Ketiga pria tersebut terlonjak kaget, mata mereka membola begitu melihat sepasang vigilante paling ikonik di Gotham melesat bagaikan kilat ke arah mereka. Benar-benar sambutan yang tidak ramah, sambutan yang tidak siapa pun—semua kriminal, lebih tepatnya—inginkan atau harapkan.
"Batman!" Pria berjas hitam menggeram kesal, wajahnya seketika mengeras penuh kebencian.
Tidak ada waktu untuk melarikan diri, kalaupun ada, Batman dan Robin tentu saja tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tanpa berpikir panjang, pria tersebut segera menarik sebuah pistol dari balik jasnya lalu menembakkan beberapa peluru secara membabi-buta tepat ke arah kedua vigilante tersebut. Bagaikan sudah mengantisipasi hal ini sebelumnya, pria berambut pirang dan pria berkuncir melancarkan serangan berupa pukulan dan tendangan sambil berteriak kesal, seolah keberadaan mereka yang ketahui bukan membuat mereka takut, melainkan membuat mereka marah—membuat mereka ceroboh. Melawan, bukan melarikan diri.
Bruce dan Tim menghindar dengan begitu mudahnya. Mereka sangat terlatih dalam segala jenis bela diri dan memiliki bertahun-tahun pengalaman bertarung, ketiga pria itu sama sekali bukan tandingan. Tidak mau kalah, Tim mendaratkan tinju tepat di wajah pria berambut pirang, diikuti oleh Bruce yang menghantam pria berjas hitam serta pria berkuncir dengan kepalan tangannya. Dilihat dari cara mereka menyerang yang terkesan sembrono dan asal-asalan, pria-pria itu jelas tidak memiliki bakat bertarung yang memadai. Yang mana membuat Tim semakin bertanya-tanya dan kebingungan, kenapa gadis itu membunuh banyak orang seperti mereka?
"Kalian tidak akan menang."
Bruce tidak ingin buang-buang waktu dengan melawan sekumpulan orang payah yang tidak tahu cara menembak dengan benar, peluru-peluru yang ditembakkan padanya bahkan tidak mendekati sasaran. Bergerak cepat, dia memutuskan untuk mengerahkan seluruh kekuatan dan menjegal pria berambut pirang serta pria berjas hitam hingga tubuh mereka menghantam keras tembok, tidak memiliki ruang untuk melarikan diri. Di sisi lain, Tim berhasil menjatuhkan pria berkuncir ke lantai dengan bantuan tongkat, dia mengunci kedua tangannya dengan kaki.
"Kalian berhasil melarikan diri dari gedung itu," ucap Bruce, suaranya begitu dingin dan berat hingga kedua pria di hadapannya bergidik ngeri. "Katakan siapa kalian." Nadanya mungkin rendah, tapi genggaman tangannya yang menguat menunjukkan hal yang sebaliknya.
"Aku tidak akan mengatakan apa pun padamu, Batman!" desis pria berambut pirang sambil meronta dan menggeliat dalam genggamannya. Merasa usahanya sia-sia, dia pun meludah.
Bruce tidak berniat untuk meladeni omong kosong apa pun. "Kau tidak berada di posisi yang menguntungkan untuk mengabaikan perkataanku," ancamnya penuh peringatan. "Jawab aku."
"Aku tidak peduli!"
Si pria berambut pirang merasakan sakit dan meringis ketika sosok berjubah itu semakin mendorong dan menguatkan genggaman tangan, wajahnya yang terhimpit tembok rasanya seolah diremas. Tapi, sementara dirinya mencoba melepaskan cengkeraman kokoh tersebut dari leher, pria berjas hitam melakukan hal yang sebaliknya. Dia mengulurkan sebelah tangan. Bukan untuk melancarkan serangan balasan, melainkan untuk merogoh ke dalam saku celana dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Sebuah suntikan berukuran kecil berisi cairan bening.
Semuanya terjadi begitu cepat. Bruce bersiap siaga untuk mengelak, berjaga-jaga kalau saja pria itu akan menyuntikan cairan mencurigakan tersebut padanya. Dia tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Apa pun itu, itu pasti bukan sesuatu yang baik. Tapi, yang terjadi selanjutnya justru berada di luar perkiraan. Hanya dalam satu kedipan mata, pria berjas hitam itu mengangkat tangan untuk menyuntikan cairan tersebut pada dirinya sendiri. Tepat di bagian nadi.
"Apa yang kau lakukan?" Bruce menggertakkan gigi, dahinya mengernyit di balik maskernya.
Apa itu cairan yang membuat mereka seketika mendapatkan kekuatan super? Atau cairan yang memiliki efek sama dengan doping? Bruce tidak yakin, dia belum pernah melihat suntikan berisi cairan seperti itu sebelumnya. Dia terdiam selama beberapa saat, menunggu apa yang akan pria berjas hitam itu lakukan dengan sorot mata yang tajam. Cengkeraman tangannya tidak kunjung melonggar. Tapi, melihat reaksi pria itu yang terlampau tenang, ada perasaan aneh menyusup ke dalam hatinya. Dan perlahan tapi pasti, dia dapat merasakan denyut nadi pria itu melemah dalam cengkeramannya, bersamaan dengan kedua kelopak mata yang perlahan menutup.
"Mereka bunuh diri!" Bruce seketika tersadar. "Hentikan mereka!" serunya kencang.
Tim terkesiap, matanya melebar. Ketika dia menundukkan kepala dengan cepat bagaikan elang, pria berkuncir yang ada di bawah kakinya menggenggam suntikan yang sama. Tanpa menunggu lama, dia langsung menendang kepalan tangannya, membuat suntikan tersebut terlepas dan terlempar jauh dari genggaman. Suntikan tersebut berputar-putar di lantai sebelum akhirnya membentur tembok dan terhenti. Tapi, semua terlambat. Suntikan tersebut ternyata sudah kosong. Dia membiarkan dirinya lengah—dia tidak tahu kapan pria itu menggunakannya.
"Batman!" Tim berseru panik. Suaranya menandakan kalau keadaan telah berubah drastis.
Bruce tidak merespon, fokusnya hanya satu. Sebelum pria berambut pirang melakukan hal yang sama, dia segera menekan tubuh pria itu dan mengunci kedua tangannya dengan sangat kuat di belakang. "Aku tidak akan membiarkanmu bunuh diri!" tekannya, dan dia tidak main-main.
Pria berambut pirang itu meringis untuk yang kesekian kalinya, hampir melolong. Dia sama sekali tidak bisa bergerak. Kekuatan yang dimiliki oleh The Dark Knight berkali-kali lipat jauh lebih besar darinya, bagaikan tikus melawan harimau. Dia tidak bisa menggerakan satu jari pun untuk mengambil suntikan tersebut dari saku, atau bahkan menolehkan kepala untuk melihat kemana pistol milik temannya terlempar—berharap dia bisa meraih dan menggunakannya. Dia sungguh menyesal, seharusnya dia melancarkan aksi bunuh dirinya sebelum ini semua terjadi.
"Berhenti buang-buang waktu, kau tahu itu tidak akan berguna. Beritahu aku apa yang kau tahu tentang 'dia'," Bruce berucap tepat di telinganya. Setiap kata yang terlontar penuh penekanan.
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," jawab pria itu susah payah, bermain peran polos.
"Jangan pura-pura bodoh! Kau tahu apa yang kubicarakan!" Cengkeraman Bruce semakin kuat di kedua pergelangan tangannya. "Gadis itu dan Black Water!" Dia nyaris kehilangan kesabaran.
Tapi, pria berambut pirang itu sama sekali tidak berkeinginan untuk menjawab.
Bruce, yang menyadarinya, berteriak penuh intimidasi, "Bicara! Sekarang!"
Pria itu tetap teguh pada pendiriannya, tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. "Aku tidak takut mati!" tukasnya keras kepala, seakan dia siap untuk mengorbankan segalanya.
"Aku tahu," geram Bruce sambil memicingkan mata, kemudian dia mendekatkan wajah dan berbisik dengan suara rendah. "Aku tidak membunuh, dan kau tahu itu. Tapi aku tidak pernah bilang kalau aku tidak akan membuatmu menderita sampai kau berharap kau tidak melakukan hal itu sebelumnya. Aku yakin, kau tidak akan keberatan kalau beberapa tulang harus patah."
Tim dapat mendengar dengan jelas pria itu yang mengerang ketakutan atau mungkin kesakitan. Pergelangan tangannya memerah, pasti akan menyisakan memar. Tentu saja Batman tidak akan menggunakan cara halus di saat kriminal seperti mereka bersikeras untuk menghalangi segala jalannya. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang vigilante, orang yang main hakim sendiri dengan tujuan melindungi Gotham. Mematahkan beberapa tulang bukan masalah besar baginya selama dia bisa mendapatkankan sesuatu demi keselamatan banyak orang.
"Bicara!" teriak Bruce, kali ini sambil menghentakkan tubuhnya dengan kuat.
Pria berambut pirang itu tetap bersikeras, dia tidak mengatakan apa pun. Tapi, tekadnya perlahan mulai goyah ketika dia merasakan sakit yang teramat sangat di buku-buku jarinya. Ancaman dari seorang vigilante berjubah hitam memang bukan omong kosong belaka, dia benar-benar akan—sedang—mematahkan jari-jarinya. Satu jari, dua jari, tiga jari. Dia tidak sanggup lagi. "Ok—oke! Hentikan!" Tidak ada pilihan lain, akhirnya dia pun menyerah.
Bruce menjeda aksinya, dia menatap pria itu dengan mata yang memicing tajam. Dia diam, memberinya kesempatan berbicara sekaligus menunjukkan ancaman. Karena berbohong padanya barang sekali saja akan berakibat sangat fatal. Dia lebih suka hal itu tidak terjadi.
"Ga-gadis yang menyerang gedung itu, dia seorang assassin, " ucap pria itu terbata-bata.
"Assassin?" Tim tanpa sadar bergumam, dahinya mengernyit. Jadi, selama ini, orang yang telah membantunya adalah assassin? Apakah itu alasan kenapa gadis itu bisa membunuh mereka dengan mudah? Apakah ada seseorang yang membayarnya untuk membunuh mereka?
"Dia dulu—" Pria berambut pirang itu berhenti sejenak, menelan ludah. "Dia assassin elit. Hanya mengikat kontrak dengan orang yang bisa mendapatkan kontaknya, hanya menerima pekerjaan dari orang yang bersedia membayarnya dengan harga tinggi," sambungnya dengan suara gemetar. "Kau lihat apa yang dia perbuat pada kami, di gedung sialan itu? Dia pembunuh berdarah dingin, sangat berbakat dalam menghabisi nyawa orang. Itu bukan apa-apa baginya."
Bruce dan Tim mendengar dengan jelas apa yang pria itu katakan dengan seksama, tidak melewatkan satu detail pun. Semuanya fakta, mereka tidak merasakan kebohongan apa pun darinya. Tapi, bukan itu yang mereka butuhkan. Apa yang pria itu katakan hanyalah sebagian kecil dari teka-teki besar yang perlu mereka ungkapkan. Untuk sekarang, keduanya ingin tahu tentang keberadaan gadis itu, di mana gadis itu berdiri pada saat ini, dan apa yang akan gadis itu lakukan selanjutnya. Pekerjaan yang dia miliki saja tidak cukup. Mereka butuh lebih dari itu.
"Bagaimana cara kita menemuinya?" tanya Bruce, suaranya masih berat dan mengintimidasi.
Pria berambut pirang itu cepat-cepat menggelengkan kepala. "Aku tidak—"
"Jawab!" Bruce memotong perkataan pria itu dan kembali menghentakkan tubuhnya.
"Aku sungguh tidak tahu!" Pria itu berkata dengan sungguh-sungguh. Dia semakin panik ketika dia merasakan amarah yang tertuju padanya. "Kami tidak pernah menemuinya! Dia yang datang sendiri ke tempat kami! Siapa di antara kami yang ingin mengundangnya kalau ternyata dia hanya datang untuk membantai kami semua!?" serunya frustasi. Dia mungkin bisa gila.
Bruce mencengkeram pergelangan tangannya lebih kuat lagi. "Dan itu membawa pertanyaan lain. Kenapa dia datang pada kalian? Kenapa dia ingin membunuh kalian semua? Siapa yang membayarnya untuk melakukan hal itu?" tanyanya bertubi-tubi, nadanya lebih dari serius. "Beritahu aku semuanya. Semua tentang gadis itu dan Black Water," geramnya kasar.
Pria berambut pirang itu gemetar. "Kami—"
Dor!
Tanpa memberinya kesempatan untuk melanjutkan kata-katanya, hanya dalam satu kedipan mata, kepala pria itu tiba-tiba pecah dan berhamburan. Cipratan darah mengotori tembok yang ada di dekatnya. Bruce dan Tim terkejut setengah mati, mata mereka terbelalak, mulut mereka menganga. Mereka tidak pernah melihatnya datang. Secepat mungkin, keduanya menoleh ke arah jendela, ke arah serangan tersebut datang. Dan ketika mereka berkedip, mereka dapat melihat seseorang yang sedang berdiri tidak terlalu jauh dari sana. Di penghujung atap.
Sniper.
Tidak ada titik laser berwarna merah, tanda, atau apa pun yang menunjukkan kalau serangan tersebut akan muncul. Semuanya terlalu tenang, terlalu diam-diam. Seperti pergerakan seorang agen rahasia atau mata-mata. Atau lebih buruk lagi, villain. Siapa pun itu, tembakannya teramat sangat akurat. Peluru yang melesat berhasil melewati celah sempit di antara kepala Batman dan sanderanya, kemudian menembus dengan tepat pada sang target, yaitu bagian tengah kepala sang pria berambut pirang. Sama sekali tidak melenceng. Penembak jitu tersebut jelas bukan seseorang yang bisa diremehkan. Dia ahli dengan senjatanya, dan dia menunjukkannya.
Sekarang, ketiga pria yang berhasil lolos dari pembantaian itu sama-sama mati.
"Jangan biarkan dia lolos!"
Bruce, diikuti oleh Tim, segera berlari ke arah jendela dan melompat keluar gudang. Mereka menembakkan grapple gun lalu berayun di antara gedung yang menjulang, mengejar seorang penembak jitu misterius yang melarikan diri sehabis menjalankan aksi pembunuhannya. Tim sulit melihat dengan jelas siapa penembak tersebut, dia mengenakan topi dan pakaian serba hitam. Tapi, satu hal yang pasti, bentuk tubuhnya tidak seperti perempuan. Dia bukan gadis bernama Vendetta yang selama ini mereka incar. Mungkin dia adalah pihak ketiga atau salah seorang teman pria dari ketiga pria yang telah mati. Tapi, kalau itu memang benar, kenapa dia menembak mereka? Apa untuk membukam mulut mereka? Ini semua semakin mencurigakan.
Meskipun penembak jitu misterius tersebut melarikan diri lebih dulu dengan kecepatan penuh, menggunakan grapple gun serta taktik yang mereka miliki, Tim dan Bruce sukses menyalip dan mendahuluinya. Sambil berayun, Bruce mengarahkan grapple gun yang dia genggam untuk membelit salah satu kakinya. Sukses, penembak jitu itu seketika terjatuh. Tapi, dia bukan terjatuh karena tersandung tali, gerak-geriknya terlalu terlihat mencurigakan. Aneh.
"Oh, tidak." Suara Tim lirih ketika menyadari sesuatu yang tidak dia harapkan telah terjadi.
Saat mereka berdua mendarat dan mendekat, penembak jitu itu sudah terkapar lemas di atas tanah. Dia mati. Mati dengan cara yang sama. Ada sebuah suntikan kosong dalam genggaman tangannya—entah kapan dia menggunakan suntikan tersebut pada dirinya sendiri. Kapan pun itu, efek dari cairan yang ada di dalamnya mampu bereaksi dengan sangat cepat, membunuh secara instan sebelum mereka bisa menghentikannya. Bruce berdiri diam sambil memasang ekspresi pahit, kemudian dia berlutut untuk mengambil suntikan tersebut ketika seseorang tiba-tiba menghubungi mereka melalui alat komunikasi yang ada di balik maskernya.
"Maaf membuat kalian menunggu." Suara Barbara terdengar melalui earpiece, menyapa mereka. "Aku akhirnya dapat sesuatu yang mungkin bisa berguna," ucapnya serius.
"Katakan," titah Bruce tegas, tidak ingin membuang-buang waktu.
Barbara berdeham singkat, siap untuk membeberkan hasil dari kerja kerasnya. "Sebelum itu, aku belum selesai mengecek seluruh kamera pengawas, aku juga belum menemukan apa pun tentang gadis itu. Tapi, aku berhasil menemukan—katakan saja—nomor teleponnya," ucapnya.
"Nomor telepon?" ulang Tim, dia mengangkat sebelah alisnya kebingungan.
"Ya, aku yakin sekarang kalian sudah tahu kalau dia adalah seorang assassin—aku juga baru tahu tadi. Dia dibayar untuk membunuh orang. Dan cara 'mereka' untuk membuat kontrak dengannya adalah dengan menggunakan nomor ini." Barbara menjelaskan panjang lebar. "Ini bukan nomor biasa, ini adalah nomor tanpa nama. Sepertinya hanya mereka, orang yang pernah memakai jasanya, saja yang punya. Kita beruntung karena aku mendapatkannya."
Bruce tidak merespon selama beberapa saat, sesuatu tampak bergerak dalam otaknya. Tapi kemudian dia mengangguk. "Bagus, Oracle," katanya lugas, tapi, tidak bisa dipungkiri ada sedikit rasa bangga dalam suaranya. "Berikan aku nomornya dan lanjutkan tugasmu."
"Oke," Barbara mengangguk—meskipun mereka tidak bisa melihatnya, "laksanakan," katanya.
Panggilan tersebut berakhir. Keheningan kembali menyelimuti, hanya terdengar deru angin malam yang berhembus dengan kencang. Tidak lama kemudian, Bruce menolehkan kepalanya pada Tim yang berdiri di sebelahnya, menatapnya dengan sorot mata serius, seolah dia sudah bertekad untuk melakukan apa yang dia rencanakan dalam otak jeniusnya. Tanpa menunggu apa pun lagi, dia berbalik arah. Jubah hitamnya berkobar begitu dia mulai melangkah.
"Ayo, Robin. Kita masih punya empat tubuh orang mati yang harus diselidiki."
* * *
Vendetta tidak perlu berpikir dua kali untuk menghadiri acara semacam gala yang mewah dan elegan. Bisa dibilang, dia sudah terbiasa dengan semuanya. Dekorasi mahal, pakaian mencolok, orkestra, serta hidangan berkelas tinggi yang terlalu lezat dan istimewa untuk dilewatkan. Tapi, di samping semua keindahan itu, banyak hal yang tidak dia sukai, terutama orang-orang. Orang yang datang hanya untuk pamer, orang yang mengumbar senyum palsu, orang yang diam-diam membenci. Mereka semua adalah orang yang terlalu angkuh, menganggap kalau harta mereka dapat melindunginya. Padahal, kalau dihadapkan langsung dengan bahaya yang mengancam, mereka hanya akan menangis sambil berlari terbirit-birit. Bukan berarti dia membenci orang seperti mereka dan ingin memberi pelajaran. Hanya saja, itu terkadang membuatnya kesal.
Sambil menahan helaan napas malas, Vendetta terpaksa berbaur, menjadi salah satu di antara mereka dengan cara memasang senyum yang sama-sama palsu setiap kali orang menoleh dan mencuri pandang ke arahnya. Dengan mata emas serta gaun putih berpunggung terbuka yang dia kenakan, gadis itu cukup menarik perhatian. Sebisa mungkin dia menghindar ketika ada seorang pria atau wanita yang memiliki gerak-gerik untuk mendekatinya, perannya sebagai seorang gadis sosialita yang tidak sering berbicara dengan orang lain harus terus berjalan.
Vendetta menatap segelas wine yang ada di hadapannya, jari-jarinya yang lentik menggenggam gelas tersebut tanpa selera. Seorang pria asing baru saja memberinya minuman tersebut hanya karena dia berdiri diam dan menjadi cantik. Untungnya, pria asing itu segera pergi karena ada gadis lain yang lebih tertarik untuk berinteraksi dengannya. Dalam kejenuhan, pikiran Vendetta melambung tinggi ke tempat lain, memikirkan hal apa pun selain gala penuh kepalsuan yang sedang dia hadiri. Sampai akhirnya dia merasakan seseorang perlahan menyentuh punggung rampingnya yang terekspos. Dia dapat merasakan sentuhannya yang lembut dan terkalkulasi.
"Kenapa seorang gadis cantik sepertimu minum di sini sendirian?"
Setelahnya, sebuah suara menyapa telinganya. Suara seorang pria. Suara bariton yang berat, tapi melantun dengan halus meskipun terkesan sedikit main-main. Perlahan, tangan pria itu mengusap lembut permukaan kulitnya guna membangun keakraban. Jari-jarinya menyelip di antara rambut sambung sepinggang yang selalu gadis itu pakai sebagai formalitas sekaligus penyamaran. Sentuhannya ringan dan nyaman. Hanya saja, sama seperti semuanya, itu palsu.
Tidak perlu menoleh, Vendetta sudah tahu siapa pria yang datang menghampirinya. "Miliarder, playboy, Bruce Wayne," katanya sambil memutar kepala ke arah pria tersebut, sebuah senyum bisnis merekah dengan sangat cantik di bibirnya yang dilapisi liptint berwarna merah tipis.
Pria itu, Bruce Wayne, balas tersenyum. Senyumnya ramah, manis, tampan. Sebuah senyum yang akan membuat wanita tanpa sepasang kekasih mana pun akan tersipu malu dan mungkin akan mulai merayunya. Dengan tuksedo mahal berwarna hitam serta bunga mawar merah segar yang menempel di saku bagian depan, dia terlihat sangat rapi dan berkelas. Dia adalah seorang pria yang tidak main-main dan akan menunjukkan karisma serta kedudukannya hanya dengan penampilan. Jelas sekali kalau gala dan acara semacam ini sudah bukan hal asing baginya.
"Password?"
Vendetta memiringkan kepala sambil mendorong tangannya menjauh secara lembut dan perlahan, membiarkan pria itu tahu kalau dia sedang tidak ingin ikut bermain dalam segala kepalsuannya dan sikap akrabnya. Dia tidak butuh basa-basi, akan lebih baik kalau mereka langsung menuju pada inti, membicarakan bisnis, berpisah, dan tidak pernah bertemu lagi. Dalam dunia gelap yang dia tekuni, terlena atau terlambat sedikit saja bisa berakibat fatal. Apalagi, bergaul dengan orang dengan banyak kekayaan sepertinya bukan kebiasaannya.
Menarik diri dengan hati-hati, Bruce memposisikan diri tepat di sebelahnya. "'Deadly Weapon'," jawabnya pelan, lebih seperti bisikan, seolah tidak ada seorang pun yang boleh mendengarnya.
Menganggukkan kepala sebagai konfirmasi, sebuah senyum yang nyaris tidak terlihat dan sulit diartikan muncul di bibir tebal Vendetta. Password yang pria itu katakan benar. Itu berarti, Bruce Wayne adalah orang yang sama dengan orang yang meneleponnya kemarin malam dan berkata dengan serius kalau dirinya membutuhkan 'bantuan' untuk mengurus suatu hal—atau mungkin seseorang. Itu tidak terlalu penting. Selama dia bisa mendapatkan bayaran mahal yang akan dan sudah dijanjikan, dia akan melayani siapa pun yang menghubunginya tanpa tipuan.
"Minum?"
Bruce mengangkat gelas wine miliknya yang masih terisi penuh, menyodorkannya ke arah Vendetta, berniat untuk bersulang. Tapi Vendetta menolak sambil melambaikan tangan. Dia tidak akan meminum minuman lain, dia bahkan belum menyentuh minumannya sama sekali. Dia tidak terlalu menyukai alkohol dan dia tidak boleh mabuk di tengah aksi penyamaran serta pekerjaannya. Dan tentu saja, dia juga tidak mau bersulang hanya untuk sekedar seru-seruan, sekalipun itu dengan Bruce Wayne. Sekarang adalah waktunya untuk berbisnis, bukan main-main. Dia tidak bisa membahayakan identitas asli ataupun rahasianya di tempat seperti ini.
"Jadi, siapa yang sesungguhnya ingin seorang Bruce Wayne eliminasi?" tanya Vendetta main-main, kali ini senyumnya berubah jenaka. Dia memandang tepat ke mata Bruce dengan netra emasnya yang berkilau diterpa cahaya lampu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka dengan sebuah senyum palsu yang masih merekah di bibir, dan menunggu sebuah jawaban.
Tanpa ragu, Bruce membuka mulut. Sebuah nama meluncur tanpa ragu.
"Robin."
* * *
Chapter 6: Chasing Danger
Chapter Text
"Robin?"
Daripada terkejut, Vendetta terkekeh. Ini bukan kali pertama dia mendapat permintaan untuk membunuh vigilante, atau lebih spesifiknya, sidekick Batman, Robin. Di kota seperti Gotham yang dipenuhi korupsi dan kejahatan, tidak sedikit orang yang membenci mereka yang membuat aturan dan main hakim sendiri demi melindungi warga sipil. Tapi uniknya, kali ini permintaan tersebut datang dari seorang miliarder bercap playboy bernama Bruce Wayne, pemilik dari Wayne Enterprises yang terkenal di seluruh dunia.
"Kenapa kau ingin membunuh Robin?" tanya gadis itu, pandangannya beralih pada segelas wine yang tidak kunjung dia sentuh. "Kau bukan bagian dari mereka," ucapnya.
Mereka?
Bruce berbohong tentang identitasnya sebagai Batman selama lebih dari dua puluh tahun dalam hidupnya, menutupi keterkejutan sekecil ini bukan apa-apa. Kalimat yang tanpa sadar gadis itu ucapkan berarti sesuatu, sesuatu yang selama ini mereka cari. Kemungkinan yang dia maksud dengan 'mereka' adalah Black Water, organisasi rahasia yang telah menculik dan menyiksa Tim, sekaligus organisasi rahasia yang telah dia bunuh dengan kedua tangannya.
"Dengar, Mr. Wayne. Aku tidak membunuh vigilante."
Pandangan Vendetta kembali tertuju padanya, sepasang mata berwarna emas dan biru itu bertemu.
"Lagian, apa yang akan semua orang katakan kalau mereka tahu kau membayarku untuk itu?" katanya, dia tersenyum jenaka.
"Mereka tidak akan pernah tahu," ucap Bruce, dia menyeruput wine-nya. "Kau seorang assassin berbakat. Kau sangat ahli bersembunyi di balik kegelapan, itulah kenapa aku tidak pernah mendengar apa pun tentangmu. Apa yang kau takuti?" Dia diam-diam memancing.
Gadis itu tertawa kecil. "Aku hanya tidak ingin membuat masalah," ucapnya.
Bruce tidak menyerah. Dia masih punya tujuan yang bagaimanapun harus dia capai. Jauh sebelum mereka akhirnya mendapat satu-satunya petunjuk tentang gadis bernama Vendetta itu, dia sudah bertekad untuk melakukan apa pun untuk mengungkap segala misteri yang ada, dia tidak akan membiarkan Gotham berada dalam bahaya. Penyamarannya sebagai 'Brucie' Wayne yang bisa membuat para wanita jatuh hati pasti akan membuahkan hasil kali ini.
"Hadiah yang akan kuberi padamu tidak akan mengecewakan. Kau bisa beli apa pun yang kau mau dengan itu," kata Bruce, dia memasang senyum memikat. "Kau tahu, kalau kau memang sangat berbakat, maka akan banyak orang yang rela membayarmu berapa pun," sambungnya.
Vendetta menggeleng. "Aku tidak terlalu tertarik, uang bukan segalanya," dia membalas.
Suaranya terdengar begitu tenang, seolah mereka berdua sedang melakukan percakapan sehari-hari. Kalau Bruce ingat, Tim pernah bilang kalau gadis itu memang bersikap biasa saja, bahkan terlampau nyaman. Tim juga bilang kalau gadis itu mengaku telah membunuh semua orang yang ada di dalam gedung tersebut dengan sebuah senyuman di bibir, bagai sebuah candaan, bagai seorang psikopat. Dia jadi bertanya-tanya, apakah dia bisa melihat wajahnya berubah masam lagi seperti saat dia mendapati The Dark Knight di hadapannya?
"Lalu, kenapa kau memilih 'pekerjaan' ini?" tanya Bruce, dia memutuskan untuk ikut dalam permainannya. Dia menahan diri agar tidak berlebihan, dia tahu kalau gadis yang duduk di sebelahnya itu masih lebih muda dari Richard Grayson, anak angkatnya yang pertama.
"Karena aku sangat jago dalam hal 'ini'?" Vendetta menyeringai, seolah jawabannya sudah jelas.
Bruce kembali menyeruput wine-nya. "Aku tahu. Karena itulah aku menghubungimu," katanya.
Ekspresi milik Vendetta masih tampak sana, tetap tenang dan terkendali. Tapi, meskipun tidak terlalu jelas, Bruce dapat melihat dahinya yang sedikit berkerut, usahanya yang mencoba untuk bersikap ramah, serta pundaknya yang menegang tidak nyaman dalam balutan gaun mahal kurang bahan. Dia tidak tahu apakah gadis itu adalah orang yang pandai mengendalikan gerak-geriknya atau dia memang tidak bereaksi banyak terhadap segalanya, keduanya berbeda tipis.
"Jadi, apa jawabanmu?" Bruce meletakkan gelas kosongnya di atas meja, meminta kejelasan.
Vendetta menggeleng. "Aku menolak tawaranmu," balasnya dengan sedikit penekanan.
"Sayang sekali."
Bruce hanya bisa memasang sebuah senyum ramah, berlagak kalau dia bisa mengerti dan menerima jawaban apa pun yang gadis itu berikan—meski dalam hati dia diam-diam mengutuk, terpaksa menerima fakta kalau gadis itu bukan tipe orang yang mudah digoda oleh kekayaan. Yang berarti, dia butuh lebih dari sekedar ini untuk mengungkap lebih banyak hal tentangnya. Di satu sisi, dia jadi penasaran, kira-kira tawaran seperti apa yang akan diterimanya.
"Sekarang, Mr. Wayne, sepertinya masih banyak wanita lain yang ingin berbicara denganmu."
Vendetta menoleh dari balik bahunya, menunjuk pada sekumpulan wanita yang sedang curi-curi pandang ke arah keduanya, atau lebih tepatnya ke arah pria tampan berambut rapi serta berjas hitam yang duduk di sebelahnya. Dia dapat mendengar mereka yang bertanya-tanya tentang siapa gadis yang sedang bersamanya, tapi kebanyakan dari mereka tidak peduli.
"Aku pergi dulu, senang bertemu denganmu." Gadis itu pamit undur diri, kemudian bangkit dari duduk dan melangkahkan kaki untuk pergi tanpa memberikan kesempatan untuk menjawab.
Bruce memperhatikan punggung Vendetta yang perlahan menghilang di balik kerumunan. Dia ingin mengejarnya, tapi tidak bisa, tidak sekarang. Dia menghela napas yang tanpa sadar telah dia tahan selama ini. Percakapan dengan gadis itu terbilang simpel, bahkan hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi entah kenapa rasanya berat. Selama berbicara, dia beberapa kali mencoba untuk mengontrol diri, salah kata sedikit saja bisa memperburuk suasana dan menggagalkan rencana.
"Dia pergi," ucap Tim melalui earpiece, mengatakan hal yang sudah jelas.
Selama ini dia dan Barbara mendengarkan semua percakapan Bruce dan Vendetta secara diam-diam dari jarak jauh. Tidak hanya itu, mereka juga memperhatikan gerak-gerik gadis itu melalui kamera tersembunyi. Mereka menggunakan sebuah kamera khusus guna mengecek apakah dia membawa sesuatu yang berbahaya seperti belati-belatinya—meskipun tidak membuahkan hasil karena tampaknya gadis itu tidak membawa apa pun, dia bahkan tidak membawa dompet.
"Ini tidak sesuai rencana," lanjut Tim.
"Sudah kubilang, aku tidak setuju dengan 'Robin'." Bruce mengusap wajah frustasi.
Tim mendengus. Siapa lagi nama yang harus mereka jual? Batman? Gadis bernama Vendetta itu sudah pernah berkata kalau dia tidak mau berurusan dengannya. Nightwing? Tidak, mereka tidak akan membiarkan gadis itu pergi ke Bludhaven, dia harus tetap berada di Gotham. Red Hood? Mereka bahkan tidak tahu di mana dia berada. Batgirls? Terlalu beresiko, dia tidak suka. Robin adalah satu-satunya pilihan yang tepat karena mereka pernah bertemu sebelumnya.
Rencana awal yang mereka miliki adalah Bruce menghubungi Vendetta melalui nomor yang berhasil Barbara temukan lalu mengajaknya untuk bertemu di sebuah gala, yang mana berhasil. Kemudian Bruce akan berpura-pura menjadi klien yang ingin menyewa jasanya, meminta gadis itu membunuh Robin dengan harapan kalau dia akan akan segera menerima tawarannya habis diiming-imingi oleh uang hadiah dan menjebaknya, yang mana gagal total.
"Aku akan menghentikannya sekarang." Tim berkata dengan penuh tekad.
"Jangan gegabah," ucap Bruce tertahan, sebisa mungkin dia mengecilkan volume suaranya agar tidak terdengar oleh siapa pun. Wanita-wanita yang terus mencoba menggodanya dari sisi lain meja membuat dia kesulitan untuk pamit undur diri dari acara, sepertinya dia akan terjebak di sini lebih lama dari yang telah dia perkirakan.
"Bruce, kalau tidak sekarang aku tidak tahu kapan lagi kita bisa bertemu gadis itu," kata Tim.
"Dia benar," timpal Barbara, sependapat dengan Tim. "Maafkan aku, Bruce. Tapi sampai sekarang aku—kita—belum bisa menemukan apa pun tentangnya di mana-mana. Aku tidak tahu apa ini kesempatan yang bagus untuk membiarkannya lolos atau tidak."
Bruce mengatupkan bibirnya hingga membentuk garis tipis. "Oke kalau begitu," ucapnya. "Jangan lupa beritahu aku apa yang terjadi di sana."
Tim mengangguk mengerti. Angin malam yang dingin berhembus, dia berdiri di atap sebuah bangunan seperti biasa, memperhatikan suasana ramai yang berada puluhan meter di bawahnya. Gala yang mewah dan meriah, orang-orang kelas atas yang berpakaian gemerlap, serta mobil-mobil mahal. Lensa pembesar yang ada di masker Robin-nya aktif begitu dia akhirnya melihat rambut biru tua milik Vendetta yang melangkah keluar dari tempat tersebut.
"Aku ikuti dia sekarang." Tim berkata pada Bruce dan Barbara melalui earpiece-nya.
"Hati-hati," ucap Barbara.
Tim tidak menjawab, dia hanya menembakkan grapple gun miliknya dan bersiap untuk beraksi.
Sementara itu, Vendetta berjalan mendekat ke sebuah mobil yang terparkir dengan rapi di depan, seolah sudah menanti kehadirannya di sana. Seorang pria paruh baya berpakaian rapi tersenyum tipis, membungkuk dengan hormat lalu membukakan pintu untuknya, mempersilahkan dia masuk dengan sopan. Ketika mobil hitam metalik itu mulai melaju, Tim melompat di antara bagunan, mengikuti kemana mereka pergi.
Vendetta menghela napas berat dan menyandarkan punggungnya ke jok, berpura-pura senang menghadiri acara yang dipenuhi banyak orang seperti gala cukup menguras tenaga dalamnya—dia seorang introvert. Rambut sambung, gaun punggung terbuka, serta high heels yang dipakainya sebagai formalitas semata terasa sangat tidak nyaman, dia rindu mengenakan rompi serta celana pendeknya yang simpel. Dia ingin segera pulang ke rumah dan bersantai, kalau saja sesuatu tidak sedang terjadi padanya sekarang.
"Kita diikuti." Gadis itu bergumam pelan, matanya yang berwarna emas memicing pada pantulan yang sedang bergerak di kaca jendela. "Bisa jalankan mobilnya lebih cepat?" tanyanya.
Pria yang duduk di belakang kemudi mengernyit bingung. "Tapi, Ms. Sonya—"
"Aku bilang, jalankan mobilnya lebih cepat. Injak gas."
Sonya, yang sebenarnya merupakan nama palsu Vendetta yang dia buat sejam lalu demi buku tamu, segera memotong kalimatnya. Nada bicaranya yang semula tenang dan santai kini menjadi serius dan penuh penekanan. Pria itu menelan ludah, terkejut sekaligus heran dengan perubahan gaya bicara yang mendadak. Tapi, melihat sorot mata miliknya yang tajam, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut dan hanya menginjak gas, melakukan apa yang telah diperintahkan padanya.
Vendetta menggerutu di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan biasa saja itu, dia sangat ingin menghindari keadaan ini sekarang juga. Andai saja mereka bisa melesat lebih cepat lagi dan menerobos lampu merah atau mobil lain yang ada di jalur mereka. Tapi, apa yang dia harapkan? Ini hanya mobil biasa, bukan mobil balap.
BRAK!
Sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang, tiba-tiba mendarat di bagian atap mobil, tepat sehabis lampu lalu lintas berganti menjadi warna hijau dan mulai melaju.
"Gila!" Vendetta memekik kaget.
Sosok yang selama ini dia lihat di pantulan kaca jendela, seseorang dengan kostum merah, jubah hitam kuning, serta sarung tangan hijau, Robin—Tim, ternyata mengambil sebuah kesempatan dan menerjangnya tepat saat mobil tersebut melewati perempatan jalan.
"Stop mobilnya sekarang!" serunya lantang.
Vendetta mana mau menghentikan mobilnya lalu menyerahkan diri. Tapi sepertinya, kalau dilihat dari gerak-geriknya yang tampak panik dan ketakutan, pria di belakang kemudi yang berprofesi sebagai sopir bayaran tersebut berkehendak lain.
"Jangan stop mobilnya!" Gadis itu ikut berseru, mencoba mencegahnya.
Meskipun hanya memiliki beberapa catatan kriminal berat—itulah kenapa seorang assassin seperti Vendetta mempekerjakannya sebagai sopir, pria itu tampaknya lebih pengecut dari yang dia kira. Tanpa babibu lagi, dia segera membuka pintu dan meloncat keluar, berguling di aspal. Persetan dengan uang atau mobil yang sedang melaju, dia tidak mau tertangkap oleh Robin.
"Kau pasti bercanda!" Vendetta mengerang tidak percaya.
Sebelum mobil yang ditumpanginya menabrak dan membawanya ke dunia lain, gadis itu secepat mungkin pindah ke kursi depan. Jari rampingnya memegang setir, sementara kakinya yang memakai high heels menginjak pedal gas. Dia tidak terlalu bisa menyetir, tapi mati tertabrak atau mati di dalam sel Rumah Sakit Jiwa Arkham atau Belle Reve, keduanya sama saja, sama-sama mati. Dengan seorang vigilante yang sedang menunggunya untuk keluar dan bersiap untuk menangkapnya, menghentikan mobil ini bukan sebuah pilihan.
Oke, sialan, batin Vendetta.
Dia tidak bodoh. Tentu saja sidekick Batman dan Batman sendiri pasti akan mengincarnya. Dia masih ingat dengan jelas kejadian kemarin, di mana dia membantai hampir seluruh penghuni gedung dan mengaku kalau dia adalah pembunuhnya. Kejahatan yang telah dia lakukan berada di luar batas, The Dark Knight tidak akan mentoleransinya, dia tahu itu. Tapi dia tidak bisa melakukan apa pun, dia telah memilih untuk membantu seorang Robin, itu keputusannya sendiri. Kalaupun dia mencoba menyembunyikan semuanya, mereka akan tetap tahu. Bagaimanapun keduanya adalah detektif terhebat di dunia. Mungkin seharusnya dia tidak pernah menolong bocah itu dan membiarkannya saja di sana.
"Stop mobilnya! Atau aku yang akan membuatmu berhenti!" Tim berteriak mengancamnya.
"Lucu, karena seseorang baru saja memintaku untuk membunuhmu, tapi kau malah menghampiriku sekarang!" Vendetta merengut. "Asal kau tahu saja, kau mengincar orang yang salah, Tim!" dia balas berseru sambil menginjak gas untuk menambah kecepatan.
"Apa sekarang kau mencoba untuk menarik omonganmu tentang 'aku yang membunuh mereka' dan berkata kalau kau ternyata tidak bersalah?" ucap Tim, kalimatnya penuh dengan sarkasme.
"Bukan itu maksudku!"
Vendetta mendengus frustasi. Tangannya memegang erat setir saat dia menambah kecepatan lebih ekstrim lagi. Mobil yang ditumpanginya melaju bagai kilat, pemandangan di sekitarnya buram. Dia tidak tahu kenapa dia masih belum menabrak apa pun sampai sekarang, dia juga tidak tahu apa yang akan Tim lakukan di atap mobilnya. Dia tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi dia yakin laki-laki itu sedang melakukan sesuatu untuk menghentikannya.
"Aku tidak tahu kau berusaha melucu atau tidak, tapi aku tidak mengerti kenapa ayahmu sendiri menjual namamu untuk menjebakku!" seru Vendetta, mencoba salah satu cara tanpa kekerasan yang dia bisa untuk mengalihkan perhatiannya.
Berhasil.
Mata Tim dibuat melebar, dan pergerakannya seketika terhenti.
"Kuakui, kalian hampir berhasil, kalau saja kau tidak tiba-tiba melompat ke mobilku!" sambung gadis itu.
Tim mengerjapkan mata.
Jadi selama ini dia tahu?
"Kau—"
Belum sempat Tim melanjutkan kalimatnya, Batmobile tiba-tiba muncul, melesat dalam kecepatan tinggi dari perempatan. Ketika Vendetta menoleh dan tersadar, jarak di antara kedua mobil itu hanya tersisa beberapa meter lagi, mustahil untuk menghindar atau banting setir.
"Oh, shit."
Kecelakaan yang hebat pun terjadi. Tabrakan beruntun. Batmobile menabrak mobil yang gadis itu tumpangi, membuatnya terlempar, berguling-guling di udara, menabrak beberapa mobil lainnya yang sedang berlalu-lalang, kemudian teronggok dalam keadaan terbalik dengan sangat menyedihkan di pinggir jalan. Mobil biasa versus mobil milik Batman yang terbuat dari titanium seberat lima ton dengan kecepatan penuh, sudah bisa dipastikan siapa pemenangnya.
Tim, yang sudah tahu kalau ini akan terjadi dan menghindar menggunakan grapple gun, hanya bisa meringis sambil menginjakkan kaki tidak jauh dari sana. Bruce pasti baik-baik saja, Batmobile sekuat tank. Tapi gadis itu? Dia tidak yakin. Bruce tidak bermaksud untuk membunuhnya, tapi memar serta patah tulang mungkin tidak bisa dihindari.
Tim segera berlari menuju ke mobil yang sudah terbalik. Dia tidak bisa membiarkan gadis itu lolos, dia juga tidak bisa membiarkannya terjebak di dalam sana. Melihat kerusakannya yang parah, mobil itu bisa meledak kapan saja, atau mungkin lebih buruk lagi.
"Angkat tanganmu!"
Langkah kaki Tim terhenti saat seorang pria tiba-tiba datang dan berseru sambil menodongkan sebuah pistol ke arah yang sedang ditujunya. Dilihat dari seragam yang dia kenakan, pria itu adalah salah satu polisi dari GCPD.
"Kau tidak akan berani."
Itu suara Vendetta, tampaknya dia berhasil keluar dari mobilnya.
Tim mendongakkan kepala, dia dapat melihat penampilannya yang berantakan. Rambut biru tua panjangnya kusut, gaun mahalnya sobek, dan high heels-nya hilang entah kemana. Ada beberapa luka goresan di dahi serta memar samar di kakinya. Perhatiannya tertuju pada masker yang entah sejak kapan dia kenakan. Tapi di antara itu semua, dia terkejut karena kondisinya terbilang baik-baik saja meskipun tabrakan hebat baru saja terjadi padanya.
"Siapa pun dirimu, kau ditahan!" Polisi itu berseru tegas.
Vendetta memasang sebuah seringaian, membuat keadaannya yang semula berantakan kini memberi kesan mengerikan daripada menyedihkan, seolah-olah kecelakaan tadi sama sekali tidak memberi efek apa pun pada kondisi mentalnya.
"Kau tidak bisa menahanku," katanya, menantang.
Polisi itu tidak mau kalah. "Ya, aku bisa," jawabnya.
Click.
Pengaman yang ada di pistol dinonaktifkan.
Mata Tim membola.
"Tidak!"
Dor!
Peluru ditembakkan, menembus udara, melesat dengan sangat cepat ke arah gadis yang sedang berdiri tegak di tengah kekacauan.
Tim refleks memejamkan mata, tidak sanggup melihat kejadian berdarah yang tidak sempat dia hentikan. Tapi, hal selanjutnya yang bisa dia dengar bukanlah jeritan atau erangan sakit, melainkan sebuah bunyi 'kling' halus yang berdenting di atas aspal. Ketika dia perlahan membuka matanya dengan jantung yang berdegup tidak karuan, bertanya-tanya apa yang terjadi, dia dapat melihat dengan jelas sepasang mata berwarna emas yang menyala di kegelapan malam.
"Kau ...."
Kata-kata Tim menggantung di udara. Dia tidak tahu apakah dia harus terkejut dan diam membatu, mengelus dada lega, atau mengeluh karena semuanya akan bertambah semakin sulit mulai dari sekarang juga. Tapi satu hal yang pasti, dia sama sekali tidak bersiap untuk ini.
Bagaimana bisa gadis itu masih hidup?
* * *
Chapter 7: Two Versus One
Chapter Text
Tidak ada jeritan, erangan sakit, atau bahkan darah yang mengalir.
Peluru yang semula melesat ke arah Vendetta tidak berakhir dengan bersarang di tubuhnya, melainkan memantul dan tergeletak tidak berdaya di atas aspal.
Tim terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya.
Dia harap dia salah lihat, tapi kejadian itu terasa begitu segar dan nyata di dalam ingatannya. Momen di mana peluru tersebut melesat ke arah gadis itu, hanya berjarak sekitar beberapa milimeter dari kulitnya, tampak siap untuk membunuh. Tapi begitu bersentuhan, peluru tersebut tertahan, gagal menembus permukaan kulitnya. Kemudian peluru tersebut jatuh satu persatu, bagaikan sebuah kerikil kecil yang dilempar oleh tangan.
"Robin, apa kau lihat apa yang kulihat!?" Barbara terdengar tidak percaya.
Tim tidak merespon, tapi pikirannya berhasil menarik sebuah kesimpulan.
"Kau ... metahuman," ucapnya teliti dan hati-hati.
Vendetta mengangguk. "Tentu saja, dan peluru seperti itu tidak akan pernah bisa melukaiku," jawabnya, mengkonfirmasi dengan nada angkuh.
Dia menyeringai sambil membuat sebuah pose pistol dengan jari telunjuk dan tengah, dia mengarahkan jarinya pada pelipis dan berkata 'dor' tanpa suara, berakting seolah dia sedang bunuh diri dengan menembak kepalanya. Lalu dia tertawa kecil bagai orang sinting, seolah itu adalah candaan yang lucu, sebelum akhirnya menolehkan kepala ke arah seorang polisi yang beberapa detik lalu memiliki cukup nyali untuk menembaknya.
Sang polisi terkesiap, bulu kuduknya merinding begitu sepasang mata berwarna emas tersebut tertuju dan menyorot tajam ke arahnya. Dia meneguk liur, menatap gadis itu dan pistolnya secara bergantian. Dia kebingungan, tidak bisa memproses apa pun dalam otaknya. Yang bisa dia lakukan hanya menahan rasa takut sambil terus menembakkan pistolnya dengan gegabah hingga peluru yang ada di dalamnya habis. Tapi tidak ada satu pun yang berubah, belasan peluru yang ditembakkan lagi-lagi tidak berefek, hanya melesat, memantul, dan jatuh ke tanah.
Vendetta mencibir, dia memicingkan mata pada polisi tersebut lalu mulai melangkahkan kaki secara perlahan ke arahnya. Bagaikan melihat malaikat pencabut nyawa, polisi tersebut tanpa sadar menjatuhkan pistolnya dan segera berlari terbirit-birit dari sana.
"Pengecut," ucap gadis itu tidak selera.
Tim tidak berkedip melihat adegan di depannya. Dia terkagum, dia terkejut, tapi dia juga tidak habis pikir. Peluru tersebut benar-benar tidak bisa melukainya, seolah dia tidak bisa mati. Tidak hanya Tim, Bruce juga merasakan hal yang sama. Dia tidak pernah menduga kalau orang yang selama ini mereka dia incar adalah metahuman—dia sangat ahli menyembunyikannya.
Tapi, tidak ada waktu untuk terpana. Daripada diam membatu, Bruce memutuskan untuk bergerak cepat dan memanfaatkan fitur yang ada di Batmobile miliknya. Pria itu menarik tuas, lalu memencet beberapa tombol rumit yang berjajar di hadapannya. Vulcan Gun, sebuah senapan mesin berlaras enam, muncul dari bagian depan kap mobil yang terbuka, ujungnya berputar dan terarah pada gadis yang sedang berdiri di tengah kekacauan.
"Bruce!" Suara Barbara terdengar panik melalui earpiece.
Vulcan Gun bukan senjata kecil seperti pistol polisi tadi, itu adalah senjata level lain berupa senapan mesin yang biasa digunakan di dunia militer. Bruce sendiri menggunakannya untuk menghancurkan segala rintangan yang menghalangi laju Batmobile, seperti bangunan atau bahkan kendaraan lain sekali pun. Dia bahkan pernah menggunakannya untuk menghancurkan kapal, kekuatan penghancurnya benar-benar luar biasa.
"Tunggu, Batman!" Tim berseru, tidak yakin dengan tindakannya.
Bruce tidak mendengarkan. Daripada bertanya—yang kemungkinan besar tidak akan dijawab dengan benar oleh gadis itu, dia lebih memilih untuk beraksi lebih dulu demi menguji teori berkemungkinan besar yang ada di dalam kepalanya.
Rat-tat-tat-tat-tat-tat-tat-tat.
Ratusan peluru ditembakkan secara bertubi-tubi dari keenam laras senapan mesin tersebut. Debu berterbangan di mana-mana, mengaburkan pemandangan. Suara ledakan pendek dan berulang-ulang yang sangat cepat serta bunyi logam ringan yang berdenting setelah tembakan dilepaskan terdengar memekakkan telinga. Tapi yang terlihat selanjutnya adalah pemandangan mengejutkan yang sama, peluru-peluru habis pakai yang berhamburan di atas aspal.
"Bukannya itu tidak sopan?"
Suara Vendetta sayup-sayup terdengar sehabis serangan tersebut berakhir. Ketika asap perlahan menghilang, Tim dapat melihatnya masih berdiri tegak di sana. Dia tidak mungkin salah lihat, tidak dengan kamera canggih yang terpasang di maskernya. Dia dapat menangkap dengan jelas kalau gadis itu sama sekali tidak terluka, dia bahkan tidak tergores sedikit pun. Hanya gaunnya saja yang rusak dan sobek. Ini tidak bagus. Ini bencana.
Apakah dia bangsa alien? Atau mungkin Kryptonian seperti Superman dan Superboy? Conner dan Clark Kent sama-sama kebal serangan senjata ataupun serangan lainnya. Tapi ....
Tim mengerutkan dahi.
Tunggu, dipikir-pikir, kalau dia memang seorang Kryptonian, kenapa benturan dari kecelakaan mobil tadi bisa membuatnya memar-memar?
Karena usahanya untuk menyerang gadis itu berakhir sia-sia dan ratusan peluru terbuang begitu saja, Bruce akhirnya memutuskan untuk terjun langsung ke lapangan. Dia beranjak keluar dari belakang kemudi Batmobile, kemudian memposisikan dirinya di samping Tim yang sudah berada dalam siaga penuh. Tangan kekarnya terkepal dan kaki kokohnya berkuda-kuda, siap menyambut perkelahian apa pun yang akan datang di hadapannya.
"Hanya mengetes teori, tapi ternyata tidak berhasil." Bruce tampak tidak puas, "Tapi masih ada hal lain yang mungkin bisa dicoba," katanya.
Tim mengangguk, tanpa perlu menjelaskan apa pun, dia tahu Bruce menyadari hal yang sama.
Keduanya memperhatikan Vendetta yang masih belum bergerak barang satu meter dari tempatnya berdiri, semua serangan tadi sama sekali tidak membuatnya bergeming atau tersentak sedikit pun. Sorot mata gadis itu justru memandang lurus pada mereka berdua, seakan-akan mengatakan kalau dia sudah siap dengan segala jenis serangan yang akan akan mereka lancarkan padanya.
"Serahkan dirimu," ucap Bruce serius, nadanya menuntut.
Vendetta otomatis mengangkat sebelah alis. "Kau sungguh berharap orang sepertiku akan menyerahkan diri begitu saja hanya karena kau memintaku?" tanyanya, ujung bibirnya berkedut, nyaris tertawa.
"Tidak, aku berharap orang sepertimu punya akal sehat," jawab Bruce tajam.
"Ouch." Gadis itu pura-pura tertohok.
"Serahkan dirimu tanpa perlawanan, atau semua akan bertambah buruk. Kau tidak akan menyukainya," tambah Tim, memberi sebuah peringatan. Dia mengerutkan wajahnya agar terlihat mengintimidasi seperti Bruce—meski tampaknya tidak terlalu berhasil.
"Oh, boy." Vendetta akhirnya tertawa kecil. "Semua sudah bertambah buruk sejak awal, apa lagi yang bisa jadi jauh lebih buruk dari ini?" katanya.
"Aku tidak tahu, tidur di Arkham atau Belle Reve?" Tim mengangkat kedua bahu, suaranya dipenuhi sarkasme.
Dia mendengus. "Belle Reve? Kau pasti bercanda." Dia tidak terkesan.
Di saat yang bersamaan Tim dan Bruce tiba-tiba menerjang dengan sangat cepat ke arahnya, bersiap untuk mendaratkan sebuah tinju yang terkepal kuat.
"Bukannya ini curang, dua lawan satu?" Gadis itu mencibir sambil menghindari satu persatu serangan mereka.
"Bukannya kau juga curang, kebal senjata?" balas Tim tidak mau kalah.
Vendetta kembali tertawa. "Mulutmu pintar juga, sedikit menyebalkan," katanya. "Kau kecewa senjata mahal dan luar biasa milikmu tidak berefek padaku?" Dia menyeringai.
Tim dan Bruce tidak ada waktu untuk meladeni ocehannya yang jelas-jelas hanya bertujuan untuk memprovokasi. Keduanya tidak berhenti melancarkan serangkaian pukulan serta tendangan beruntun tanpa menahan diri, berharap untuk mengalahkan lawannya secara telak. Tapi dengan gerakan yang cepat serta lincah, hanya dalam waktu hitungan detik, gadis itu berhasil menghindari serangan yang mereka lakukan dan melancarkan serangan balik yang jauh lebih mengejutkan.
Vendetta adalah petarung yang kuat, sangat kuat, dan Tim sudah tahu itu sejak dia pertama kali melihat Bruce kewalahan dan kalah melawannya kemarin. Tapi, keadaan berbeda sekarang. Dia sedang dalam keadaan fit, begitu pula dengan Bruce, dan gadis itu sedang tidak membawa belati-belatinya. Mereka berdua bertarung bersama sebagai mentor dan sidekick, melengkapi satu sama lain, dan itu cukup untuk mengubah segalanya.
Pertarungan menjadi semakin sengit. Vendetta dan Bruce saling bertukar pukulan serta tendangan dengan kecepatan yang sulit ditangkap oleh mata, sementara Tim mencoba untuk menyerang berbagai titik buta miliknya. Gadis itu sangat terlatih, setiap gerakannya menunjukkan bahwa dia telah mempelajari setiap gerak-gerik mereka dan menghindarinya dengan nyaris sempurna. Tapi, melawan The Dark Knight yang menguasai puluhan jenis seni bela diri serta Robin yang dibimbing langsung olehnya tidak semudah yang siapa pun kira.
Vendetta masih bisa mempertahankan ritmenya meskipun satu hingga tiga pukulan Bruce berhasil mendarat di tubuh dan membuatnya meringis. Mau tidak mau dia harus mengakui kalau Batman mungkin hanya satu-satunya orang yang sepantaran dan berhasil menyainginya dalam pertarungan tangan kosong, membuat gadis itu pada akhirnya memutuskan untuk melompat mundur dan menjaga jarak aman di antara mereka.
"Dia jago," gumam Tim sambil mengusap keringatnya.
"Tapi dia sendiri," ucap Bruce.
Vendetta yang mendapati mereka terengah-engah pun menyeringai. "Sudah lelah?" tanyanya angkuh. "Aku bahkan belum menggunakan senjataku, loh," ucapnya, sambil berusaha untuk tidak mengerutkan wajah karena pukulan yang baru saja diterimanya.
Senjata?
Tim mengernyitkan dahi. Apa dia melewatkan sesuatu? Apa selama ini gadis itu membawa senjata dengannya? Tidak, tidak mungkin. Dia pasti hanya berniat memancing emosi dan membuatnya hilang kendali, karena kalau dilihat dari kamera pemindai sinar-X yang terpasang di maskernya, gadis itu sama sekali tidak membawa apa pun di balik gaunnya.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak menggunakannya sekarang? Ini waktu yang tepat." Bruce balik memprovokasi.
Sebelum seseorang sempat mengatakan apa pun, dia tiba-tiba menembakkan grapple gun miliknya. Bukan untuk pergi berayun di antara bangunan, melainkan untuk menyerang. Vendetta tidak memperkirakan hal tersebut sebelumnya. Dia hendak menghindar, tapi rasa sakit yang dia alami dari tabrakan mobil tadi menggagalkan rencananya, dan tali grapple gun tersebut berhasil mengikat kedua kakinya erat. Gadis itu seketika terjatuh dan terseret dengan cepat ke arah Bruce ketika dia menarik talinya.
"Tidak keren!" Vendetta memekik panik.
Tanpa menunggu apa pun lagi, Bruce segera melompat ke atasnya. Dia menduduki tubuh gadis itu dan menekannya ke tanah dengan seluruh kekuatan yang dia miliki. Dia mencengkeram kedua pergelangan tangannya, membuatnya tidak bisa bergerak dengan bebas.
"Percayalah, aku tidak ingin melukaimu," ucapnya tajam, suaranya rendah.
"Aku percaya, dan percayalah, aku juga tidak ingin melukaimu," balas Vendetta. Dia meringis untuk yang kesekian kalinya, pria dengan berat badan dua kali lipat yang duduk di atas tubuhnya jelas membuatnya merasa sesak.
"Aku tidak percaya." Bruce tidak bisa menahan diri untuk menggertakkan giginya. "Sudah kubilang kau tidak akan menyukainya. Menyerahlah," tekannya.
"Tidak." Vendetta menolak dengan tegas.
Ekspresi Bruce berubah masam, dia hendak melayangkan sebuah tinju ke wajah untuk membuatnya sadar dan menyerah. Tapi, hanya dalam sekali hentakan, gadis itu berhasil membebaskan diri dari cengkeramannya.
"Aku tidak punya pilihan lain, kau membuatku melakukan ini," katanya.
Vendetta mengayunkan sebelah tangan, belati berwarna hitam dengan ujung yang tajam mengkilap tiba-tiba tercipta dalam genggamannya begitu saja.
Tim membelalakkan mata. Dia tentu saja mengingatnya dengan sangat jelas. Itu adalah belati yang sama dengan belati yang digunakan untuk memotong talinya, sekaligus belati yang sama dengan belati yang digunakan untuk meracuni Bruce. Pantas saja selama ini gadis itu tidak pernah terlihat membawa tas atau apa pun dengannya tapi selalu memiliki beberapa belati untuk dilemparkan. Tidak salah lagi, itu adalah kekuatan supernya sebagai metahuman.
Vendetta mengayunkan belatinya dengan sangat cepat, membuat Bruce refleks beranjak dari atas tubuhnya demi menghindari serangan tersebut. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, gadis itu segera memotong tali grapple gun yang membelit kedua kakinya, berguling menjauh, dan bangkit berdiri. Melihat lawannya yang menggenggam sebuah belati beracun, kedua vigilante itu semakin menjaga jarak dan meningkatkan kewaspadaan.
Vendetta tidak mau mengulur waktu lebih lama lagi. Dia segera melesat ke arah mereka sambil menodongkan belatinya, berniat untuk menyerang. Tim dan Bruce otomatis menghindar, mereka berpencar ke dua arah yang berbeda, kiri dan kanan. Tapi segalanya justru berada di luar dugaan. Gadis itu menciptakan satu belati lainnya di tangan kiri, lalu berbelok ke arah Tim dan mengayunkannya dengan sangat cepat, mengiris lengan laki-laki tersebut.
Tim kaget dan tidak sempat bereaksi. Hanya dalam satu kedipan mata, Vendetta melingkarkan tangan pada bagian leher dan mengunci kakinya. Gadis itu menahan pergerakan tubuhnya sekuat tenaga, membuatnya sulit bergerak atau melepaskan diri.
"Robin!" Bruce berseru kencang, terkejut.
"Jangan bergerak, atau kau tahu apa yang akan kulakukan."
Vendetta berkata dengan penuh ancaman sambil mengarahkan belati yang digenggamnya pada leher Tim. Jarak yang tersisa tinggal satu atau dua senti, membuat Bruce berusaha keras untuk menahan diri dan tidak bertindak sembrono sambil menelan ludah.
"Asal kau tahu, aku bisa membunuhmu kalau aku mau." Gadis itu berbisik pelan di telinganya. "Kau bukan apa-apa dibanding lawan-lawanku."
Sialan.
Tim tahu itu. Dia hanya manusia biasa sedangkan gadis itu adalah seorang metahuman yang kebal serangan senjata. Selain memar di kaki serta bekas tinju Bruce yang sedikit memerah, gadis itu tampak baik-baik saja. Sejak awal, mereka sama sekali bukan lawan yang sepadan, dan rasa sakit dari sayatan yang ada di lengannya sama sekali tidak membantu mengatasi hal ini. Dia merasa begitu lemah dan menyedihkan ketika racun tersebut mulai bereaksi, tapi dia tidak boleh menyerah begitu saja.
"Lalu, kenapa kau tidak membunuhku saja sekarang?" tanya Tim, mencoba untuk tetap tenang meski dia hampir tidak bisa merasakan lengannya.
Vendetta tertawa hambar. "Tidak ada yang membayarku untuk membunuhmu. Lagipula, aku tidak membunuh vigilante, dan kau tahu itu," katanya.
Sementara Tim berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar cemas campur takut, Bruce perlahan melangkahkan kaki ke arah mereka berdua. Mendengar sebuah pergerakan darinya, Vendetta otomatis memutar kepala dan langsung mengeratkan kedua lengan, membawa belatinya lebih dekat lagi ke leher Tim.
"Mundur, Batman, atau aku akan mengiris leher bocah ini," ancamnya.
Bruce menambah satu langkah.
Gadis itu mengerutkan wajah. "Aku serius, Batman. Mundur." Suaranya terdengar begitu dingin, tapi juga serius dan menuntut. "Aku hanya ingin bicara dengannya."
Pergerakan Bruce berhasil terhenti ketika ujung belati tersebut nyaris bersentuhan dengan leher Tim. Gadis itu sama sekali tidak main-main, dan dia terpaksa harus mengikuti omongannya. Tapi, di sisi lain, Tim menggeliat menggunakan seluruh tenaganya yang tersisa.
"Wow, santai, santai. Kita tidak punya masalah apa pun, Tim," ucap Vendetta, mencoba membuatnya diam.
"Kita punya," jawab Tim cepat, menyangkal kalimatnya. "Kau membunuh mereka semua, dan aku harus menghentikanmu agar tidak membunuh lebih banyak orang lagi," katanya penuh penekanan, lalu dia merengut kesal. "Lalu, jangan sebut nama asliku di publik."
Vendetta mendengus. Tentu saja, seorang vigilante bermoral yang menjunjung tinggi keadilan sepertinya pasti akan mempermasalahkan aksinya kemarin. Apa yang dia harapkan? Lagipula, memangnya kenapa kalau dia memanggil nama aslinya di publik? Seseorang dengan nama 'Tim' di Gotham tidak hanya dia seorang diri.
"Percayalah, harusnya kau tidak tahu, harusnya kau tidak terlibat. Kau hanya orang yang salah di tempat yang salah, Ti—Robin," ucapnya.
"Apa karena itu kau menyelamatkanku?" Tim bertanya sambil mengernyitkan dahi, merasa segalanya tidak masuk akal.
"Hentikan apa pun yang sedang kau lakukan." Vendetta merendahkan suara, napasnya menggelitik di telinga, genggamannya lebih kuat lagi. "Kau yang mengincarku, atau kau yang mencari tahu tentang Black Water, hentikan semuanya. Ini demi kebaikanmu sendiri."
"Kebaikanku sendiri?" Tim menaikkan sebelah alis. "Aku tidak peduli, penduduk Gotham—"
"Tidak semua penduduk Gotham itu sepertimu!" Gadis itu tiba-tiba berseru, memotong kalimatnya. "Mereka tidak—"
Ucapannya seketika menggantung di udara begitu matanya menangkap Bruce yang sedang melempar sesuatu ke arahnya. Kucian tangannya tanpa sadar melemah saat dia memicingkan mata, berniat untuk melihat dengan jelas apa barang tersebut. Dia sempat mengira itu adalah sesuatu yang berbahaya untuk melukainya, tapi ternyata Tim lah yang menangkapnya, itu adalah sebuah suntikan penawar racun.
Vendetta tidak sempat menguatkan kembali tangannya ketika Bruce mengambil resiko dengan melemparkan sebuah granat yang segera meledak dan menimbulkan suara bising berfrekuensi tinggi. Dia terkejut, kemudian dia tanpa sadar melepaskan tangannya untuk menutup kedua telinga. Mendapat kesempatan tersebut, Bruce menerjang ke arah Tim dan menolongnya, tidak lupa untuk mendaratkan tinju pada rahang gadis itu sebelum akhirnya melompat mundur.
"Licik!" Vendetta mengaduh kesakitan sambil memprotes, dia mengutuk utility belt milik The Dark Knight dengan ekspresi masam.
Kini jarak yang cukup jauh tercipta lagi di antara mereka. Sementara Tim menyuntikkan penawar tersebut pada lengannya yang terkena racun, Bruce memperhatikan ekspresi wajah gadis itu dari balik maskernya. Tentu, lawannya terlihat kesal, tapi lama kelamaan raut wajahnya berubah puas. Dia mengernyitkan dahi, ada sesuatu yang salah.
"Aku tidak pernah bilang aku sendiri." Vendetta perlahan menyeringai dengan bangga, menampakkan barisan giginya.
Saat itu juga, sebuah mobil hitam dengan kecepatan tinggi melaju ke arah mereka. Bruce langsung meraih Tim, yang masih belum bisa bergerak dengan bebas, berniat untuk membawanya pergi menghindar dari sana. Tapi, ketika mobil tersebut mendekat, tidak ada tabrakan hebat yang terjadi. Sebaliknya, gadis itu justru meloncat ke bagian atap mobil, membuat Tim dan Bruce kehilangan kata-kata dengan hal yang baru saja terjadi.
Vendetta berkacak pinggang. "Sudah kubilang, aku tidak ingin melukai kalian," katanya puas.
Alih-alih menjauh, mobil yang dia tumpangi justru berputar balik dan tancap gas ke arah Batmobile. Bruce mengira kalau dia ingin mengambil alih atau bahkan mencurinya—yang mana tidak akan berhasil, tapi ternyata dia salah besar. Gadis itu malah mengulurkan tangan, menciptakan senjata lain berupa sebuah pedang berwarna hitam dalam genggamannya. Bagaikan pisau yang mengiris daging, ketika diayunkan, pedang tersebut menembus lapisan armor titanium dari Batmobile dan membelahnya menjadi dua dengan sangat mudah, menghancurkannya hanya dalam sekali tebas.
"Sinting!" Tim membelalakkan mata, terkejut setengah mati.
Sementara itu, Bruce tampak sangat tidak senang. Mobil mahalnya yang sangat berharga sekarang rusak dan menyerupai rongsokan.
"Oracle, kirim drone untuk mengikutinya!" serunya.
* * *
Chapter 8: Plan Goes Wrong
Chapter Text
Drone yang Barbara kirim untuk pergi mengikuti kemana Vendetta melarikan diri hanya berakhir sia-sia. Gadis itu menghancurkan semuanya, satu persatu, menggunakan belati serta pedang yang dia ciptakan dengan kekuatan supernya. Tapi, bukan Batman namanya kalau dia tidak punya rencana cadangan. Sebuah pelacak berukuran kecil berhasil ditempel secara diam-diam pada sebuah bagian mobil ketika gadis itu sibuk melawan drone-nya, membuat mereka bisa langsung mengejarnya beberapa menit sehabis memanggil Batmobile yang kedua.
"Dia berhenti," ucap Tim, tepat setelah titik merah yang ada di layar terlihat tidak lagi bergerak.
Bruce tidak mengatakan apa pun, dia segera memutar kemudi dan berbelok menuju tempat yang ditunjukkan oleh alat pelacak. Itu adalah sebuah gang yang tampak remang-remang, tidak banyak orang berlalu-lalang di sana. Tim dan Bruce turun dari Batmobile dengan hati-hati, kewaspadaan mereka sama sekali tidak menurun. Keduanya memperhatikan keadaan sekitar secara seksama, jaga-jaga akan kemungkinan datangnya serangan mendadak atau jebakan.
Tidak ada satu pun hal mencurigakan yang Tim atau Bruce temukan di sana selain mobil yang mereka kejar yang telah terparkir dengan sempurna. Tim melompat secepat mungkin ke arah mobil tersebut sebelum seseorang menyadari kehadirannya. Tapi, tepat saat dia melihat ke bagian dalam melalui kaca, semuanya kosong. Dia tidak melihat sosok Vendetta di sana, ataupun orang yang menyetir di balik kemudi dan membawanya pergi.
"Dia mengakali kita lagi." Bruce berkata sambil mengerutkan wajahnya tidak suka.
Tim hanya bisa terdiam. Dia merasa buruk. Dia sempat lengah dan membiarkan seorang gadis yang selama ini mereka incar memiliki kesempatan untuk melumpuhkannya, membuat Bruce terpaksa mengambil resiko yang ternyata malah berbalik arah pada mereka dan membuat gadis itu mendapat waktu untuk melarikan diri yang kedua kalinya.
* * *
Suasana di Batcave terasa sedikit menyesakkan. Sejak kepergian butler setia sekaligus salah satu anggota keluarga mereka, Alfred Pennyworth, semuanya tidak lagi sama. Tim tidak bisa berhenti berpikir sejak dia kembali ke sana dengan perasaan berkabut. Dia melamun di depan Batcomputer, pandangannya tertuju ke layar yang menyala, tapi pikirannya melambung tinggi.
Ini bukan kali pertama gadis bernama Vendetta itu membuatnya merasa hanya berlari di tempat. Mulai dari dia yang membantunya, kejadian di mana dia membantai seluruh penghuni gedung, identitasnya sebagai seorang assassin yang dibayar hanya untuk membunuh, serta pertemuan kedua mereka yang mengungkapkan kalau selama ini dia adalah metahuman yang bisa menciptakan belati serta pedang—yang akhirnya digunakan untuk merusak Batmobile.
"Manifestasi senjata ...." Tim bergumam pelan.
Dia seketika mengerjapkan mata, menemukan suatu koneksi dalam kasus ini. Tentu saja sampai sekarang GCPD tidak bisa mendeteksi siapa pemasok senjata dari belati yang mereka temukan di gedung tersebut karena gadis itulah yang membuatnya sendiri. Dia, atau siapa pun juga sama sekali tidak terpikirkan hal ini sebelumnya karena mereka tidak pernah bertemu orang yang memiliki kemampuan untuk membuat senjata begitu saja dari udara kosong sepertinya.
"Pelurunya," ucap Bruce tiba-tiba.
Tim terkesiap. "Huh? Peluru?" ulangnya kebingungan, tapi kemudian dia mengusap wajah dan tersadar kalau dia melamun di tengah penyelidikan mereka.
"Peluru yang digunakan untuk membunuh pria yang kita interogasi bukan peluru dari sniper yang ada di lokasi kejadian." Bruce menjelaskan, layar hologram terpampang di depannya, menunjukkan dua buah barang bukti. "Model peluru dan sniper-nya berbeda," katanya.
"Gadis itu yang menembaknya," kata Tim, matanya memicing, suaranya penuh keyakinan. "Dia juga bisa membuat peluru, dan selama ini dia ada di sana untuk membungkam pria tersebut."
Bruce mengangguk, lalu dia menampilkan gambar sebuah pin yang berhasil mereka temukan di gedung itu. "Seperti namanya, tampaknya dia punya dendam dengan Black Water. Dia ingin menghancurkan mereka, tapi dia tidak ingin siapa pun tahu tentang keberadaannya." Dia jeda sejenak, memijat batang hidungnya sambil menghela napas. "Kita tidak tahu siapa yang jahat, kita juga tidak tahu siapa yang akan melakukan apa. Tapi membunuh bukan jawabannya."
Tim hanya bisa terdiam, lagi. Gadis itu sudah membunuh banyak orang dalam satu malam. Meski tidak ada siapa pun yang tahu tentang korban-korbannya, dia secara otomatis menjadi penjahat dalam pandangan semua orang karena orang baik tidak membunuh. Apalagi tentang pekerjaannya sebagai seorang assassin yang memiliki banyak klien yang rela membayarnya berapa pun demi menghabisi nyawa seseorang dan fakta kalau dia juga merupakan metahuman dengan kemampuan yang melampaui manusia. Bruce sama sekali tidak menyukainya.
Tim memusatkan fokusnya pada layar, memperhatikan hologram yang menampilkan pin tersebut secara detail dari berbagai sisi. Sebuah pin logam perak berbentuk bulat dengan logo dua segitiga dan gelombang air, sebuah pin yang merupakan lambang dari organisasi rahasia bernama Black Water, organisasi yang pernah menculiknya.
"Dia berbahaya," ucap Bruce serius.
Tim mengalihkan pandangannya pada potret gedung tempat kejadian perkara serta potret mobil yang ditinggalkan begitu saja tanpa jejak. Dia tahu pasti kalau gadis itu berbahaya. Entah apa yang dia inginkan, entah apa yang dia rencanakan, entah berapa banyak lagi nyawa yang akan hilang di tangannya. Demi apapun, dia seorang metahuman. Dia kebal serangan pistol, bahkan senapan mesin sekalipun—meski memar yang ada di kakinya masih terasa tidak masuk akal, dan dia juga tidak bisa berhenti memikirkan tentang hal itu.
"Aku harus pergi," sambung Bruce, memecah keheningan. "Kerjakan tugasmu, ada yang harus kulakukan," katanya, dia memutar tubuh dan mulai berjalan menjauh.
Tim mengusap wajah sambil menjawab 'ya' singkat. Matanya mengikuti pergerakan Bruce yang menaiki Batmobile dengan perasaan tidak puas dan pergi dari sana tanpa mengatakan apa pun, meninggalkannya seorang diri. Dia terdiam selama beberapa saat, memikirkan apa langkah selanjutnya yang harus dia lakukan. Tangannya terulur pada keyboard, siap untuk mengetikkan beberapa kata kunci. Dia bisa mencoba mencari sesuatu, seperti—
"Kau kemana saja, Tim!?"
Tim tersentak kaget untuk yang kedua kalinya hari ini begitu dia tiba-tiba mendengar teriakan melengking yang menggema di dalam Batcave yang sepi. Ketika dia memutar kepala, dia dapat melihat Batgirl, atau yang bernama asli Stephanie Brown, sekaligus mantan pacarnya, sedang berlari masuk sambil berseru panik, ekspresi wajahnya terlihat cemas.
"Kau melawan metahuman, dan kau tidak memberitahu kami—tidak memberitahuku!?"
Stephanie langsung berkacak pinggang begitu mereka berdua berdiri saling berhadapan. Dahinya berkerut, bibirnya mengerucut. Sementara itu, Tim diam-diam menghela napas pasrah. Tentu saja ini akan terjadi, dan untungnya dia sudah siap mendengar omelan darinya.
"Aku tidak apa-apa, Steph, hanya sayatan kecil," jawab Tim, mencoba untuk terdengar meyakinkan.
"Hanya sayatan kecil, huh?" Kali ini Stephanie melipat tangannya di depan dada. "Apa aku harus lega karena dia tidak melukaimu separah itu?" Suaranya terdengar sedikit mencemooh, tapi setelahnya dia mengerang frustasi. "Demi apa pun, Babs bilang ada racun di dalamnya!"
"Ya, racun dosis kecil." Tim berkata sambil mengangkat kedua bahu, "Efeknya sama seperti suntikan penenang, melumpuhkan tapi tidak membunuh. Aku sungguh baik-baik saja," katanya.
"Tapi kau bisa saja mati!" Stephanie berargumen.
"Tapi aku tidak mati, 'kan!?" Tim tidak mau kalah.
Stephanie semakin cemberut, dia ingin terus menceramahi dan memarahi temannya itu karena bertindak ceroboh tanpa mengabarinya sama sekali, tapi dia lebih memilih untuk bungkam.
"Aku hanya khawatir," gumamnya pelan, kemudian perhatiannya beralih pada layar Batcomputer yang tidak pernah berhenti bekerja. "Bagaimana kasusnya?" tanyanya.
"Belum ada kemajuan," jawab Tim pahit, singkat, padat, dan tidak jelas.
Jarinya bergerak di atas keyboard, menunjukkan beberapa hal yang dia dan Bruce telah temukan. Informasi tentang gedung tempat kejadian perkara, pin dengan logo asing, sebuah nomor telepon, dan hasil analisa dari belati serta peluru yang pernah gadis itu pakai.
Stephanie memandangi layar tanpa berkedip, dia merasa kagum, tapi juga gelisah. Matanya melekat pada potret gadis berambut biru tua pendek dan bermata emas tajam yang tertangkap oleh kamera pengawas setengah jam yang lalu, saat kedua vigilante tersebut bertarung sekuat tenaga untuk menjatuhkan sosok mematikannya.
"Siapa sebenarnya gadis yang sedang kau kejar?" tanyanya penasaran. Seperti semua orang, dia juga tidak pernah mendengar apa pun tentangnya sampai hari ini.
"Aku tidak mengejarnya, aku tidak suk—" Tim cepat-cepat berdeham, dia hampir saja salah tangkap. "Vendetta," jawabnya sambil mengusap wajah. "Assassin, metahuman, kriminal."
Jawaban tersebut sebenarnya tidak membantu sedikit pun, tapi Stephanie tahu kalau Tim sudah—dan akan—melakukan segala yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang semua orang inginkan demi keamanan penduduk Gotham. Dia mengerutkan dahi, memikirkan sesuatu dalam benak selama beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk mengerti.
"Apa yang lain sudah tahu tentang hal ini?" tanyanya sambil mengalihkan pandangan pada Tim.
Tim mengangguk ragu. "Mereka tahu kalau aku dan Bruce sedang menginvestigasi pelaku pembunuhan dari kasus ini. Tapi, untuk selebihnya, tidak," ucapnya sambil menggelengkan kepala. "Yang lain sibuk. Aku akan memberitahu mereka nanti."
Perhatian Stephanie kembali teralih pada layar. Dia memutar rekaman kejadian tersebut beberapa kali, matanya memperhatikan dengan seksama bagaimana gadis itu menahan segala serangan peluru yang datang, bagaimana dia bertarung seorang diri dengan tangan kosong melawan beladiri milik The Dark Knight dan Robin, serta bagaimana dia menciptakan belati dan pedang dari udara kosong dalam genggamannya.
"Wow, tapi kekuatan supernya keren sekali," komentar Stephanie ceria.
"Keren, sih, keren. Sampai kau melawannya sendiri."
Tim otomatis memasang wajah datar. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana belati itu menyayat kulitnya, menimbulkan rasa perih, lumpuh, serta mati rasa hanya dalam waktu hitungan detik. Sangat tidak menyenangkan, dan dia tidak akan pernah mau untuk mengalaminya untuk yang kedua kalinya. Melihat reaksi yang sudah bisa dia diperkirakan, Stephanie tertawa kecil, yang segera dibalas oleh sebuah dengusan halus.
"Di mana Cass?" tanya Tim. Dia memang ingin mengalihkan topik, tapi dia juga penasaran.
"Huh?"
Stephanie sontak mendongak, kemudian dia memutar kepala untuk melihat ke sekitar, mencari sosok temannya. Ekspresinya seketika berubah kebingungan, seolah dia kehilangan sesuatu.
"Kukira dia mengikutiku ke sini ...," gumamnya.
* * *
Tidak ada nama yang bisa ditemukan untuk bertanggungjawab atas gedung tempat pembantaian tersebut. Tempatnya dibiarkan begitu saja, seolah organisasi rahasia bernama Black Water itu sengaja melakukannya demi menyembunyikan keberadaan mereka. Tapi dengan bantuan Bruce dan Barbara, investigasi Tim jauh lebih mudah. Meskipun rumit dan membutuhkan banyak sumber, mereka bisa menelusuri berbagai informasi tentang gedung itu hingga ke akar-akarnya. Mulai dari sejak kapan itu didirikan, kapan itu dihuni, struktur bagian dalam, kegunaan setiap ruangan, hingga letak strategisnya dengan berbagai tempat di Gotham.
Malam datang, Tim bersiap untuk memulai aksinya. Dia berdiri tegak di atap sebuah gedung, seperti biasanya. Jubahnya berkibar tertiup angin dingin yang berhembus, tapi tekadnya tidak pernah goyah. Pandangannya menatap lurus ke bawah, memperhatikan gedung bertingkat lain yang menjadi incarannya. Dia berhasil menghubungkan dan mengikuti segala petunjuk yang pada akhirnya membawa dirinya ke tempat ini. Menemukan gedung tanpa pemilik di Gotham bukanlah hal yang sulit, yang sulit adalah melawan orang-orang yang ada di dalamnya.
"Ada yang aneh denganmu, Tim," ucap Barbara tiba-tiba lewat earpiece-nya. "Apa hanya perasaanku saja atau kau terobsesi dengan gadis itu?" tanyanya ragu.
"Apa kau bercanda, Babs?" jawab Tim, dia tidak bisa menahan diri untuk memutar bola mata. "Aku seperti ini karena kau tahu Bruce sedang berada di luar kota. Jika aku terobsesi, maka dia juga terobsesi." Dia menggelengkan kepala, merasa kalimat yang didengar dari wanita itu teramat konyol. "Dan kau juga tahu kalau aku tidak bisa bersantai. Bagaimana kalau dia membunuh lebih banyak orang lagi? Aku tidak akan membiarkan itu terjadi," katanya.
Barbara menghela napas. "Aku tahu, tapi kau tidak perlu pergi sendiri, kau bisa meminta bantuan. Mungkin Steph? Atau Cass? Atau, aku bisa coba menghubungi Dick dan Jason."
"Untuk sekarang, tidak perlu," balas Tim tegas, menolak tawaran tersebut untuk yang kesekian kalinya. "Aku tidak ingin mereka kenapa-kenapa. Aku yang bertemu dan berhadapan langsung dengan gadis itu dan Black Water, jadi aku yang harus turun tangan sekarang. Lagipula, ini bukan satu-satunya kejahatan yang ada di Gotham yang harus kita tangani," sambungnya.
"Oke, aku mengerti kalau kau tidak ingin mereka kenapa-napa. Tapi, bagaimana denganmu? Aku, dan yang lain juga tidak ingin kau kenapa-napa." Barbara masih mencoba untuk meyakinkannya.
"Aku hanya ingin memastikan, bukan berkelahi mereka," ucap Tim, bersikap keras kepala. "Kita bisa menyerang kalau kita semua sudah yakin, atau mungkin tahu cukup tentang mereka."
Barbara menyerah. "Aku sudah memperingatimu, jangan bilang kalau aku belum," katanya.
"Aku mulai."
Tidak ingin membahas hal itu lagi, Tim menyudahi pembicaraan. Dia menggunakan grapple gun-nya dan berayun mendekat, mencari titik yang sekiranya bagus untuk mengawasi. Dia memusatkan fokus, memperhatikan orang yang berlalu-lalang dan keluar masuk dari gedung tersebut. Beberapa di antara mereka tampak cukup normal, bagai warga sipil biasa yang menjalani hari-harinya. Hingga matanya tanpa sengaja melihat seorang wanita berjas lab warna putih yang berlari keluar dari gedung tersebut dengan terburu-buru.
Tepat saat Tim hendak memindai wajah wanita itu untuk mencari tahu identitasnya, sebuah mobil berwarna hitam tiba-tiba datang dan berhenti di lobi. Mobil itu tampak mewah, catnya bersih mengkilap, modelnya terhitung langka—dia tahu beberapa jenis mobil, dan hal itu membuat seluruh perhatian miliknya tanpa sadar berpindah haluan ke sana. Dia menyipitkan mata, memusatkan konsentrasi. Tidak lama kemudian, seorang pria paruh berjas turun dari mobil, disusul oleh dua pria lain yang tampaknya berperan sebagai pengawal.
Detik selanjutnya, Tim mendapati dirinya membelalakkan mata. Dia terkejut sewaktu menyadari kalau pria itu mengenakan pin yang sama, pin Black Water. Pin tersebut tersembunyi nyaris sempurna di balik kerahnya, tapi melalui kamera pembesar yang terpasang di masker, dia dapat melihatnya dengan sangat jelas.
"Sepertinya aku datang ke tempat yang tepat," gumam Tim, merasa bangga.
"Hati-hati, Tim," respon Barbara.
Tim mengangguk singkat, kemudian dia berayun mendekat, berpindah ke atap gedung tersebut. Matanya tidak pernah lepas dari pria berjas hitam yang kini sedang berbincang dan tertawa bagai orang angkuh pada seorang penjaga. Tapi, tepat saat dia mulai melangkahkan kaki untuk mendapat pemandangan yang lebih baik, dia mendengar sesuatu dari arah belakang. Sebuah bunyi klik halus yang sangat dia kenali. Kepalanya refleks menoleh, dan dia dapat melihat seseorang yang sedang menodongkan pistol padanya dari sisi lain atap.
Apa-apaan ini?
Tim keheranan. Mereka harusnya tidak tahu dia ada di sana. Dia sudah sangat sembunyi-sembunyi, dan Barbara juga tidak memberitahu kalau ada orang yang berada di dekatnya.
Dor!
Dalam sekejap mata, sosok itu menarik pelatuk, berniat untuk mengakhiri semuanya dalam satu tindakan cepat.
"Aaargh!"
Tim mengerang kesakitan begitu serangan tersebut berhasil mengenainya. Untung saja dia sempat menghindar, jadi peluru itu hanya menggores permukaan kulit lengannya. Tidak terlalu dalam, tapi itu cukup untuk membuat jantungnya berdebar panik dan cemas.
"Tim!" Barbara berseru panik.
Sebelum Tim sempat mengendalikan diri dari rasa sakit dan keterkejutannya, sosok itu menarik pelatuk untuk yang kedua kali. Dia menutup mata, siap menerima serangan selanjutnya karena tubuhnya yang linglung tidak memungkinkannya untuk menghindar. Tapi, tepat setelah peluru tersebut ditembakkan, entah dari mana, seseorang tiba-tiba muncul dan menerjangnya.
Tim terjatuh ke tanah dengan benturan yang cukup keras, punggungnya menghantam lantai. Dia menggeliat, mendorong tubuh orang itu sekuat tenaga sampai akhirnya pergerakannya terhenti begitu dia merasakan sesuatu yang aneh di telapak tangannya. Tubuh ramping seorang gadis. Dia refleks membuka mata dan mengerjap tidak percaya begitu melihat bahwa tersangka utama yang menjadi sumber dari segala masalah yang dia miliki sedang berada tepat di atas tubuhnya.
Vendetta.
"Apa yang kau lakukan di sini!? Apa kau sudah gila!?" Gadis itu berteriak kencang.
Tanpa menunggu jawaban, dia segera mengayunkan sebelah tangan, menciptakan sebuah belati yang melesat dengan sangat cepat pada sosok misterius yang sedang menodongkan pistol ke arah mereka. Detik selanjutnya, belati tersebut menancap tepat di bagian dada, membuatnya sempoyongan, dan menumbangkan sosok itu hanya dalam sekali serangan.
"Apa kau membawa pin itu denganmu!?"
Vendetta kembali berseru. Dia mencengkeram erat jubah milik Tim lalu mengguncangkan tubuh laki-laki itu penuh frustasi.
Tim tertegun, dia dapat membaca ekspresi wajahnya yang berkerut serta alisnya yang menukik tajam. Ini adalah kali pertama dia melihatnya kehilangan kendali. Biasanya gadis itu selalu memasang ekspresi santai dan main-main—yang kadang terlewat menyebalkan, yang menunjukkan kalau dia menganggap remeh lawan bicara dalam keadaan genting sekalipun. Seperti saat dia melawan Bruce, atau saat dia mengaku kalau dia telah membunuh seluruh orang yang ada di suatu gedung, seolah tidak ada apa pun yang bisa menggoyahkannya. Tapi, semuanya berubah sekarang, dan dia yakin ini bukanlah pertanda baik.
"Pin itu ada pelacaknya, bodoh!" teriak Vendetta, dia ingin menampar wajah laki-laki itu untuk membuatnya sadar, tapi dia segera mengurungkan niat. "Lihat apa yang terjadi padamu! Mereka sudah tahu kedatanganmu! Mereka menjebakmu!" lanjutnya.
Tim mengernyitkan dahi, tidak menyangka.
"Apa?"
Dia tidak percaya apa yang dia dengar, dan keadaan tidak membiarkannya berpikir lebih lanjut. Tampaknya, satu orang yang tumbang bukan berarti semuanya sudah berakhir. Detik selanjutnya, beberapa sosok misterius lain mulai berdatangan. Kali ini mereka tidak menggenggam sebuah pistol, melainkan sebuah senapan berbahaya yang berhasil membuatnya bungkam.
Bagus, sekarang Tim terjebak di antara seorang assassin dan sebuah organisasi rahasia yang mencoba untuk mengakhiri hidupnya.
* * *
Chapter 9: Another Incidents
Chapter Text
"Oke, pertama-tama, sialan."
Vendetta mengumpat begitu orang-orang itu mulai mengelilingi mereka berdua dengan senapan yang tergenggam erat di tangan, seolah tidak akan membiarkannya mendapat celah sedikit pun untuk melarikan diri. Sejujurnya, dia tidak takut sama sekali. Dia kebal serangan senjata, mereka tidak akan pernah bisa melukainya hanya dengan bermodal peluru. Tapi, yang mereka incar bukan dirinya, melainkan Robin, dan Robin hanya manusia biasa.
Gadis itu berguling ke samping, beranjak dari atas tubuh Tim, kemudian bangkit berdiri dan mengepalkan tangan erat-erat. Mata emasnya memicing, memperhatikan musuh yang berjajar membentuk lingkaran sambil menodongkan senapan. Kalau dihitung, ada sekitar tujuh orang. Sejak kedatangannya, mereka belum melakukan apa pun untuk menyerang, seolah sedang menunggu sesuatu untuk terjadi. Mencurigakan, apa mereka tidak menduga kemunculannya?
"Kalau kau tidak ingin mati, pergi dari sini sekarang," ucap Vendetta pada Tim, suaranya dingin, menandakan kalau dia benar-benar serius.
Mengabaikan rasa sakit yang ada di lengannya, Tim menegakkan tubuh dan bertumpu pada kedua kaki. "Apa mereka mencoba membunuhku?" tanyanya, mengerutkan dahi heran.
"Ya, pintar. Itu yang kukatakan tadi." Gadis itu dibuat mendengus, nyaris memutar bola matanya. "Sudah kubilang, hentikan pencarianmu tentang mereka, atau tentang menangkapku. Ini demi kebaikanmu sendiri karena berbahaya dan kau bisa mati. Tapi tampaknya kau tidak bisa menuruti perkataanku sama sekali!" katanya, dia menggerutu tidak suka.
Tim tentu saja tidak terima. "Aku tidak—"
Dor! Dor! Dor!
Belum sempat dia melanjutkan kalimatnya, serentetan peluru tiba-tiba menghujani keduanya. Tim melompat ke samping, menghindar, lalu menarik jubahnya untuk melindungi diri dari beberapa peluru yang terlalu cepat untuk dia hindari. Beberapa bagian jubahnya rusak, tapi setidaknya tidak ada peluru yang berhasil lolos dan melukainya. Setelah itu, dia memutuskan untuk menggunakan tongkat dan menjatuhkan musuh yang dalam berada jangkauannya.
Sementara Tim melancarkan serangan balasan sekaligus menghindari serangan, Vendetta mengayunkan tangan, menciptakan beberapa belati dari udara korong yang melesat sangat cepat ke titik vital mereka. Belati tersebut menancap di dada dengan akurasi tinggi, membuat mereka mengerang kesakitan, dan pada akhirnya satu per satu mulai terjatuh ke tanah.
"Kau membunuh mereka!" teriak Tim, dia secara refleks meraih lengan gadis itu, berniat menahannya. "Kau tidak perlu melakukannya!"
"Tentu saja aku membunuh mereka," jawab Vendetta tidak terkesan, seolah itu adalah hal yang sudah pasti. Kemudian dia menarik lengannya, membebaskan diri dalam sekali hentakan. "Kau pikir pukul dan tendang saja akan menghentikan mereka untuk membunuhmu? Kau pasti bercanda, Robin. Ini bukan dunia fantasi." Dia menggelengkan kepala, merasa konyol.
"Tapi—"
Tim menggigit bibir, dia berdiri bungkam dengan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Dia tahu itu, dia tahu kalau perkataan gadis tersebut tidak sepenuhnya salah. Tapi, dia tidak ingin mempercayainya, dia tidak boleh mempercayainya. Itu bukan jalan yang dia pilih selama ini.
"Kalau begitu, aku juga harus menjatuhkanmu," ucap Tim, suaranya penuh kepastian.
Vendetta mencibir. "Hentikan mereka yang ingin membunuhmu atau hentikan aku yang ... aku tidak tahu." Dia mengangkat kedua bahu acuh tak acuh. "Aku yang sekarang sedang bicara dengan damai padamu dan memberimu reality check? Pilihanmu," jawabnya enteng.
Tim mendengus, dia memang selalu berhasil dibuat mendengus dengan sikap gadis itu sejak mereka pertama bertemu. Pada akhirnya, dia hanya bisa mengepalkan tangan sambil memalingkan wajah, memandang tubuh-tubuh yang perlahan kehilangan nyawa di bawah kakinya. Pikirannya tidak luput dari satu hal. Tidak cukup untuk menculik dan menyiksanya, ternyata mereka menjebaknya dan ingin membunuhnya sekarang. Bagian terburuknya, dia tidak tahu alasannya kenapa, dan itu membuatnya frustasi. Tapi, apa pun yang terjadi, membunuh masih bukan jalan yang akan dia pilih. Dia tidak pernah dan tidak akan pernah mengambil nyawa seseorang demi memerangi kejahatan, tidak seperti gadis itu.
Pandangan Tim kembali pada Vendetta. Matanya menyipit, alisnya berkerut, dan bibirnya menipis, dia mencoba untuk tidak kehilangan kendali dan tetap berpikir rasional serta logis. Komunikasinya dengan Barbara terputus, dia tidak mendengar suara wanita itu sejak beberapa menit yang lalu. Suasana bertambah buruk. Di sisi lain, Vendetta tidak mengatakan apa pun dan hanya membiarkan mata mereka saling bertemu. Gadis itu tahu arti dari tatapan tersebut, dia sering menerimanya dari orang lain, dan itu menimbulkan rasa tidak nyaman dalam hatinya.
"Demi apa pun mereka orang jahatnya, Tim," ucapnya seraya menahan napas, diam-diam berharap kata-katanya bisa mengubah pikiran seorang vigilante yang berada di hadapannya.
"Lalu, kau bukan orang jahat?" Tim balik bertanya dengan nada mengejek, ekspresinya masam.
Vendetta menepuk jidat dan menggelengkan kepala, malas menanggapi dengan kata-kata.
"Kau membunuh mereka semua hari itu, apa kau sudah lupa!?" Tim berkata seolah dia tidak percaya, dia menggertakkan gigi sambil menunjuk tubuh tidak berdaya yang ada di bawahnya dengan tongkat. "Dan sekarang kau membunuh lebih banyak lagi, aku tidak tahu apa yang kau—"
"Awas!" Vendetta tiba-tiba berteriak.
Dor!
Dengan refleks yang cepat, dia melompat ke arah Tim, mendorongnya keras ke samping. Tim hampir terjatuh, tapi dia dapat menjaga keseimbangannya. Sebuah peluru melesat melewati keduanya. Ternyata salah seorang dari musuh masih sempat menggenggam senapan dengan seluruh tenaga yang tersisa dan melancarkan serangan terakhir. Entah apa yang akan terjadi kalau gadis itu tidak menyadarinya lebih dulu, mungkin dia akan ikut terkapar di lantai. Tapi, tentu saja sang Robin tidak akan mau mengaku kalau dia lega dibantu oleh seorang kriminal.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri, trims," ucap Tim, dia mengerucutkan bibir seraya menepuk kostumnya yang berdebu dan mengeratkan genggamannya pada tongkat.
Vendetta otomatis memasang ekspresi datar. "Kata orang yang hampir saja punya peluru bersarang di kepala," responnya malas.
Tim mendengus, untuk yang kesekian kalinya. Dia mengusap wajah, gadis ini ternyata lebih menyebalkan dari yang dia kira. Dari ujung matanya dia dapat melihat Vendetta menatapnya intens, seolah dia menunggunya mengatakan sesuatu, seperti membantah kalimatnya hingga mereka bisa saling mengolok-olok satu sama lain atau apa pun—dia tahu sorot mata itu, dia sering mendapatkannya dari salah satu saudaranya yang sama-sama hobi asal serang, Jason. Tapi, kalau dipikir-pikir, kenapa gadis itu melindunginya? Bukannya mereka berdua musuh?
Tim tidak bisa benar-benar menemukan alasannya, dan tepat saat dia mulai mempertanyakan apa yang terjadi, beberapa orang kembali berdatangan. Musuh yang sama, yang berniat membunuhnya. Beberapa di antara mereka masih menggenggam senapan, tapi dua orang di antara mereka membawa alat yang berbeda. Sebuah senapan bius. Dari informasi yang dia kumpulkan dalam otaknya, bisa disimpulkan kalau sekarang mereka sudah tahu tentang kedatangan gadis itu dan kemampuannya yang membuat dia kebal senjata, jadi mereka membawa senapan bius untuk melumpuhkannya. Ini tidak bagus.
"Kalau kita tetap di sini, kita bisa mati. Ini wilayah kekuasaan mereka, kita yang dirugikan." Vendetta membuka mulut, dia melangkahkan kaki, memposisikan dirinya di depan Tim, seolah menjadi penghalang di antara kedua belah pihak. "Dengar, aku punya rencana," katanya serius.
"Aku juga punya rencana," balas Tim tidak mau kalah sekaligus berusaha untuk tetap tenang.
"Rencanamu pasti bodoh, dan itu pasti melibatkan penangkapanku," tuduh gadis itu.
"Ya, rencanaku adalah pergi dari sini dengan selamat dan menangkapmu," ucapnya, mengakui.
"Sudah kuduga. Tapi rencanaku lebih keren." Vendetta juga tidak mau kalah.
"Rencanamu untuk membunuh mereka semua maksudnya?" sindir Tim.
Dor! Dor! Dor!
Hujan peluru lagi-lagi berdatangan. Tim refleks menghindar, sementara Vendetta menahan segala serangan dengan tubuhnya sambil menciptakan sebuah pedang dalam genggaman tangan—pedang berwarna hitam yang dia gunakan untuk menghancurkan Batmobile. Gadis itu berlari ke arah musuh, kemudian menebaskan pedangnya dengan sangat cepat, memotong senapan tersebut satu persatu menjadi dua bagian. Sebagai sentuhan akhir, dia kembali menciptakan belati dan melemparkannya dengan tepat sasaran ke titik vital milik musuh.
Tim mengayunkan tongkat, sesekali menggabungkan serangannya dengan tendangan serta pukulan yang tidak kalah kuat. Keduanya berhasil melucuti senjata mereka, tapi di antara peluru yang tengah ditembakkan, ada sebuah suntikan bius yang sedang melesat dalam kecepatan tinggi, mengarah ke seorang gadis yang sedang bertarung bersamanya.
"Awas!" Kali ini Tim yang berteriak.
Dia berlari ke arah Vendetta, kemudian menarik rompi yang dia kenakan. Tubuh mereka bertabrakan, tapi gadis itu berhasil selamat dari serangan tersebut. Mentang-mentang dia kebal senjata, jadi dia maju dengan sembrono dan asal serang tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Tim hanya bisa menggelengkan kepala, kecerobohannya sama sekali tidak membuat segalanya lebih baik. Dia tidak tahu dan tidak mau membayangkan apa yang terjadi kalau dia tidak sempat menariknya, mungkin dia akan melawan ratusan peluru seorang diri dan berakhir mati.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri, trims," ucap Vendetta, meniru gaya bicara Tim beberapa menit yang lalu sambil menarik diri darinya, membuat jarak.
"Kata orang yang hampir saja pingsan karena obat bius." Tim juga ikut meniru gaya bicaranya.
Vendetta ingin menyentil dahinya dengan jari, tapi tidak sempat karena serangan lain datang silih berganti. Sekelompok orang itu masih tidak mau menyerah, meskipun beberapa rekan mereka sudah terkapar tidak berdaya di atas lantai, mereka tetap berpegang teguh pada tujuan utamanya untuk membunuh Robin. Tipikal organisasi rahasia, mereka akan melakukan apa pun, bahkan mengorbankan nyawa satu sama lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Dari ujung matanya, Vendetta dapat melihat kalau Tim mulai kelelahan. Keringat mengucur deras dari dahinya, dadanya naik turun, dan napasnya tidak karuan. Bagi seorang vigilante sepertinya, melawan segelintir penjahat seorang diri adalah hal yang biasa. Tapi tidak sebanyak ini. Mereka terlalu banyak, seolah tidak akan pernah ada habisnya. Satu jatuh maka satu lainnya datang, bagai robot yang bisa digantikan kapan pun. Mau tidak mau, gadis itu terpaksa memutar otak, memikirkan jalan keluar demi lolos dari situasi yang sangat tidak menguntungkan ini.
"Apa kau bisa menyetir?" tanya Vendetta sambil melemparkan belati ke berbagai arah.
"Menyetir?" Tim menoleh padanya, menaikkan sebelah alis.
"Ya, menyetir." Gadis itu mengangguk.
"Untuk apa?" tanyanya.
Vendetta menggeleng, terlalu malas dan tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan. Sehabis melancarkan serangan terakhir yang cukup mematikan dan sukses mengalahkan tiga orang pria kekar berjas yang menembakkan peluru tanpa henti, dia melesat dengan sangat cepat ke arah Tim dan mencuri sebuah grapple gun yang tersimpan dengan sempurna di sabuknya.
"Hey!" Tim memekik tidak terima, tangannya terulur, berusaha merebut kembali grapple gun miliknya yang dirampas tanpa izin.
Vendetta menghindar dengan gesit, membuat usaha perebutannya gagal total. Dia punya rencana yang menurutnya sangat brilian, dan dia tidak akan membiarkan seseorang mengacaukannya, termasuk Tim. Tanpa perlu menunggu lebih lama lagi, dia segera menembakkan grapple gun itu ke sebuah arah yang telah menjadi perhitungannya.
"Pegangan yang erat, boy," ucapnya.
Tim, yang merasa jengkel sekaligus heran, tidak sempat bereaksi ketika Vendetta tiba-tiba berlari ke arahnya. Tanpa aba-aba, gadis itu melingkarkan tangan pada bagian atas tubuhnya, kemudian menyeretnya pergi bersamanya. Mereka melompat bersama-sama dari atas sana, dari atap sebuah atap gedung bertingkat tujuh, dengan kecepatan penuh. Serentetan peluru tidak kunjung berhenti menghujani mereka, tapi usaha tersebut berakhir sia-sia.
Vendetta mengeratkan dekapannya, berniat untuk melindungi sekaligus menopang tubuhnya, sementara Tim berteriak kencang bagai orang gila. Untung saja grapple gun miliknya mampu menahan berat badan mereka, jika tidak, mungkin rencananya akan gagal.
Keduanya menukik turun dan mendarat dengan cukup keras di samping sebuah truk pickup dengan bak belakang terbuka, membuat orang-orang yang sedang berlalu-lalang di sekitar terkejut dan berlari pergi meskipun tidak tahu apa-apa. Gadis itu tidak terlalu peduli. Persetan dengan sembunyi-sembunyi, sejak awal, dia sudah membuat kekacauan besar yang membuat aksi pembunuhannya berada di halaman utama koran dan ditayangkan tanpa henti di televisi.
"Apa kau gila!?" Tim menjerit panik seolah jiwanya telah tersedot habis.
"Jangan dramatis," ucap Vendetta datar, tidak tertarik dengan reaksinya.
Setelahnya, Tim mendorong tubuh gadis itu untuk menjauh, dan mulai mengomel kalau tindakannya sangat ceroboh dan berbahaya. Dia tidak suka, dan dia tidak akan pernah mau melakukannya lagi dengannya sekalipun mereka berada dalam kondisi terdesak. Tapi sang lawan bicara tidak mau repot-repot mendengarkan, dia malah membuka pintu truk pickup tersebut dan menarik keluar sopir yang ada di dalamnya begitu saja.
"Apa yang kau laku—hey!"
Lagi-lagi, tidak ada kesempatan bagi Tim untuk memprotes. Vendetta langsung mendorong tubuhnya masuk ke belakang kemudi dan membanting pintu dengan kencang, sama sekali tidak membiarkannya memiliki kesempatan untuk kabur. Kemudian gadis itu berjalan memutar dan duduk di kursi penumpang, menempatkan diri di sampingnya dengan wajah tanpa dosa.
"Kalau kau tidak ingin terbunuh, kita harus bekerja sama," ucapnya tidak main-main.
Tim merasa konyol. "Bekerja sama? Denganmu?" tanyanya, mengernyit.
"Ya, kau tidak punya pilihan lain." Vendetta mengangguk yakin, lalu dia menunjuk setir. "Cepat jalankan mobilnya, kita pergi dari sini," titahnya.
Tim mengerang sambil memutar bola mata. Apa yang dia harapkan? Tentu saja gadis itu akan menyuruhnya—memaksanya—untuk menyetir, itulah kenapa tadi dia tiba-tiba bertanya apakah dia bisa menyetir atau tidak tanpa penjelasan apa pun. Harusnya dia sudah bisa menebaknya. Tapi, seriusan? Melarikan diri dengan truk pickup?
"Rencanamu payah," gumamnya pelan, untung saja gadis itu tidak mendengarnya.
Tim sebenarnya ragu, apakah dia harus menuruti omongannya atau tidak. Vendetta adalah gadis yang selama ini dia incar, musuhnya, seorang buronan, seorang pelaku kejahatan, seorang assassin, sekaligus metahuman berbahaya yang memiliki kekuatan super mematikan serta kemampuan bertarung yang jauh melampauinya. Tapi, dia tidak bisa mengabaikan fakta kalau gadis itu telah melindunginya, mereka berdua bahkan bertarung bahu membahu dengan sangat baik, bagaikan sebuah tim.
Ah, persetan. Pada akhirnya, sekelompok orang dengan senapan yang terus berdatangan dan menembaki pintu mobilnya membuat dia langsung tancap gas dan pergi dari sana, melaju di jalan malam Gotham.
"Kalau kau tahu sesuatu, tentang kenapa mereka ingin membunuhku, sebaiknya kau katakan sekarang," ucap Tim, nadanya terdengar menuntut. Dia ingin sebuah penjelasan detik ini juga.
"Aku tidak tahu." Vendetta hanya bisa mengangkat kedua bahu. "Justru itu yang membuatku bertanya-tanya," katanya. "Masalah apa yang kau buat dengan mereka, Tim?"
Tim terdiam, dia juga tidak tahu. Dia bahkan belum pernah mendengar apa pun tentang Black Water hingga dia menemukan pin tersebut. Pada hari dirinya diculik, dia sempat mengira kalau mereka hanyalah sekelompok orang rendahan payah yang membenci vigilante, bukan organisasi rahasia yang memiliki banyak pasukan rahasia dan senjata seperti ini. Mungkin ada sesuatu yang dia lewatkan dalam penyelidikannya, tapi dia tidak terlalu yakin apa itu.
"Ti-Tim, apa yang—mundur—datang!" Suara Barbara tiba-tiba kembali terdengar lewat earpiece-nya.
Tim terkesiap. "Oracle?" Matanya berkedip. "Masuk! Oracle!" dia berseru, berharap wanita itu bisa mendengarnya.
"Mereka—kau lakukan—mati!"
Suara Barbara terdengar putus-putus. Tim tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang wanita itu katakan. Sepertinya dia menyuruhnya untuk mundur dan memperingatinya kalau semua ini sangat berbahaya dan dia bisa saja berakhir mati. Tapi, pihak musuh yang tidak kalah cerdik berhasil mengganggu jaringan komunikasinya dan membuat dia memukul setir frustasi.
"Mereka lebih pintar dari dugaanku," dia bergumam, geraman halus lolos dari bibirnya.
"Tentu saja," sahut Vendetta mengkonfirmasi. "Kau pikir kenapa selama ini mereka tetap tidak terendus sedikit pun?" katanya, tidak terkesan.
Tim tidak merespon, dia menyetir dengan konsentrasi penuh sambil menyusun beberapa rencana sekaligus kemana dia akan membawanya pergi.
Truk yang mereka tumpangi membelah jalanan malam yang masih ramai, tiga buah mobil berwarna hitam mengikuti mereka dari belakang dengan kecepatan yang tidak kalah ekstrim. Sementara yang lain fokus menyetir, pria yang duduk di kursi penumpang menjulurkan badan keluar dari jendela dan mulai menembakkan ratusan peluru. Keduanya hanya bisa berharap kalau truk yang mereka naiki bisa bertahan lebih lama lagi menerima serangan tersebut.
BRAK!
Vendetta dan Tim terhempas ke depan, kepala nyaris terbentur ke dashboard begitu sesuatu tiba-tiba menabrak bagian belakang truk dengan sangat keras, membuatnya nyaris kehilangan keseimbangan. Untung saja Tim pandai mengemudikan kendaraan beroda empat sejak dia pertama kali menjadi Robin, jadi dia kembali memegang kendali, menghindari kecelakaan.
"Apa itu!?" Vendetta berseru panik.
Ketika dia menoleh ke kaca spion, dia dapat melihat salah satu mobil yang mengejar mereka berada tepat di belakangnya. Hanya berjarak beberapa puluh senti, dan kemungkinan besar akan menghantamnya lagi sebagai sebagai bagian dari rencana untuk menggulingkan mereka.
"Menyetir lebih cepat, Tim!" pekiknya kencang.
"Aku mencoba!" sahut Tim sama-sama panik, tangannya semakin menggenggam erat setir. "Kau juga sebaiknya lakukan sesuatu yang berguna!" katanya.
Vendetta mengerang, tapi setelahnya dia ikut menjulurkan badan keluar dari jendela. Dia hendak menggunakan kekuatan supernya dan mengayunkan tangan ketika dia melihat seorang gadis asing berambut pirang bergelombang yang sedang merangkak di bagian depan mobil tersebut dengan tangan yang berhasil menggapai pintu bak truk yang sedang mereka tumpangi. Dia memicingkan mata, memperhatikan pergerakannya, menganalisis apa yang dia lakukan. Ternyata bukan menggapai, tapi lebih tepatnya menghancurkan. Karena begitu gadis pirang tersebut mencengkeram dan menariknya tangannya, pintu bak itu rusak dan lepas begitu saja.
"Metahuman." Mata Vendetta seketika melebar. "Yang menyerang kita kali ini adalah metahuman!" teriaknya.
Tim yang mendengar hal tersebut ikut membelalakkan mata, merasa kalau dia bisa gila.
"Apa kau serius!? Katakan kalau kau hanya bercanda!" serunya, menolak kenyataan.
Vendetta tidak sempat berkata-kata. Sebelum dia menyadarinya, gadis berambut pirang itu sudah melompat ke arah truk yang melaju sangat cepat dengan jari-jari yang bersinar, memercikkan sesuatu yang berwarna putih kebiruan samar dan menyerupai arus listrik.
"Oh, man." Vendetta bergumam pasrah.
* * *
Chapter 10: Head Under Water
Chapter Text
Malam hari di Gotham, jalanan masih tampak ramai. Banyak orang yang berlalu-lalang pulang dari kantor, atau bahkan baru berangkat untuk bekerja di dunia malam. Truk yang Vendetta dan Tim tumpangi melesat bagai kilat di jalan, berbelok menghindari rintangan, dan melaju dengan kecepatan penuh demi menghindari ketiga mobil berwarna hitam yang sedang mengejar mereka habis-habisan sejak terakhir kali keduanya melarikan diri dari atap gedung tersebut.
Suasana berubah genting ketika salah satu dari mobil itu hampir berhasil menyusul mereka, ditambah lagi oleh kehadiran mengejutkan dari seorang gadis berambut pirang dengan jari bersinar yang tampaknya memercikkan aliran listrik. Kini, gadis itu melompat ke arah mereka, mendarat di bak dengan keras, membuat badan truk hampir kehilangan keseimbangan lagi.
"Metahuman apa? Metahuman siapa!?" tanya Tim panik, dia ingin menoleh ke belakang, tapi pandangannya harus tetap lurus ke depan atau mereka akan sampai ke dunia lain.
"Aku tidak tahu!" Vendetta menggelengkan kepala dengan cepat, kemudian dia membuka kaca jendela dengan terburu-buru. "Aku akan mengatasi ini, kau menyetir saja! Bawa kita ke suatu tempat yang bag—yang tepat!" ucapnya tidak jelas sambil menjulurkan tubuh keluar.
Vendetta mendapati jalanan yang mereka lewati tampak samar dalam penglihatannya. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya dengan kasar, membuat matanya menyipit dengan helaian rambut yang semakin berantakan. Tangannya perlahan meraih sisi bak mobil, kemudian dia mulai merayap pelan di sepanjang sisi truk, tidak kunjung menyerah meskipun hampir terlempar oleh kecepatan. Dengan gerakan gesit, gadis itu menghempaskan tubuhnya hingga pada akhirnya dia sukses mendarat dengan mantap di bak belakang.
Vendetta berhasil menjaga keseimbangannya meskipun truk yang mereka tumpangi terus melaju dengan ekstrim. Jantungnya berdegup kencang, kini dia dan gadis berambut pirang itu berdiri berhadapan. Mereka saling bertatapan selama beberapa saat, memikirkan hal yang berbeda di tengah suara gemuruh mesin mobil dan deru angin yang tidak henti-hentinya.
"Senang bertemu denganmu, Vendetta." Gadis itu yang pertama berbicara, dia menyeringai.
Vendetta memperhatikan penampilannya. Rambut pirang panjang bergelombang, mata coklat, syal kotak-kotak merah yang membungkus leher, serta mantel coklat tebal. Pakaian yang aneh untuk musim ini—padahal pakaian sendirinya tidak kalah aneh. Tapi, dilihat dari cara bicara dan bagaimana gadis itu memanggil namanya, sepertinya dia sudah tahu siapa dirinya.
"Apa kau yang dikirim mereka untuk membunuh kami?" Vendetta melontarkan pertanyaan retoris sebagai basa-basi, setelahnya, dia merengut tidak suka. "Metahuman lain, huh?"
Gadis berambut pirang itu tidak merespon, tapi seringaiannya melebar, seolah sudah menanti momen-momen seperti ini dalam hidupnya. Dia mengulurkan tangannya ke samping, percikan yang ada di jarinya membesar, mulai menyelimuti lengan, kemudian menjalar ke sekelilingnya, menciptakan kilatan cara terang yang silau dan membutakan mata. Rambut bergelombangnya mengambang di udara, nada tajam yang mirip dengan suara cambuk yang diayunkan dengan kecepatan luar biasa terdengar begitu percikan raksasa tersebut bergerak tidak beraturan.
Vendetta memicingkan mata tidak suka. Sudah dia duga, mereka pasti akan mengirimkan seseorang yang tidak perlu menggunakan senjata untuk bisa menyerangnya.
"Kekuatannya listrik, Ti—Robin!" dia berteriak, berharap Tim dapat mendengar suaranya.
"Benar." Gadis pirang itu menimpali, mengkonfirmasi asumsinya dengan bangga. "Mereka bilang mereka memasukkan DNA belut listrik ke DNA-ku. Keren, 'kan?" katanya.
Vendetta menaikkan sebelah alis. Keren apanya? Kekuatan super miliknya jauh lebih keren. Selain itu, sepertinya dia akan lagi-lagi berhadapan dengan musuh yang sombong, banyak bicara, dan tidak tahu diri. Dia pernah melawan banyak orang seperti itu dalam pekerjaannya sebelumnya, biasanya mereka hanya besar omong untuk menutupi kemampuannya yang tidak seberapa. Tapi, kali ini mungkin berbeda, lawannya sama-sama metahuman seperti dirinya.
"Ngomong-ngomong aku belum memperkenalkan diri. Namaku Canon," ucap gadis itu.
Nama yang jelek.
"Hei, Canon, tidak senang bertemu denganmu!"
Vendetta berseru sambil melayangkan tinju sebagai upaya untuk melihat seberapa gesit gadis bernama Canon itu menghindari serangannya. Dalam jarak dekat seperti ini, melemparkan belati bukan cara yang paling efektif. Untuk sementara, dia akan memperhatikan, menganalisis gerakan lawan, lalu melihat apa yang akan dia lakukan dengan kemampuan yang dia miliki.
Canon ternyata mengelak dengan sangat mudah. "Giliranku!" serunya.
Dia menjulurkan tangan ke depan, kilatan cahaya putih kebiruan terang bergelombang di sekelilingnya. Vendetta menelan ludah, mempersiapkan diri untuk menghindar atau menangkis segala serangan yang akan terarah padanya. Jangan sampai listrik itu mengenai bagian depan yang sedang Tim tumpangi atau keadaan akan berubah berantakan. Tanpa mempedulikan keadaan yang terjadi di sekitar, di atas bak belakang truk yang sedang melaju dengan kecepatan maksimal, dua orang gadis berkekuatan super itu sudah lebih dari siap untuk melawan satu sama lain.
Dalam sekali hentakan, Canon melepaskan arus listrik yang mematikan ke arahnya. Kilatan cahaya yang menyelimutinya hampir membutakan mata, tapi Vendetta segera mengayunkan tangan, menciptakan sebuah pedang untuk menahan serangan tersebut. Bilah pedangnya yang berwarna hitam bercahaya begitu kedua kekuatan itu beradu. Dia mengeratkan genggaman, mencoba untuk menahannya sekuat tenaga. Tapi, kekuatan listrik yang dilepaskan oleh sang lawan ternyata lebih besar dari yang dia kira, dan jari-jarinya mulai mati rasa.
"Aaargh!"
Vendetta berteriak kesakitan ketika arus listrik bertegangan tinggi menjalar dari bilah pedang menuju tangan, menyetrumnya. Merasa tidak bisa menahannya lebih lama lagi, refleks, dia melemparkan pedangnya entah kemana. Untung saja arus listriknya terbawa pergi oleh pedang tersebut. Sialan, dia lupa kalau senjatanya bisa menyerap juga menghantarkan listrik. Tapi ....
"Bagaimana rasanya? Enak?" Canon mencemooh, seringaiannya tidak pernah luput dari bibir.
"Ya, enak sekali." Vendetta mencibir, mulai tidak tahan dengan ejekannya.
Sebelum gadis pirang itu melancarkan serangan lainnya, dia kembali mengayunkan tangan. Kali ini dia menciptakan senjata yang berbeda dari sebelumnya, tiga buah tombak panjang berwarna hitam berujung tajam yang seolah-olah dapat memotong apa saja yang disentuhnya. Tombak tersebut dilemparkan, melesat, dan membelah udara dengan sangat cepat.
Canon refleks menghindar. "Tidak kena!" ucapnya sambil tertawa, seolah itu lucu.
Tapi Vendetta diam-diam tersenyum penuh kemenangan. Incarannya bukan dia, melainkan ketiga mobil yang masih mengejar mereka, dan rencananya berhasil. Tombak itu menancap satu persatu di tubuh mobil, menghujam tepat ke kap mesin dan menancap dengan keras hingga mengeluarkan suara berderak yang memekakkan telinga. Dua dari mobil tersebut seketika berguling berkali-kali di atas jalanan sebelum akhirnya menabrak trotoar dan teronggok, sedangkan satu yang lainnya tertahan di jalan, tidak bisa bergerak ke mana-mana.
Kali ini Vendetta yang tertawa bangga. Sementara itu, Canon mendecih tidak suka.
"Vendetta!" Tim tiba-tiba berteriak, suaranya bersatu dengan deru angin yang kencang. "Aku punya rencana! Siapkan dirimu! Aku akan membawa kita ke suatu tempat!" ucapnya.
Tim adalah Robin, dan dia tidak menjadi Robin tanpa alasan. Dia mungkin masih muda, tapi otaknya tidak kalah jenius dari Batman. Vendetta mengangguk, menyetujui apa pun rencananya dan mempercayakan hal selain perkelahian padanya. Itu berarti, dia harus mengulur waktu.
"Aku tidak peduli kemana kau akan membawaku, tapi ini belum berakhir!"
Canon mengulurkan tangan, lagi-lagi melontarkan arus listrik bertegangan tinggi pada lawannya. Vendetta menghindar ke samping dalam satu kedipan mata, sekaligus menjaga keseimbangan untuk tetap berpijak di atas bak truk yang melaju dalam kecepatan tinggi. Dia mengepalkan tangan, kemudian melayangkan sebuah tinju yang terkepal kuat padanya.
Tepat saat Canon mengelak ke samping, Vendetta menciptakan sebuah belati di tangannya yang lain, berniat untuk mengiris kulitnya. Tinju tersebut hanyalah sebuah pengalihan perhatian, serangan yang sebenarnya adalah racun mematikan yang ada di belatinya. Tapi, di luar dugaan, gadis berambut pirang itu ternyata dapat menghindari serangannya dengan sangat mudah, membuatnya membelalakkan kedua mata karena seharusnya dia tidak bisa menghindarinya—tidak pernah ada yang bisa menghindarinya!
"Maaf saja, tapi dengan listrik yang kupunya, aku bisa merasakan ion yang ada dalam tubuhmu, jadi menyerangku sambil menggerakan anggota tubuh adalah kesalahan besar!" ucap Canon, menyombongkan dirinya sendiri dengan sangat arogan.
"Oh, begitu."
Vendetta sebisa mungkin mengendalikan ekspresi wajahnya, dia tidak boleh menunjukkan kalau perkataan sombongnya mulai mempengaruhinya. Oke, dia akui kalau kemampuan untuk merasakan ion yang ada dalam tubuhnya sedikit keren dan mungkin akan membuatnya sedikit kesulitan melawan gadis pirang tersebut, tapi itu bukan berarti dia juga tidak punya trik lain.
Angin berderu dalam kecepatan tinggi, menimbulkan suara gemuruh yang mengganggu pendengaran. Kedua gadis itu berdiri berhadapan, tidak ada satu pun di antara mereka yang menunjukkan tanda-tanda menyerah. Canon mengulurkan tangannya, kembali menggunakan kekuatan listriknya untuk menyerang. Saat arus listrik yang besar melesat ke arahnya, Vendetta lagi-lagi menciptakan sebuah pedang dalam genggaman tangan.
Canon siap tertawa akan gerakan sama yang baru saja Vendetta lakukan, yang membuatnya tersengat listrik dan mengerang kesakitan beberapa menit lalu. Tapi, yang terjadi selanjutnya justru berkebalikan, senyumnya seketika memudar dan matanya melebar begitu dia melihat kalau pedang tersebut bisa menahan dan menyerap serangan listrik darinya.
"Bagaimana bisa!?" Canon memekik tidak percaya.
Vendetta menyeringai penuh kemenangan. "Maaf juga, tapi senjataku tidak seperti senjata lain!" ucapnya tidak kalah sombong. "Dengan kemampuanku, aku bisa memodifikasi senjata baru yang kuciptakan. Jadi, sekarang pedang ini tidak lagi menghantarkan listrik bodohmu itu!"
Canon menganga, dia kehilangan kata-kata. Saat itu juga, dia tahu kalau dirinya lah yang dirugikan sekarang. Dia otomatis menggigit bibir, wajahnya berubah kecut. Setelahnya, dia berusaha untuk menyerang, menyerang, dan terus menyerang dengan kekuatan listriknya secara membabi buta. Tapi tidak peduli seberapa besar arus listrik yang dia lontarkan berkali-kali, Vendetta bisa menangkisnya hanya dalam sekali tebasan.
"Sialan, ini tidak lucu." Dia menggeram emosi.
Vendetta ingin mengejeknya jauh lebih parah. Tapi bibirnya terkatup dan dahinya mengernyit heran begitu dia melihat ekspresi Canon tiba-tiba berubah kaget dengan mata yang tidak sempat berkedip ketika dia melihat dan menyadari sesuatu di hadapannya. Penasaran, gadis itu pun memutar kepala untuk ikut mencari tahu apa yang terjadi di depan mereka. Ternyata oh ternyata, truk yang sedang mereka tumpangi melaju keluar jalur, melesat menuju sungai.
"Air," gumamnya.
Benar, ini adalah rencana Tim, dia sengaja membawanya ke sini. Air bisa menghantarkan listrik, dan tampaknya air adalah kelemahan gadis pirang menyebalkan itu.
"Sekarang!" dia berseru.
Sementara Tim melompat keluar dari balik kemudi, Vendetta tahu apa yang harus dia lakukan. Dia cepat-cepat menggenggam pergelangan tangan milik Canon yang hendak melarikan diri dari sana seerat mungkin, sama sekali tidak berniat untuk membiarkannya pergi.
"Lepaskan aku!" teriak Canon sambil memberontak dalam kunciannya.
Truk yang mereka tumpangi meluncur, terjun bebas melewati pagar pembatas yang rendah.
"Lepaskan aku atau kau akan mati!" Dia menggeram kasar.
Vendetta tidak mengatakan apa pun. Dia tahu kalau ancamannya bukanlah sebuah omong kosong belaka, tapi dia tidak peduli. Canon, yang mendapati aksi keras kepalanya, meludah tidak suka. Tanpa berpikir panjang, dia menciptakan alus listrik bertegangan super tinggi menggunakan seluruh tenaga miliknya yang tersisa untuk yang terakhir kali, berniat untuk melumpuhkan lawannya. Tapi, sebelum dia sadar, truk tersebut terjun bebas di udara, kemudian menghantam permukaan air dengan sangat keras.
Kedua gadis itu tercebur ke dalam air, gelombang kejut listrik milik Canon ikut tenggelam bersama mereka, merambat dan menyebar ke mana-mana. Vendetta dapat merasakan sakit di tubuhnya ketika dia tersengat, tapi nafasnya yang tercekat oleh air tidak membiarkannya berteriak ataupun bernapas. Dia dapat melihat Canon yang sama-sama meringis kesakitan, tapi dia tidak akan melepaskan genggamannya, meskipun mereka harus tenggelam bersama.
Canon tampaknya lebih keras kepala dari yang Vendetta kira. Gadis pirang itu tidak kunjung menonaktifkan kekuatannya meskipun mereka berdua tidak bisa mengambil udara dan mulai mati rasa di sekujur tubuh. Akhirnya, dalam sekali hentakan, dia memutuskan untuk meninju wajah gadis pirang itu sekeras mungkin, membuatnya pingsan dengan hidung yang berdarah. Perlahan, listrik yang merambat dari tubuhnya mulai memudar dan menghilang.
Vendetta melepaskan tangan lawannya yang kalah begitu saja dan mulai bergerak, berniat untuk berenang ke permukaan. Tapi sebaliknya, bukannya melaju, yang dia rasakan adalah dirinya yang semakin tenggelam ke bawah. Sedetik kemudian, gadis itu menyadari kalau otot-ototnya lemas, sulit digerakkan, dan semua usahanya berakhir sia-sia karena arus listrik tersebut telah merenggut kendalinya. Perlahan, dia mulai kehabisan napas, gerakan tangan serta kakinya melemah, hingga pada akhirnya terhenti.
"Vendetta!"
Melihat apa yang baru saja terjadi di depan matanya, Tim berteriak panik. Tidak perlu berpikir panjang, dia langsung melompat, menyelam ke dalam air. Dia dapat merasakan sengatan listrik yang menggelitik kulitnya sambil terus berenang, mencari Vendetta yang tampak tidak bergerak dan tidak sadarkan diri. Dengan perasaan yang bercampur aduk, Tim segera merangkul tubuh gadis itu di punggungnya, kemudian mulai membawanya ke permukaan, kembali ke tepi.
"Vendetta! Vendetta!"
Tim mengguncangkan tubuh Vendetta, berharap gadis itu segera bangun. Tidak kunjung mendapatkan respon, dia cepat-cepat mengecek denyut nadinya dengan jari. Terasa lemah, nyaris tidak ada. Dengan panik, dia menempatkan kedua tangan di tengah dadanya lalu mulai melakukan kompresi dengan ritme yang stabil dan cepat. Tapi, itu tidak membuahkan berhasil.
"Please, please ...." Suara Tim bergetar, dia merasa harapannya mulai pudar.
Tidak ada pilihan lain. Tim memutuskan untuk melakukan upaya darurat terakhir yang dia bisa. Dia menutup hidung gadis itu dengan jarinya, mengambil napas dalam-dalam, kemudian memberikan udara dari mulut ke mulut. Penuh kehati-hatian, dia mulai memberikan hembusan napas penuh, memastikan dadanya naik setiap kali dia memberikan napas buatan.
Vendetta seketika tersadar, dia sontak membuka mata sambil meraup udara dengan rakus. Dia terbatuk sebanyak beberapa kali, mengeluarkan air yang sempat masuk ke dalam paru-parunya. Mengerjap, gadis itu mendongakkan kepala. Dia dapat melihat Tim yang duduk di sebelahnya dengan mata yang melebar serta alis yang terangkat. Keduanya saling bertatapan dalam keheningan. dia dapat membaca perasaan campur aduk dalam raut wajah laki-laki tersebut. Takut, khawatir, juga lega. Tapi di antara itu semua, dia dapat melihat sepasang matanya yang berwarna biru cerah, sangat indah.
"Tim ...." Vendetta bergumam pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
Tim ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata apa pun yang keluar dari bibirnya. Dia baru saja menyelamatkan gadis itu seperti bagaimana gadis itu menyelamatkannya dari hujan peluru beberapa menit yang lalu, saat sekelompok orang tersebut berusaha membunuhnya. Tidak, dia tidak melakukannya untuk balas budi atau apa pun yang berarti lebih dari itu. Dia hanya melakukannya karena dia tidak akan membiarkan seseorang mati di hadapannya meskipun mereka adalah seorang penjahat sekalipun. Setidaknya, itu apa yang coba dia percaya.
Vendetta memalingkan wajah darinya, mengerjapkan mata beberapa kali, kemudian bergerak pelan untuk bangkit berdiri. Tim berjaga-jaga, dia diam-diam mengulurkan tangan, pertanda siap menahan tubuhnya barangkali gadis itu terjatuh karena masih dalam keadaan lemas.
"Vendetta ...." Dia jeda sejenak. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.
Vendetta menoleh ke arah Tim. Dia dapat melihat pipinya yang tergores, lengannya yang lecet, buku-buku jarinya yang memerah, serta kostumnya yang kotor akibat meloncat keluar dari truk dan berguling-guling di atas jalanan. Gadis itu menatapnya dalam diam, tapi kemudian tatapan tersebut berubah tanpa ekspresi, sorot matanya sulit dijelaskan. Dia tidak mengatakan apa pun, dia bahkan tidak meringis seolah kejadian yang baru saja menimpanya bukanlah apa-apa.
Saat itu juga, Tim menyadari ada sesuatu yang salah dengannya. Dia penasaran, ingin bertanya, tapi gadis itu sudah lebih dulu membuka mulut.
"Maafkan aku, Tim. Tapi ...," ucapnya.
Tim otomatis menaikkan sebelah alis.
Buk!
Vendetta tiba-tiba memukul kepalanya dengan sangat keras. Tim terhempas ke samping, lalu terjatuh ke tanah dengan cukup kencang. Kepalanya terasa sakit dan berdenyut-denyut. Pukulan tadi tepat mengenai titik lemahnya. Dia mulai kehilangan kesadaran, dan saat kegelapan total hampir menguasainya, dia dapat melihat gadis itu berjalan pergi.
* * *
Tim perlahan membuka mata, kesadarannya terkumpul. Sayup-sayup dia mendengar suara segerombolan orang yang sedang berbincang-bincang, sirine mobil polisi yang silih berganti, merasakan hembusan angin malam yang dingin di kulitnya, kostumnya yang basah kuyup, serta permukaan tanah yang keras, tempat di mana tubuhnya berbaring.
"Tim! Kau bangun! Aku sangat mengkhawatirkanmu! Apa yang terjadi!?"
Tim otomatis mendongak, dia melihat Stephanie yang sedang mengenakan kostum Batgirl serta maskernya sedang berjongkok, menyelaraskan posisi mereka. Dahi gadis itu berkerut, alisnya terangkat, kekhawatiran tergambar sangat jelas di wajahnya. Ketika dia mengarahkan pandangannya lebih jauh, dia juga dapat melihat Cassandra Cain, Batgirl kedua sekaligus saudara angkatnya, yang berbicara dengan seorang petugas GCPD tidak jauh dari sana.
Tim menghela napas sambil mengusap wajah. "Aku baik-baik saja," ucapnya. "Hanya pingsan."
"Hanya pingsan katamu!?" Stephanie tidak mau percaya omongannya.
Tim mendudukkan diri, dia ingat dengan jelas apa yang telah terjadi. Sekelompok orang dari organisasi rahasia bernama Black Water yang berniat membunuhnya, Vendetta yang tiba-tiba datang dan melindunginya, pengejaran ekstrim tiga buah mobil, kehadiran musuh metahuman dengan kekuatan listrik, truk yang meluncur bebas ke sungai, Vendetta yang tenggelam semakin dalam ke air, momen saat dia merasakan denyut nadi gadis itu melemah di ujung jarinya, serta ketakutan kalau dia tidak akan pernah membuka matanya lagi. Segalanya berlangsung dengan sangat cepat, seolah itu semua hanya mimpinya ketika dia tidak sadarkan diri.
Bruce tiba-tiba muncul dari sana, jubahnya yang berwarna segelap malam berkibar. Dia berjalan mendekat ke arahnya dengan langkah yang kokoh. Tatapannya sulit dijelaskan, ekspresinya tersembunyi di balik masker, tapi Tim tahu kalau dia tidak senang dengan kekacauan ini.
"Dengar, Tim, ini bukan salahmu," katanya serius, lebih terdengar seperti permintaan.
Lidah Tim terasa kelu. Firasatnya buruk, teramat sangat buruk dan itu memakannya dari dalam sampai-sampai dia yakin kalau semua bukan hanya sekedar firasat, melainkan kenyataan yang ada di depan matanya. Apa pun yang akan pria itu katakan, dia tidak siap mendengarnya, dia tidak ingin mendengarnya.
Sialan. Sialan. Sialan.
Jangan. Jangan sekarang. Jangan ini.
Bruce terdiam sesaat. Dia tahu kalau ini akan menghancurkannya, tapi bagaimanapun, dia harus mengatakan kebenarannya.
"Gadis itu ...." Suaranya terdengar berat. "Dia membunuh mereka semua, lagi," ucapnya.
Tim dapat merasakan napasnya seolah direnggut dari dadanya, jantungnya seakan diremas.
Sialan.
Dia gagal lagi.
* * *
Chapter 11: Destroying Evidence
Chapter Text
Tim berdiri diam di depan gedung tersebut, tempat di mana pembunuhan terjadi untuk yang kedua kalinya. Keadaan sangat ramai dan entah mengapa terasa lebih menyesakkan dari yang sebelumnya, dari pembunuhan yang pertama. Mobil polisi terparkir hampir di segala sudut, petugas GCPD berkeliling ke sana kemari melakukan olah tempat kejadian perkara, ambulans berjaga-jaga di luar barangkali ada orang yang terluka dan masih bertahan hidup, warga sipil menonton dari belakang garis polisi dengan ekspresi ngeri campur penasaran.
Tim tidak yakin apakah dia ingin melangkah masuk ke sana atau tidak. Dia tidak yakin apakah dia ingin melihat tumpukan mayat dengan genangan darah serta tusukan belati di dada mereka lagi atau tidak. Dia juga tidak yakin apakah dia tidak akan menyalahkan dirinya sendiri atau tidak. Tapi satu hal yang pasti, dia mengepalkan tangannya begitu kencang hingga buku-buku jarinya memutih.
Tidak bisa dipungkiri kalau Tim diam-diam mulai menyalahkan dirinya sendiri. Otaknya terus mengulangi kalimat yang sama. Seharusnya dia bisa mencegahnya, harusnya dia tidak membiarkan hal ini terjadi, bukan menolongnya, bukan menurunkan kewaspadaan dan membiarkannya melarikan diri, lagi. Tapi, dia menggelengkan kepala, menepis pikirannya, tidak ada waktu untuk tenggelam dalam kesedihan. Nyawa banyak orang baru saja direnggut, dan itu jauh lebih penting dibanding apa pun. Sekarang dia harus kembali mencari gadis bernama Vendetta itu, ditambah seorang metahuman lain bernama Canon yang entah bagaimana menghilang dari sana.
"Menurutku kau harus istirahat lebih dulu."
Tim merasakan seseorang menyentuh pundaknya dari belakang, membuatnya sedikit tersentak kaget. Saat dia menoleh ke samping, dia dapat melihat Stephanie yang sedang berdiri di sebelahnya, ekspresi khawatir masih terlihat dengan jelas di wajahnya.
"Kau tahu aku tidak bisa, Steph," jawab Tim, dia perlahan menggeser tangan gadis itu dari pundaknya.
"Tapi, kau baru saja ... dikalahkan?" Stephanie mengerutkan dahinya samar, tidak yakin kalau 'dikalahkan' adalah kata yang tepat, tapi kemudian dia menunjuk tubuh teman dekatnya itu dengan jari. "Kostummu juga masih basah," katanya.
Tim menggelengkan kepala. "Baju basah saja tidak akan bisa menghentikanku." Dia bersikeras.
Stephanie berkacak pinggang. Itu dia, Tim yang selalu keras kepala dan lebih memprioritaskan orang lain daripada dirinya sendiri. Dia sudah mengenal laki-laki itu bertahun-tahun lamanya, dan dia hampir tidak pernah berubah tentang hal ini—bahkan kadang bertambah buruk. Dia sering kali mengabaikan kondisinya sendiri yang pada akhirnya membuat dia berada dalam keadaan serta pilihan sulit. Demi apa pun, dia baru saja melawan sekelompok orang bersenjata, menyelam ke dalam air sungai yang dingin, dan tidak sadarkan diri karena sebuah pukulan keras, semuanya bukanlah hal yang bisa diremehkan. Tapi, ya sudahlah, terserah dia.
"Jujur saja, daripada lelah, kau lebih terlihat kecewa," ucap Stephanie sambil memiringkan kepala, berharap kalau kata-katanya bisa membuat dia sadar kalau ekspresi wajahnya yang sekarang begitu mudah dibaca.
Aku memang kecewa.
Tim ingin mengatakan kalimat tersebut, mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan, tapi dia menelannya bulat-bulat. Sekarang bukan waktu yang tepat, dan sejak kapan dia menjadi tipe orang yang begitu terbuka tentang isi hatinya? Dia tidak bisa seperti ini, dia tidak boleh seperti ini. Hingga pada akhirnya, menyingkirkan sekaligus mendorong jauh semua perasaannya adalah jalan yang dia pilih sekarang.
"Ayo, Steph," ucap Tim. Tanpa menunggu jawaban, dia melangkahkan kaki dari tempatnya berdiri.
Stephanie menaikkan sebelah alis. Dia ingin melontarkan beberapa pertanyaan yang masih belum terjawab, atau mungkin menjahilinya sedikit agar suasana sedikit mencair, tapi dia memutuskan untuk membungkam mulut dan mengekorinya dari belakang.
Kondisi gedung saat ini tidak berbeda dari gedung tempat pembunuhan yang pertama. Mayat-mayat, belati-belati, darah, serta barang bukti yang harus dicari. Satu hal yang berbeda adalah letaknya tidak berada di sudut Gotham yang sepi dan kumuh seperti gedung sebelumnya. Jalanan, bangunan, sekaligus suasana yang ada di sekitar tempat ini lebih ramai dan padat, sama sekali bukan tempat yang ideal untuk membantai seluruh penghuni gedung seperti apa yang telah gadis itu lakukan. Kasus kali ini pasti akan jadi sangat terkenal dan menggemparkan negara.
Sambil menghela napas berat, Tim menelusuri beberapa benda yang bisa saja menjadi petunjuk sambil berusaha untuk tetap fokus pada apa yang terjadi di hadapannya. Kesamaan tiap korban, barang yang mereka miliki, apa yang mereka lakukan sebelum ajal menjemput, arah dari mana serangan mematikan tersebut datang dan pergi, serta hal-hal lainnya yang terlalu memusingkan dan sulit untuk dibahas.
Stephanie pergi entah kemana, mungkin dia masuk ke dalam sebuah ruangan yang menarik perhatian—meski Tim sudah memperingatinya beberapa kali agar mereka tidak berpencar. Sementara itu, Bruce berlutut tidak jauh darinya sambil memeriksa apa yang tersimpan di balik jas salah satu mayat, ekspresi wajahnya yang ditutupi oleh masker hitam sulit untuk dibaca.
"Belati yang sama dengan kasus pertama dan pembunuhan yang hanya memiliki rentang waktu sekitar beberapa menit atau detik dengan kematian korban selanjutnya," dia berkata dengan serius, modulator suaranya entah mengapa membuat suasana jadi semakin mencekam.
Tim berjalan mendekat, pandangannya terjatuh ke arah mayat tersebut. Kalau kali ini masih sama seperti sebelumnya, itu berarti mereka juga tidak akan menemukan petunjuk apa pun tentang identitas mayat-mayat tersebut. Entah siapa orang memegang kendali dan menutupi semua semua informasi tentang Black Water, mereka sangat ahli menyembunyikan dan memalsukan identitas sampai-sampai seseorang seperti Bruce mengerutkan dahi tidak suka.
"Apa ada orang yang selamat?" tanya Tim. Dia tidak berekspektasi, tapi ada sedikit harapan dalam suaranya.
Mendengar pertanyaan tersebut, Bruce sontak melirik, membuat kedua pasang mata mereka bertemu. Dia mungkin sudah meyakinkan laki-laki itu kalau semua bukan salahnya, tapi dia masih dapat merasakan perasaan bersalah masih bergelantung dalam dirinya.
"Ya, kali ini kita beruntung. Semua warga sipil selamat," jawab Bruce, berharap kata-katanya akan mengubah suasana hatinya meski hanya sedikit.
Tim mengangguk samar. Benar, sejak dia datang ke sini, beberapa orang yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri adalah warga sipil yang berlalu-lalang, sedangkan yang lainnya adalah orang-orang dengan jas hitam dan seorang wanita dengan jas lab putih. Jadi, gadis itu tidak membunuh warga sipil, melainkan orang selain mereka, yang berarti bukan orang biasa. Apa itu artinya kalau orang yang dia incar untuk dibunuh hanyalah anggota dari organisasi Black Water?
"Mereka semua memakai pin." Bruce melanjutkan, suaranya terlampau serius. "Tidak seperti pembunuhan yang pertama, di mana tidak ada satu pun korban yang memakai pin di baju mereka. Kali ini hampir semua dari mereka memakainya, tersembunyi di balik kerah jas. Apa kau pikir itu aneh, Robin?" dia bertanya, berharap mendengar sudut pandang lain darinya.
Tim terdiam sesaat sesaat, dia menyentuh dagunya dengan jari, berpikir. Bruce bangkit berdiri, kemudian memutar tubuh dan menghadap ke arahnya. Tatapan matanya tidak luput dari laki-laki itu, memperhatikan sekaligus menunggunya menjelaskan sesuatu.
"Gedung yang pertama adalah gedung untuk anggota 'biasa' tapi masih merupakan bagian dari organisasi, seperti preman yang menculikku. Mereka hanya memukuliku, sama sekali tidak menggunakan senjata seperti apa yang baru saja mereka lakukan. Bisa dibilang, mereka tidak berniat membunuhku sebelumnya." Tim mengungkapkan apa yang dia pikirkan. "Sedangkan gedung ini ... gedung ini adalah tempat untuk anggota yang, katakan saja, VIP. Mereka memakai pin tersebut sebagai tanda kedudukan mereka di organisasi. Mereka punya senapan, seorang anggota metahuman, dan sebuah tujuan baru, membunuhku."
Bruce mengangguk, sependapat sekaligus merasa puas dengan kesimpulan yang diambil Tim dari pengamatannya.
"Sejak kita melawannya malam itu, dia sudah menunjukkan dirinya di hadapan semua orang, jadi dia berani untuk melakukan hal yang jauh lebih ekstrim seperti menargetkan gedung ini dan melancarkan aksi pembunuhan besar-besaran lagi. Dia tidak kenal takut. Dia akan mengambil resiko apa pun demi menjatuhkan Black Water, sampai pada titik dia membuat kehadirannya diketahui publik setelah bertahun-tahun bersembunyi di balik kegelapan. Apa pun yang mereka lakukan padanya, dia benar-benar membenci hal itu," ucapnya.
"Dia ingin dirinya ditemukan." Tim menambahkan, tapi kemudian dia segera menggelengkan kepala. "Tidak, dia ingin 'mereka' ditemukan. Dia memang membunuh mereka sebagai balas dendam, tapi dia ingin semua orang tahu kalau organisasi seperti mereka ada, makanya melakukannya terang-terangan. Dia juga ingin menunjukkan pada dunia tentang kebenciannya terhadap mereka—atau mungkin tentang sesuatu, sesuatu yang belum bisa kutemukan ...,"
Kalimat terakhir yang keluar dari bibirnya lebih terdengar seperti bisikan. Tim tidak melanjutkan kata-katanya begitu dia tiba-tiba menyadari setitik keraguan dalam hatinya, seolah ada satu bagian penting yang hilang, yang menahannya untuk menilai semua yang terjadi dengan sebelah mata. Kalau Black Water memang melakukan sesuatu yang sangat gadis itu benci, kira-kira hal seperti apa yang telah mereka lakukan padanya—atau mungkin orang lain—hingga setiap anggota dari mereka pantas dibunuh?
"Tapi, ada satu hal lain yang tidak aku mengerti," kata Bruce memecah keheningan.
Tim yang hampir tenggelam dalam pikirannya refleks mendongakkan kepala.
Bruce menatapnya tepat di mata, pandangan mereka bertemu. "Gadis itu adalah seorang musuh, penjahat, assassin, buronan polisi. Dia sebisa mungkin menghindari kita, dia tidak ingin kita berada di dekatnya dan mengganggu semua rencana yang dia miliki, kita bahkan pernah bertarung melawannya. Kenapa dia memilih untuk menyelamatkanmu lagi?" tanyanya.
Tim mengerjap, alisnya perlahan bertaut.
"Aku tidak tahu."
Hanya tiga kata itu yang bisa dia katakan sebagai jawaban. Dia sungguh tidak tahu, dan dia berharap dia tahu jawabannya. Gadis itu telah menyelamatkannya dua kali, dari penculikan serta percobaan pembunuhan. Seolah dia melakukannya begitu saja, seolah dia bukan seorang pembunuh, seolah dia tidak pernah mengiris lengannya demi melumpuhkan dan mengancam the Dark Knight untuk mundur. Sikap yang ditunjukkan gadis itu benar-benar membingungkan, seperti saklar yang bisa berganti dengan mudah. Tekan ke bawah dan dia akan berubah menjadi gadis biasa yang berniat menolongnya, tekan keatas dan dia akan berubah menjadi seorang pembunuh yang pandai mengendalikan emosinya tapi juga sering tertawa bagai orang sinting.
"Aku tidak mengerti," gumam Tim, tanpa sadar dia menghela napas berat. "Dia tidak ingin aku menyelidiki mereka, tapi dia juga ingin agar semua orang tahu tentang mereka."
Bruce terdiam, dia sudah tahu jawabannya—walaupun orang yang bersangkutan sama sekali tidak menyadarinya. Alasan kenapa gadis itu memintanya menghentikan pengejaran serta pencarian mereka berdua adalah karena dia tahu organisasi tersebut tidak akan ragu untuk membunuh seorang vigilante seperti Tim, dan dia tidak ingin mereka melukainya. Bruce tidak tahu apa niat sebenarnya gadis itu untuk melindunginya, tapi itu bukan berarti dia akan lolos dari statusnya sebagai seorang buronan sekaligus pembunuh berdarah dingin.
"Robin, kupikir kau ingin menemui Batgirl—Cass."
Tim terkesiap begitu suara Barbara tiba-tiba terdengar lewat earpiece-nya. Dia segera menyentuh alat komunikasi berukuran kecil tersebut dan kembali meningkatkan kewaspadaan, bersiap untuk mendengar apa yang akan wanita itu sampaikan.
"Oracle?" sahutnya.
"Cass tidak menjawab panggilanku sama sekali," ucap Barbara, dia terdengar sedikit gusar. "Tapi sepertinya dia menemukan sesuatu. Aku ingin kau menghampirinya dan memberitahuku apa yang dia temukan—aku tidak tahu kenapa dia mengabaikanku."
Tanpa ragu, Tim mengangguk mengerti. "Aku ke sana. Berikan aku lokasinya," katanya.
Sementara Barbara memberikan informasi tentang lokasi tersebut secara detail, dia melirik ke arah Bruce. Tatapannya yang semula suram kini berubah, membuat pria yang merupakan ayah angkat sekaligus mentornya itu mengulas sebuah senyum tipis.
"Serahkan yang ada di sini padaku," ucap Bruce.
Sekali lagi Tim mengangguk, kemudian dia mulai melangkahkan kaki, melesat pergi dari sana ke tempat tujuannya secepat mungkin.
Gedung yang berukuran besar membuat Tim butuh waktu lebih untuk sampai ke tempat tujuannya. Setelah beberapa menit menyusuri sekaligus mencari petunjuk yang mungkin bisa dia temukan sepanjang jalan, dia akhirnya sampai di lantai bawah tanah. Ketika pintu lift perlahan terbuka, dia melangkah keluar dan mendapati dirinya berada di dalam sebuah lab yang berwarna putih. Berdasarkan investigasi yang telah dia lakukan dengan Bruce dan Barbara, gedung ini memiliki struktur bagian dalam hingga letak strategis yang sama seperti sebelumnya, itulah kenapa mereka dapat menemukannya. Tapi sepertinya ruangan ini tidak ada dalam denah yang mereka temukan, aneh.
Tim melangkah masuk, berjelajah. Suasana di dalam lab ini terasa sepi dan dingin, tidak ada siapa pun di sini. Seisi ruangan yang terang benderang dipenuhi oleh peralatan canggih serta monitor-monitor yang menampilkan data terus-menerus. Dinding-dindingnya terbuat dari beton diperkuat dan dilapisi dengan panel baja untuk menjaga keamanan serta isolasi suara yang sempurna. Di bagian tengah, terdapat ruang utama yang tampak seperti tempat operasi, di sekelilingnya ada meja yang dilengkapi oleh peralatan medis dan sebuah layar yang tampak mati. Alat-alat sensor dan kamera pengawas terpasang di setiap sudut ruangan, mengawasi setiap pergerakan di dalam lab ini dengan akurat.
Semua yang Tim lihat membuatnya teringat akan seorang wanita berjas putih yang dia lihat beberapa jam yang lalu. Sepertinya wanita itu bekerja di sini, dan dia beruntung karena dia sempat keluar dari gedung ini sebelum pembunuhan tersebut terjadi. Apakah wanita itu tahu kalau serangan tersebut akan datang? Atau dia hanya nasib baik? Tidak ada yang tahu.
Penasaran, Tim menyentuh beberapa barang berteknologi canggih dengan ujung jarinya, dia juga mendapati beberapa berkas yang tergeletak di atas meja, ditinggalkan begitu saja. Dia hendak mengambil beberapa lembar kertas dan berniat membacanya, tapi pergerakannya terhenti saat dia melihat sosok yang dicarinya, Batgirl—Cassandra Cain, berdiri di balik tirai. Kostumnya yang berwarna hitam dan gelap tampak kontras dengan keadaan sekeliling.
"Batgirl," panggil Tim, suaranya bergema di dalam ruangan yang kosong.
Cassandra sontak menoleh padanya. Dia tidak terkejut, dia sudah tahu kedatangannya sejak beberapa menit lalu. Tapi dia tidak mengatakan apa pun untuk merespon laki-laki tersebut, perhatiannya justru kembali pada sesuatu yang berada di hadapannya. Tim, yang ingin tahu dengan apa yang sedang dia lakukan, berjalan menghampirinya dengan sedikit terburu-buru.
"Apa yang—"
"Aku punya firasat."
Cassandra memotong omongan Tim, membuatnya menaikkan sebelah alis. Dia menyerahkan lembaran kertas padanya, lalu memberinya isyarat agar segera membaca dan menganalisanya. Tim memiringkan kepala, sedikit kebingungan akan sikap gadis itu yang entah mengapa sedikit berbeda, seolah dia tidak nyaman dengan semua ini daripada semua orang. Tapi, tanpa berkomentar, dia mulai membaca apa yang tertulis di atas kertas tersebut.
Dahi Tim mengernyit. Kertas itu ternyata berisi tentang biodata seorang gadis berambut pirang yang berniat membunuhnya, Canon. Terdapat beberapa detail seperti usia, status kesehatan, kemampuan super, hingga kelemahan yang dia miliki. Tapi, di antara itu semua, yang paling menarik perhatian adalah sebuah logo di bagian kanan atas kertas. Logo dari Black Water.
"Ini aneh," gumam Tim.
Kertas yang dia genggam bukan kertas tanda keanggotaan organisasi, kertas ini menunjukkan kalau gadis itu adalah sebuah aset, atau lebih tepatnya pasien yang mereka rawat. Mungkin itulah kenapa Cassandra bisa menemukannya di lab ini. Dia tidak tahu apa hubungan mereka dengan gadis listrik tersebut selain petarung mereka. Tapi dia jadi bertanya-tanya, kalau dia mencari lebih dalam lagi, apa dia akan menemukan sesuatu tentang Vendetta di sini?
"Tunggu—Robin! Batgirl! Cepat keluar dari sana, sekarang juga!"
Barbara tiba-tiba berteriak dengan suara nyaring di earpiece mereka. Tim dan Cassandra tersentak dengan kedua mata yang melebar, terkejut oleh apa yang baru saja didengarnya.
"Ada apa, Oracle!?" tanya Tim panik, adrenalin dalam dirinya mulai berpacu.
"Ada bom aktif yang akan meledakkan tempat ini dalam 5 menit!" seru Barbara.
Napas Tim seolah terhenti.
"BOM!?"
* * *
Sementara itu ....
Rumah adalah tempat yang paling ingin siapa pun tuju sepulang kerja, termasuk Vendetta. Dia berjalan sambil menyeret kakinya dengan malas hingga akhirnya dia sampai di depan pintu rumah. Rumah miliknya adalah sebuah rumah yang besar dan mewah, dia membelinya dengan uang hasil pekerjaannya yang bergaji banyak—membunuh orang, tentu saja. Dia tidak sabar ingin segera rebahan di atas kasur yang lembut, memeluk boneka, dan pergi ke dunia mimpi. Tapi saat dia melangkah masuk, TV yang ada di ruangannya menyala dengan volume kencang.
"Harley!" serunya. Kaget, tapi tidak terlalu kaget, dia sudah hampir terbiasa.
Harley Quinn, seorang wanita berambut pirang kuncir dua dengan ombre merah dan biru serta pakaian setengah merah dan hitam, sedang duduk santai di atas sofa dengan sebuah senyum lebar serta mulut yang belepotan oleh krim kue yang jelas-jelas bukan miliknya.
"Kenapa kau ada di sini!?" tanya Vendetta sambil mengerucutkan bibir, berkacak pinggang.
"Kenapa kau tidak mengajakku ke rencana balas dendammu tadi?" Harley balik bertanya, dia berpura-pura tersakiti, tapi kemudian ekspresinya kembali ke semula. "Maksudku, aku sangat keren saat aku menyetir mobil itu dan membawa kita pergi sana! Aku menyetir seperti Dominic Toretto! Sementara kau memakai pedang untuk menghancurkan Batmobile-nya Batsy seperti Zoro! Sangat, sangat, sangat keren!" katanya panjang lebar dengan mata yang berbinar.
Vendetta tidak mempedulikan ocehannya. Terkadang Harley memang banyak omong, tidak sesuai dengan umurnya. Bukannya dia tidak suka—dia suka, sekarang dia hanya lelah untuk meladeninya, apalagi setelah dia baru saja pulang dari pekerjaannya yang menguras tenaga, seperti menikam dengan belati contohnya. Akhirnya, dia menyambar remote yang tergeletak di atas meja, kemudian mengganti saluran TV dengan tidak sabaran.
Gadis itu menghentikan pergerakan saat matanya menangkap sebuah siaran langsung yang menampilkan sebuah gedung yang baru saja dia tinggalkan setengah jam yang lalu. Tapi, keadaannya justru berbanding terbalik dengan keadaan terakhir saat dia pergi melangkahkan kaki dari sana. Kini gedung tersebut tampak hancur dan berantakan.
"What the—"
Dia membelalakkan mata, tampak tidak percaya, remote nyaris terjatuh dari tangannya.
"Apa kau yang membuat gedung itu meledak?" tanya Harley sambil menunjuk layar TV.
Vendetta menggelengkan kepala. Pandangannya beralih keluar jendela, sorot matanya begitu tajam, seolah dia bisa membunuh siapa pun dengan kedua netra emasnya. Dia mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak melempar remot yang berada dalam genggamannya.
"Sialan, mereka mempersulit segalanya," geramnya.
* * *
Chapter 12: How To Kill A Target
Chapter Text
Ledakan terjadi. Kencang, mengerikan, dan memekakkan telinga. Orang-orang berhamburan, berlari menjauh dari tempat kejadian. Ekspresi panik serta ketakutan tergambar dengan sangat jelas di wajah, tidak setiap hari mereka mendengar suara ledakan atau bahkan menyaksikan secara langsung kejadian mengerikan tersebut. Mereka hanya masyarakat biasa, bukan vigilante bukan pula kriminal. Tim, Bruce, Stephanie, dan Cassandra bergerak secepat yang mereka bisa, bekerja sama dengan seluruh petugas GCPD untuk menyelamatkan semua orang dari sana.
Tanah berguncang, asap dan debu berserakan di mana-mana. Untungnya, bagian yang hancur total hanya lantai bawah tanah. Tapi, itu bukan berarti semuanya baik-baik saja. Dampak yang ditimbulkan oleh ledakan tersebut membuat siapa pun takut untuk kembali melangkahkan kaki ke dalam sana sampai semuanya bisa dipastikan aman dan terkendali. Pada akhirnya, penyelidikan terpaksa dihentikan sementara waktu. Tim menghimbau penduduk sipil yang ada di sekitar sana agar segera pulang ke rumah sementara pikirannya tidak berhenti bekerja.
Tidak mungkin dia dan yang lainnya melewatkan keberadaan bom tersebut. Mereka sudah menyusuri gedung itu sebelumnya, memindai seluruh ruangan yang ada menggunakan teknologi tercanggih yang mereka miliki. Seharusnya mereka bisa menemukannya dengan mudah, sekalipun itu tersembunyi di balik dinding atau bawah tanah. Tapi, hasilnya nihil. Ada kemungkinan kalau bom tersebut baru dipasang sehabis mereka melakukan pencarian atau sehabis mengetahui kedatangan Tim dan mengganggu jaringan komunikasinya dengan Barbara. Apa pun yang mereka lakukan, semuanya sudah terjadi.
Kecuali, kalau itu bukan bom. Melainkan sesuatu yang berbeda.
"Oh, ini buruk! Mereka menghancurkan semua barang buktinya!" Stephanie berseru, dia memandang gedung yang ada di hadapannya dengan mata yang melebar tidak percaya.
Cassandra hanya bisa terdiam di tempatnya berdiri, tidak mengatakan apa pun, tapi matanya ikut melebar. Sementara itu, Tim mengepalkan tangan, dia hampir menyalahkan dirinya sendiri, lagi. Tapi, sesuatu yang dia genggam dalam tangannya sekaligus apa yang dia dengan ingat jelas dalam pikirannya menghentikannya. Dia angkat bicara dengan penuh determinasi.
"Tidak. Tidak semua," katanya.
Stephanie dan Cassandra sontak menoleh padanya.
Ya, mungkin lab misterius di lantai bawah tanah gedung yang berhasil mereka temukan sudah hancur dan hanya menyisakan debu serta puing-puing. Tapi, itu bukan berarti harapan yang dia miliki ikut hancur bersamanya. Percayalah, butuh lebih dari itu untuk membuatnya menyerah.
* * *
Malam yang dingin, gelap, dan tidak menyenangkan di Gotham. Jam menunjukkan pukul sebelas malam ketika Vendetta memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah. Masa bodoh dengan Harley yang mungkin akan menghabiskan persediaan makanannya, ada hal lebih penting yang harus dia urus sekarang. Lagipula, dia tidak mengantuk seperti biasanya, dan dia juga tidak bisa bersantai atau bersikap biasa saja sehabis mengetahui kalau organisasi penuh bajingan yang dia incar, Black Water, baru saja menghancurkan sebagian rencananya.
Meledakkan sebuah gedung, seriusan? Apa yang mereka lakukan memang sama-sama mencolok seperti aksi pembunuhan miliknya. Tapi, bukan itu yang membuat Vendetta begitu kesal hingga dia ingin menonjok semua orang yang dia temui yang melihatnya dengan tatapan aneh alih-alih berlari ketakutan. Dia justru kesal karena dia tahu kalau mereka sengaja melakukannya dengan cara yang paling menarik perhatian guna menantangnya.
Vendetta memang membunuh sebagian dari mereka secara terang-terangan, menunjukkan pada dunia kalau dia sangat membencinya dan dia menginginkan perang. Dia juga berencana untuk mengungkapkan tempat persembunyian mereka agar semua orang bisa tahu apa yang telah mereka sembunyikan selama ini. Usaha pertamanya, di gedung kesatu, gagal karena tidak ada apa pun yang bisa ditemukan di sana, dan saat dia yakin kalau usaha keduanya berhasil, di gedung kedua, dia tidak pernah menduga kalau mereka akan melancarkan 'serangan' balik.
Menembakkan grapple gun yang dia ambil secara diam-diam dari Robin, atau Tim, yang baru saja berbagi pengalaman mendekati kematian bersamanya beberapa jam yang lalu, Vendetta mendarat di atap sebuah gedung. Dia berdiri di bagian paling ujung, tidak takut jatuh. Matanya yang berwarna emas memandang ke bawah, memperhatikan hamparan bangunan-bangunan tinggi di Gotham yang indah. Meskipun begitu, Black Water dan Tim yang memenuhi pikirannya.
Vendetta sejujurnya tidak mengerti kenapa laki-laki bernama Tim itu bersikeras mencari tahu tentang Black Water sampai nekat datang ke tempat mereka seorang diri. Apa karena mereka pernah menculik dan menyiksanya? Atau karena dia penasaran tentang hubungannya dengan mereka? Kalau dia memang sangat ingin menangkapnya, maka coba saja tangkap, tidak perlu mencari tahu tentang Black Water. Itu terlalu berbahaya, apalagi sejak tujuan mereka berubah jadi ingin membunuhnya. Apa yang laki-laki itu pikirkan? Dia hanya manusia biasa.
Saat angin dingin berhembus, membelai rambut pendek berantakannya yang berwarna sebiru langit malam, ponselnya tiba-tiba bergetar. Ada sebuah panggilan masuk. Mendengar nada deringnya, tanpa perlu melihat layar, Vendetta segera mengangkat panggilan tersebut.
"Password." Gadis itu berkata tanpa ekspresi.
Suara yang terdengar dari balik sana terdengar serak. "'Deadly Weapon'," jawabnya.
Itu adalah password rahasia yang Vendetta miliki. Sama seperti nomor teleponnya, hanya klien serta orang yang ingin menyewa jasanya saja yang tahu. Saat dia mengangkat panggilan, kalau lawan bicara tidak menyebutkan password-nya, maka dia akan menolak, tapi kalau lawan bicara menyebutkannya, maka mereka akan melakukan bisnis setelah semua syarat terpenuhi. Nomor telepon serta password-nya adalah bagian paling rentan dari pekerjaan yang dia miliki, dan jika ada yang orang berani membocorkan, maka nyawa mereka mungkin taruhannya.
Vendetta mengangguk. "Jelaskan dengan detail," titahnya.
Pria yang ada di balik telepon terbatuk karena tersedak asap rokok, sebelum akhirnya mulai menjelaskan—meski lebih terdengar seperti ocehan orang mabuk daripada penjelasan. Pria yang kira-kira berusia paruh baya itu terdengar marah dan terburu-buru, menjabarkan setiap detail dengan tidak sabaran. Nada bicaranya belepotan, dia bahkan menceritakan hal yang tidak perlu, seolah memiliki dendam kesumat dengan nama yang dia sebutkan sebagai target.
"Kau ingin dia mati sekarang juga? Malam ini?" tanya Vendetta, tawa dengan nada mengejek lolos dari bibirnya. "Kau sadar kalau aku butuh waktu untuk mencarinya, 'kan?"
Pria tersebut berteriak dan memaki, berkata kalau dia tidak ingin mendengar alasan apa pun karena dia punya sesuatu untuk mempermudah pekerjaannya.
"Oh, kau sudah tahu posisinya?" Vendetta mendengus. "Bilang dong," katanya.
Kemudian dia mendengarkan secara seksama ucapan pria tersebut sambil menahan diri agar tidak balik memaki. Dia mungkin sering lupa di mana dia menyimpan barang-barangnya di rumah, seperti gunting atau sisir, yang menghilang bagai uang kas. Tapi, berbanding terbalik dengan kehidupan normalnya, dalam hal pekerjaan, dia dapat mengingat dengan sangat baik. Hanya mendengar sekali saja, apa yang pria tersebut katakan seolah terukir dalam memorinya.
"Kalau kau ingin dia mati malam ini juga, maka biayanya bertambah," ucap Vendetta. Lawan bicaranya mungkin tidak bisa lihat, tapi dia menahan tawa. "Paket pengantaran cepat," katanya.
Sedetik kemudian, pria tersebut berteriak dan marah-marah bagai kakek tua yang sakit pinggang sepanjang hari, mengoceh panjang lebar, mengatakan kalau dirinya tidak masuk akal dan tidak akan pernah membayar lebih. Tapi, pada akhirnya dia menyerah dan berjanji akan memberikan bayaran yang gadis itu inginkan asalkan targetnya mati secepat mungkin, malam ini juga.
"Laksanakan."
Vendetta menyeringai, dia menutup panggilan lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Klien yang dia miliki bukan orang baik, hampir semua dari mereka hanyalah orang egois dan rakus yang rela melakukan apa pun demi mencapai apa yang mereka inginkan, termasuk merenggut nyawa seseorang. Mana ada orang baik yang meminta seorang assassin sepertinya untuk membunuh orang lain. Tapi, gadis itu tidak pernah ambil pusing, dia tidak terlalu memikirkan siapa kliennya, dia sudah terbiasa dengan sifat buruk mereka. Sejak pertama kali dia dapat mengingat, konsep yang asing baginya justru kebaikan yang tulus.
Grapple gun kembali ditembakkan, dan Vendetta melompat di antara bangunan. Kebetulan, lokasi yang kliennya berikan tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri. Dia hanya perlu berlari, mungkin hanya akan membutuhkan waktu beberapa puluh menit, belasan kalau menggunakan grapple gun. Beruntung dia sempat mengambil benda tersebut dari Robin, mungkin dia akan menyimpan dan menggunakannya untuk mempermudah pekerjaannya.
Iceberg Lounge, sebuah klub malam terkenal yang ada di Gotham. Vendetta sudah tidak asing lagi dengan tempat itu, dia pernah ke sana beberapa kali sebelumnya. Bukan untuk melakukan sesuatu yang aneh seperti mabuk atau sebagainya, dia hanya melakukan hal 'normal', seperti menyelesaikan pekerjaannya. Sekarang, targetnya hanyalah seorang miliarder yang sedang bersantai dan menghambur-hamburkan uang di sana. Target yang sama sekali tidak sulit.
Ponselnya tiba-tiba bergetar. Oh, bayarannya sudah masuk. Waktunya beraksi.
Tidak, Vendetta tidak menendang pintu untuk menerobos masuk atau menggunakan pedangnya untuk membelah pintu tersebut menjadi dua. Itu terlalu mencolok dan itu bukan gayanya. Sebagai seorang assassin, dia tidak boleh terlihat, terdengar, ataupun tercium oleh orang lain, bagaikan hantu. Dengan langkah yang ringan, gadis itu masuk secara diam-diam lewat pintu belakang. Pengalaman serta latihannya selama bertahun-tahun tentu tidak akan mengecewakannya dalam keadaan seperti ini. Lagipula ini hanyalah klub, banyak orang yang datang ke sini untuk bersenang-senang dan tidak memikirkan apa pun tentang dunia.
Dengan mudah, Vendetta mengelabui beberapa penjaga, orang yang mondar-mandir, bahkan CCTV. Sehabis mendapatkan informasi mengenai targetnya dari bisikan-bisikan orang, dia melangkahkan kakinya ke ruangan tujuan. Biasanya dia akan membutuhkan waktu beberapa jam atau hari demi eksekusi yang sempurna, tapi karena kliennya sudah memberitahu posisi pasti targetnya, maka dia tidak perlu repot-repot melakukan hal itu. Ditambah lagi dia sudah dibayar lebih untuk melakukannya secepat mungkin, dia akan mengambil kesempatan ini.
Vendetta akhirnya sampai di salah satu bagian Iceberg Lounge yang jauh lebih sepi, lorong dengan banyak pintu yang tertutup rapat, tempat di mana aktivitas ilegal dilakukan secara tersembunyi, dan di salah satu pintu itulah targetnya berada. Ada dua orang penjaga yang berdiri tegak di depan. Mereka membawa pistol, berpakaian rapi dengan tatapan sangar, seolah siap menembak siapa pun yang menerobos masuk. Tapi, sejak kapan dia takut senjata?
Ketika dia memutuskan untuk menampakkan dirinya di depan mereka tanpa rasa gentar, keduanya otomatis terbelalak kaget, seolah melihat malaikat kematian.
"Weapon Master! Weapon Master di sini!"
Sebelum salah dari mereka sempat menggunakan walkie talkie-nya untuk memberi informasi tentang kehadirannya yang tidak diundang, Vendetta menciptakan belati dalam sekejap mata, kemudian melemparkan belati itu ke arahnya. Penjaga tersebut berteriak kesakitan ketika belati yang sangat tajam itu tertancap di tangan, membuatnya menjatuhkan walkie talkie ke lantai. Semantara partnernya berusaha mengendalikan diri dari rasa sakit yang luar biasa, satu penjaga yang lainnya mulai menembakkan peluru, yang tentu saja tidak berefek apa pun.
Vendetta mendengus, dia lelah dengan orang-orang yang mengira kalau mereka bisa menghentikannya hanya dengan beberapa peluru. Apa mereka tidak pernah mendengar tentang metahuman yang kebal senjata? Yang benar saja. Dengan gerakan yang sangat cepat, dia kembali menciptakan beberapa belati dan melemparkannya pada kedua penjaga tersebut. Belati itu menancap di tangan serta kakinya, dan racun yang ada di dalamnya mulai bekerja, membuat mereka perlahan mulai melemas sebelum akhirnya terjatuh tidak berdaya.
Tanpa menunggu apa-apa lagi, Vendetta serta mengambil salah satu kartu pengenal mereka, memberinya akses masuk. Ketika pintu terbuka, dia melihat seisi ruangan yang tampak remang-remang dan terasa sesak. Dia menyapu pandangan, matanya yang berwarna emas menyisir sekitar, sampai akhirnya dia mendapati targetnya yang sedang duduk, berbicara melantur dengan seorang pria berjas putih sambil meneguk minuman keras dari gelas kaca kecil.
"Hei! Ada yang datang!"
Lawan bicaranya yang pertama tersadar. Melihat kehadirannya, pria berjas putih itu cepat-cepat mengambil pistol yang tersembunyi di balik jas, kemudian menembak secara bertubi-tubi ke arah gadis tersebut. Peluru-peluru melesat di udara, mendarat di tempat yang salah. Suasana berubah kacau, dan tidak ada satu pun dari peluru tersebut yang berhasil melukainya.
"Sialan, dia seperti rumornya!" Pria itu berteriak panik, dia terus menembak hingga pelurunya habis.
Vendetta berjalan mendekat, benda yang seharusnya bersarang di tubuhnya itu memantul dan bergemerincing satu persatu di atas lantai. Semua serangan itu tidak berdampak apa-apa, bahkan terasa geli di kulitnya. Lagi-lagi yang dia lakukan adalah mengulurkan lengan, menggunakan belati ciptaannya untuk menyerang pria tangan tersebut dengan sangat cepat, membuatnya mengerang sakit dan terjatuh dari atas sofa dengan dramatis.
"Diam, targetku hanya temanmu," ucap Vendetta dingin, tidak tertarik dengannya.
"Apa yang kau inginkan!?" Targetnya, sang milyarder, berseru, suaranya gemetaran.
Vendetta tidak menjawab, dia melihat pria tersebut bangkit dari duduknya dengan wajah yang dipenuhi rasa takut, seolah sudah tahu kalau ajalnya akan datang. Mengulur waktu bukan salah satu hal yang suka gadis itu lakukan. Dia adalah seorang assassin, dia harus membunuh dengan cepat dan pergi bagai tidak pernah menginjakkan kaki di sana. Berniat menyelesaikan pekerjaannya, tanpa membiarkan pria tersebut memiliki kesempatan melarikan diri, dia menggunakan belati yang ada dalam genggaman tangan, menyerangnya hanya dalam satu kedipan mata. Belati itu mendarat dengan sangat tepat, mengenai titik vital, jantung.
Nyawanya seolah dicabut secara paksa begitu belati tersebut menancap di dadanya. Pria itu perlahan mulai kehilangan nyawa, melemas, lalu terbaring tidak berdaya. Vendetta berjalan mendekat ke arahnya, kemudian menatap nanar belati yang menjadi saksi bisu hari ini.
Sehabis gadis itu melaksanakan aksi pembunuhannya, dia tidak pernah membereskan kekacauan ataupun mengambil senjata miliknya yang telah dipakai. Senjata-senjata itu selalu ditinggal di tempat kejadian perkara begitu saja, tapi entah mengapa tidak pernah ada seorang pun yang berhasil melacaknya. Bisa dipercaya kalau ini semua adalah perbuatan Black Water yang selalu menutupi jejaknya, mungkin mereka tidak ingin tahu ada seseorang sepertinya di luar sana. Sampai akhirnya balas dendam dan pembantaian terjadi, keadaan pun berubah total.
Vendetta menolehkan kepala ke arah pria berjas putih yang hampir lumpuh total. "Aku membiarkanmu hidup karena aku tahu kau tidak akan mengatakan apa pun tentang hal ini," ucapnya. Suaranya penuh oleh ancaman, menunjukkan kalau dia sama sekali tidak bercanda.
Tidak ada jawaban yang bisa dia dengar, Vendetta akhirnya memutuskan untuk melangkah keluar dari ruangan tersebut. Dia menoleh ke arah dua penjaga yang tergeletak bagai mayat di depan pintu, kemudian mengambil belati yang tertancap padanya dengan hati-hati. Pandangan gadis itu terjatuh ke salah satu di antara mereka, ekspresinya berubah masam. Mereka lemah, mereka hanyalah orang yang dibayar dan bekerja untuk melindungi orang yang salah. Tapi, ah, apa yang bisa dia katakan untuk membenarkan? Dia juga sama buruknya.
Vendetta tidak pandang bulu, dia membunuh banyak orang, mungkin nyaris mencapai ratusan—dia tidak menghitungnya, terlalu banyak. Tidak peduli baik atau jahat, tua atau muda, dia akan mengeliminasi semuanya sesuai yang telah diperintahkan padanya. Itulah yang 'mereka' ajarkan, segalanya melekat dengan sempurna di otak. Terlalu sempurna, sampai-sampai dia percaya dan sulit melupakannya. Sejujurnya, dia berulang kali mencoba mempertahankan kompas moralnya, tapi dia sendiri tidak tahu apa dia masih memiliki hal tersebut. Dia tidak bisa berhenti, bukan karena dia tidak mau, melainkan karena dia sendiri tidak tahu caranya.
Belati, peluru, serta pedang. Vendetta tidak membenci kekuatan yang dia miliki, malah dia menyukainya, dia senang karena terlahir sebagai seorang metahuman dengan kemampuan yang membuatnya jauh melampaui manusia biasa. Tapi, hal tersebut membuatnya terlampau kuat, dan itu tidak selamanya menyenangkan. Di antara semua lawan yang pernah dia temui, tidak ada satu pun dari mereka yang sepantar dengannya. Bahkan, kalau dia meminta mereka untuk membunuhnya, mereka pasti hanya akan menarik pistol dan menembakkan peluru—tentu saja itu tidak akan pernah membuahkan hasil. Tidak pernah ada orang yang sukses membunuhnya, mendekati pun tidak, meskipun dia ingin mati, meskipun dia takut mati.
"Oh?"
Langkah Vendetta seketika terhenti begitu dia tiba-tiba menangkap sosok anak kecil di ujung matanya. Kawasan sekitar Iceberg Lounge adalah tempat yang tidak ramah anak-anak, apalagi tengah malam seperti ini. Rawan penculikan, rawan pembunuhan—seperti apa yang baru saja dia lakukan. Tapi, kenapa anak sekecil itu bisa ada di sini sendirian? Apa yang terjadi padanya? Dia tampak ketakutan, sepertinya dia kehilangan arah dan tersesat. Tim. Apa yang akan dia lakukan kalau dalam keadaan seperti ini? Tidak, tunggu, kenapa dia memikirkan tentang Tim?
Tanpa berpikir panjang, Vendetta berjalan cepat, mendekati anak kecil tersebut. Tidak hanya ketakutan, dia juga kedinginan, tangannya gemetar. Gadis itu tidak pernah menyukai anak kecil, dia tidak berurusan dengan mereka, dan mereka juga tidak pernah berada di daftar targetnya. Tapi, kenapa dia mendapati dirinya berjongkok agar bisa sejajar dengannya?
"Hei, bocah kecil. Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, tanpa menyadari ada seseorang yang diam-diam mengawasi tidak jauh dari sana, bersembunyi di balik tembok.
* * *
"Di mana Bruce?"
Richard 'Dick' Grayson, atau Nightwing, bertanya sambil menuruni tangga. Matanya yang berwarna biru melihat sekeliling. Suasana di dalam Batcave yang luas tampak sepi dan kosong. Bruce meminta mereka semua untuk berkumpul di sini dikarenakan sebuah keadaan genting, tapi yang dia lihat hanyalah Tim yang sedang sibuk dengan komputer atau mungkin beberapa berkas yang ada di sebelahnya, dia tidak tahu. Dia yakin kalau mereka akan berkumpul untuk membahas pembantaian yang sedang ramai diperbincangkan orang. Tidak mungkin Bruce meminta dan membuatnya pergi dari Bludhaven ke sini hanya untuk membahas hal sepele.
"Dia akan datang sebentar lagi," jawab Tim, kemudian dia mendongakkan kepala ke arahnya. "Di mana Jason?" dia bertanya dengan dahi yang mengernyit.
Dick mengangkat bahu. "Katanya dia hanya akan datang kalau ada baku hantam," ucapnya.
Tim mendengus malas sambil memutar bola mata, meskipun dia tahu kalau itu hanyalah lelucon yang dilontarkan oleh kakak angkatnya. Sementara itu, Dick mendekat ke arah komputer, penasaran dengan apa yang terpampang di layar. Tapi, mulutnya berkata lain.
"Jason memang selalu telat, dia tidak punya jam tangan," katanya.
"Berisik. Kau juga hampir telat datang karena pacaran dulu dengan NightQueen, 'kan?"
Sebuah suara bernada sarkas tiba-tiba terdengar. Ketika Tim dan Dick menoleh secara bersamaan, mereka dapat melihat Damian Wayne, Robin lainnya, sekaligus anak bungsu dan kandung Bruce, sedang menuruni tangga dengan bibir yang sedikit mengerucut. Bukan karena dia kesal atau marah, tapi ekspresi normalnya memang seperti orang yang sedang bad mood.
"Huh, Damian, kau datang," ucap Dick, dia lalu melipat tangannya dan memasang seringai. "Kau juga hampir telat, pasti karena gadis goth itu, 'kan?" godanya.
"Gadis goth!?" Damian berseru memprotes, tidak terima.
Tim hanya bisa mengusap wajah sambil menghela napas lelah. Kemudian saudara tertua dan saudara termudanya itu mulai saling mengejek tentang pacar mereka. Yang satu tersenyum puas, sedangkan yang lainnya menggerutu, malas menanggapi tapi tetap ditanggapi. Tim bisa gila rasanya, dan dia bersumpah, dia sama sekali tidak memikirkan tentang gadis assassin itu setiap kali mereka berdua melontarkan kata 'pacar'. Benar, dia harus tetap fokus!
* * *
Chapter 13: A Heated Argument
Chapter Text
Pukul sebelas malam lebih beberapa menit, Bruce datang dengan ekspresi wajah seperti biasanya. Datar, serius, dan muram, hampir serupa dengan suasana Batcave. Situasi sedang genting dan belum kunjung membaik, membuatnya tidak sempat memikirkan hal lain. Dia tidak mengumpulkan anggota Batfamily untuk reuni keluarga seperti makan kue atau minum teh penuh gelak tawa. Dia dan Tim memiliki banyak hal yang harus dibahas dan direncanakan, mereka tidak boleh lagi-lagi tertinggal satu langkah di belakang gadis assassin tersebut.
Bruce duduk di depan Batcomputer, Tim berdiri di dekat meja besar penuh petunjuk, sedangkan Dick dan Damian memperhatikan mereka dengan dahi yang berkerut, penasaran akan apa yang kedua jenius itu pikirkan. Seharusnya, Jason Todd atau Red Hood hadir di sana, mereka membutuhkannya, tapi dia masih belum juga menampakkan batang hidung. Mungkin dia ada urusan sendiri di sisi lain Gotham, dan semuanya mengerti, laki-laki itu memang suka berkeliaran kemana-mana. Tapi, tampaknya masih ada yang kurang. Ah, ya, para gadis.
"Steph dan Cass mana?" tanya Dick memecah keheningan, matanya memindai sekitar.
"Aku tidak tahu." Tim menyahut sambil mengangkat bahu. "Dasar mereka berdua. Aku akan memberitahu mereka nanti." Dia menghela napas, perhatiannya tidak pernah luput dari meja.
Tunggu—Cass?
Mata Tim mengerjap. Dipikir-pikir Cassandra memang bertingkah cukup aneh. Pertama, waktu dia menghilang saat Stephanie mengira kalau dia datang bersamanya sehabis pertarungan antara dia dan Bruce melawan gadis bernama Vendetta. Kedua, saat dia mengabaikan Barbara lewat alat komunikasinya dan tiba-tiba menemukan sebuah lab tanpa mengatakan apa pun pada yang lain. Apa yang dia sembunyikan? Tim cepat-cepat menggelengkan kepala. Tidak, dia tidak boleh curiga dengan saudaranya sendiri, mungkin itu semua hanya kebetulan.
"Kita mulai saja." Bruce memberi aba-aba, suaranya terdengar serak.
Detik berikutnya, dia menampilkan satu per satu hal yang berhasil mereka kumpulkan selama ini. Mereka telah pergi ke berbagai tempat kejadian perkara, mengecek kembali barangkali ada sesuatu yang tanpa sengaja terlewat. Penyelidikan dilakukan secara teliti dan seksama mulai dari gedung pertama, tempat persembunyian ketiga orang pria yang bunuh diri, tempat di mana mobil miliknya ditinggalkan, hingga gedung kedua. Mereka juga tidak lupa mengecek kamera pengawas yang terpasang di beberapa sudut kota saat semua kejadian tersebut berlangsung.
Barang-barang bukti tidak luput dari perhatian. Dari gedung pertama, barang bukti yang mereka temukan tidak banyak, hanya belati dan pin organisasi Black Water—yang sekarang pelacaknya sudah dicabut—saja yang mereka temukan. Tapi, keberadaan ketiga orang pria yang berhasil lolos dari pembantaian tersebut membawa mereka ke jalan yang sedikit lebih terang. Racun yang mereka gunakan untuk bunuh diri ternyata racun yang belum pernah digunakan siapa pun sebelumnya, sepertinya itu adalah racun yang mereka produksi sendiri. Begitupula dengan seorang pria lainnya yang berperan sebagai sniper—meskipun pada akhirnya terungkap kalau yang menembakkan peluru tersebut bukan pria tersebut, melainkan Vendetta.
Menurut pengamatan Barbara, sudah bisa dipastikan kalau gedung yang pertama hanyalah sebuah tempat bersantai bagi orang biasa tidak terlalu berkepentingan yang kebetulan merupakan bagian dari organisasi, dan ketiga pria itu hanya sekelompok kriminal kelas kakap yang bernasib buruk dengan datang ke sana untuk cari muka. Tidak banyak informasi yang bisa ditemukan tentang mereka selain beberapa catatan kejahatan kecil seperti narkoba atau jual beli ilegal, tidak ada pula satu pun informasi tentang hubungan mereka dengan organisasi bernama Black Water. Siapa pun yang melindungi informasi di dalam organisasi tersebut, dia sudah jelas teramat sangat ahli menyembunyikan semuanya.
Selanjutnya ada mobil yang gadis itu gunakan untuk melarikan diri dari perkelahian melawan The Dark Knight dan Robin beberapa hari yang lalu. Bisa dibilang, dia juga sangat teliti dan cerdik, dia mampu menutupi jejak seperti sidik jari ataupun jejak kaki yang ada di dalam mobil dengan nyaris sempurna. Tapi, setelah menyelidiki lebih lanjut, pada akhirnya mereka berhasil menemukan sesuatu yang mengarah pada seseorang yang diduga sebagai sang penyetir mobil.
Terakhir, gedung yang ketiga, tempat di mana mereka menemukan paling banyak petunjuk. Pria yang memakai pin Black Water, wanita berjas lab putih, sekelompok orang bersenjata yang mencoba membunuh Tim, seorang gadis metahuman lain berkekuatan listrik yang juga ingin membunuh mereka berdua, serta lab rahasia yang berada di lantai bawah tanah.
"Aku juga menemukan ini," ucap Tim, ekspresi wajahnya serius.
Lalu dia menunjukkan sebuah bukti yang sempat dia temukan dan ambil dari meja lab sebelum pergi membantu yang lain menyelamatkan orang-orang dari gedung yang akan meledak. Itu adalah beberapa lembar kertas dengan logo organisasi Black Water di bagian kanan atas. Tidak hanya berisi tentang gadis bernama Canon saja, di sana juga ada kertas lain yang berisi tentang seorang gadis berambut hitam panjang yang ternyata memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang bisa menghancurkan, atau lebih tepatnya menciptakan ledakan yang kuat.
"Yang meledakkan gedung itu bukan bom, tapi seorang metahuman," sambung Tim.
Mendengar hal itu, mata Dick dan Damian sedikit melebar, terkejut.
"Black Water punya metahuman di pihak mereka, entah sebagai petarung atau aset yang mereka miliki—mungkin keduanya. Kalau dilihat dari file ini serta lab yang ada di gedung, mereka mungkin melakukan sesuatu pada para metahuman dan mereka ingin menutupinya dari semua orang. Aku yakin hal yang membuat Vendetta jadi musuh mereka pasti berhubungan erat dengan hal ini," jelas Tim, kemudian dia menunjukkan beberapa detail yang tertulis di kertas. "Kita bisa mencari target gadis itu selanjutnya dengan cara melacak—"
"Wow, jadi kita akan melawan metahuman?"
Dick yang pertama kali membuka suara di antara mereka, menyela penjelasan Tim—meskipun dia tidak bermaksud melakukannya. Laki-laki yang berusia paling tua di antara para pemuda itu kemudian mengangkat kedua tangannya di depan dada, telapak tangan menghadap ke luar, seolah meminta waktu jeda untuk menyuarakan pendapat.
"Maksudku, aku sudah tahu, aku melihatnya di TV dan kalian juga pernah memberitahuku. Tapi, tetap saja—wow," ucapnya dengan mulut yang membentuk huruf 'o'.
Damian tampak tidak terkesan. "Kau terlalu dramatis, Grayson," komentarnya datar.
Dick menggeleng. "Aku tidak dramatis, aku hanya ... terkejut? Terkagum? Dan juga tidak tahu harus bereaksi apa." Dia mengangkat bahu, tidak yakin dengan kalimatnya sendiri, tapi dia terus berbicara. "Kalau begitu, bukannya kita butuh bantuan teman kita yang ada di Titans atau Young Justice? Mereka sama-sama punya kekuatan super, 'kan? Bukan berarti aku meremehkan kita yang sekadar manusia biasa, aku hanya—"
"Kita tidak butuh bantuan mereka. Mungkin dia bukan seorang musuh."
Kali ini Tim yang memotong ucapan Dick sebelum laki-laki itu mengoceh semakin panjang atau mengusulkan ide kalau dia bisa mengajak pacarnya untuk bergabung bersama mereka seperti beberapa minggu lalu. Tapi, kalimat yang dia ucapkan justru mengundang lirikan kepala serta dahi yang mengernyit heran dari semua orang, termasuk Bruce—membuat dirinya otomatis mengaduh pelan, menepuk jidat, dan mengumpat dalam batin.
Sialan. Dia kelepasan.
"Apa maksudmu, Drake?" tanya Damian heran.
Tim menahan napas. Sebenarnya dia juga tidak menyangka kalau dia baru saja mengatakannya secara lantang. Ketika dia mendongak, dia dapat melihat pandangan tidak puas yang terarah padanya. Dick tampak heran, Damian tampak kesal, sedangkan tatapan Bruce sulit diartikan. Sedikit tidak mengenakkan, tapi semuanya adalah reaksi yang bisa dia perkirakan. Selama ini mereka berusaha sekeras mungkin untuk menangkap gadis tersebut dan berkali-kali dibuat kesusahan karenanya. Oleh karena itu, ucapannya pasti akan terdengar sinting. Dia tahu dia mungkin tidak berpikir rasional, tapi dia tidak bisa menahannya dan dia juga tidak bisa menyangkal kalau dia merasa seperti itu sejak mereka terakhir bertemu.
"Dengar, aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, tapi menurutku, mungkin dia bukan musuh kita yang sebenarnya." Tim menelan ludah, dia mengulang perkataannya secara hati-hati.
"Bukan musuh kita?" Damian mencibir, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Apa kau serius, Drake? Kau sadar apa yang baru saja kau katakan? Kau sendiri yang bilang kalau dia membunuh banyak orang—membunuh seisi gedung! Tidak hanya sekali, tapi dua kali! Dia seorang assassin! Seorang pembunuh!" serunya.
Tim mengusap wajah. "Aku tahu. Aku tahu apa yang sudah dia lakukan, aku tahu apa dia, tapi ...." Dia jeda sejenak, menyadari kalau kalimat berikutnya yang akan dia katakan semakin terdengar tidak masuk akal. "Tapi, dia pasti punya alasan tersendiri untuk balas dendam pada mereka. Alasan yang sangat besar sampai-sampai dia berani menunjukkan dirinya setelah sekian lama bersembunyi," tuturnya, tanpa sadar dia menahan napas.
"Alasan tersendiri?"
Dick mengangkat sebelah alis, yang segera dijawab oleh anggukkan kepala dari Tim.
"Dia ingin menghancurkan Black Water, apa yang telah dia perbuat adalah bentuk balas dendamnya terhadap mereka. Itu berarti mereka pasti pernah melakukan sesuatu yang dia benci, sesuatu yang membuat kedua belah pihak bermusuhan hingga pada titik seekstrim ini, sesuatu yang teramat sangat serius. Dibanding menangkapnya, aku ingin tahu apa itu," katanya.
"Apa kau mau bilang kalau kau akan membenarkan perbuatannya hanya karena dia balas dendam sebagai alasan?"
Bruce akhirnya membuka mulut, ikut merespon apa yang Tim katakan. Suaranya terdengar mengintimidasi dan tajam seperti biasanya, dan itu sama sekali tidak membuat Tim berada dalam posisi yang lebih baik. Dia dapat merasakan suasana di Batcave menegang dan udara malam berubah semakin dingin, seolah menggelitik bulu kuduknya. Tapi, dia tidak boleh gentar.
Tim menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak pernah bilang kalau aku akan membenarkan perbuatannya, Bruce," dia membantah dengan tegas. "Aku hanya bilang kalau dia mungkin bukan musuh kita—belum, setidaknya sampai kita tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita masih belum tahu apa tujuan dia melakukan semua ini, dan aku yakin dia melakukannya bukan tanpa alasan."
"Tujuannya adalah membunuh orang, dan alasannya karena dia ingin," ucap Damian tajam, tatapannya nyalang ke arah Tim. "Sesuatu mengaburkan penilaianmu, Drake. Apa yang kau—"
"Damian, diam dulu."
Bruce merentangkan sebelah tangan, menghentikan ucapan anak bungsunya sebelum dia mengatakan sesuatu yang memperumit masalah atau menyulut perang adu mulut di antara mereka yang pastinya hanya akan berakhir sia-sia. Berselisih dan bermusuhan dalam keadaan genting seperti ini adalah hal terakhir yang dia inginkan dan dia tidak akan mentoleransinya. Damian hanya mendecakkan lidah tidak suka, sementara pria itu menatap Tim intens.
"Tim, jelaskan," titahnya tegas.
Tim menggigit bibir. Dia tidak mungkin menarik omongannya sekarang, dan dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Jujur saja, ada beberapa hal yang membuatnya bisa berpikir seperti ini. Yang pertama, gadis itu sudah menyelamatkannya. Tidak hanya sekali, tapi dua kali. Lalu yang kedua, gadis itu adalah seorang assassin, dia bisa membunuhnya kapan pun kalau dia mau. Tapi, dia tidak pernah melakukannya, tidak sama sekali. Dia bahkan bekerja sama dengannya untuk melarikan diri sekaligus mengalahkan sekelompok orang serta metahuman berkekuatan listrik yang ingin menghabisinya. Hanya saja, apakah kedua alasan itu cukup untuk meyakinkan atau membuat mereka semua mengerti perasaannya? Dia tidak tahu.
"Dia berbahaya dan kita harus menghentikannya, ya, itu benar."
Tim mengangguk. Sejak awal dia tahu kalau gadis itu memang berbahaya, dia masih ingat dengan jelas momen ketika berhadapan dengannya. Menarik napas, dia mulai menjelaskan.
"Selain tentang pekerjaannya sebagai assassin, membunuh adalah cara yang salah untuk balas dendam, kita semua tahu itu," ucapnya serius. "Tapi, di luar kedua hal tersebut, dia tidak punya keinginan untuk jadi ancaman bagi semua orang di Gotham, dia tidak punya tujuan untuk menguasai kota dalam kejahatan. Dia membiarkan warga sipil yang tidak berhubungan dengan Black Water tetap hidup, dan itu yang membuatku berpikir kalau dia punya alasan tersendiri atas semua perbuatannya. Alasan yang bisa kita coba mengerti dari sudut pandangnya."
Mendengar apa yang Tim jabarkan, Bruce terdiam selama beberapa sesaat.
Tim tidak sepenuhnya salah, dia juga tidak sepenuhnya benar. Tapi, itu bukan berarti dia tidak akan setuju dengannya atau menentangnya habis-habisan. Sebagai The Dark Knight, dia memiliki banyak hal yang harus dia lindungi, dan menghindari keputusan yang beresiko besar adalah satu cara dia melakukannya. Di satu sisi dia tahu kalau gadis itu melakukannya karena alasan tertentu, tapi di sisi lain dia ragu kalau gadis itu mengerti atau bahkan peduli kalau apa yang telah dia lakukan adalah kesalahan, membuatnya jadi musuh.
"Membunuh tetaplah membunuh, Drake. Kau terlalu perhitungan." Damian tiba-tiba menunjuk Tim dengan jari, menuduhnya. "Kau melibatkan perasaanmu, tidak biasanya kau seperti ini. Apa kau begini hanya karena dia pernah menyelamatkanmu sekali, dua kali? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu yang tidak kau ceritakan?" katanya sambil memicingkan mata.
"Wow, jadi gadis itu benar-benar pernah menyelamatkannya, lalu bagaimana habis itu?" komentar Dick, mencoba mengusir sedikit ketegangan.
Alis Tim menukik tajam. "Ini bukan tentang dia yang menyelamatkanku," ucapnya tegas, raut wajahnya berubah masam. "Kau melewatkan satu poin penting di sini, Damian. Black Water juga tidak sepenuhnya tidak bersalah, bukan begitu? Mereka pernah menculikku lalu mencoba membunuhku. Mereka meledakkan gedung mereka sendiri untuk menutupi sesuatu, sesuatu yang tidak ingin siapa pun tahu. Normal kalau aku berpikir gadis itu juga 'korban' sepertiku!"
"Korban?" Dick mengerjap. "Tunggu, bagaimana kalau semua ini hanya salah paham?" Dia mengangkat kedua bahu, tapi dua laki-laki yang sedang berdebat itu mengabaikannya.
"Oke, katakan saja kalau Black Water adalah pihak yang jahat, dan dia membantumu melawan si pihak jahat yang mencoba membunuhmu," ucap Damian, suaranya dipenuhi ejekan. "Tapi, setelah itu dia membuatmu pingsan karena dia tidak ingin kau menghentikannya melancarkan aksi balas dendam. Apa kau sadar kalau itu semua sama sekali tidak membuatnya jauh lebih baik dari mereka? Kau idiot total kalau kau tidak tahu. Dan satu lagi, kau sendiri yang membiarkan dia membunuh lebih banyak orang, 'kan!?" tanpa sadar nadanya meninggi.
"Damian Wayne." Bruce berkata penuh peringatan.
Napas Tim seketika tercekat, dia tidak sanggup mengatakan apa pun selama beberapa saat. Lidahnya kelu, tapi tangannya terkepal erat. Ini tidak lucu. Entah apa yang membuat Damian begitu keras kepala dan tidak mau mencoba untuk mengerti pendapatnya, tapi laki-laki itu benar, dia memang membiarkan gadis tersebut kembali membunuh karena dia lengah.
"Aku tahu itu salahku." Tim berkata lirih, suaranya serak.
Bruce menggeleng. "Itu bukan salahmu, Tim," sanggahnya.
Tapi, Tim tidak mendengarkan, kata-kata tersebut tidak begitu mempan sekarang. Dia merasa konyol, mungkin selama ini dia memang bodoh dan semua adalah salahnya. Sejak awal, dialah yang membuat dirinya sendiri berada dalam keadaan sulit seperti ini, seharusnya dia tidak pernah membiarkan mereka menculiknya dan perasaan ini tidak akan menelannya dari dalam.
Sialan. Dia lemah, dan dia semakin sadar akan hal itu.
"Kenapa kau tidak bisa melihatnya, Drake? Gadis itu jelas-jelas tidak ingin kita menghalangi jalannya, dan dia tidak akan pernah mendengar apa yang kita katakan. Dia seorang musuh!" ucap Damian. Melihat Tim yang masih belum menyerah, dia mulai hilang kesabaran. "Kita memang tidak tahu apapun tentang Black Water, tapi harusnya kau sadar dengan otak pintarmu, kalau sekarang, gadis itulah yang jauh lebih berbahaya dibanding mereka!"
Tim merasakan jantungnya berdegup dengan tidak nyaman dan tangannya mulai berkeringat. Tapi, sebelum dia sempat membela diri dengan argumen lain atau mungkin mengumpat, Dick tiba-tiba kembali membuka suara, upaya untuk mencegah perang pecah di antara keduanya.
"Aku tidak tahu mana di antara kalian yang benar, tapi, ya, sepertinya untuk sekarang kita tidak butuh Titans atau Young Justice untuk menghentikan gadis itu." Dia mencoba menengahi.
Dick juga tidak sepenuhnya menentang pandangan Tim. Laki-laki yang merupakan adiknya itu terlampau pintar, dia tidak akan mengatakan sesuatu tanpa berpikir lebih lanjut atau tanpa bukti yang bisa mendasari segala penilaiannya. Dia tahu kalau Tim lebih mengenal gadis itu dibanding siapa pun yang ada di ruangan ini, tapi itu bukan berarti semuanya jadi lebih mudah.
"Sorry, ideku tadi memang terlalu terburu-buru. Harusnya kita memanggil teman kita di 'geng' sebagai cara terakhir, 'kan?" ucap Dick jenaka sambil menyenggol lengan Tim, menghiburnya.
"Dick."
Bruce tampak tidak terkesan dengan usahanya. Tapi Dick mengangkat kedua bahu, mencoba bersikap santai, atau lebih tepatnya menjadi dirinya sendiri yang optimis dan ceria.
"Kalau begitu, tidak ada Titans, tidak ada Young Justice. Hanya kita dan dia. Setuju?" tanyanya.
Naas, tidak ada satu pun dia antara mereka yang merespon gagasannya. Dick tersenyum lebar, tapi senyum itu perlahan berubah canggung. Oh, tidak, sepertinya hanya dia yang berwarna, sedangkan yang lainnya bagaikan kelelawar gelap pemuram yang tinggal di gua seumur hidup.
* * *
"Hei, Cass! Stop!"
Stephanie berseru kencang, memanggil nama temannya sambil menembakkan grapple gun. Angin malam yang berhembus mengaburkan suaranya ketika dia berpindah dari bangunan ke bangunan lainnya. Sebenarnya dia sendiri tidak yakin kenapa dia sedang berayun kesana-sini mengejar temannya, Cassandra, yang berada di depannya. Tapi, tidak peduli berapa kali dia memanggil, temannya itu tidak kunjung berhenti.
"Bukannya kita harus pergi ke Batcave sekarang? Bruce dan yang lainnya sedang menunggu di sana!" Stephanie kembali berteriak.
Cassandra tidak merespon, dia terus berayun di antara bangunan. Menyadari kalau temannya yang sangat keras kepala itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah, pada akhirnya dia memutuskan untuk berhenti dan mendarat dengan kedua kaki di atap sebuah apartemen. Melihat hal tersebut, Stephanie tentu saja tersenyum puas sambil ikut mendarat di sebelahnya, dia tahu kalau sahabatnya itu tidak akan pernah bisa mengabaikannya.
Awalnya, Stephanie ingin melontarkan sebuah candaan kalau dia juga malas berkumpul dan lebih memilih untuk bersenang-senang seperti menonton film atau mungkin mengejar gadis bernama Vendetta itu tanpa perlu memikirkan rencana. Tapi, melihat ekspresi Cassandra yang lebih muram dari biasa, lebih muram dari Bruce, dahinya pun berkerut.
"Ada apa, Cass? Ada sesuatu yang mengganggumu?" tanyanya pelan-pelan.
"Kau pergi saja," jawab Cassandra, tanpa sengaja menghindari tatapan mata temannya.
Itu adalah gerakan yang salah total. Stephanie tentu saja langsung menyadari kalau ada sesuatu yang mengganggu gadis itu, sesuatu yang dia sembunyikan darinya dan keluarganya.
"Tidak, aku akan tetap di sini!" ucap Stephanie keras kepala. "Kau mungkin bisa mengelabui mereka, tapi kau tidak bisa berbohong padaku, Cass." Dia berkacak pinggang. "Ayolah, kau sahabatku! Aku tahu ada yang salah! Tentang rencana mereka nanti, aku bisa tanya Tim, dia pasti akan menjelaskannya! Kita saling curhat saja! Aku juga mau curhat!"
Cassandra menghela napas. Stephanie memang seperti ini, dan itulah yang membuat mereka menjadi teman dekat. Sepertinya dia tidak bisa menutupinya lebih lama lagi.
"Ini tentang gadis itu," katanya pelan.
* * *
Chapter 14: The Suspect Pursuit
Chapter Text
Suasana Batcave terasa menegangkan sekarang. Belum ada satu pun yang buka bicara sejak terakhir kali Dick mencoba mencairkan suasana—meskipun tidak berhasil. Kini mereka sedang sibuk dengan pemikiran masing-masing, mempertimbangkan tentang perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka, membuatnya terbagi menjadi dua belah pihak. Tim bungkam, dia menghindari tatapan Damian, atau mungkin tatapan semua orang yang ada di sekitarnya. Setiap detiknya, dia semakin merasa kalau dia memang terdengar tidak masuk akal dan konyol, tapi itu tidak akan pernah menghentikannya untuk mempercayai apa yang dia percaya.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" Dick membuka suara, memecah keheningan.
Belum ada satu pun yang kunjung menjawab, sampai akhirnya Bruce menggerakkan tangan kekarnya untuk menggeser sesuatu, membuat hologram besar yang terpampang jelas di hadapan mereka bergeser, menampilkan beberapa informasi yang telah mereka kumpulkan dari berbagai sumber mengenai Black Water ataupun Vendetta.
Tentang gadis itu, mereka hanya memiliki informasi tentang bagaimana penampilannya, kejahatan yang dia lakukan, kekuatan super, serta analisis titik lemah kekuatan supernya yang masih ditelusuri. Sedangkan tentang Black Water, ada beberapa lembar kertas yang ditemukan oleh Tim, data orang-orang yang dicurigai sebagai anggota, barang bukti yang ditemukan seperti racun yang empat pria itu gunakan untuk bunuh diri, serta sebuah lokasi yang diduga sebagai target selanjutnya. Selain hal tersebut, semua yang mereka miliki masih abu-abu.
"Untuk sekarang, kita putuskan kalau Black Water juga berpotensi jadi ancaman besar, dan tentang gadis itu, kita harus tetap menangkapnya. Terserah apakah dia benar-benar musuh kita atau bukan. Apa yang telah dia lakukan membuat kita tidak bisa membiarkannya begitu saja, dia harus tahu apa konsekuensi dari perbuatannya," ucapnya dengan suara tegas.
Semuanya masih terdiam. Kalau Bruce sudah berkata seperti itu, maka keputusan sudah bulat dan kemungkinan besar tidak bisa diganggu gugat. Sebagai mentor sekaligus sosok ayah bagi mereka, pria itu memiliki kekuasaan tertinggi sekaligus penengah kalau ada yang berselisih dalam keluarga. Dia lebih banyak tahu dan berpengalaman dibanding mereka, dia melihat dari berbagai sudut pandang. Entah itu dirinya sendiri, Tim, Damian, atau bahkan seluruh dunia. Perannya sebagai The Dark Knight yang melindungi Gotham selama puluhan tahun tentu saja bukanlah sebuah isapan jempol belaka, dia sama sekali tidak bisa diremehkan.
Bruce menoleh pada Tim. "Maafkan aku, Tim. Aku tahu apa yang kau coba katakan. Tapi dia sudah membunuh banyak orang sendirian, hanya dalam selang waktu satu atau dua hari. Kita tidak bisa mengambil resiko apa pun atau membiarkan dia melakukan itu lagi," ujarnya.
Lidah Tim terasa kelu. Dia tidak sanggup mengatakan apa pun selama beberapa saat, dia juga tidak lagi membantah, seolah ada sesuatu yang menggumpal di kerongkongannya. Semua yang Bruce katakan tidak salah—tidak, segala pendapat yang dia dengar sampai saat ini tidak ada satu pun yang salah. Pendapat yang mereka miliki memang bertolak belakang, tapi berbeda bukan berarti salah. Akhirnya dia pun menghela napas berat, lalu menggelengkan kepala.
"Tidak, harusnya aku yang minta maaf, Bruce. Aku mengerti," ujarnya pelan, ekspresinya lesu.
Tim mengerti, dia sungguh mengerti. Orang waras mana pun pasti akan berpikiran seperti Bruce dan Damian, atau bahkan Dick—dia yakin kalau laki-laki itu juga berada di pihak yang sama dengan mereka berdua. Ini bukan keadaan yang mudah, dia tidak menginginkannya.
"Tapi, kita bisa coba bicara dengannya dulu. Negosiasi."
Mendengar hal tersebut, Tim yang semula menundukkan kepala kini sontak mendongak dan menoleh ke arah Bruce. Mata birunya melebar, menatap pria itu dengan pandangan terkejut campur heran, seolah meminta penjelasan tentang apa yang baru saja dia katakan.
"Dibanding menyerangnya langsung seperti waktu itu, kita bisa coba negosiasi dengannya. Mungkin itu lebih efektif." Bruce berkata dengan nada suara yang mantap. "Kalau dia masih waras, dia akan menyempatkan waktu untuk mendengarkan kalau dia tidak bisa seenaknya. Ini tidak beresiko besar, dan kalaupun dia tidak mendengarkan, kita tidak akan rugi apa pun. Menyerangnya seperti waktu itu justru membuat kerusakan tambahan yang tidak perlu."
"Negosiasi?" respon Damian, dia mengangkat sebelah alis. Matanya melirik ke arah Bruce, "Ayah, aku sudah bilang kalau dia tidak akan pernah mendengar apa yang kita katakan," ujarnya.
"Kita beri dia kesempatan terakhir," kata Bruce final.
"Kesempatan?"
Damian lagi-lagi membeo, dia mengedipkan mata sebanyak beberapa kali. Dia hendak menyanggah ucapan tersebut, sebagaimana dia menyanggah semua perkataan Tim dengan tegas. Tapi kalau ayahnya yang berkata seperti itu, maka dia akan berusaha menurut. Lagipula kalau dia melawannya, dia mungkin tidak akan menang. Hampir tidak bisa dihitung jari laki-laki itu memberontak dan melanggar omongan Bruce dan pada akhirnya hal yang buruk terjadi.
"Baiklah, negosiasi." Damian menyerah, nadanya disisipi sedikit ejekan.
Merasakan ketegangan yang mulai mereda, Dick mengangguk-angguk. "Oke, kita akan negosiasi dengan gadis itu dulu," katanya, menyetujui dengan mudah. Tapi kemudian suaranya berubah pelan. "Tapi kalau ini gagal ...." Dia sengaja menggantung kalimatnya.
"Kalau ini gagal ...."
Bruce menatap mereka satu per satu, terutama Tim, pandangannya intens ke arah laki-laki itu. Tim hanya bisa menelan ludah, menunggu kalimat apa yang akan dia katakan selanjutnya dalam diam. Ketegangan di antara mereka sama sekali belum mereda, jantungnya berdegup kencang, pikirannya menduga-duga segala kemungkinan terburuk yang pernah ada.
"Kalau ini gagal, maka kita tidak punya pilihan lain. Kita semua benar-benar harus menjatuhkannya secara paksa, entah dia suka atau tidak," tegas Bruce.
Dick dan Damian mengangguk setuju, sementara itu, Tim terdiam selama beberapa saat sampai akhirnya ikut menganggukkan kepala. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan, tapi dia harap dia tidak mempercayai hal yang salah, dia harap semuanya berjalan dengan baik.
"Sebelum itu," Bruce masih memandang Tim dengan sorot mata serius, "kita harus menemui seseorang, bersiaplah," ucapnya.
Tim mengangguk patuh. Bruce beranjak dari tempatnya berdiri, begitu pula dengan Damian yang segera pergi meninggalkan Batcave, melakukan sesuatu yang harus dia lakukan.
Tim dapat merasakan ototnya yang semula menegang kini mulai rileks. Dia menghela napas berat, sebelum melangkahkan kaki dan berjalan mendekat ke arah etalase yang berisi barang-barang canggih yang biasa digunakan dalam aktivitas pemberantas kejahatan mereka. Dia mengambil sebuah grapple gun yang tersimpan di antara beberapa benda lain yang berjajar dengan rapi di sana. Dia juga diam-diam berharap kalau gadis itu tidak akan mengambilnya lagi hanya demi melarikan diri kalau mereka kembali bertemu.
"Hei, Tim, kau baik-baik saja?"
Dick ternyata belum pergi dari sana, dia malah berjalan menghampirinya dan melontarkan pertanyaan yang sebenarnya dia tidak ingin jawab dengan jujur.
"Ya, kenapa aku harus tidak baik-baik saja?" jawab Tim singkat, dia bahkan tidak menyempatkan diri untuk menoleh padanya.
"Damian memang kadang-kadang seperti itu, tapi bukan berarti dia tidak mau membantumu. Perbedaan pendapat di antara kita itu normal—mengingat kalau orang yang kalian bicarakan adalah assassin," ucap Dick dengan nada lembut, dia mengulas senyum. "Tapi, hei, kau tahu, 'kan, kalau Damian tidak bermaksud dengan kata-katanya yang 'itu'? Itu bukan salahmu."
Tim mengusap wajah gusar. "Apa kau mau bilang kalau kau ada di pihaknya?" katanya. "Lagipula, dia tidak salah." Dia menghela napas, untuk yang kesekian kalinya hari ini.
"Tidak! Aku netral, kok!" Dick hampir memekik panik, dia cepat-cepat menggelengkan kepala sambil melambaikan kedua tangannya dengan dramatis.
"Tapi perkataanmu membuatku berpikir seperti itu," komentar Tim, kemudian dia terdiam selama beberapa saat. "Tidak masalah, aku mengerti," sambungnya, dia tertawa hambar.
Ekspresi wajah Dick yang awalnya panik kini menjadi serius.
"Kau hanya melihat sesuatu yang tidak orang lain lihat, itu bagus."
Mendengar apa yang Dick ucapkan, Tim sontak menoleh padanya dengan mata yang mengerjap, tidak menyangka kalau dia akan mengatakan hal tersebut.
"Sesuatu yang tidak orang lain lihat?" Slisnya terangkat, heran.
"Maksudku, semua orang melihatnya sebagai orang jahat, 'kan? Mereka menutup mata karena semua hal yang telah dia lakukan. Aku tidak tahu apa kau sepenuhnya benar atau tidak, tapi terkadang kita memang harus coba melihat dari perspektif yang berbeda," ucap Dick.
"Begitu?"
Sebuah senyum tipis akhirnya terukir di bibir Tim. Ah, Dick memang kakak favoritnya yang paling dia sayangi. Dia adalah seorang panutan, tidak hanya baginya, tapi bagi orang lain juga. Dari semua anggota Batfamily, dia lah yang paling disukai semua orang. Tidak hanya pengertian, tapi juga mudah bergaul dan membuat siapa pun merasa nyaman di sebelahnya. Benar-benar sosok kakak sekaligus teman baik hari yang diidamkan semua orang.
"Jadi, ceritakan padaku tentang gadis itu." Dick tersenyum lebar, menampakkan barisan giginya yang rapi. "Aku kemarin sibuk di Bludhaven jadi aku tidak tahu apa pun—selain tentang kejahatannya, tentu saja. Kau bilang kau bertemu dengannya, 'kan?" Dia tampak penasaran.
"Ceritakan? Apa yang harus ceritakan?" Tim memiringkan kepala, lalu tertawa kecil seolah apa yang dia dengar sangat konyol baginya. "Tidak ada yang menarik," balasnya acuh.
"Kau yakin tidak ada yang menarik?"
Dick tentu saja tidak akan mempercayai jawaban yang dia berikan, Tim tidak menyembunyikan kebohongannya dengan sangat baik—dia cukup payah. Tim yang menyadari kalau Dick malah memasang sebuah seringaian jahil atas dustanya pun jeda sesaat, memikirkan jawaban apa pun yang mungkin bisa memuaskannya. Dipikir-pikir, justru sebaliknya, semua hal tentang gadis itu sangat menarik baginya. Mulai dari kekuatannya, sampai penampilannya. Tapi ....
"Dia sangat kuat."
Hanya itu yang bisa—ingin—Tim katakan.
"Ayolah."
Dick menyenggol lengannya dengan jahil, menggodanya dengan harapan kalau laki-laki itu akan menurunkan pertahanannya dan berkata jujur. Tapi, sebelum dia sempat menjawab atau mengucapkan apa pun lagi, suara Bruce yang berat menggema di dalam Batcave.
"Aku dapat posisinya. Ayo, Tim," panggilnya.
"Trims, Dick." Tim tersenyum.
Dick membalas senyumannya, ditambah sebuah lambaian tangan. Matanya mengikuti Tim yang berjalan pergi dari sisinya. Adiknya itu sudah jauh lebih dewasa dibanding saat mereka pertama kali bertemu, mungkin dia akan melampauinya—meskipun dia tidak ingin dikalahkan, sih. Tim melangkah ke arah Bruce yang sudah menunggunya dengan tidak sabaran di dalam Batmobile, sampai akhirnya dia tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh, membuat Dick mengerutkan dahinya heran. Apa dia kelupaan sesuatu? Atau mungkin dia ingin mengajaknya juga?
"Oh, ya, ngomong-ngomong, apa kau bisa membantuku mencari Steph dan Cass?" tanyanya, "Katakan kalau aku ingin berbicara dengan mereka nanti."
Ternyata dia bukan ingin mengajaknya.
"Tentu."
Tanpa banyak pikir, Dick mengiyakan. Dia tidak terlalu yakin, tapi dia dapat melihat Tim menyunggingkan sebuah seringaian samar sebelum akhirnya pergi dari sana, menaiki Batmobile dengan kecepatan penuh. Seolah-olah laki-laki itu punya rencananya tersendiri.
* * *
Harley Quinn, mantan Joker, yang biasanya hobi menciptakan keributan, sedang berjalan-jalan ria di Gotham dengan pipi yang menggembung ketika dua kelelawar pemuram tiba-tiba datang dan melompat ke arahnya tanpa diundang. Kaget, dia refleks melempar sebungkus sandwich yang sedang asyik dia makan ke sembarang arah kemudian segera melarikan diri dari sana.
"Berhenti kabur!" pekik Tim frustasi.
Menemukan Harley tidak mudah, apalagi berbicara dengannya saat wanita itu sadar kalau dirinya sedang diincar untuk ditanyai sesuatu tentang gadis assassin bernama Vendetta tersebut. Ya, dia mungkin pernah bilang kalau dia akan reformasi, memperbaiki semua kelakukan buruknya dan berubah menjadi orang baik. Tapi, wanita itu adalah seseorang yang tidak pernah terduga, bahkan setelah dia meninggalkan sisi Joker. Pengejaran hebat pun terjadi.
"Kalau kau ingin aku berhenti kabur, maka kau juga harusnya berhenti mengejarku!" Harley berseru, melompat melewati rintangan yang ada di hadapannya.
Merasa usahanya, tidak kunjung membuahkan hasil, akhirnya Harley memutuskan untuk masuk ke sebuah bar yang ramai, berharap agar kedua vigilante tersebut kehilangan jejaknya di tengah keramaian orang yang sedang menari. Dia berkali-kali membanting meja, menahan pintu, menjatuhkan rak, atau bahkan melemparkan benda sekuat tenaga ke arah mereka agar keduanya berhenti mengejar. Tapi, semua itu tidak memadamkan tekad yang mereka miliki.
Harley tidak memiliki grapple gun ataupun barang lainnya yang secanggih atau seberguna utility belt yang Tim serta Bruce gunakan. Setiap detiknya, usaha dia menjauhkan diri sekaligus menjatuhkan mereka berdua semakin sia-sia, justru dia lah yang sepertinya akan dijatuhkan.
"Ow—Bats! Aaaaaakkk!"
Harley memekik ketika dia hampir menabrak tembok, pandangannya terlalu fokus pada mereka berdua hingga dia tidak sempat memperhatikan jalan ke depan. Ujung-ujungnya, Tim dan Bruce berhasil memojokkannya ke sebuah jalan buntu yang gelap dengan tembok yang menjulang tinggi di sekeliling, menggagalkan semua rencana jeniusnya yang tersisa untuk melarikan diri.
"Kau orang yang ada di mobil itu."
Suara Bruce meluncur dengan tegas dan penuh intimidasi, Harley dapat merasakan angin yang berhembus malam ini bahkan kalah dinginya dibanding suaranya.
"Mobil apa?" Dia mencoba berlagak polos sambil mengangkat kedua bahunya.
Bruce tidak ada waktu untuk main-main. "Jangan omong kosong!" serunya, sambil berjalan mendekat. "Kau tahu dia. Katakan semua padaku tentangnya."
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Bats!"
Harley mengambil langkah mundur tiap kali Bruce mendekat, menjebaknya di antara tembok. Dia harus segera kabur dari sana atau semuanya akan gawat. Tapi, begitu dia menoleh ke balik bahu Bruce guna mencari jalan keluar, dia melihat Tim yang sudah siaga dengan tongkat atau apa pun yang dia siap keluarkan dari utility belt-nya. Wanita itu menelan ludah, mencoba mencari celah barang sedikit pun sambil tetap bersikap agar tidak terlihat mencurigakan.
"Kau tahu siapa yang aku maksud. Gadis itu, Vendetta," kata Bruce tajam. Dia menyebutkan nama gadis itu dengan penuh penekanan, seolah menekankan betapa pentingnya hal ini.
Mendengar nama tersebut, Harley pura-pura terkejut selama beberapa saat, berlagak seolah dia tidak pernah mendengarnya dimana pun. Tapi dia tidak bisa menahannya lebih lama lagi, berpura-pura bodoh kadang tidak seru, jadi dia perlahan menyeringai. Saat itu juga, Tim dan Bruce menyadari kalau mereka sedang mengejar orang yang benar.
Harley menggelengkan kepalanya. "Sorry, tapi—"
"Kau akan menyesali ini, Harley."
Mengetahui kalau wanita itu lagi-lagi akan mengelak dan mengabaikan mereka, Bruce segera memotong kalimatnya dengan suara penuh ancaman. Pandangannya dingin, ekspresi yang ada di balik maskernya sulit dijelaskan, tapi siapa pun tahu kalau dia sama sekali tidak terkesan.
"Kau bilang kau ingin reformasi, tapi kau berada di pihaknya. Kau tahu siapa dia. Dia assassin, pembunuh. Kalau kau benar-benar ingin berubah, maka kau membantu orang yang salah."
Ekspresi Harley berubah kecut. Dia tahu intonasi itu, itu adalah intonasi di mana semua orang menganggapnya remah dan tidak ada seorang pun yang percaya kalau dia bisa berubah. The Dark Knight pernah seperti itu kepadanya beberapa waktu lalu, dan dia tidak menyukainya.
"Aku hanya ingin membantunya!" seru Harley, membela dirinya sendiri.
"Membantu?" Bruce mengerutkan wajah, jarak di antara mereka semakin dekat. "Dengarkan aku, Harley. Kalau kau ingin membantunya, kau harus memberitahuku!" desaknya.
"Aku tidak tahu apa pun tentangnya!"
Harley masih keras kepala, dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia mendorong Bruce, kemudian melancarkan kombinasi pukulan serta tendangan kuat yang mungkin bisa menjatuhkan pria tersebut. Tapi, tentu saja Bruce tidak bisa dikalahkan dengan mudah.
"Jangan melawan, Harley Quinn! Ini demi kebaikan dia sendiri!" Tim tiba-tiba berseru.
Harley yang sedang bergulat dengan Bruce sontak mendongak ke arahnya. Melihat ekspresi Tim yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, dia seketika tertegun. Vendetta pernah bercerita tentangnya. Tidak banyak, tapi dia dapat membaca ekspresi gadis itu tiap kali dia menjawab pertanyaan yang terlontar darinya mengenai si Robin. Tanpa sadar, Harley menghentikan pergerakannya, tidak lagi memberontak dan mencoba meninju Bruce. Sebaliknya, dia menghela napas, dia akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dia duga akan melakukannya.
"Aku tahu sedikit tentang Black Water, dan aku akan memberitahu kalian dengan satu syarat."
* * *
Vendetta masih bisa tertidur nyenyak meskipun dia habis menghabisi banyak orang. Membunuh adalah bagian dari pekerjaannya. Dia sudah terbiasa, dia melakukannya selama beberapa tahun. Nyawa manusia yang telah dia renggut dengan tangannya bahkan tidak bisa lagi dihitung dengan jari. Tapi, hanya itulah yang dia tahu. Orang-orang hanya mengajarinya membunuh dan melupakan apa yang dia miliki sejauh yang bisa dia ingat. Meskipun dalam tidur banyak mimpi buruk datang dan pergi, mimpi buruk tersebut tapi tidak pernah lebih buruk dari kenyataan.
Sampai akhirnya, gadis itu tiba-tiba terbangun. Bukan karena mimpi buruk tentang keluarga yang tidak pernah dia miliki, bukan pula karena dia tidak bisa tidur, melainkan karena dia mendengar sesuatu yang mencurigakan. Dia adalah assassin, dia memiliki indera yang sangat terasah, salah satunya pendengaran yang tajam. Dia akan tahu kalau ada sesuatu yang salah.
Ketika Vendetta beranjak dari kasur dan menyalakan lampu, matanya yang berwarna emas dapat melihat sesuatu yang menancap di tembok kamarnya. Curiga, dia berjalan mendekat tanpa satu pun keraguan. Dia memicingkan mata, memusatkan fokus. Ternyata itu adalah sebuah belati, belati hitam miliknya, dengan sebuah kertas kecil yang diikat oleh tali disekitar gagangnya. Dia mengulurkan tangan, kemudian cepat-cepat membuka kertas kecil tersebut.
[Kau memainkan permainan yang berbahaya, Vendetta.]
[Datanglah pada kami. Kami masih menginginkanmu.]
[Kau juga menantikan hari 'itu', bukan?]
[Tapi sayangnya, kau adalah senjata, dan kau akan tetap seperti itu.]
Vendetta menggertakkan gigi. Sebenarnya ancaman itu tidak berarti apa-apa baginya. Dia tidak takut, dia sudah tidak pernah merasa takut lagi pada orang-orang yang membuatnya seperti ini. Dia marah, marah besar. Seenak jidat menyebutnya senjata, padahal dia juga manusia—dia masih ingin dianggap sebagai manusia meskipun dia membunuh banyak orang. Tapi kalau tujuan mereka adalah memancingnya, mereka sukses. Selamat, dan jangan menyesalinya.
Tentu saja Black Water tidak akan membiarkannya begitu saja. Mungkin mereka tidak peduli dengan pembunuhan yang pertama, tapi pembunuhan kedua yang membuat mereka terpaksa menghancurkan tempat mereka sendiri dan membuang sebagian yang mereka mereka punya, belum lagi dia berhasil mengalahkan sekelompok pasukan serta seorang metahuman yang dikirim untuk menangkapnya. Apa yang telah dia lakukan pasti membuat mereka murka. Tapi, kalau dipikir-pikir, sejak kapan mereka tahu di mana dia tinggal? Ada sesuatu yang salah.
* * *
Chapter 15: The Blackest Water
Chapter Text
"Aku ingin kalian tidak membiarkan mereka melakukan itu lagi padanya."
Saat itu, malam yang dingin dan gelap di sudut Gotham. Langit tampak suram, cahaya bintang-bintang mengintip malu dari balik awan tebal yang gelap. Lampu jalanan berkedip, menambah suasana misterius dan mencekam di sekitar. Suara mobil yang terkadang berlalu lalang, gemerisik dari sesuatu yang terdengar samar dan tidak diketahui, serta langkah kaki gusar menjadi latar belakang yang sudah biasa bagi penduduknya.
Gotham bukan tempat yang aman. Kota ini penuh berbagai tindak kriminal yang bisa ditemukan di setiap sisinya. Kejahatan tidak pernah tidur, bahkan ketika bulan bersinar terang di langit. Kebanyakan orang akan lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah pada malam hari, menutup pintu dan jendela rapat-rapat bagaikan tidak ada hari esok, kemudian tidur setengah nyaman dengan pistol yang tersimpan baik-baik di nakas.
Di sebuah gang terpencil, seorang anak kecil berdiri sendirian. Matanya yang berwarna emas bagaikan satu-satunya bintang yang bercahaya terang di tengahnya malam. Dia terdiam di sana, tidak mengatakan apa pun. Usianya mungkin tidak lebih dari sepuluh tahun. Dia masih sangat muda, masih banyak hal yang tidak dia ketahui tentang dunia yang keras dan kejam, sisi tergelap dari Gotham tidak pernah terbesit dalam pikirannya. Di salah satu tangannya yang mungil, dia menggenggam sebuah belati, ujungnya yang tajam berkilauan terkena cahaya.
Anak kecil itu memainkan belati tersebut dengan cukup lihai. Memutar, melempar, dan menangkapnya berulang kali dalam telapak tangan. Tidak ada yang tahu kalau dia pernah menyentuh benda berbahaya seperti itu sebelumnya, dan kalau orang tuanya tahu, mungkin dia akan dimarahi. Itulah kenapa dia berada di sini sendirian. Bisa dibilang, ini adalah tempat rahasianya. Tempat di mana dia bebas menunjukkan sisi dirinya yang berbeda dari orang lain, tempat di mana dia bisa melakukan apa yang dia ingin lakukan dengan 'sesuatu' yang dia miliki.
Tidak ada seorang pun yang pernah tahu kalau dia ada di sana. Dia tidak pernah memberitahu siapa-siapa, dia juga selalu berhati-hati tiap kali dia datang ke sini, memastikan tidak ada seorang pun yang mengawasinya. Seharusnya begitu, seharusnya tidak ada yang tahu. Tapi, detik itu juga dia dapat mendengar sesuatu yang mendekat ke arah tempat rahasianya.
Itu adalah suara mobil yang datang. Dari ujung matanya, dia dapat melihat sebuah mobil berwarna hitam metalik berhenti di bagian ujung gang. Suara mesinnya yang halus terdengar jelas dikeheningan malam. Mobil tersebut tampak sangat mewah, kontras sekali dengan suasana sekitar yang tampak agak kumuh dan berantakan, seolah-olah mobil tersebut berasal dari dunia yang berbeda. Menyadari hal tersebut, anak kecil itu cepat-cepat bersembunyi di balik tumpukan kotak penuh rongsokan yang bahkan tidak cukup untuk menyembunyikan seluruh tubuhnya. Dia mengintip, memperhatikan tanpa satu pun suara.
Tidak lama kemudian, pintu bagian belakang mobil terbuka, seorang wanita muncul dari dalam sana dengan gerak tubuh yang anggun. Wanita itu mungkin berusia sekitar pertengahan dua puluh tahunan, wajahnya tidak terlalu terlihat jelas. Rambut panjangnya yang berwarna ungu gelap dengan gradasi putih di bagian bawah berayun lembut seiring dia melangkahkan kaki. Dia mengenakan mantel hitam dan kemeja putih lengan panjang. Kemeja tersebut tampak sangat pas di tubuhnya yang ramping, dimasukkan ke dalam celana berwarna abu-abu yang dibalut sebuah sabuk berwarna senada dengan rambutnya. Dia juga mengenakan sarung tangan kulit berwarna hitam dan kalung bunga lily berwarna putih pucat di leher.
Seraya wanita itu berjalan, ada dua pria berjas hitam yang mengikuti di belakangnya. Mereka memegang dua buah payung, menaungi wanita tersebut entah dari apa. Mungkin debu yang bertebaran atau mungkin hal lainnya, wajar saja kalau orang yang terlihat kaya dan berkelas sepertinya tidak ingin kotor. Sementara itu, di belakang mereka ada seorang wanita lainnya. Wajahnya ditutupi oleh sebuah masker berbentuk aneh. Desainnya menyerupai wajah oni—iblis—dengan dua gigi taring besar yang menonjol keluar dari sisi mulut masker. Bukan payung seperti yang dua pria tersebut pegang, di tangannya justru ada sebuah tameng.
Anak kecil itu terdiam, memperhatikan mereka yang berjalan masuk ke dalam gang, perlahan mendekat ke arahnya. Kepala kecilnya berpikir apa yang akan mereka lakukan di tempat seperti ini. Penampilan mereka tidak biasa, bahkan sedikit mencurigakan baginya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menunggu apa yang akan terjadi atau pergi dari sana sekarang? Pilihan terakhir mungkin pilihan yang terbaik, hanya saja sesuatu seakan mencegahnya. Dalam hatinya, dia samar-samar dapat merasakan kalau wanita itu juga sama dengannya.
"Aku tahu kau ada di sana. Keluarlah, jangan takut."
Wanita itu tiba-tiba membuka suara, membuat anak kecil itu berjengit dari tempatnya berdiri. Kehadirannya yang terungkap membuatnya terkejut. Tapi, mempertimbangkan sesuatu yang dia rasakan di hatinya, dia menolak mundur. Dengan sedikit keraguan, anak kecil itu melangkah dari balik tumpukan kotak, menampakkan diri. Dia tidak terlalu takut, lagipula dia tahu kalau dia berbeda dari kebanyakan orang. Dia juga punya sebilah belati dalam genggaman tangannya, dia bisa menggunakan itu untuk membela diri kalau semua berubah menjadi tidak terkendali.
Tersenyum, wanita itu melambaikan tangan pada tiga orang yang berjalan di belakangnya, menyuruh mereka untuk berhenti mengikuti dan menunggunya di sana. Setelah itu, dia melangkahkan kaki semakin dekat ke arah si anak kecil. Ketika mereka berdua saling berhadapan satu sama lain, dia berjongkok dan menyamakan tinggi dengannya.
"Kau yang membuat belati itu?"
Wanita itu bertanya sambil menunjuk ke arahnya dengan jari, seolah menunjuk langsung belati yang anak kecil itu sembunyikan di balik punggung, membuat mata bulatnya berkedip. Bagaimana wanita itu bisa tahu? Dia sudah menyembunyikannya sejak tadi. Lagipula, orang manapun pasti tidak akan menanyakan pertanyaan semacam itu atau menyimpulkan hal demikian. Entah wanita itu yang sangat pintar atau dia yang kurang hati-hati.
"Jangan takut, aku bukan orang jahat."
Suara yang melantun dari bibirnya terdengar sangat lembut, bagaikan lagu penghantar tidur di tengah hujan deras. Anak kecil itu diam-diam meneguk liur, bimbang apakah dia harus berkata jujur atau tidak. Wanita itu mungkin terdengar ramah dan dia merasa kalau mereka tidak jauh berbeda, tapi ini adalah Gotham, mempercayai orang asing bisa sangat berbahaya.
"Aku tidak seperti mereka yang mencoba melukaimu. Aku sama sepertimu."
Sama sepertinya.
Kalimat tersebut terulang beberapa kali dalam benak, membuatnya merasa ditemani.
"Lihat aku." Suara lembut wanita itu kembali terdengar.
Anak kecil itu mendongak. Ketika wanita itu maju satu langkah lebih dekat dan mengangkat kepala, cahaya lampu gang yang remang-remang menerpa wajahnya, memperlihatkan dengan jelas rupa asli dari sosok yang berbicara dengannya. Anak kecil itu tidak berkedip, dia terpana.
Wanita itu sangat cantik, fitur wajahnya tampak tegas tapi juga halus, seolah dipahat oleh tangan dewa dewi, bibirnya pun ranum alami. Tapi, yang paling menarik perhatian adalah matanya kanannya yang cukup aneh dan mencolok. Ada sebuah segitiga kecil di bagian pupilnya, warnanya yang putih kontras sekali dengan irisnya yang berwarna merah.
"Apa belati itu kekuatanmu?" Suaranya masih selembut sutra.
Anak kecil itu terkesiap, seketika kembali pada kenyataan. Tersadar kalau dia telah diam terlalu lama, dia akhirnya memutuskan untuk menganggukkan kepala. Kalau wanita itu memang sama sepertinya, mungkin dia bisa mempercayainya. Perlahan, dia pun mengeluarkan belati yang dia sembunyikan di balik punggungnya. Dengan hati-hati, wanita itu mengulurkan tangan dan meraih belati tersebut dari seolah itu adalah benda yang berharga juga berbahaya.
"Kau punya kekuatan yang sangat unik."
Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya ketika dia memeriksa belati itu secara seksama. Memperhatikan bentuk, merasakan tekstur, serta menghitung seberapa kuat ketahanannya. Mendengar hal tersebut, mata anak kecil itu berbinar. Awalnya, dia mengira wanita itu akan mengatakan sesuatu yang buruk, bukan memujinya. Tapi, mungkin dia hanya terlalu paranoid.
"Namaku Shawn, siapa namamu?"
Wanita itu bertanya sambil meraih tangannya, mengembalikan belati tersebut ke genggamannya. Dengan lembut, dia membungkus belati itu dalam jari-jarinya yang mungil.
Si anak kecil menjawab, "Namaku [][][]."
Tanpa memberi respon, wanita itu menguatkan pegangannya, seolah tidak akan melepaskan tangan tersebut dalam waktu dekat. Anak kecil itu awalnya biasa saja, menganggap itu hanya sebuah interaksi ramah antar orang baru, tapi lama kelamaan dia mulai merasa aneh. Seolah ada sesuatu yang menyerap sebagian dari dirinya, dan saat dia hendak menarik tangan, mata segitiga milik wanita itu tiba-tiba menyala terang. Setelah itu juga, tubuhnya mendadak tidak bisa digerakkan, seakan-akan dia membeku karena sentuhan tersebut.
"Siapa namamu?" Entah mengapa, wanita itu kembali menanyakan namanya.
"Aku ...."
Suara anak kecil itu perlahan berubah pelan lalu lenyap, menghilang.
Dia tidak ingat.
Dia tidak mengingat namanya.
Menyadari reaksinya sesuai apa yang dia harapkan, wanita itu tersenyum. Senyumnya yang semula hangat kini menjadi seringaian. Tapi dia harus menahan diri dan tidak menunjukkan sisi aslinya, dia belum boleh tertawa puas sekarang. Dia pun memilih untuk mengulurkan tangan, menyentuh pundak si anak kecil, berperan sebagai seseorang yang berusaha menenangkannya.
"Tidak apa-apa, kau aman sekarang," bisiknya.
* * *
Di bawah langit malam yang kelam, Tim dan Bruce berdiri di balik bayangan gedung yang diduga sebagai markas utama Black Water. Mereka sudah menyelidiki dan melakukan segala yang mereka bisa, semua petunjuk yang telah mereka kumpulkan pada akhirnya mengarah pada gedung ini. Sebuah gedung pencakar langit bergaya arsitektur futuristik minimalis dengan papan nama besar bertuliskan 'Paradeisos' di bagian depannya.
Paradeisos adalah sebuah perusahaan konglomerat internasional yang memiliki pengaruh di berbagai sektor industri, termasuk teknologi, farmasi, dan energi. Meskipun tidak seterkenal Wayne Enterprises atau LexCorp Incorporated, Paradeisos termasuk perusahaan yang memiliki nama baik sepanjang sejarahnya. Selain itu, Paradeisos juga tidak pernah berseteru dengan vigilante ataupun para kriminal—Tim hampir tidak percaya begitu dia mengetahui hal ini. Karena ternyata, berbanding terbalik dengan semua hal yang mereka lakukan demi masa depan negara, ada sebuah organisasi misterius bernama Black Water yang bersembunyi di baliknya. Lab bawah tanah serta barang mahal yang ada di gedung sebelumnya menjadi masuk akal.
Meskipun waktu sudah sangat larut, orang-orang masih tampak sibuk. Pria serta wanita yang berpakaian rapi dengan jas dan dasi, serta sepatu berkilau, berjalan dengan langkah cepat keluar masuk dari gedung tersebut sambil sesekali memeriksa handphone atau tablet mereka, memastikan tidak melewatkan satu pun informasi penting yang ada di dalamnya. Beberapa di antara mereka adalah para pegawai yang hendak pulang setelah jam kerja yang panjang, tapi ada pula yang masih memikul tugas yang perlu diselesaikan dan terpaksa bekerja lembur.
Mungkin tidak terlalu mencolok dan berbaur dengan sangat baik, tapi Bruce tahu pasti kalau gedung tersebut kini dikelilingi oleh beberapa penjaga yang berjaga-jaga dengan ketat di setiap sudutnya, seolah siap untuk berperang kapan pun. Pria itu, dengan matanya yang tajam, mengamati setiap pergerakan terkecil di sekitar sana. Di sampingnya, Tim tidak kunjung menurunkan kewaspadaan. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, tapi dia tahu kalau ini adalah saat yang paling penting. Dia harus tetap tenang, fokus, dan siap.
Vendetta bukan lawan biasa, dia berbeda dengan semua orang yang pernah mereka lawan sebelumnya. Dia sangat kuat, misterius, dan selalu satu langkah di depannya. Tapi malam ini, mereka berdua bertekad untuk menghentikan dan menyelesaikan semuanya.
"Dia datang."
Bruce menoleh pada Tim setelah Barbara memberi informasi melalui earpiece-nya, saat yang bersamaan ketika alat canggihnya mendeteksi kehadiran gadis itu di sana. Dia telah tiba, dia akan mulai menyerang, dan dia tidak akan berhenti sampai balas dendamnya terbalaskan.
"Bergerak!" seru Bruce kencang.
Tim mengangguk mantap, jubahnya berkibar tertiup angin malam yang dingin. Bruce mengepalkan tangan, siap beraksi juga siap melayangkan beberapa tinju. Tapi, tepat saat mereka menembakkan grapple gun, hendak meluncur dan mengeksekusi rencana untuk menangkap gadis itu, suara tenang seorang wanita tiba-tiba terdengar dari arah belakang.
"The Dark Knight dan Robin."
Keduanya seketika membatu di tempat mereka berpijak dan waktu seolah telah terhenti. Menyadari sesuatu yang di luar dugaan sedang terjadi, mereka secepat mungkin memutar tubuh dan mendapati seorang wanita berambut panjang yang berdiri tegak sambil merapatkan jaketnya. Wanita itu terlihat seperti wanita biasa, tidak mengenakan kostum atau apa pun yang mencolok—mereka juga sudah terbiasa melihat merek pakaian mewah yang dia pakai. Tapi anehnya, mereka sama sekali tidak merasakan kehadiran wanita itu meskipun sudah sangat berhati-hati. Rasanya seperti dia muncul dari udara kosong, dan itu adalah hal yang tidak biasa.
Bagaimana wanita itu bisa tahu mereka ada di sini?
"Siapa kau?" Bruce bertanya dengan mata yang memicing, suaranya berat dan mengintimidasi. Dia tidak ada waktu untuk bermain-main dengan orang yang mengganggu rencananya, terlebih lagi kalau orang itu tampak sangat mencurigakan.
"Namaku Shawn. Apa kau mencariku?"
Wanita itu mengulas sebuah senyum, dia meletakkan tangannya di depan dada, dengan sopan memperkenalkan diri. Tapi, Tim kebingungan dan Bruce tidak terkesan. Ditatapnya wajah cantik wanita itu penuh selidik. Dia mencoba membaca ekspresinya yang tampak tenang di antara fitur wajah yang halus, mencari jawaban tersembunyi yang mungkin bisa dia temukan di baliknya.
"Temanku, Canon, punya kemampuan untuk mendeteksi ion dalam tubuh manusia. Jadi, dia tahu kedatangan 'rahasia' kalian."
Seolah bisa membaca isi pikiran Tim, wanita itu menjelaskan lebih dulu sebelum dia sempat bertanya. Tidak lama kemudian, seorang gadis berambut pirang dengan syal kotak-kotak merah dan mantel coklat tebal muncul dari balik tubuhnya.
Mata Tim seketika melebar. Gadis itu adalah gadis yang berusaha membunuhnya hari lalu. Gadis bernama Canon dengan kekuatan listrik yang berhasil Vendetta kalahkan sebelum nyaris mati tenggelam dibuatnya. Jadi, ternyata gadis itu masih hidup? Pantas saja waktu itu dia tidak bisa menemukan tubuhnya di mana pun, seseorang pasti menemukannya lebih dulu.
Tunggu, apa itu berarti ....
Tim menelan ludah.
Wanita itu mengangguk. "Ya, aku ketua Black Water," ungkapnya.
Tenggorokan Tim seolah dicekik.
Ini terlalu cepat. Ini di luar perkiraannya.
"Pergi, Robin!"
Bruce tiba-tiba berteriak sambil mengayunkan tangan, mengusir Tim dari sana. Tim mengerjapkan mata, banyak hal berputar dalam otaknya disaat yang bersamaan.
"Tapi, Batman—"
Kata-katanya terpotong.
"Pergi!" seru Bruce lebih kencang.
Vendetta pasti sudah mulai beraksi, dan mereka tidak bisa berhenti atau diam saja hanya karena kehadiran seorang wanita yang menyebut dirinya sebagai ketua dari organisasi rahasia, Black Water. Semakin lama mereka berdiri di sini, semakin banyak pula nyawa orang yang akan hilang di tangan gadis tersebut. Mereka harus cepat beradaptasi, lebih baik berpencar dan tetap kembali menjalankan rencana awal atau semuanya akan berantakan. Dia tahu itu.
"Baiklah."
Tim menggigit bibir, dia mengepalkan tangan kemudian melompat pergi dari sana dengan berat hati. Berayun, menuju ke tempat gadis itu berada. Perasaannya berkecamuk.
Bruce masih terdiam di tempatnya berdiri. Matanya tidak pernah luput dari seorang wanita dan seorang gadis yang berada tidak jauh di hadapannya. Gadis itu adalah gadis yang diperintahkan oleh seseorang untuk membunuh Tim dan dia mungkin sudah berhasil melakukannya jika saja Vendetta tidak menolongnya. Sedangkan wanita itu ... ada kemungkinan besar kalau wanita berjaket hitam itu jauh lebih berbahaya dibanding gadis tersebut.
"Membiarkan burung kecilmu yang mengejar gadis itu?" Wanita itu, Shawn, kembali berbicara. "Apa sekarang kau menganggapku lebih berbahaya darinya?" katanya, dia masih tersenyum.
Bruce tidak gentar akan ancaman tersirat yang terdengar jelas dalam suaranya.
"Kau mengaku sebagai ketua Black Water, organisasi rahasia yang entah bagaimana berhasil menyusup di bawah radarku. Kalau itu benar, ya, aku akan menyempatkan sebagian waktu untukmu. Katakan apa maumu dan apa tujuanmu!" titahnya penuh peringatan.
"Oh, gadis bernama Vendetta itu? Tentu saja kau datang ke sini karena dia. Jangan marah padanya, ini bukan salahnya." Shawn tertawa kecil, entah tawa mengejek atau tawa tulus.
Mendengar hal tersebut, Bruce otomatis mengerutkan dahi. Alisnya menukik tajam.
Wanita itu merapatkan jaketnya lagi. "Dia hanya gadis tersesat yang tidak mengenal dirinya sendiri. Dia tidak bisa mengendalikan amarahnya dan dia menggunakan apa yang dia punya untuk melampiaskannya. Lagipula, semuanya sesuai dengan rencanaku. Jadi, itu bukan salahnya kalau dia bertindak seperti itu, 'kan?" ujarnya, senyum itu berubah menjadi seringai.
"Rencanamu? Termasuk rencana untuk membunuh Robin?" Mata Bruce memicing tajam.
Wanita itu tidak menjawab. Dia maju satu, dua langkah. Bruce dapat merasakan ancaman yang sangat besar darinya, seolah dia memancarkan aura yang bisa membuat siapa pun sesak napas dan gemetar. Tapi, dia adalah The Dark Knight, keadaan seperti ini bukan yang pertama kalinya. Bruce bersiap siaga, dan hal selanjutnya yang dia sadari adalah mata milik wanita tersebut yang menyala merah dengan sebuah segitiga kontras di dalamnya. Mata yang aneh, dia tidak pernah melihatnya di mana pun—tidak, dia pernah melihat segitiga tersebut, di pin logam perak yang pernah dia temukan. Wanita itu benar-benar ketua dari Black Water.
"Kau tahu gadis itu berbahaya, kita semua tahu itu," ucap Shawn, sedikit nada bangga terselip dalam suaranya. "Dan sebelum kau bertanya kenapa aku membiarkan dia membunuh orang-orangku, aku punya alasan. Aku hanya ingin ... melihat seberapa jauh senjata seperti dia bisa membunuh karena amarah. Dia hanya senjata, kau tahu? Dia adalah senjata tidak bertuan."
Bruce rasanya ingin sekali menghajar wanita itu dan membuatnya bungkam atau mungkin membuatnya mengaku akan semua hal yang pernah dia perbuat. Tapi, dia menahan diri. Dia masih belum tahu apakah wanita itu metahuman juga atau bukan, bertindak gegabah bisa membahayakan nyawa. Bukan hanya nyawanya, tapi keluarganya juga.
"Dia bukan senjata," sanggah Bruce geram, dia tidak suka arah pembicaraan ini.
"Dia hanya senjata." Shawn berkata penuh penekanan. "Dan kalian tidak akan bisa menghentikannya," ucapnya mutlak.
"Kalau kami menghentikannya?" Bruce merasa tertantang.
"Kita lihat saja. Mungkin akan menyenangkan."
Wanita itu tersenyum, senyum yang sangat sinis.
* * *
Chapter 16: Family Versus Solo
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
Target yang sama. Orang-orang yang lemah, orang-orang yang tahu kalau mereka memihak kebusukan tapi tetap melakukannya secara sukarela, seolah mereka tidak punya pilihan lain. Vendetta tidak mengerti kenapa mereka mau-mau saja menjadi budak wanita itu, atau budak semua bajingan yang memiliki kedudukan serta kekuasaan, orang yang gemar menggunakan otak pintar mereka untuk melakukan hal mengerikan pada orang lain. Padahal, kalau mereka menggunakannya untuk hal baik, mereka bisa mengubah dunia, mereka bisa menjadi pahlawan.
Belati-belati, darah yang menetes, tubuh yang mendingin. Gadis itu berjalan di lorong menuju tujuan berikutnya demi melanjutkan aksi balas dendam. Sejak kedatangannya ke tempat ini, Black Water masih belum mengirimkan pasukan atau seseorang untuk menghentikannya. Entah apa yang mereka rencanakan, mulai dari rela mengorbankan nyawa anggota, meledakkan tempat demi tetap menjadi misterius di pandangan dunia, hingga secarik kertas yang dikirim untuk 'mengundang' dirinya. Jebakan apa pun itu, dia tidak peduli. Hari yang dia nantikan adalah hari di mana dia menggunakan pedangnya untuk memenggal kepala wanita tersebut.
Sekarang, di cengkeraman tangannya ada seorang pria berjas putih yang gemetar ketakutan, nyaris mengencingi dirinya sendiri. Genggaman pada kerahnya begitu kuat, membuat pria itu kesulitan bernapas, seolah memberitahu kalau dia menggenggam kendali atas hidupnya.
"Di mana dia!?"
Vendetta berseru, tatapannya nyalang. Pria yang ada di cengkramannya bukan pria biasa, setidaknya dia tahu apa yang akan Black Water rencanakan selanjutnya dalam projek tidak berperikemanusiaan yang sedang mereka jalankan. Tapi, lawan bicaranya itu justru terus membungkam mulut rapat-rapat. Tampaknya kesetiaan yang dia miliki terhadap wanita bernama Shawn itu jauh lebih besar daripada keinginannya untuk hidup.
"Jawab aku, di mana Shawn!?" Vendetta kembali berseru, cengkeramannya menguat.
Detik selanjutnya, gadis itu menciptakan sebuah belati di tangan, jari-jarinya yang diselimuti aksesoris berbentuk cakar tajam berwarna hitam menggenggam belati tersebut erat-erat. Dia mengarahkan ujung belati itu pada leher sang pria. Pergerakannya penuh ancaman dan bahaya.
"A-aku ...." Pria itu terbata-bata, merasa hidupnya berada di ujung tanduk.
Vendetta mulai tidak sabar. "Aku tidak akan bertanya dua kali," katanya.
Ujung belati menyentuh permukaan leher pria tersebut. Terasa dingin dan mematikan. Perlahan mengiris kulitnya, membuat darah mulai menetes, mengotori jas putih yang dia kenakan. Pilihan yang dia miliki hanya satu, menjawab pertanyaannya atau mati di tangannya.
"Vendetta, kau harus hentikan ini!"
Gerakan Vendetta seketika terhenti saat suara yang sangat dia kenali tiba-tiba terdengar dari jauh, suara yang kadang muncul dalam mimpinya, mimpi penuh harapan yang muncul di tengah-tengah mimpi buruk. Gadis itu sontak mendongakkan kepala, mata emasnya mengerjap. Hal yang terjadi selanjutnya adalah kaca yang pecah berkeping-keping dan Tim yang meluncur ke arahnya dengan sangat cepat lalu mendarat tidak jauh di hadapannya.
"Robin."
Vendetta mendengus tidak suka akan kehadirannya yang tidak diundang, tapi dia tidak sedikit pun bergerak di tempatnya berdiri. Tangannya tetap kukuh menyandera pria berjas putih tersebut, ancaman masih terdengar sangat jelas dari suaranya yang kasar.
"Kau harus hentikan ini." Tim mengulangi perkataannya, dan dia sama sekali tidak bercanda.
Ada sedikit nada pahit dalam suaranya, seolah berusaha menahan sesuatu yang tidak ingin dia rasakan selama ini. Dia sudah cukup muak melihat mayat-mayat yang ada di sekitarnya dan dia tahu kalau tidak hanya pria tersebut yang menderita, gadis itu juga tidak punya banyak pilihan. Mendengarkannya atau melanjutkan aksi dan membuat dirinya terpaksa dijatuhkan.
Tim memantapkan diri, matanya yang tersembunyi di balik masker menatap gadis itu lekat-lekat. "Lepaskan dia dan dengarkan aku. Kau tidak perlu melakukan ini, Vendetta," katanya.
Tapi, Vendetta tidak mau kalah. Kata-kata seperti itu tidak akan mempengaruhinya begitu saja.
"Tidak, aku HARUS melakukan ini, Robin." Dia semakin menekan ujung belatinya pada leher pria berjas putih, alisnya menukik tajam, menatap Tim tanpa gentar. "Hanya aku yang bisa menghentikan mereka, hanya aku yang pantas menghentikan mereka. Kalian sama sekali tidak tahu apa pun, dan ini bukan urusan kalian," ucapnya penuh peringatan.
Tim mengambil satu langkah mendekat. "Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan padamu, tapi caramu salah. Kau membunuh orang, terlalu banyak orang. Jangan membunuh." Dia mencoba membujuknya dengan sabar. "Kalau kau terus melakukan ini, kau hanya akan jadi salah satu dari mereka, kau akan sama buruknya dengan mereka. Kenapa kau tidak bisa melihatnya?"
Apa yang Tim katakan benar, Vendetta tahu itu lebih dari siapa pun. Tapi, justru karena dia telah terlanjur membunuh orang-orang dalam aksi balas dendamnya, tidak ada lagi jalan kembali. Rasa bencinya terlalu besar. Lagipula, sejak dulu dia adalah seorang assassin, seseorang yang dibayar untuk membunuh. Dia tidak berniat merespon, tapi cengkeramannya menguat. Ujung belatinya menusuk leher semakin dalam, rasa sakit yang dirasakan semakin menjadi-jadi.
"To-tolong aku ...." Pria itu merintih.
"Lepaskan dia, Vendetta! Hentikan ini!" Tim berseru kencang.
Dari ujung matanya, Vendetta dapat melihat kalau Tim mulai tidak tahan dengan kelakuannya. Tapi, laki-laki itu tetap waspada, dia bahkan terlihat siap menggunakan grapple gun atau mungkin utility belt miliknya. Apa pun yang akan terjadi, dia pasti sudah memiliki rencana.
"Hentikan ini sekarang, Vendetta, dan aku akan membantumu." Tim mengulurkan sebelah tangan, masih mencoba meyakinkannya, kali ini dengan gestur bersahabat.
Merasa lucu, Vendetta tertawa. "Membantuku apa? Membantuku balas dendam? Kau juga ingin ikut menghabisi mereka semua sampai ke akar-akarnya sepertiku?" ucapnya penuh sindiran.
Masih belum menyerah, Tim mencoba sekali lagi.
"Aku—kami bisa membantumu melawan Black Water," katanya, dia sebisa mungkin terdengar meyakinkan. "Mereka juga menculikku, kau ingat? Kita bisa menyelesaikan ini bersama. Apa pun yang mereka lakukan, kau tidak harus melewatinya sendiri, oke? Hentikan ini sekarang."
Kata-kata yang cukup menggiurkan, Vendetta sampai terdiam selama beberapa saat untuk memikirkannya. Tapi pada akhirnya dia menolak tawaran tersebut mentah-mentah.
"Tidak, terima kasih," jawabnya lugas.
Tim tampaknya kehabisan pilihan lain, dia tanpa sadar mengepalkan tangannya.
"Kalau kau membunuhnya, berarti apa yang mereka katakan benar, kau hanyalah senjata."
Perkataan itu meluncur begitu saja dan menusuk tepat di ulu hati.
"Apa kau serius mengatakan itu padaku?" Vendetta menggeram halus, suaranya tertahan.
"Kau tahu bukan itu maksudku, Vendetta," ucap Tim, dia melangkah lebih dekat ke arahnya.
"Sejauh apa yang kau tahu?" tanya gadis itu serius, dia tidak lagi menatap sosok di hadapannya, pandangannya jatuh ke belati yang sedang dia genggam. "Kau bertemu dengannya, 'kan? Shawn, ketua Black Water? Apa yang dia katakan padamu?"
Tim menyadari kalau cengkraman yang ada pada kerah pria berjas putih itu melonggar. Kata-katanya mungkin telah berhasil mempengaruhinya, hanya perlu berusaha sedikit lagi lalu dia bisa menyelamatkan pria tersebut dan menghentikan semua ini.
"Ya, aku bertemu dengannya. Tapi aku tidak sempat bicara dengannya karena—"
Belum sempat Tim melanjutkan kalimatnya, dalam satu kedipan mata, Vendetta mengiris leher pria tersebut. Mata belati yang tajam menerobos kulit, merobek otot-otot leher, dan memotong titik vital dengan sangat akurat. Darah menyembur keluar, mengotori lantai. Si pria berjas putih tidak sempat bereaksi, tubuhnya tersentak ketika nyawanya ditarik secara paksa. Kedua tangannya mencoba menutupi luka yang menganga, tapi berakhir sia-sia. Dalam beberapa detik, dia terjatuh ke lantai, dikelilingi oleh genangan darah yang semakin meluas bagai kolam.
Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Tim membelalakkan kedua matanya.
"Aku pikir kau ...."
Kalimatnya menggantung di udara, dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Perasaannya berkecamuk. Dia kira rencananya akan berhasil, tapi ternyata dia salah besar.
"Kau sudah melewati batas!" Tim berteriak, ekspresinya berubah marah.
Vendetta mengerutkan dahi melihat reaksinya. Bukankah harusnya dia sudah menduga hal ini akan terjadi? Atau apakah dia sempat berharap besar kalau dirinya tidak melakukan ini?
"Aku—"
Ucapannya terputus saat dia merasakan percikan listrik samar muncul dari atasnya sebelum menghilang. Canon ada di luar sana, atau lebih tepatnya ada di atas sana, di atap gedung ini. Terima kasih pada indera metahuman miliknya yang membuatnya peka terhadap kemampuan metahuman lainnya. Sosok yang dia targetkan, Shawn, pasti ada juga di sana bersamanya.
"Tidak ada waktu untukmu, Robin!" serunya kencang.
Tim refleks menghindar ketika sebuah belati yang berlumuran darah melesat ke arahnya. Dia sukses mengelak, tapi setelahnya dia tersadar kalau serangan itu hanyalah sebuah pengalih perhatian. Vendetta tahu-tahu sudah melompat dari sana, keluar melewati jendela yang pecah. Gadis itu menembakkan grapple gun lalu berayun pergi tanpa melihat ke belakang.
"Kau tidak akan bisa kabur!" Tim melemparkan Batarang—senjata lempar jarak jauh menyerupai bumerang berujung tajam—untuk memotong tali grapple gun miliknya.
Meluncur jatuh dari ketinggian, Vendetta berteriak panik, sebelum akhirnya dia mendarat dengan keras setelah berguling-guling di tanah sebanyak beberapa kali. Terjatuh dari gedung bertingkat membuat tubuhnya sakit. Kalau dia manusia biasa, mungkin dia sudah mati.
"Tidak bisa digunakan lagi."
Dia melempar grapple gun tersebut ke sembarang arah, menggerutu kesal, lalu cepat-cepat menghindar ketika Tim menerjang dari atas dan mendarat tidak jauh di sebelahnya.
"Lebih baik kau mengurusi wanita itu daripada mengurusi aku!" Gadis itu berseru sambil menjaga jarak aman di antaranya dan Tim.
"Batman sedang mengurusnya! Dan aku yang akan mengurusmu!" jawab Tim tegas.
"Dan itu yang jadi masalah!"
Banyak warga sipil yang terkejut akan perkelahian yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka, beberapa di antaranya bahkan berteriak ketakutan saat mereka menyadari kalau seorang gadis yang sedang berdiri dan berhadapan dengan Robin adalah buronan berbahaya yang sedang pihak kepolisian incar. Tidak ingin menjadi korban, mereka segera berlari terbirit-birit.
Vendetta mendecakkan lidah. Dia memutar otak, dia harus mencari cara untuk pergi secepat mungkin ke tempat di mana Shawn, Canon, dan Bruce berada. Tapi, satu persatu orang yang muncul ke dalam radarnya membuat gadis itu membeku di tempat. Kepalanya menoleh ke sana kemari, memperhatikan satu per satu sosok yang datang dengan penuh kewaspadaan.
Laki-laki berkostum biru campur hitam yang memegang tongkat eskrima, Nightwing atau Dick Grayson. Dua gadis berkostum ungu dan hitam berdiri bersebelahan, Batgirl atau Stephanie Brown bersama Cassandra Cain. Lalu laki-laki berkostum Robin abu-abu, Damian Wayne.
Sialan. Mereka adalah Batman Family, dan mereka semua melesat ke arahnya.
"Sempurna," cibir Vendetta. Dia melemparkan beberapa belati, membuat Tim dan Cassandra yang berada di jajaran paling depan segera menghindar ke samping.
"Maaf, tapi kami harus mengalahkanmu!" ucap Dick penuh determinasi.
Laki-laki itu menyerang lebih dulu dengan eskrimanya, memanfaatkan akrobatik serta kelincahan tubuh yang dia miliki. Dia melompat ke udara, mencoba mendaratkan sebuah pukulan ke arah Vendetta. Tapi lawannya juga tidak kalah cepat, gadis itu refleks menghindar lalu mengirimkan pukulan balasan yang membuat Dick terpaksa melompat mundur dengan rahang yang berdenyut nyeri. Pukulan tersebut ternyata lebih sakit dari dugaannya.
"Tidak buruk." Dick berkomentar sambil meludahkan darah, dia sempat menggigit lidahnya.
Tanpa menyia-nyiakan waktu, Cassandra melemparkan Batarang, kemudian menyerang dari samping, memanfaatkan titik buta lawannya. Dengan kemampuan bela diri yang telah dia kuasai, dia melayangkan sebuah pukulan. Melihat serangan tersebut datang, Vendetta tidak mau kalah, dia menangkis dan membalasnya lewat pukulan lain yang jauh lebih kuat. Cassandra terlempar mundur ketika pukulan tersebut mendarat di dagunya.
"Batgirl!" Tim berseru, terkejut ketika Cassandra, yang dia kenal paling kuat di antara mereka, dikalahkan begitu saja. Dia mengepalkan tangan, kemudian menyerang sambil mengacungkan tongkatnya, melesat bersamaan dengan Dick yang menggenggam eskrimanya kuat-kuat.
Vendetta cepat-cepat menciptakan sebuah tombak, pilihan terbaik saat ini. Tombak sangat efektif, ujungnya tajam, dan batangnya bisa digunakan sebagai pertahanan. Menggunakan pedang atau senjata mematikan lain yang dia ciptakan, dia bisa saja mengalahkan atau membunuh mereka semua sekejap mata. Tapi, gadis itu tidak ingin melakukannya, dia tidak ingin melukai—memotong tubuh mereka. Dia tidak membunuh pahlawan, termasuk vigilante.
Dengan tombaknya, Vendetta menahan tongkat Tim, bergantian dengan eskrima milik Dick, sama sekali tidak membiarkan mereka memiliki kesempatan untuk melancarkan serangan. Sementara itu, Stephanie melemparkan bom asap, pemandangan sekitar menjadi buram.
"Kau keren, tapi kau juga tidak keren karena memukul temanku!" serunya kencang sambil mengepalkan tinju dan melesat dengan sangat cepat.
"Kalau begitu, kalian juga tidak keren karena ingin memukulku!" balas Vendetta, tidak mau kalah. Pandangannya buram. Dia tahu di mana posisi Stephanie, tapi dia tidak yakin serangan seperti apa yang akan gadis itu lancarkan. Akhirnya, dia memutuskan untuk memutar tombak, membuat Tim dan Dick terpelintir dan terdorong mundur, gagal menerobos pertahanannya.
Ketika Stephanie muncul dari balik asap sambil melancarkan tendangan, Vendetta bereaksi dalam hitungan detik. Dia menghindari serangan yang datang padanya lalu menciptakan sebuah belati dalam genggaman tangan dan menerjang sambil mengayunkan belati tersebut ke wajah Stephanie, atau lebih tepatnya, ke matanya. Gadis berambut pirang itu tidak memakai masker penutup mata seperti mereka semua, mata adalah kelemahannya.
"Whoa!" Stephanie sukses menghindar, matanya nyaris buta.
"Kalah kau, metahuman !" Damian tiba-tiba menerjang dari arah samping. Tangannya terulur, knuckle besi terselip di jari-jarinya. Dia menyerang bersama Tim dan Dick dari tiga sisi berbeda.
Adrenalin Vendetta semakin terpacu, dia melemparkan tombak miliknya sekuat tenaga. Tim dan Dick refleks mengelak, tapi ternyata mereka berdua bukan targetnya. Target gadis itu adalah Stephanie yang kehilangan keseimbangan dan tidak sempat menghindar. Ujung tajam tombak tersebut berhasil mengenai jubah, menariknya dengan paksa, sebelum akhirnya tertancap kuat pada tembok terdekat, membuat gadis itu terhempas tidak berdaya.
"Aku tahu kau menahan diri! Menyerah saja! Serahkan dirimu!" seru Tim, ekspresinya masam, dia diam-diam mulai merasa kalau pertarungan mereka semakin berat sebelah.
"Aku menahan diri tapi kalian hampir babak belur. Kenapa tidak kalian saja yang menyerah!?" Vendetta membalas perkataannya. Saat Tim dan Dick semakin dekat, dia menciptakan pedang, menggunakannya untuk memotong tongkat dan eskrima milik mereka berdua. Tapi ....
Buk!
Sebuah pukulan mendarat tepat di kepala, gadis itu terhempas kuat ke samping. Tim dan Dick ternyata berperan sebagai pengalih perhatian, Damian lah penyerang yang sesungguhnya.
"Hanya segitu?" Vendetta menyeringai angkuh sambil menyeimbangkan tubuhnya. Dia memicingkan mata, memperhatikan kelima vigilante tersebut satu per satu.
Di antara mereka semua yang pernah melawannya, hanya kekuatan fisik Bruce yang sepantar—dia metahuman, sejak awal dia memang berbeda dengan mereka semua. Mungkin Cassandra adalah satu-satunya orang yang bisa menyaingi dia dalam hal ini, tapi pergerakan gadis itu beberapa menit lalu ternyata lebih lemah dari yang dia duga dan dia tahu alasanya kenapa.
Vendetta menggenggam pedangnya erat-erat, membuat Tim dan yang lain meneguk liur. Mereka dapat merasakan ketegangan yang mengental begitu teringat kalau pedang tersebut pernah mengubah Batmobile menjadi mobil rongsokan. Masing-masing dari mereka semakin berjaga-jaga dan hendak membuat rencana lain dengan bantuan komunikasi lewat earpiece dari Barbara, jika saja gadis itu tidak membuka mulut dan menyebutkan sebuah nama.
"Cain," ucapnya, suaranya lebih dingin dari malam.
Mereka semua terdiam, mata melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja Vendetta katakan. Cassandra, yang nama keluarganya baru saja dipanggil, dapat merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Seolah masa lalu kelam yang sudah dia lupakan kembali menggerayangi perasaannya. Sementara itu, Stephanie melirik mereka berdua bergantian, merasa gelisah.
Vendetta kembali berbicara. "Kau putri tunggal Cain, 'kan? Aku pernah bertemu denganmu dulu. Aku tidak ingat wajahmu, aku hanya ingat gerakanmu, tapi aku yakin itu kau," katanya.
"Apa ...?" Dick satu-satunya yang merespon, mulutnya menganga tidak percaya.
"Cain, kau tidak ingin melawanku," ucap Vendetta, dia menatap lekat-lekat ke arah Cassandra.
Menyadari Cassandra yang mulai terpengaruh, Stephanie merasa dia harus melakukan sesuatu.
"Vendetta, dengarkan kami!" serunya. Dia mencoba melepaskan diri dari tombak tersebut, tapi usahanya gagal total. Dia tidak bisa merobekkan jubahnya menggunakan Batarang atau alat lain yang ada di utility belt, jubahnya terbuat dari bahan yang tahan api dan peluru, terlalu kuat.
Vendetta tidak berniat mendengarkan. Memanfaatkan keterkejutan mereka, dia secepat kilat melemparkan belati ke arah mereka satu per satu, lalu menerjang langsung ke arah Tim. Dick, Damian, dan Cassandra melompat menghindar, berusaha menghindari serangan mematikan tersebut. Tapi ketika mereka menyadari apa yang terjadi, Tim sudah terlentang di atas aspal dengan Vendetta yang berada di atasnya, menyanderanya dengan cengkeraman yang kuat.
"Robin!" Dick dan Stephanie berseru panik.
"Kenapa kau selalu membiarkan dirimu jadi sanderaku, huh?" ejek Vendetta, suaranya terdengar sinis tapi juga penuh sarkas. Sama seperti apa yang dia lakukan pada Stephanie, dengan gerakan cepat dan tanpa ragu, dia menciptakan belati lain, lalu menancapkannya pada jubah Tim, seolah laki-laki itu hanyalah kertas yang dipin di papan tulis.
"Lepaskan aku!" seru Tim panik, dia mendorong tubuhnya sekuat tenaga.
Vendetta tidak bergeming, kekuatannya jauh lebih besar, dan dia berada di posisi yang sangat menguntungkan. Dia mencengkeram jubah Tim, kemudian menarik tubuh laki-laki itu untuk mendekat hingga wajah mereka hanya tinggal beberapa senti saja. Suasana berubah genting, Dick dan yang lainnya mulai berkeringat dingin, tapi mereka tidak bisa bertindak gegabah.
"Aku peringatkan ini untuk yang terakhir kalinya. Katakan pada mereka untuk mundur," ucap Vendetta dengan suara rendah. Setiap kata yang meluncur dari bibirnya penuh ancaman. "Kau tidak bisa menghentikanku, Robin. Mereka ingin aku datang padanya, jadi aku datang."
Tim memegang tangan gadis itu, mencoba melepaskan cengkeramannya. "Kau masuk ke jebakan mereka! Wanita itu sudah tahu kita akan datang! Dia mau kau membunuh lebih banyak lagi dan kau baru saja melakukannya! Kau bertindak sesuai rencananya!" dia berseru frustasi.
"Jadi itu yang dia rencanakan?" Tatapan mata Vendetta berubah gelap. Tanpa aba-aba. dia merampas earpiece milik Tim lalu menghancurkannya secara kasar. "Selama ini kau mendengar apa yang dia katakan pada Batman, tapi kau tetap ke sini untuk menghentikanku," geramnya.
"Dengar, Vendetta, kau tidak harus memilih jalan ini! Balas dendam bukan hal yang benar! Kau harus hentikan semuanya sekarang!" seru Tim. Dia menggeliat hebat, menyembunyikan usahanya untuk mengambil sesuatu dari utility belt-nya.
"Katakan itu pada Batman!"
Cengkraman Vendetta menguat. Tim bisa merasakan jubahnya mulai terkoyak.
"Aku—"
BUK!
Tim terbelalak saat seseorang tiba-tiba memukul kepala gadis itu dengan linggis dari belakang.
"Ah ...." Vendetta tidak sempat mengatakan apa pun. Cengkeramannya pada jubah Tim terlepas. Dia mengangkat tangannya yang mulai gemetaran, menyentuh bagian belakang kepalanya yang terasa sangat sakit, sebelum akhirnya terjatuh dan kehilangan kesadaran.
Linggis bukan senjata, dan itu berhasil menjatuhkannya.
Tidak hanya kaget karena serangan mendadak yang datang di luar dugaan, Tim juga terkejut karena kehadiran Red Hood atau Jason Todd di sana. Padahal laki-laki bertubuh kekar itu tidak pernah datang ke rapat penting mereka sebelumnya dan hampir tidak menjawab semua panggilan mereka. Dia tidak menyangka sosoknya akan datang di saat seperti ini.
"Gotcha." Jason menyeringai bangga dari balik masker merahnya.
Tim tidak bisa membayangkan seberapa kencang Jason memukulnya, tapi itu pasti sakit sekali sampai-sampai seseorang seperti Vendetta bisa langsung tidak sadarkan diri. Cepat-cepat dia mendorong tubuh gadis itu dari atasnya lalu bangkit dan mengambil borgol berbahan khusus yang belakangan ini dia kembangkan untuk mengikat kedua tangan dan kakinya.
"Beritahu Bruce kalau kita sudah menangkap dia," ucap Tim tegas. Pandangannya tidak pernah luput dari sosok gadis tersebut, kewaspadaannya belum boleh menurun.
Mereka semua menganggukkan kepala. Dick menghubungi Bruce dengan bantuan Barbara, Cassandra membantu Stephanie membebaskan diri, Tim dan Damian berdiri siaga bersebelahan. Sementara itu, Vendetta semakin tenggelam ke dalam dunia mimpi buruk.
* * *
Notes:
habis work ini beres, nanti bakal direvisi sampe bener
Chapter 17: Shackled Captive
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
Gadis itu berdiri di tengah sebuah ruangan besar. Ruangan tersebut bernuansa putih, tidak ada warna lain yang bercampur selain warna hitam serta perak dari senjata-senjata yang berjajar penuh di salah satu sisi ruangan. Mulai dari pisau lipat berukuran kecil hingga sniper berakurasi tinggi. Tidak jauh di hadapan gadis itu, berdiri seorang wanita berjaket hitam yang sedang menggenggam sebuah pistol di sebelah tangannya. Perlahan, pandangan mereka berdua bertemu. Wanita itu tersenyum tipis, sementara gadis itu masih berekspresi datar.
Dor! Dor! Dor!
Selanjutnya, wanita itu mengarahkan moncong pistol dan menembakkan seluruh isinya ke arah sang gadis. Peluru-peluru melesat dalam kecepatan penuh. Peluru pertama mengenai pundak, peluru kedua mengenai paha, peluru ketiga mengenai dada, dan peluru lainnya mengenai titik vital yang berbeda-beda. Darah terciprat ke mana-mana. Menerima serangan tersebut, gadis itu meringis sambil menggigit bibir, tapi dia tetap berdiri tegak di tempatnya. Sudah hampir ratusan kali mereka berlatih seperti ini dan rasanya tidak pernah berbeda, menyakitkan.
"Sakit." Gadis itu mengeluh sambil mendengus pelan. Tidak biasanya dia menunjukkan wajah masam, tapi belakangan ini ada sesuatu dalam dirinya yang mulai memberontak.
Melihat satu per satu peluru tersebut perlahan keluar dari anggota tubuh yang dia tembakkan serta luka bekas tembakan peluru yang perlahan menutup, wanita itu mengulas sebuah senyum puas, segitiga berwarna putih yang ada di sebelah matanya seolah ikut bersinar.
"Tidak apa-apa, kau bisa menahannya. Terus lakukan itu dan kau tidak akan merasakan sakit lagi. Bukankah kau ingin jadi lebih kuat dan ingin menolong banyak orang?" tanyanya lembut.
Gadis itu hanya bisa mengangguk patuh tanpa mengatakan apa pun. Benar, dia ingin jadi lebih kuat dan memanfaatkan kekuatan yang dia miliki untuk menolong orang lain. Dulu, dia ragu karena kekuatan yang dia miliki, manifestasi senjata, hanya bisa digunakan untuk melukai. Tapi wanita itu mengulurkan tangan, wanita itu meyakinkannya bahwa dengan senjata-senjata yang dia punya, dia masih bisa membantu orang dengan cara lain. Mungkin bukan dengan muncul di publik saat kekacauan terjadi, tapi dengan mengeliminasi 'orang jahat' secara diam-diam.
Hari-hari selanjutnya, ketika 'orang jahat' yang harus gadis itu eliminasi balas menyerang dan menembaknya dengan pistol, dia tidak lagi terluka. Hari selanjutnya lagi, ketika 'orang jahat' yang harus dia bungkam membela diri dan mengirisnya dengan belati, dia juga tidak lagi terluka. Sejak hari itu, tidak ada satu pun senjata yang bisa menggoresnya dan hal tersebut diam-diam membuatnya merasa lebih superior. Gadis itu mulai menikmati misi-misinya, mulai menyukai reaksi orang-orang yang terkejut begitu mengetahui kalau serangan senjata tidak mempan padanya, mulai menyukai adrenalin yang dia rasakan dari menghabisi mereka.
"Bagus, kau sudah sangat berkembang. Tinggal sedikit lagi sampai kau bisa membuka potensi penuhmu. Bukannya kau penasaran? Lalu, sekarang, apa kau juga siap untuk misi selanjutnya?"
Wanita berjaket hitam itu mengerahkan beberapa lembar kertas berisi banyak foto orang-orang yang tidak gadis itu kenal. Wanita itu selalu bilang kalau mereka adalah manusia egois yang tega melukai orang lain, dan sebagai pihak yang baik, dia harus menggunakan kekuatannya untuk menghabisi orang-orang seperti mereka. Tanpa dia sadari, kalimat itu perlahan melekat dalam pikiran, seolah berubah menjadi tujuan hidupnya. Dia tidak lagi pernah merasa bersalah atas aksi pembunuhannya dan dia selalu merasa kalau apa yang dia lakukan itu benar.
Sampai suatu hari, saat gadis itu melihat ke jajaran foto yang wanita itu berikan untuk yang keberapa kalinya minggu ini, dia menemukan foto seorang gadis kecil berambut hitam yang seumuran dengannya—atau mungkin lebih muda. Itu adalah kali pertama dia melihat target yang berada di bawah umur, dan itu membuat rasa ragu mulai menyelip dalam hatinya.
"Apa aku harus membunuh dia? Apa benar dia orang jahat yang pantas mati?" tanya gadis itu. Dia memainkan jarinya, tampak gusar. "Dia seumuran denganku, sama sepertiku," tunjuknya.
Wanita itu bergumam pelan sebelum akhirnya membuka mulut, "Kau tidak pernah merasa buruk pada ratusan orang yang telah kau bunuh sebelumnya. Kenapa kau bertanya seperti ini sekarang?" tanyanya. Dia tetap tersenyum, tapi kali ini senyumnya terasa begitu sinis.
Gadis itu tidak tahu harus mengatakan apa. Pandangannya kembali ke atas kertas dan foto secara bergantian. Dia membaca nama milik sang gadis, ketika wanita itu menambahkan.
"Lagipula, dia putri Cain," katanya.
Dan itu juga adalah kali pertama gadis itu tidak menuntaskan misinya.
* * *
Kesadaran Vendetta perlahan mulai kembali, kelopak matanya perlahan berkedip terbuka. Dia merasakan bagian belakang kepalanya berdenyut sakit, membuatnya meringis. Tapi saat dia hendak mengulurkan tangan untuk menyentuh lukanya, tangannya tidak bisa digerakkan. Matanya otomatis terbelalak, memori menyadarkannya. Dia seketika teringat kalau dia baru saja bertarung dengan Robin dan anggota Batman Family yang lainnya sebelum akhirnya seseorang datang dan memukul kepalanya dari belakang, membuat dia hilang kesadaran.
"Ini buruk." Vendetta bergumam pada dirinya sendiri. Kedua mata emasnya cepat-cepat memindai keadaan tubuhnya dan keadaan di sekitar.
Gadis itu terduduk di sebuah kursi. Kedua kaki serta tangannya diborgol dan kedua borgol tersebut disatukan oleh sebatang besi kokoh, membuatnya tidak bisa menggerakan tangan atau kaki barang satu senti pun. Dia bahkan tidak bisa menggerakkan jari-jarinya. Aksesoris cakar miliknya hilang entah kemana, digantikan oleh besi terikat di antara ruas jari yang memaksanya untuk tetap lurus ke depan. Sialnya, kalau dia sama sekali tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya, maka itu berarti dia tidak akan bisa menggunakan kekuatannya.
"Ini bencana." Vendetta kembali bergumam, dia menggeram rendah, mulai merasa kesal.
Pandangannya beralih, kini gadis itu mulai memperhatikan sekeliling. Dia berada di sebuah ruangan bernuansa abu-abu dengan kaca tebal transparan anti peluru serta pintu pemindai retina. Ruangan ini tampak seperti ruang interogasi yang ada di kantor polisi. Tapi, dia jelas-jelas tidak berada di kantor polisi. Tidak mungkin kantor polisi memiliki teknologi seperti ini dan tidak mungkin juga Batman atau Robin mengirimnya ke sana begitu saja.
Vendetta merasa seolah dia adalah tahanan. Secara tidak langsung mengingatkannya akan masa lalunya, dan dia tidak suka hal itu. Berkali-kali dia berusaha menggerakkan jari, menarik tangannya, berharap borgol itu akan rusak. Sayangnya, hasilnya selalu nihil. Ada sesuatu yang aneh dengan borgol ataupun ruangan yang sedang dia tempati. Tidak hanya borgol tersebut, tapi ada sesuatu di ruangan itu yang membuatnya tidak bisa menggunakan kekuatan miliknya.
"Kau sudah bangun?" Sebuah suara menyapa, terdengar sedikit terpendam.
Vendetta sontak mendongakkan kepala dan dia dapat melihat Tim yang sedang berdiri di depan kaca ruangan. Dia masih mengenakan kostum Robin-nya, sebagian wajahnya yang tersembunyi di balik masker membuat ekspresinya sulit dibaca. Gadis itu tidak tahu apa yang dia pikirkan.
"Lepaskan aku, Tim," ucap Vendetta. Sekali lagi, dia mencoba menarik tangannya.
"Kau tahu aku tidak bisa," sahut Tim, suaranya cukup tegas.
"Lepaskan aku," ulang gadis itu, nadanya penuh penekanan. "Di mana aku?" tanyanya.
"Batcave." Tim menjawab singkat. "Jangan khawatir, kepalamu sudah diobati," tambahnya.
"Bagus." Kali ini dia memutar bola mata.
Mereka berdua pun terdiam, suasana sempat hening selama beberapa saat. Tim tampaknya tidak terlalu tertarik untuk berbicara lebih lanjut. Laki-laki itu mungkin tidak menatap langsung ke arah mata emas milik Vendetta, tapi dia tentu saja memperhatikan gadis itu dalam diam. Entah apa yang sedang Tim pikirkan saat ini, mungkin dia sedang mencoba membaca reaksinya, atau mungkin sedang mengamati seisi ruangan serta alat yang mengekangnya.
"Bukankah ini sedikit berlebihan? Kukira kau akan mengirimku ke Arkham, Belle Reve, atau apa pun itu, bukan ini. Maksudku, seriusan? Batcave?"
Vendetta mencoba berbasa-basi sambil menarik tangannya untuk membebaskan diri, tapi usahanya lagi-lagi berakhir sia-sia. Dia mulai frustasi. Tentu saja Batman, yang dikenal sebagai orang paling jenius, sudah mengantisipasi hal ini sebelumnya. Tidak mungkin mereka berniat menangkap dirinya tanpa sebuah rencana untuk menahan kekuatan metahuman-nya.
"Ruangan macam apa ini?" dia bertanya, matanya kembali melihat sekeliling.
"Ruangan yang bisa meredam kekuatanmu," balas Tim, akhirnya dia menatap gadis itu tepat di mata. Pandangan mereka bertemu, biru dan emas. "Tidak sepenuhnya, sih, tapi dengan borgol itu setidaknya kau tidak akan bisa bergerak dan menggunakan kekuatanmu."
Tidak suka mendengarnya, Vendetta merengut. "Kau memperlakukanku seolah aku akan lepas kendali, mengamuk, lalu menghancurkan semuanya." Dia mencibir, merasa tersinggung.
"Kau membunuh orang," ucap Tim pasti, sekarang dia melipat tangannya di depan dada.
Vendetta mengerang. "Kalian tahu siapa yang ingin aku bunuh, dan itu bukan kalian."
"Aku tahu. Tapi kau membunuh banyak orang dalam rencana balas dendammu, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Jadi, tidak. Aku tidak akan melepaskanmu. Berhenti meminta, itu tidak akan berhasil." Tim menggeleng, dia juga tidak kalah keras kepala dari gadis itu.
"Ayolah, Tim. Aku pernah membantumu, jadi aku ingin kau membantuku juga sekarang. Tempat ini membuatku tidak nyaman. Please ...," pinta Vendetta. Dia mencoba cara baru, memelas.
Tim tidak merespon. Ekspresinya semakin serius, dia menahan diri agar tidak terlena oleh godaannya. Dia akui kalau cara gadis itu memelas bisa saja mempengaruhinya, dan dia tahu kalau ruangan tersebut memang didesain untuk membuat seseorang merasa tidak nyaman—mereka tidak punya pilihan lain. Sementara itu, mengetahui usahanya tidak berhasil, Vendetta memasang wajah datar. Kalau sudah begini, maka taktik selanjutnya adalah membuat kesal.
"Ngomong-ngomong bukannya kemarin kau selalu menyebut namaku?" Dia kembali berbicara.
"Huh?" Penasaran akan maksudnya, Tim tanpa sadar menaikkan sebelah alis.
Vendetta menyeringai dalam hati, sebisa mungkin dia memasang wajah polos. "Kemarin kau selalu menyebut namaku seperti, 'hentikan ini, Vendetta' atau 'kau tidak harus melakukan ini, Vendetta'," ucapnya, lalu ekspresinya tiba-tiba berubah menyebalkan. "Tapi kenapa sekarang berhenti? Apa karena kau sadar kalau usaha—rencanamu itu terdengar bodoh?" ejeknya.
Tim menghela napas. Dia mengusap wajahnya gusar, menyesal telah mendengarkan. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun. Dia tidak akan membiarkan gadis itu mempermainkan perasaannya atau membuatnya melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.
"Tidak seru," gumam Vendetta pelan sambil cemberut.
Tampaknya keberuntungan tidak mau berpihak padanya. Seumur hidup, ini adalah kali pertama gadis itu berhasil ditangkap dan buruknya lagi, berhasil dibuat tidak berdaya karena mereka sukses meredam kekuatannya. Padahal, kekuatan yang dia miliki adalah salah satu hal yang membuat dia bisa bertahan sampai saat ini, kekuatannya adalah bagian terpenting dari dirinya.
Vendetta tidak akan menyerah begitu saja, dia menolak untuk menyerah. Mengerahkan seluruh tenaga, dia menggeliat, menarik tangannya sekuat tenaga dengan hati yang berharap agar bisa segera terbebas dari borgol tersebut. Meskipun kekuatannya yang teredam membuat dia merasa kalau dia hanyalah seorang gadis biasa, dia akan terus mencoba sampai kapan pun.
"Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri, kau membuat tanganmu memar," ucap Tim datar.
"Aku tidak peduli. Apa pun selain tempat dan borgol ini!" Vendetta berseru kesal.
"Tanganmu memerah," kata Tim, menunjuk hal yang sudah jelas.
"Persetan dengan rasa sakit, aku sudah sering merasakan—"
Ucapan Vendetta seketika terhenti begitu dia melihat dua orang yang datang dari ujung matanya. Mereka adalah Batman dan Nightwing, atau Bruce dan Dick. Keduanya baru saja kembali sehabis berbicara dengan Cassandra—yang bersama Stephanie—membicarakan tentang dirinya yang mengaku kalau mereka pernah bertemu. Damian tidak ikut karena dia tidak tertarik dengan hal ini, sementara Jason menghilang entah kemana seperti biasanya.
"Bruce."
Vendetta mendesis tidak suka saat Bruce berdiri tepat di depan kaca ruangannya, membuat dia terpaksa berhadapan dengan wajah muram khasnya yang tidak terlihat menarik. Tapi, pria berbalut kostum serba hitam itu tidak berniat menanggapi reaksi permusuhan darinya. Dalam diam, dia berjalan ke depan pintu lalu mendekatkan kepala untuk pemindaian retina.
"Hei, tunggu. Dia tahu namamu?" Dick, yang berdiri di sebelah Tim, mengernyitkan dahi heran.
"Sepertinya dia tahu nama kita semua," timpal Tim, dia juga tidak terlalu yakin.
Vendetta tertawa seolah mereka bodoh. "Tentu saja, dan jangan tanya bagaimana," katanya.
Dick tidak terlalu terkejut. Mau terkejut pun, sepertinya tidak akan mengubah apa pun. Laki-laki berkostum biru campur hitam itu hanya mengangkat kedua bahu, sebelum akhirnya berjalan mengekori Bruce dan masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh Tim yang mendadak merasa cemas.
"Bruce." Vendetta menyapa dengan alis yang berkerut tidak suka saat mereka melangkah memasuki ruangan dan berdiri di hadapannya yang sedang merasa tidak berdaya.
"Jangan sebut namaku." Bruce merespon, suaranya tegas dan dingin.
"Itu lucu, datang darimu. Padahal kalian sering memanggil namaku." Dia tertawa hambar.
"Tidak mungkin 'Vendetta' adalah nama aslimu." Tim menolak percaya.
"Ya mungkin, Vendetta adalah nama asliku," ucap Vendetta, mengikuti gaya bicaranya.
Tim dan Dick mengernyitkan dahi, kemudian saling pandang dengan pemikiran yang sama Sepertinya dia serius, batin mereka, sebelum akhirnya kembali menatap gadis tersebut.
"Oke, sebenarnya Vendetta adalah nama yang bagus, kalau kita tidak lihat artinya." Dick berkomentar, dan sang pemilik nama segera mengangguk setuju.
Malah mengobrol.
Bruce tidak senang dengan percakapan mereka yang menggambarkan seolah mereka bertiga akrab dan tidak pernah berkelahi sebelumnya. Seharusnya mereka serius karena masalah yang sedang mereka hadapi pun serius, tidak ada waktu untuk bercanda. Jadi, dia pun berdeham kencang, memperingati. Menyadari ekspresi Bruce yang berubah tidak bersahabat dan mendengar dehaman peringatan darinya, Tim dan Dick sontak membungkam mulut.
"Biarkan aku sendiri yang menangani hal ini," ucap Bruce tegas sambil melambaikan tangan, mengusir kedua sidekick sekaligus anak angkatnya.
"Tapi—"
Tim hendak memprotes, tapi perkataannya segera dipotong oleh Dick.
"Yah, kalau begitu, kubiarkan kau yang mengurusnya, Bruce," ucap Dick, lalu dia mengangkat tangan, mendorong pundak Tim untuk pergi bersamanya. "Jangan mengacau," dia bergurau.
Mata Vendetta mengikuti kepergian Tim dan Dick yang segera menghilang di balik pintu. Gadis itu menyadari wajah Tim yang berkerut, tampak resah dan tidak tenang, berbeda dengan Dick yang biasa saja seolah dia yakin tidak akan ada hal buruk yang terjadi di sana. Setelah itu, pandangannya beralih pada The Dark Knight yang kini berdiri di hadapannya seorang diri, menatapnya dengan sangat tajam, seolah bisa menembus kepalanya. Andai saja tatapan tersebut bisa merusak borgolnya, mungkin dia akan oke-oke saja ditatap seperti itu.
"Aku akan menahanmu di sini sampai kau sadar apa yang telah kau lakukan." Bruce angkat bicara. Dari suaranya, dia mengisyaratkan kalau tidak ada waktu untuk main-main. "Katakan semua tentangmu dan Black Water. Jangan berbohong, jangan berusaha menipu, karena aku akan tahu dan kau tidak akan suka akibatnya kalau aku tahu," ujarnya penuh peringatan.
Vendetta merengut. Dia tahu pasti kalau pria itu tidak bisa diajak bercanda, tapi dia juga sama. "Lepaskan aku dulu, baru aku akan memberitahumu," katanya sambil menghentakkan tangan.
"Tidak," jawab Bruce tegas, matanya memicing.
"Oke, dengar, kau bisa tetap mengurungku di sini. Tapi, apa kau bisa lepaskan borgolnya? Aku berjanji aku tidak akan mengacau, dan aku akan menjawab semua pertanyaanmu setelahnya." Memastikan suaranya tampak tulus, gadis itu mencoba membujuknya sekali lagi.
Bruce menggeram sambil mendekatkan wajah ke arahnya. "Kau bukan seseorang yang berhak meminta saat ini. Sekarang, aku yang bertanya dan kau yang menjawab," dia menekankan.
Vendetta mulai kehilangan kesabaran. "Sudah kubilang, lepaskan aku, lalu aku akan menjawab pertanyaanmu!" dia berseru sambil meronta di tempatnya duduk.
"Tidak!" Bruce berkata lebih tegas.
Gadis itu menatap nyalang ke arahnya. "Maka aku tidak akan menjawab," ucapnya angkuh, "tanyakan saja pada orang-orang yang sudah jadi mayat itu." Dia mendesis.
Buk!
Kata-kata itu baru saja keluar dari mulutnya ketika Vendetta merasakan sesuatu menghantam wajahnya dengan begitu kuat, mendorongnya keras ke samping. Dia terdiam, merasakan sensasi panas menjalar cepat dari titik pukulan yang diterimanya. Dunia seakan berputar.
"Bruce!" Tim memekik dari luar, kekhawatiran dalam suaranya.
"Apa itu penting?" Gadis itu tertawa hambar. " Vigilante ternyata memilih menyakiti orang hanya demi mendapat jawaban, ya? Padahal, 'kan, bisa minta baik-baik," ucapnya penuh ejekan.
Buk!
Pukulan lainnya mendarat di pipi, meninggalkan rasa sakit yang kental dan membara di pipinya yang semakin memerah. Vendetta berdecih, dia dapat merasakan darah manis campur asin di lidahnya. Bersusah payah, dia mencoba mengendalikan diri untuk tidak terlihat lemah sambil mengabaikan rasa sakit yang ada. Tapi, semuanya terasa begitu nyata dan menyakitkan.
"Jangan bicara tentang 'menyakiti orang'. Aku tidak akan mendengar perkataan tentang hal itu dari seorang pembunuh sepertimu." Suaranya tajam, Bruce tidak bisa lagi menahan emosinya.
Vendetta mengangkat sebelah alis, sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. "Aku bukan pembunuh, itu hanya pekerjaanku. Yang pembunuh itu klienku," katanya enteng.
"Jangan pura-pura bodoh," ucap Bruce penuh peringatan. "Kalau kau tidak ingin mengatakan apa pun tentang Black Water, maka jawab pertanyaanku tentang hal paling basic yang mestinya mudah kau kau jawab, kecuali kalau kau mau patah beberapa tulang," ancamnya.
Kali ini Vendetta tidak merespon, dia menatap pria di hadapannya dengan emosi yang sulit diuraikan. Mata emasnya menatap tajam, seolah memberinya tantangan terselubung yang mengisyaratkan kalau dia tidak akan menyerah. Tapi, Bruce juga tidak akan mundur. Dia menganggap diamnya sebagai 'ya', dan dia tidak akan membuang lebih banyak waktu lagi.
"Siapa yang biasanya jadi klienmu?" tanyanya, menuntut jawaban yang jelas.
Vendetta nyaris tertawa, merasa pertanyaan tersebut terlalu retoris dan bodoh untuk diucapkan. "Kau tahu siapa, kenapa bertanya?" katanya sinis.
"Jawab!" seru Bruce, suaranya menggelegar di seisi ruangan.
Gadis itu mengerutkan wajah. "Orang-orang kaya yang ingin seseorang mati," jawabnya ketus.
"Apa kau membunuh orang tidak bersalah?"
"Ya."
Singkat, padat, dan jelas. Setiap detiknya terasa semakin pahit.
"Apa kau membunuh anak kecil?"
Pertanyaan lainnya. Vendetta tidak mau menjawab, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tidak ingin membahas tentang hal ini. Tapi, dia tahu kalau Bruce siap untuk membuatnya kehilangan beberapa gigi kalau dia tetap diam dan menutup mulut.
"Tidak," jawabnya.
Bruce memicingkan mata skeptis. "Apa kau membunuh hanya demi uang?"
Tidak.
Vendetta mengangkat kepala, pandangannya tertuju ke arah luar. Jawaban itu tidak kunjung keluar dari mulutnya ketika dia tanpa sengaja melihat Tim yang menatapnya penuh kasihan.
Menyadari mata mereka bertemu, Tim membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu. Tapi sebelum dia sempat melakukannya, gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangan. Dia tidak mau tahu, dia tidak mau tahu apa pun lagi yang terjadi di sana. Ruangan ini menyesakannya, membuatnya tidak berdaya, membuat perasaan yang selama ini berusaha dia kubur dalam-dalam kembali merayap ke permukaan. Dia membencinya. Sangat membencinya.
* * *
Notes:
btw gue udh mulai masuk kuliah
Chapter 18: Don't Tell The Bat
Chapter Text
"Kau tidak harus menghajarnya!" Tim berkata—nyaris berteriak—pada Bruce yang baru saja keluar dari ruangan. Wajah laki-laki itu berkerut tidak suka.
Beberapa menit telah berlalu sejak Bruce memasuki ruangan dengan ekspresi tidak bersahabat kemudian menuntut penjelasan dan jawaban dari sang pelaku kejahatan, Vendetta. Tidak lupa, dia juga menceramahinya tentang semua hal yang terjadi, tentang korban-korban, tentang kerusakan, tentang hati nurani. Tapi ujung-ujungnya, gadis itu tidak mengatakan apa pun tentangnya atau tentang Black Water, tidak peduli berapa kali pun Bruce memaksa. Gadis itu lebih keras kepala dari semua orang. Bruce menyerah—untuk sekarang. Dia menghentikan sesi interogasi sementara daripada emosi menguasai dirinya dan membuat suasana semakin rumit.
"Kita sudah beri dia kesempatan, dan dia menyia-nyiakannya. Dia tetap membunuh, dan dia akan terus membunuh kalau kita tidak bisa menghentikannya," ucap Bruce tegas, pintu tertutup rapat-rapat di belakangnya. "Dia masih tidak mau bicara," tambahnya sambil berjalan menjauh dari ruangan. Ekspresi wajahnya tampak tidak puas dengan semua yang terjadi.
Tim cepat-cepat bergerak, mengekorinya dengan tergesa-gesa. "Kau memukulinya, Bruce. Itu bukan cara kita memperlakukannya," katanya. Sedikit kekhawatiran terselip dalam suaranya.
Bruce tiba-tiba menghentikan langkah kaki, dia berbalik ke arah Tim, kini tubuh mereka saling berhadapan. "Lalu bagaimana cara kita memperlakukannya?" dia bertanya. Matanya menatap laki-laki itu tajam, suaranya tegas, membuat ketegangan di antara mereka terasa nyata. Tapi, ada nada kekecewaan dari cara dia bicara, mungkin ditujukan pada dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu." Tim mengedipkan mata, setelahnya, dia menggelengkan kepala. "Tapi kalau itu tidak bekerja, maka kita harus cari cara lain. Apa pun selain kekerasan," ucapnya yakin.
Melihat determinasi di wajahnya, Bruce terdiam selama beberapa saat. Perkataan Tim mulai menyusup ke dalam pikiran, menyadarkannya akan perbuatannya. Sebagai vigilante, pria berkepala empat itu sering kali menggunakan kekerasan untuk mendapatkan informasi dari para kriminal. Tapi, mungkin kali ini dia telah melangkah sedikit lebih jauh dari biasanya. Dia tahu menggunakan kekerasan seolah tidak ada cara lain—terlebih lagi ketika korbannya adalah seorang gadis yang seumuran dengan anak angkatnya—bukanlah hal yang benar benar.
Di sisi lain, Bruce juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa gadis itu telah mengacau di kotanya, Gotham. Kekacauan yang dia ciptakan pun bukan kekacauan kecil, bukan pembunuhan biasa, melainkan pembantaian. Banyak nyawa orang hilang di tangannya hanya dalam waktu hitungan hari. Tidak hanya itu, berita yang tersebar meneror warga, menyebarkan rasa takut di penjuru kota. Bagaimanapun, Gotham adalah tanggung jawabnya, dan setiap ancaman harus ditangani dengan serius. Tidak boleh lagi ada nyawa yang hilang di dalam atau di luar pengawasannya. Sebagai seorang pelindung, dia akan melakukan hal apa pun untuk menghentikan semua ini.
Tapi, Bruce perlahan merasakan setitik perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Dia mendengus pelan, dengan enggan mengakui kalau dia memang hampir membiarkan emosi menguasainya. Itu tidak biasanya terjadi, dan dia harusnya tidak kalah dengan perasaannya sendiri.
"Bruce, Tim benar. Kita memborgolnya, kita juga menahannya di ruangan itu. Itu sudah cukup menyiksa baginya, bukan begitu?" Dick menyela, tenang tapi yakin. Dia berjalan mendekat ke arah mereka, bersiap untuk melerai jika ketegangan kembali memanas di antara keduanya.
Sambil menghela napas, Bruce memijat pelipisnya. Kedua mata biru milik anak laki-lakinya itu kini menatapnya penuh harap, seolah memohon agar dia mendengarkan alasan mereka dan mempertimbangkan keputusannya agar sesuatu seperti ini tidak terjadi lagi.
"Dengar," Bruce memulai, suaranya sedikit lebih tenang. "Aku—kita masih belum yakin apa yang Black Water rencanakan. Tapi satu hal yang pasti, mereka merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan gadis bernama Vendetta itu. Gadis itu punya sesuatu yang menjadi bagian dari rencana besar mereka, sesuatu yang penting juga berbahaya. Dan aku tidak bisa membiarkan mereka, atau bahkan gadis itu sendiri, mencapainya."
"Sesuatu yang berbahaya? Apa maksudmu, Bruce?" Tim mengernyitkan dahinya heran.
Pikiran Bruce berkelana, memutar ulang memori kemarin malam, mengingat kembali apa yang pernah Shawn, ketua Black Water, katakan padanya—
"Dia lebih berbahaya dari itu. Apa kau tahu kalau dia bisa membunuh setiap orang di kota ini menggunakan kekuatannya? Yang perlu dia lakukan hanyalah berpikir, mengulurkan tangan, menciptakan senjata, dan menjentikkan jari. Itulah yang ingin aku capai."
—Tapi dia tidak akan memberitahu hal tersebut pada mereka. Belum.
"Kita harus terus mengawasi dan menjauhkannya dari wanita itu, atau bahkan seluruh Black Water," kata Bruce tegas, seolah tidak ada ruang untuk protes.
Tidak hanya Tim, Dick juga ikut mengernyitkan dahinya heran. Mereka bertukar pandang, berbagi tatapan heran sekaligus tidak mengerti. Dari reaksi yang mereka dapat, keduanya merasakan hal yang sama. Merasa kalau ada sesuatu yang sengaja pria itu sembunyikan dari mereka, sesuatu yang sempat terlewatkan oleh semua orang kecuali dirinya. Tapi, sebelum salah satu dari keduanya melontarkan pertanyaan, Bruce memutarnya tubuh lebih dulu. Jubahnya yang berwarna sehitam malam berkobar dengan dramatis begitu dia berbalik.
"Sekarang, karena dia tidak berguna dan tidak mau bicara, aku punya hal lain yang lebih penting untuk diurus." Bruce mengepalkan tangan. "Baik Black Water ataupun Paradeisos tidak akan pernah luput dari pengawasanku," ucapnya final sambil melangkah pergi.
Masih dalam kebingungan, Tim dan Dick memperhatikan kepergian Bruce tanpa mengatakan apa pun. Dick mengangkat kedua bahu, tidak ada argumen atau kalimat sok pintar yang terlintas dalam benaknya saat ini—dia pikir Bruce hanya bersikap suram seperti biasanya. Sementara itu, Tim menyentuh dagu dengan jari, otaknya mulai memikirkan apa yang harus dia lakukan sekaligus bertanya-tanya apa yang Bruce sembunyikan dari mereka. Sampai suara dering ponsel yang kencang tiba-tiba terdengar, memecah keheningan di antara keduanya.
"Um, hehe." Dick tersenyum lebar menampilkan barisan giginya, dia nyaris tertawa, wajahnya tampak berseri-seri. Ternyata yang bunyi adalah ponselnya.
Melihat Dick yang menggenggam ponselnya dengan erat, Tim semakin tidak mengerti apa yang terjadi. Dia heran atas perubahan suasana yang mendadak. Padahal, mereka baru saja lolos dari adu mulut serta lolos dari atmosfer yang menegangkan, ditambah lagi fakta kalau urusan mereka dan gadis itu sama sekali belum selesai. Entah apa yang membuat laki-laki itu tersenyum lebar. Menaikkan sebelah alis, dia menatap saudaranya heran, meminta penjelasan.
"NightQueen memanggilku," ucap Dick. "Apa aku boleh pergi?" tanyanya.
Merasa konyol, Tim mendengus. "Seriusan, Dick?" Dia menaikkan sebelah alis, tapi pada akhirnya dia mengusap wajah, tidak ada tenaga untuk berdebat. "Ya, tentu, silahkan," katanya.
"Yeay!" Dick tampak senang. "Sampai nanti, Tim, hubungi aku kalau ada sesuatu!" dia berseru kencang, melambaikan tangan semangat, lalu pergi meninggalkan Batcave begitu saja.
Sehabis kepergiannya, suasana di Batcave menjadi lenggang, lebih sunyi dari sebelumnya. Tim berdiri seorang diri, berbagai pertanyaan yang belum terjawab kembali muncul ke permukaan pikirannya, berbelit bagai benang kusut. Di saat semua saudaranya punya pacar atau kesibukan lain untuk dilakukan, kenapa hanya dia yang terjebak dalam situasi seperti ini sendirian? Apakah ini hanya perasaannya saja atau dia memang selalu sial sejak hari dirinya diculik?
Sambil menghela napas, Tim menyisir rambutnya dengan jari. Matanya tertuju pada tempat di mana gadis itu berada. Setelahnya, bagai ada tangan transparan yang mendorongnya kuat, dia berjalan ke ruangan tersebut. Daripada tidak ada hal lain untuk dilakukan, pikirnya sebagai alasan sambil mendekatkan wajah ke pemindai untuk melakukan pemindaian retina. Daun pintu pun bergeser terbuka, dan tanpa menunggu apa pun lagi, dia melangkah masuk.
Pandangan Tim menyapu sekeliling ruangan sebelum terfokus pada Vendetta yang duduk diam di atas kursi, masih belum menyadari kedatangannya. Gadis itu tidak lagi berusaha kabur atau membebaskan diri, tapi dia dapat melihat pergelangan tangan dan kakinya yang memar dan memerah. Tidak hanya itu, pipi dan dagunya juga bernasib hampir sama. Sedikit memar dan bengkak, bekas pukulan. Sesuatu mencubit hati Tim saat dia melihat pemandangan tersebut, membuatnya teringat akan pertemuan pertama mereka. Hanya saja posisinya terbalik, dan gadis itu tidak terlalu terlihat menyedihkan sepertinya dulu, dia tetap terlihat cantik.
"Aku tidak ingin bicara denganmu," ucap Vendetta datar dan tanpa emosi begitu dia menyadari kalau Tim lah orang yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.
"Tapi aku ingin bicara denganmu," jawab Tim tulus.
Gadis itu merengut. "Biarkan tinju saja yang bicara."
"Apa? Kau mau berkelahi?" tanya Tim heran.
"Tadi Bruce bicara dengan tinju." Dia mencibir.
"Itu karena kau tidak mau buka mulut," ujar Tim seolah itu hal yang sudah jelas.
Menyadari kesalahannya sendiri, Vendetta mendengus sebal kemudian memalingkan muka dari Tim. Dia tidak ingin melihat laki-laki itu, dia juga tidak ingin laki-laki itu melihat keadaannya yang tidak berdaya. Tim menaikkan sebelah alis dan mengernyitkan dahi, cukup terkejut dengan sikap gadis itu yang berbanding terbalik dengan apa yang dia perkirakan—dia kira gadis itu akan melontarkan sesuatu penuh sarkasme dibumbui seringaian seperti biasanya.
"Kalau kalian menahanku di sini, Black Water akan melakukan sesuatu. Kalau kita terlambat, kalian tidak akan bisa menghentikannya," ucap Vendetta, masih tidak ingin melihat ke arahnya.
"Lalu?" respon Tim singkat, dia sudah bisa menduga jawaban yang akan datang.
Ekspresi gadis itu berubah serius. "Biarkan aku pergi, aku harus menghentikan mereka," katanya.
"Dengan cara apa? Membunuh mereka?" Tim melipat kedua tangannya di depan dada.
Malah dijadikan bahan sindiran. Vendetta menggigit bibir, kesabarannya sudah habis untuk dipakai bercanda atau main-main. Dia telah berkali-kali menjelaskan pada Bruce kalau Black Water akan melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan kalau mereka terus menahannya dan tidak membiarkannya pergi. Dia mengatakan hal yang sama pada Tim, berharap reaksinya akan berbeda dari pria itu. Tapi harapannya berakhir sia-sia. Apa yang dia harapkan dari para vigilante ? Mungkin dia memang harus menghancurkan tempat ini kalau ingin kabur.
"Maaf."
Kata itu tiba-tiba menghampiri indera pendengarannya. Begitu pelan dan lirih, nyaris tidak terdengar. Vendetta refleks mengangkat kepala ke arah Tim, kedua alisnya bertaut.
"Untuk apa?" tanyanya heran.
Karena membiarkanmu dipukuli, atau mungkin karena membuatmu berada di sini.
Itu yang hatinya katakan, tapi mustahil bagi Tim untuk mengatakan kalimat tersebut lantang-lantang seolah tidak ada apa pun yang terjadi di antara mereka. Bagaimanapun juga, memang dia lah yang membuat gadis itu berada dalam keadaan tidak mengenakkan seperti ini. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk tidak menjawab dan berlagak seolah tidak mendengar pertanyaan tersebut. Tanpa sadar, dia memainkan jarinya sendiri, tatapannya jatuh ke lantai.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Tim, seketika merasa sedikit canggung.
Vendetta tertawa, tawa yang hambar. "Aku tidak apa-apa," balasnya pahit.
Jarak di antara mereka berdua mungkin hanya dua atau tiga meter, tapi Tim merasa seolah ada lahan yang terbentang sejauh mata memandang serta tembok raksasa tinggi yang memisahkan mereka berdua di sisi yang berlawanan. Entah karena borgol itu, atau memang karena keadaan yang membuatnya merasa seperti ini. Apa pun itu, keduanya membuat dia tidak nyaman.
Tim mengamati gadis itu untuk yang kesekian kalinya. Rambutnya yang sebiru malam, matanya yang berkilau emas bagai bintang, gaya pakaiannya yang unik, serta wajahnya yang tidak lagi terhalangi masker. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang tampak mengintimidasi saat mereka bertarung kemarin malam, sekarang gadis itu tampak tidak berdaya. Melihat seseorang yang begitu kuat berakhir dalam keadaan seperti ini, membuatnya merasa aneh.
Terlalu lama memperhatikan, pandangan mereka tanpa sadar telah bertemu. Biru dan emas. Tim berharap banyak, dia ingin gadis itu mengatakan sesuatu padanya, mengajaknya berbicara. Tapi, yang dia dapatkan adalah alis yang menukik dan wajah yang merengut tidak suka.
"Jangan lihat aku seperti itu. Kau sendiri yang membuatku berada dalam keadaan sulit seperti ini," ucap Vendetta tajam, suaranya memotong kasar keheningan yang menyelimuti.
Tim sedikit terperanjat dari tempatnya berdiri, terkejut dengan ledakan emosi yang tiba-tiba. Ini bukan kali pertama dia mendengar gadis itu marah pada sesuatu, tapi ini adalah kali pertama dia mendengar gadis itu marah padanya. Padahal dia hanya memperhatikannya dalam diam, tidak menatapnya atau melakukan sesuatu yang aneh. Tapi, dari cara bicaranya, gadis itu seakan-akan membencinya. Kebencian? Atau mungkin kekecewaan? Dia tidak tahu.
Merasakan ketegangan yang menggantung di udara, Tim menelan ludah. Tangannya yang semula bebas kini mengepal di sisi tubuhnya. Dia tidak ingin ini. Dia tidak ingin ada permusuhan atau salah paham di antara mereka—setelah semua yang mereka lalui.
"Vendetta."
Dia memanggil namanya. Nama itu meluncur dari bibirnya dengan hati-hati. Lembut dan penuh harap, seolah tidak ingin melukai perasaannya.
"Kau pernah menyelamatkanku, bicaralah padaku," ucap Tim, suaranya sedikit serak.
Vendetta terdiam selama beberapa saat, tatapannya tajam dan penuh waspada. Dia mencoba membaca ekspresi Tim, menelusuri lekuk wajahnya, mencari tanda-tanda yang mungkin bisa memberi petunjuk tentang apa yang sebenarnya laki-laki itu rasakan sekaligus menimbang-nimbang maksud yang tersembunyi di balik kata-katanya. Tapi, dia tidak menemukan tipuan apa pun. Yang bisa dia lihat adalah raut yang jujur serta suara yang berhasil menyentuhnya.
Jauh di dalam hatinya, dia tahu kalau Tim hanyalah seorang laki-laki yang ingin melakukan hal baik dan membantu banyak orang. Dia tahu kalau Tim peduli sesama dan tidak akan pernah menyakiti—atau bahkan membunuh—orang lain sepertinya. Itulah kenapa dia memutuskan untuk menyelamatkannya, dan dia tidak akan pernah menyesalinya sekalipun.
Akhirnya, Vendetta pun menjawab, "Kalau cara bicaramu seperti Batman, aku tidak mau," katanya.
"Seriusan? Itu alasannya?" Tim mengerutkan kening, sedikit bingung, tapi juga diam-diam merasa lega dengan respon ringan tersebut.
"Tentu saja tidak, pintar." Dia mendengus sambil memutar bola matanya dramatis, nyaris tertawa. Sedetik kemudian, ekspresi wajahnya kembali serius, balik menatap laki-laki itu lekat-lekat. "Kalau kau ingin aku bicara denganmu, lepaskan aku dulu dari borgol ini," tegasnya.
Tim menggeleng. "Kau tahu aku tidak bisa melakukannya." Dia menolak tidak kalah tegas.
"Kau bisa," sanggah Vendetta cepat, tatapan matanya tidak pernah luput darinya.
"Tapi—"
"Aku janji aku tidak akan kabur dan melukaimu." Dia memotong perkataannya dengan suara yang rendah tapi mantap. "Kau boleh mengurungku di sini, tapi lepaskan aku dari borgol ini." Kini matanya yang berwarna emas, melakukan sesuatu yang disebut sebagai 'memelas'.
Napas Tim tercekat begitu melihat tatapan memelas darinya, terkejut tapi juga tidak terkejut. Pemandangan itu cukup aneh baginya, bagai sesuatu yang langka atau bahkan keajaiban dunia. Dia tidak langsung membalas atau memprotes, pikirannya berkecamuk. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak tahu kalau omongan gadis itu bisa dipercaya atau tidak. Salah barang sedikit saja, semuanya bisa berantakan. Tapi, satu hal yang pasti, dia tahu kalau keyakinannya mulai goyah.
"Lepaskan aku, Tim. Aku janji aku tidak akan kabur dan melukaimu. Setelah itu, kita bisa bicara." Sekali lagi, Vendetta mencoba membujuknya sambil melembutkan suara dan menatapnya dengan sorot mata penuh harap. Hatinya berharap usahanya berhasil.
"Ugh," Tim merengut. "Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" tanyanya skeptis.
"Aku bukan orang yang ingkar janji," gadis itu menjawab tanpa ragu dan penuh percaya diri.
Menahan napas, Tim menantang dirinya sendiri dengan memberanikan diri untuk melihat langsung ke dalam sepasang mata berwarna emas yang sedang memelas padanya. Ada sesuatu dalam tatapan gadis itu. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya, tapi itu bukan sesuatu yang jahat. Setelah beberapa detik penuh pergulatan batin, dia akhirnya menghela napas panjang, tanda menyerah. Bahkan dirinya sendiri terkejut betapa mudahnya dia luluh.
"Baiklah," gumam Tim, tidak banyak pilihan. "Tapi jangan sampai Bruce tahu."
Perlahan, dia mendekat, tangannya sedikit berkeringat ketika dia dengan hati-hati mulai membuka borgol tersebut satu per satu. Rasanya cukup menegangkan dan membuatnya berdebar. Karena sekali borgol ini terbuka, memasangkannya kembali bukan hal yang mudah.
Senyum jahil tiba-tiba muncul di wajah Vendetta, "Aku akan memberitahunya!" serunya.
"He-hei!" Tim refleks memekik.
Reaksi lucu darinya membuat gadis itu tertawa. Sadar kalau dirinya baru saja dijahili, Tim mendengus, kemudian lanjut membuka borgol dengan bibir yang mengerucut sebal. Sebenarnya dia ingin ikut tertawa, tapi dia menahannya dan menyembunyikannya dengan ekspresi jengkel. Dia tidak mau mengakui kalau ada sesuatu dalam suara tawa itu yang membuatnya merasa hangat dan nyaman, sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan dengan logika.
Tidak lama kemudian, borgol tersebut sepenuhnya lepas. Beban yang ada di sekujur tubuh Vendetta langsung terangkat. Dia telah bebas, dan ini adalah saat yang telah dia tunggu-tunggu.
"Trims," ucapnya sambil bangkit berdiri untuk merenggangkan tubuhnya yang kaku.
Saat dia berdiri, Tim mundur beberapa langkah, menjaga jarak dengannya. Dia seolah kembali ke kenyataan kalau gadis itu adalah seorang metahuman sekaligus assassin yang jauh lebih kuat darinya. Jika mereka saling serang, sudah jelas siapa yang sangat dirugikan. Dalam kepalanya pun seketika terlintas momen di mana gadis itu berhasil melumpuhkannya, menerjangnya, dan menindihnya ke atas tanah. Apakah keputusannya untuk melepaskan gadis itu dari borgol sudah benar? Keraguan menyelip masuk ke dalam hatinya—dia juga agak takut dimarahi Bruce.
Merasakan kecemasannya, Vendetta mengulas sebuah senyum tipis. "Aku sudah janji aku tidak akan menyakitimu. Tenang saja," ucapnya dengan nada menenangkan.
Tim tertegun, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. "Baiklah, kalau itu katamu," jawabnya.
Vendetta kembali duduk di kursinya. Dia menyilangkan kedua kaki dan tangan, bersandar dalam posisi yang terlihat santai alih-alih angkuh. Ada sesuatu yang halus tapi tegas dalam gerak-geriknya, seperti sikap aslinya yang menyebalkan mulai muncul ke permukaan.
"Oke," katanya, memecah kecanggungan. "Tanyakan yang ingin kau tanyakan."
Tim menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang terasa makin kencang, dadanya bertalu-talu. Ini adalah pertanyaan yang telah lama selalu menghantui pikirannya sejak dia tahu kalau gadis itu ingin—sedang balas dendam terhadap sebuah organisasi rahasia yang misterius, dan sekarang adalah saatnya untuk mengungkapkannya.
"Apa yang telah mereka lakukan padamu?" ujarnya pelan, hampir seperti bisikan.
* * *
Chapter 19: Unchained Talks
Chapter Text
"Apa yang telah mereka lakukan padamu?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, dan Vendetta tidak sempat menduganya. Di antara semua pertanyaan yang ada, itu adalah pertanyaan yang paling ingin dia hindari dan tidak ingin dia jawab sampai kapan pun. Bukan karena dia tidak punya jawabannya, tapi justru karena jawaban yang dia punya sangat tidak menyenangkan sampai-sampai dia tidak mau mengatakan apa pun. Lagipula, orang-orang tidak pernah menanyakan hal seperti ini padanya sebelumnya. Mereka tidak pernah peduli, mereka bahkan tidak pernah tahu masalah apa yang dia miliki dengan Black Water sampai akhirnya dia menampakkan diri ke publik. Dia jadi bingung reaksi seperti apa yang harus dia tampilkan di hadapan laki-laki berjubah kuning campur hitam itu.
"Hm ... sepertinya sekarang semua orang memang ingin tahu kenapa aku balas dendam pada mereka," gumam Vendetta berbasa-basi. Dia mencoba bersikap biasa saja, tapi sepertinya usahanya gagal begitu matanya tanpa sengaja beralih, menghindari tatapan Tim.
Tim menyadari hal itu, tidak ada satu pun hal yang luput dari perhatiannya sejak dia melangkahkan kaki ke ruangan ini. Dia sudah tahu kalau Vendetta tidak akan menjawab pertanyaannya begitu saja, dia bukan gadis yang mudah ditangani dan tentu saja dia akan membuat segalanya menjadi sulit. Ingatannya seketika melayang pada pertemuan pertama mereka yang cukup menyebalkan, di mana gadis bermana emas itu berulang kali menghindari pertanyaannya dan malah bersikap acuh tak acuh seolah dia adalah orang paling santai di dunia. Memang tidak akan mudah, tapi, tidak pernah ada kata menyerah dalam kamusnya.
"Ya, semua orang ingin tahu. Aku juga ingin tahu," jawab Tim penuh determinasi seolah tidak ada ruang yang menyisakan setitik pun keraguan dalam suaranya.
Vendetta kembali menatap laki-laki itu. Emas bertemu biru. "Yang mereka lakukan padaku bukan hal yang menyenangkan. Itulah kenapa aku balas dendam pada mereka," ucapnya tajam.
Sebisa mungkin Tim menahan diri untuk tidak memprotes begitu dia mendengar hal yang sudah jelas dan siapa pun pasti akan tahu tanpa perlu dijelaskan. Yang dia inginkan adalah jawaban, penjelasan, atau apa pun yang bisa membawanya ke titik terang dan menghapus sesuatu yang mengganjal di hatinya, bukan sesuatu yang seperti ini. Masih banyak misteri yang belum terpecahkan di antara mereka berdua dan organisasi rahasia bernama Black Water itu, dia harus segera mengungkap segalanya secepatnya sebelum wanita bernama Shawn itu melakukan sesuatu.
"Kau bilang kau akan bicara padaku. Apa itu begitu sulit?" tanya Tim, pertanyaan retoris. Dia mencoba untuk tidak terdengar putus asa meskipun dia sangat ingin tahu kebenarannya.
"Aku sedang bicara denganmu." Vendetta bergurau ringan. Bibirnya tersenyum miring, hampir tertawa, seolah mereka berdua sedang mengobrol santai sambil minum teh.
"Kau tahu bukan itu maksudku, kau tahu apa yang aku inginkan," respon Tim, suaranya penuh harap.
Melihat raut wajah tulus yang Tim tunjukkan padanya, Vendetta terdiam sejenak. Senyumnya perlahan luntur dan pikirannya mulai berputar-putar. Muncul sebuah perasaan asing yang belum pernah dia rasakan dalam hatinya, seperti ada sesuatu yang berbisik sekaligus meyakinkannya kalau dia bisa memberitahu laki-laki itu tanpa perlu mengkhawatirkan banyak hal. Tapi, dia tidak mengerti. Kenapa? Apa karena dia tahu kalau Robin adalah seseorang yang peduli terhadap orang lain, termasuk seseorang sepertinya? Perasaan aneh itu semakin lama semakin membesar hingga dia harus berusaha keras untuk menahannya.
"Mereka menyakitiku," ucap Vendetta singkat, dia menopang dagunya dengan telapak tangan, tidak berkata lebih lanjut. Matanya sekarang menyapu sekitar ruangan, melihat apa pun selain sepasang netra berwarna biru yang sedang menatapnya dengan rasa ingin tahu.
"Menyakitimu?"
Tim mengerjapkan mata. Dia tahu kalau jawaban tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak kemungkinan yang ada, tidak sedikit orang yang menyimpan dendam ketika disakiti oleh orang lain. Tapi, dia tidak pernah menyangka kalau gadis itu akan benar-benar menjawabnya dengan alasan tersebut. Sebagian dari otaknya sempat mengira kalau gadis itu akan mengatakan hal yang terkesan main-main dan tidak masuk akal seperti 'karena mereka menyebalkan' atau hal-hal lainnya—jangan salahkan Tim telah berpikiran demikian karena sikap gadis itu yang memang sulit ditebak.
"Ya, menyakitiku, jadi aku menyakiti mereka juga." Suara Vendetta tiba-tiba berubah dingin dan serius.
Menyadari suasana hati gadis di hadapannya mulai berkabut, entah mengapa, Tim merasa sedikit sesak. Tidak terbayangkan bagaimana mereka telah menyakitinya hingga gadis itu tega melakukan semua hal mengerikan ini dan rela menunjukkan dirinya di hadapan semua media setelah sekian lama bersembunyi dalam bayangan hanya demi balas dendam. Tidak ada satu pun gambaran yang masuk akal yang pernah terlintas dalam benaknya. Tapi, bagaimanapun, dia tidak akan pernah setuju dengan apa yang sudah gadis itu perbuat selama ini.
"Kau tidak menyakiti mereka, kau membunuh mereka," ucap Tim, suaranya tanpa sadar ikut serius.
Vendetta kembali menoleh ke arahnya, sebuah tawa pun lepas, mengisi seluruh ruangan. "Tentu saja aku membunuh mereka, aku seorang assassin, ingat?" katanya dengan nada penuh ejekan, berbanding terbalik dengan suaranya yang terdengar dingin beberapa saat lalu.
Tim tidak pernah suka dengan perubahan sikapnya yang seperti ini, sikapnya yang menganggap remeh nyawa manusia sekalipun mereka adalah orang jahat yang pernah melakukan hal buruk sebelumnya. Padahal, dia selalu percaya kalau kesempatan kedua itu ada, dan mereka tidak perlu mati untuk menerima hukuman darinya. Jujur saja, dia ingin sekali memaksakan akal sehat masuk ke dalam kepala gadis itu, tapi dia harus menahan diri dan tidak membiarkan perasaan menguasai dirinya. Dia sudah mendapat kesempatan ini sehabis mengambil risiko besar dengan melepaskan borgol tersebut, jadi dia tidak akan menyia-nyiakannya.
"Bagaimana mereka menyakitimu?" tanya Tim. Dahinya berkerut samar, muncul sedikit perasaan takut pada jawaban yang mungkin akan dia dengar.
"Sangat parah," balas Vendetta singkat, tampak tidak tertarik untuk membahasnya lebih lanjut.
"Seperti apa?" Tim kembali bertanya, pertanyaan yang tidak kunjung terjawab mulai membuatnya putus asa. "Aku ingin kau memberitahuku." Dia masih belum menyerah.
Mata Vendetta menyipit, menatapnya tajam. "Tapi aku tidak ingin memberitahumu," ujarnya.
Sudah bisa diduga.
"Dengar, Vendetta." Tim menarik napas, berusaha untuk tetap tenang dan terkendali. "Kau bilang aku bisa tanya apa pun padamu, dan itu yang aku tanyakan, itu yang ingin aku tahu tentangmu," dia menjelaskan dengan hati-hati, berharap besar agar semua yang dia katakan terdengar masuk akal di telinga gadis itu.
"Kenapa kau begitu penasaran?" Vendetta balik bertanya, suaranya kini pelan, nyaris tidak terdengar.
Tim terdiam selama beberapa saat. Kenapa dia sangat ingin tahu? Apakah dia hanya sekadar penasaran karena semua hal tentang gadis itu masih menjadi misteri hingga saat ini? Atau, dia hanya ingin tahu karena ada sebagian dari dalam dirinya yang mulai peduli padanya, yang merasakan dorongan untuk membantu dan melindunginya? Sebagian dalam diri Tim ingin sekali mengungkap semua rahasia yang selama ini terus muncul dan menghantui tanpa jawaban di pikirannya, tapi di sisi lain, dia juga ingin mencoba memahami apa yang telah gadis itu alami sampai titik ini dan mengenalnya sedikit lebih jauh daripada sepasang vigilante dan assassin yang saling bermusuhan.
"Aku hanya ingin tahu dan mengerti apa yang telah terjadi padamu." Pada akhirnya, itu adalah jawaban paling jujur yang bisa Tim berikan.
Grep!
Vendetta tiba-tiba berdiri dari kursinya. Dalam satu kedipan mata, dia sudah berada tepat di depan Tim sambil mencengkeram ujung jubahnya erat. Dengan gerakan cepat, dia menarik tubuh laki-laki itu mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak sekitar beberapa senti saja. Atmosfer di sekitar yang semula terkendali kini berubah hening dan menegangkan. Keduanya bisa merasakan hembusan hangat napas masing-masing yang saling bertukar di ruang sempit di antara mereka. Kedua pasang mata tersebut dipaksa bertemu, dalam jarak sedekat ini mereka hanya bisa terfokus pada satu sama lain.
Tim menelan ludah, keringat mulai membasahi tangannya. Dia terkejut, sangat, tapi dia tidak akan menunjukkan kalau dadanya berdegup kencang. Dalam kepalanya, mulai muncul berbagai skenario yang bisa terjadi dalam keadaan seperti ini. Hanya ada dua kemungkinan besar yang dia pikirkan. Entah dia akan mati, atau dia akan baik-baik saja. Untuk yang kedua kalinya—pertama kali saat dia berkata pada semua orang kalau gadis itu punya alasan tersendiri—Tim memutuskan untuk menyingkirkan segala logika yang dia ada di pikirannya dan memilih untuk mempercayai kata hatinya. Dia akan baik-baik saja. Atau setidaknya, itu yang ingin dia percayai.
"Apa kau takut padaku?" tanya Vendetta. Suaranya rendah dan penuh intimidasi, nyaris tanpa emosi. Kalau orang yang berada di hadapannya hanyalah orang biasa, mungkin mereka sudah gemetaran dan mengencingi diri mereka sendiri. Dia tampak seperti malaikat pencabut nyawa.
"Tidak."
Tim tidak gentar, dia menjawab dengan pasti. Matanya tidak pernah lepas dari sepasang netra emas indah yang menatapnya dari jarak sedekat ini tanpa berkedip. Dia bisa mendengar detak jantungnya sendiri berirama dengan detak jantung gadis di hadapannya. Dia juga bisa melihat dahi gadis itu yang mengernyit samar dan ujung bibirnya yang tertekuk ke bawah. Keadaan ini begitu menyesakkan, kedekatan mereka sulit membuatnya fokus. Tapi, yang ada di pikirannya saat ini hanya satu, tidak ada lagi kebohongan, tidak ada lagi mendorong jauh perasaannya.
"Bagaimana kalau aku melukaimu?" Vendetta kembali bertanya, kali ini pertanyaan tersebut terdengar jauh lebih pelan di telinganya. Intimidasi darinya seolah hilang tertiup angin.
"Kau tidak akan melakukannya. Kau sudah berjanji padaku," ucap Tim penuh keyakinan, matanya tidak pernah luput dari gadis itu, menatapnya lekat-lekat.
Vendetta semakin mengeratkan cengkeraman pada jubahnya. "Kalau aku tidak berjanji, apa kau akan takut denganku?"
"Tidak." Tim tidak goyah.
Mata emas itu memicing, menatap Tim dengan sangat tajam. "Tanpa borgol itu, aku bisa menciptakan senjata apa pun sekarang. Belati untuk menggorok lehermu, peluru untuk membuatnya bersarang di otakmu, atau pedang untuk memotong kepalamu dari lehermu. Oh, dan jangan lupakan racun yang ada di dalamnya." Suaranya datar. "Aku bebas memilih yang mana saja, atau aku bisa memakai semuanya kalau aku mau. Apa kau takut?" tanyanya lagi.
"Tidak." Jawaban Tim tidak pernah berubah, pandangannya tidak pernah berpaling.
Ekspresi wajah Vendetta berubah, kini dia mengernyit. "Kenapa?" tanyanya, ada setitik rasa bingung campur keputusasaan dalam suaranya. Dia tidak mengerti kenapa jawaban yang dia dengar dari laki-laki itu justru berbanding terbalik dari perkiraannya, atau dari reaksi semua orang sebelumnya. Dia tidak mengerti kenapa laki-laki itu bisa begitu yakin padanya.
"Karena kau pernah menyelamatkanku." Tim mengatakan apa yang dia percayai dalam hatinya. "Kau tidak akan pernah menyakiti orang yang telah kau pilih untuk kau selamatkan. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali," ucapnya. Tanpa sadar kedua tangannya terangkat untuk menggenggam lembut tangan gadis itu yang masih mencengkeram jubahnya erat.
Meskipun terhalang sarung tangan, sentuhannya terasa nyaman. Vendetta jarang—atau bahkan hampir tidak pernah—membiarkan orang lain menyentuhnya, dia tidak menyukainya. Tapi, sentuhan itu terasa bagai sengatan listrik kecil yang hangat, membuat dia bungkam, tidak ada kalimat lain yang sanggup keluar dari mulutnya. Menundukkan kepala, gadis itu mengalihkan pandangan, tidak lagi menatap kedua mata biru Tim yang entah mengapa membuatnya merasa tidak berdaya. Perlahan-lahan, cengkeramannya pada jubah tersebut melonggar.
"Apa kau sepercaya itu padaku?" Suaranya lirih, hampir terdengar seperti bisikan.
"Ya," jawab Tim lugas dan tanpa ragu.
Keheningan lain menyelimuti di antara mereka berdua. Sampai akhirnya Vendetta tiba-tiba mengangkat kepala, tersenyum, dan melepaskan cengkeraman tangannya begitu saja. Seolah tidak memberikan sedikit pun waktu bagi Tim untuk berpikir, dia melangkah mundur kemudian kembali duduk santai di atas kursi dengan kaki ramping yang menyilang.
"Bagus, itulah yang ingin aku dengar. Seperti yang aku harapkan dari Boy Wonder, sama sekali tidak mengecewakan," katanya ceria, sebuah senyum lebar merekah di bibirnya.
Tim mengerjapkan mata.
"Apa?"
Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Detik sebelumnya, gadis itu menatap tajam dan mengancamnya, tapi detik selanjutnya, gadis itu tersenyum seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Tim tidak habis pikir, dia kehilangan kata-kata dibuatnya. Jadi, semuanya hanyalah akting? Untuk mengetesnya? Untuk melihat reaksinya? Untuk menertawakannya? Dia tidak mengerti maksud dari perbuatannya. Tapi, sebelum bisa dia sadari, pipinya terasa sedikit panas. Lalu, dia mulai merutuki dirinya sendiri karena bodoh dan tidak menyadari hal itu sebelumnya. Reaksi seriusnya di tengah permainan itu pasti terlihat sangat lucu di mata gadis itu.
"Jangan cemberut begitu," ucap Vendetta jahil. Benar saja, dia tertawa kecil.
"Aku tidak cemberut," sanggah Tim cepat, padahal bibirnya mengerucut.
Vendetta tertawa sampai bahunya bergetar. Dia memang iseng melakukan semuanya, dia tidak akan benar-benar melukai Tim. Dia mungkin seorang assassin, dia membunuh, tapi dia bukan tipe orang yang mengingkari janji. Biarkanlah Tim kesal dan menganggapnya sebagai bahan candaan, atau akting, atau sesuatu untuk mengetesnya. Sampai kapan pun, gadis itu tidak akan pernah mengakui kalau sebenarnya dia serius dengan semua pertanyaannya. Dia selalu ingin tahu apa yang Tim rasakan terhadapnya, atas semua hal yang telah dia lakukan. Untung saja, jawabannya sesuai yang dia harapkan, apa yang dia dengar membuatnya merasa senang. Meskipun rasa takut sempat menyusup ke dalam hatinya, itu tidak penting lagi sekarang.
"Baiklah, aku akan benar-benar memberitahumu."
Tidak tega melihat Tim yang tampak tidak terkesan, atau lebih tepatnya malu, Vendetta menghentikan tawa lalu menegakkan tubuhnya di kursi, memperbaiki posisi duduk. Melihat gesturnya yang tiba-tiba berubah, Tim seketika merasa menegang. Tampaknya suasana akan berubah menjadi serius. Sesuatu yang telah dia tunggu-tunggu. Ini dia.
Vendetta menatapnya intens. "Nah, sekarang, dengarkan baik-baik," dia memulai.
* * *
Damian masih ingat dengan jelas momen di tengah pertarungan ketika gadis bernama Vendetta itu mengatakan sesuatu yang mengisyaratkan bahwa dirinya pernah bertemu dengan Batgirl, atau Cassandra Cain. Hal itu sulit dipercaya, dia tidak ingin mempercayainya. Tapi, dia juga tidak bodoh, dia menyadari sesuatu yang berbeda dari biasanya. Selama pertarungan, dia tahu kalau Cassandra tidak menggunakan kekuatan penuhnya saat melawan gadis assassin itu.
Damian juga masih ingat dengan jelas ketika Cassandra mengaku kalau mereka berdua memang pernah bertemu di masa lalu, bertahun-tahun lalu lamanya. Pengakuan itu membuat suasana terasa mencekam. Bruce tidak senang, Dick tampak terkejut, dan Stephanie hanya menggigit bibir—sepertinya dia sudah tahu. Katanya, gadis itu pernah dikirim untuk mengakhiri nyawanya, tapi entah karena alasan apa, dia tidak pernah menyelesaikan pekerjaannya.
Kalau Cassandra memang sudah tahu gadis itu sejak dulu, seharusnya dia mengatakan sesuatu begitu mendengar apa yang gadis itu lakukan mulai menjadi topik panas di antara semua orang dan menjadi pertanyaan yang belum terjawab di antara mereka. Tapi, dia tidak melakukannya, dia memilih untuk bungkam sampai akhirnya mereka bertemu di pertarungan itu. Kecuali, kalau Cassandra memang tidak tahu kalau gadis yang pernah dia temui bernama Vendetta.
Damian ingin sekali bertanya 'kenapa?' tapi pertanyaan yang lebih besar saat ini adalah 'siapa?'.
Siapa itu Vendetta?
Kenapa selama ini mereka tidak pernah mendengar apa pun tentang 'Vendetta'?
Mereka masih buta, masih belum tahu apa pun tentang Vendetta selain fakta kalau dia adalah seorang assassin sekaligus metahuman dengan kekuatan yang luar biasa. Mereka memang berhasil menangkap gadis itu, tapi mereka sukses bukan karena menemukan sesuatu tentangnya, melainkan karena berhasil menemukan gedung yang diduga sebagai markas utama Black Water, yang pada akhirnya menuntun mereka pada sebuah pertarungan. Mereka menang, gadis itu kalah. Tapi, apa gunanya menang tanpa mengungkap misteri?
"Tidak, dia tidak menyebut namanya, dia hanya menyuruhku menyebutkan password." Itu yang Bruce ucapkan ketika Damian bertanya perihal pertemuannya dengan gadis itu di gala. Ketika mengecek buku tamu, nama yang gadis itu gunakan adalah 'Sonya' bukan 'Vendetta'.
Damian memperhatikan berkas-berkas tentang gadis itu yang berserakan di hadapannya.
Kasus yang pertama ketika Robin, Tim, diculik. Seluruh kota gempar dengan pembantaian tersebut, media menyebutnya sebagai 'Pembunuhan Berdarah Dingin' atau sebagainya, dan bertanya-tanya siapakah sebenarnya pelaku dari kasus pembunuhan ini. Waktu itu, Vendetta sama sekali tidak tertangkap kamera, keberadaannya menjadi misteri. Orang-orang belum tahu kalau pelakunya adalah seorang gadis dengan sepasang mata emas di balik maskernya.
Saat Tim mengejarnya dan perkelahian antara Tim, Bruce, dan Vendetta terjadi, berita dengan headline 'Siapakah yang Batman & Robin Lawan?' muncul di mana-mana. Ini adalah kali pertama gadis itu menampakkan dirinya ke hadapan publik, tapi waktu itu orang-orang masih belum tahu kalau dia adalah orang yang sama dengan pelaku pembunuhan di gedung tersebut.
Kasus yang kedua lebih menggemparkan lagi dari kasus yang pertama. Kali ini Vendetta benar-benar menampilkan dirinya di hadapan semua orang. Sehabis melarikan diri bersama Tim dan membuat Tim pingsan, dia kembali ke gedung tersebut dan mulai membantai semuanya. Semua orang kini tahu penampilannya—meskipun tidak terlalu jelas—dan tahu apa saja perbuatannya, tapi, masih tidak ada seorang pun yang menyebutkan siapa dia sebenarnya.
Kasus yang ketiga adalah saat mereka berhasil menangkapnya. Dan itu berakhir begitu saja. Nama Vendetta tidak pernah terdengar di mana pun, tidak pernah tertulis di mana pun sejak kasus pertama hingga kasus terakhir. Apa yang mereka lewatkan?
"Oracle." Damian angkat bicara sambil menyentuh earpiece-nya.
Barbara segera merespon, "Damian? Apa yang kau—"
"Aku ingin kau mencari tahu tentang gadis itu lagi." Damian cepat-cepat memotong ucapannya. Kata-katanya penuh perintah sekaligus peringatan kalau dia tidak ingin ditanyai apa pun.
"Tapi aku sudah melakukannya berkali-kali." Suara Barbara terdengar kebingungan dari balik sana. "Dan aku masih belum menemukan apa-apa tentangnya, atau Black Water. Aku sudah mencoba yang kubisa, kau tahu? Tentang Paradeisos pun, catatan mereka terlalu bersih." Terdengar helaan napas lelah darinya, wanita itu tampaknya telah bekerja tanpa henti.
"Aku sedang tidak bertanya tentang Black Water atau Paradeisos," tukas Damian ketus. "Ayah yang akan mengurusnya. Sekarang aku bertanya tentang gadis itu." Suaranya dingin dan serius.
"Apa maksudmu?" Barbara tidak mengerti.
"Kita akan mencari tentangnya lagi, dan kali ini kita lakukan dengan cara yang berbeda. Aku ingin mengungkap semua kejahatannya. Terserah dia akan suka atau tidak," ucap Damian final sebelum akhirnya dia menutup komunikasi dan melangkah pergi.
Kalau mereka mencari nama Bruce Wayne, yang akan muncul adalah miliarder playboy pemilik Wayne Enterprises yang terkenal di seluruh dunia. Kalau mereka mencari nama Batman, yang akan muncul adalah The Dark Knight, pelindung Gotham yang ditakuti oleh para kriminal. Bagaimana kalau hal yang sama terjadi pada gadis itu? Kalau mereka mencari nama Vendetta, tidak ada apa pun yang muncul. Tapi kalau mereka mencari nama lain yang gadis itu punya?
Damian yakin dia akan menemukan banyak hal, dan dia akan menggunakannya untuk rencananya.
* * *
Chapter 20: The Weapon Master
Chapter Text
Tim tidak mengerti kenapa Vendetta bisa menceritakan semuanya dengan sangat, sangat santai. Gadis itu sama sekali tidak terlihat marah, kecewa, atau sedih, dia bahkan sesekali tertawa dan melontarkan candaan serta sarkasme seolah apa yang dia ceritakan adalah hal lucu yang terjadi dalam hidupnya. Padahal, dia berdiri di hadapannya sambil meneguk liur dan berkeringat dingin. Tanpa sadar tangannya berkali-kali mengepal dan terlepas. Mendengar semua yang gadis itu ceritakan padanya bagai mendengar berbagai kabar buruk yang digulung menjadi satu kemudian dipaksakan masuk ke dalam kepalanya yang menolak percaya.
Tim sudah pernah menduga kalau apa yang Black Water lakukan pada gadis itu merupakan sesuatu yang tidak terbayangkan, seperti merenggut nyawa seseorang yang dia sayangi atau mengambil sesuatu yang berharga darinya. Tapi, dia tidak pernah mengira bahwa sejak awal yang mereka lakukan adalah menghapus semua ingatan yang gadis itu miliki, membuat dia melupakan semua hal yang berharga baginya juga melupakan dirinya sendiri. Dan menurutnya, tidak tahu siapa yang menyayanginya adalah sama buruknya dari kehilangan seseorang.
"Itu ... awal dari segalanya?" Tim hanya bisa bertanya demikian dengan suara yang gemetar.
Vendetta mengangguk kecil, kemudian dia melanjutkan cerita tentang dirinya yang diajarkan menggunakan kekuatan yang dia miliki. Tidak hanya itu, dia juga diajari cara untuk membunuh menggunakan senjatanya, bertarung menggunakan kekuatannya, serta menghapus semua jejak seolah dia tidak pernah ada di sana. Ketika Shawan berkata kalau dirinya sudah lebih dari siap, 'permintaan' mulai berdatangan. Permintaan untuk mengeliminasi orang-orang yang wajahnya tercetak di foto dan namanya tertulis di berkas. Dia tidak mengerti kenapa dia harus melakukan ini, tapi wanita itu berkata kalau orang yang harus dia bunuh adalah orang jahat, dan jika dia berhasil melakukannya, maka orang-orang tidak akan berhenti berterima kasih padanya.
"Dan, ada eksperimen juga."
Latihan semakin menggila, semakin melelahkan, tidak ada waktu untuk beristirahat. Tapi gadis bermata emas itu suka menjadi kuat, dia ingin menjadi yang terkuat, dan dia senang ketika Shawn berkata kalau dia punya potensi lain yang sangat berharga. Wanita itu bilang kalau dia bisa menjadi tidak terkalahkan, kalau tidak ada satu pun senjata yang bisa melukainya jika dia melukai dirinya sendiri lebih dulu dan membiasakannya. Mulai saat itu, setiap harinya, mereka akan menembaknya dengan pistol, mengirisnya dengan pisau, atau menusuknya dengan pedang, sengaja menciptakan luka untuk menguji seberapa cepat dia sembuh dan mengukur seberapa dekat dia mencapai potensi yang mereka inginkan. Rasanya teramat sakit, seolah hampir mati, tapi wanita itu tidak pernah berhenti meskipun dia memohon.
Napas Tim tercekat, dadanya seakan dihantam sesuatu dengan sangat keras. Mendengar semua yang Vendetta ceritakan membuat perutnya melilit dan terasa mual, nyaris memuntahkan apa yang baru saja dia makan tadi siang. Menekuni pekerjaan yang berbahaya seperti vigilante, dia tentu pernah berada dalam situasi genting dan tertembak pihak musuh yang memegang senjata. Mungkin tidak separah yang gadis itu alami, tapi rasanya tetap tidak terbayangkan.
"Kau ..." baik-baik saja? Tim menelan ludah, mengurungkan pertanyaan itu. Ada sesuatu yang membuatnya tidak kalah penasaran sekarang. "Kau ... terlihat biasa saja, kenapa?" tanyanya.
Vendetta tersenyum, matanya sampai terpejam, tapi yang ada di bibirnya adalah senyum sinis. "Itu terjadi empat tahun yang lalu, sudah lama sekali. Tidak apa-apa, ada yang membantuku dengan hal itu. Aku baik-baik saja," jawabnya seolah dia tahu pertanyaan yang Tim urungkan.
Siapa? Tim membatin, tapi dia tidak menyuarakannya. "Ini gila." Hanya itu yang dia ucapkan.
"Aku tidak menceritakan ini agar kau bisa bertanya tentang perasaanku atau reaksiku, aku menceritakan ini agar kau tahu seberapa buruknya mereka," ucap gadis itu. Dia bergerak di kursi, senyumnya hilang, nada bicaranya menajam. Baginya, tidak ada waktu untuk dikasihani.
Tanpa sadar tangan Tim mengepal. "Kalau memang benar itu yang mereka lakukan, mereka sudah melewati batas," ucapnya tertahan, berusaha untuk tetap berpikir rasional.
"Itu memang yang mereka lakukan. Oh, ya, ada anak-anak lainnya juga."
Vendetta mulai bercerita tentang anak-anak. Ada anak-anak lain yang seusia atau bahkan jauh lebih tua dan muda darinya. Dia tidak pernah mengobrol dengan mereka, hanya sekedar sapa, atau saling berpapasan di lorong. Dia mungkin tidak berinteraksi banyak dengan mereka, tapi dia yakin kalau mereka juga menderita hal yang sama sepertinya. Latihan, eksperimen, misi. Melewati batas demi mencapai potensi gila yang wanita itu inginkan. Canon adalah salah satu di antaranya, mungkin dia pernah membuat gadis itu kesal atau cemburu dengan Shawn yang selalu memujinya sebagai anak terbaik jadi gadis itu bersemangat membunuhnya tempo hari.
Kekejaman itu berlangsung selama bertahun-tahun dan Vendetta tidak bisa melakukan apa pun di tengah segala kekangan yang ada. Keyakinan bahwa dirinya hanyalah sebuah senjata melekat sangat kuat di pikirannya. Tapi, begitu dia mendapatkan target pertamanya yang merupakan anak seumuran bermarga Cain, dia sadar kalau semua yang ada di tempat ini adalah mimpi buruk. Black Water adalah kesalahan, iblis, tidak manusiawi. Dibutuhkan satu tahun penuh untuk menyusun rencana dan melancarkan aksi pelarian diri dari ketatnya penjagaan di sana.
"Tunggu, jadi benar kalau ternyata masih banyak anak lainnya selain kau, si gadis listrik, dan yang meledakkan gedung itu?" Tim tidak bermaksud menyela, tapi rasa penasaran tiba-tiba mengambil alih dan kalimat tersebut meluncur begitu saja dari bibirnya. Matanya berkedip, pikirannya berpacu, seakan telah menemukan bagian yang selama ini telah dia cari-cari.
"Ya? Kupikir kau sudah tahu." Vendetta mengernyitkan dahi.
"Aku tahu, tapi aku tidak terlalu yakin karena aku tidak menemukan banyak bukti sebelumnya. Kalau begitu, kertas-kertas itu ...." Suara Tim berubah pelan, dia teringat akan sesuatu yang pernah dia temukan sebagai barang bukti tepat sebelum mereka meledakkan semuanya.
"Kertas?" Gadis itu kebingungan, dia memiringkan kepalanya.
Tim mengangguk. "Aku menemukan beberapa lembar kertas dari lab bawah tanah di gedung kedua. Ada logo Black Water di bagian kanan atas dan isinya adalah biodata si gadis listrik dan seorang gadis lain yang tidak kukenal," jelasnya, lalu dia tertegun, tampak memikirkan sesuatu.
"Oh, lab bawah tanah, huh?" gumam Vendetta. Dia tidak terkejut mendengarnya. Dia memang sudah tahu kalau ada lab bawah tanah di sana, itulah kenapa dia menyerang gedung tersebut.
Tim tidak mengatakan apa pun, fokusnya dari lawan bicara mulai teralih saat dia merasakan dadanya perlahan berdegup semakin kencang bagai sedang berlari marathon. Satu per satu kepingan bermunculan dan berputar-putar dalam kepalanya. Mereka tidak lagi berputar dalam pola yang membingungkan, tapi berputar secara beraturan dan berurutan. Yang sekarang dia butuhkan hanyalah keberanian untuk menyatukan semua teka-teki yang ada di depan matanya.
"Belum lama ini, aku pernah menginvestigasi tentang sekelompok orang yang katanya melakukan eksperimen metahuman secara ilegal." Tim mulai bercerita sambil mengingat-ingat.
Vendetta yang mendengarnya mendongakkan kepala, rasa penasarannya muncul.
"Sayangnya, itu berakhir hanya sebagai rumor karena aku tidak berhasil menemukan apa pun. Tidak ada jejak, tidak ada bukti, dan tidak ada orang yang percaya—temanku juga tidak percaya, sedikit menyebalkan memang. Karena hal itu, aku menghentikan pencarian. Tapi, setelah mendengar cerita darimu ...." Tim jeda sesaat, dia menarik napas lalu menahannya tanpa sadar. "Apa menurutmu itu ada hubungannya dengan Black Water?" tanyanya hati-hati.
Vendetta bergumam, memproses informasi tersebut sebelum akhirnya dia menjawab dengan mantap, "Ya." Tidak ada celah untuk keraguan. "Tapi, apa kau yakin kau tidak pernah menemukan apa pun?" Dia bertanya sambil mencondongkan tubuh dan memicingkan mata.
"Huh?" Tim mengerjap.
"Maksudku, semua orang tahu kalau kau pintar, jadi tidak mungkin kau tidak menemukan sesuatu." Gadis itu mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya. "Mungkin kau hampir menemukannya. Tinggal sebentar lagi, sangat dekat, jarimu hampir menyentuhnya, tapi—"
"Tapi mereka menghentikanku," potong Tim lugas, sekarang dia memasang pose berpikir dengan sebelah tangan di dagu. "Aku mungkin sedikit lagi akan menemukan sesuatu. Sesuatu yang mereka sembunyikan, sesuatu yang tidak ingin siapa pun temukan. Itulah kenapa mereka menculikku dan mengincarku, itu adalah bentuk ancaman agar aku berhenti," katanya.
Vendetta mengangguk. "Bisa jadi. Itu hal normal bagi organisasi jahat, bukan?" Dia terkekeh.
"Sial, ini tidak bagus."
Sementara Tim mengumpat pelan dan mulai memikirkan kemungkinan tentang kedua kasus yang ternyata saling berhubungan, gadis itu menghela napas pelan dan merilekskan tubuhnya di kursi. "Lihat? Kau sendiri yang membawa dirimu ke dalam masalah. Sudah kubilang, lupakan semua tentang mereka. Sekarang masih belum terlambat, berhentilah," ujarnya serius.
Tim menggeleng. "Aku tidak akan berhenti." Dia menjawab penuh determinasi. "Dan sekarang sudah terlambat, kau baru saja menceritakan padaku tentang mereka," tambahnya.
Benar juga.
"Kau sangat keras kepala." Vendetta hanya bisa mendengus sebal sambil memutar bola mata.
"Kau juga," balas Tim tidak mau kalah, sorot matanya tidak tergoyahkan.
"Ah, terserah." Gadis itu mengerang malas sambil memalingkan wajah.
Tim tidak merespon. Daripada meladeni omongan Vendetta yang mungkin akan membawa mereka ke ajang adu mulut berikutnya, dia lebih memilih untuk diam, masih banyak hal yang harus dia pikirkan. Pertama, dia butuh bukti nyata yang bisa dijadikan senjata utama untuk mengekspos semua kejahatan Black Water. Kedua, dia juga butuh strategi yang matang dan berbagai rencana untuk menjatuhkan mereka. Tapi, di antara semua itu, ada satu hal lain yang dia pikirkan. Bukan tentang organisasi itu, melainkan tentang seorang gadis di hadapannya.
Mengangkat kepala yang tertunduk, Tim menoleh ke arah Vendetta, kedua matanya menatap gadis itu lekat-lekat. "Kau bilang kau sadar kalau semua yang ada di sana salah, tapi setelah kau melarikan diri, kenapa kau tetap memilih untuk jadi assassin?" tanyanya.
Vendetta terdiam selama beberapa saat, membiarkan pertanyaan tersebut meresap di udara. Dia tidak bergerak di tempatnya duduk, masih dengan kaki yang menyilang. Ekspresi wajahnya pun tidak berubah, atau lebih tepatnya dia berusaha tidak mengubah ekspresi wajahnya.
"Entahlah, ya." Gadis itu tersenyum tipis sambil mengangkat kedua bahu. "Aku sudah banyak memberitahumu. Aku tidak akan menjawab pertanyaan lainnya."
Tim heran, dia tidak mengerti. "Tapi—"
"Tim, kami membutuhkanmu." Sebelum dia sempat melanjutkan kata-katanya, suara Barbara tiba-tiba menyapa lewat earpiece. Terdengar buru-buru, seolah ada sesuatu yang darurat.
"Apa yang terjadi?" tanya Tim, sedikit panik.
Vendetta memperhatikan gerak-gerik Tim, berusaha membaca ekspresinya yang sedang mendengarkan secara seksama perkataan seseorang yang berbicara dengannya dari di balik sana. Raut wajah laki-laki itu berangsur-angsur menjadi gusar, sepertinya dia baru saja mendapat kabar buruk atau mungkin menemukan sesuatu yang tidak ingin dia dengar.
"Aku harus pergi," ucap Tim sambil cepat-cepat berjalan ke arah pintu.
Kepala Vendetta mengikuti pergerakan tubuhnya yang tegang. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Apakah dia harus menghentikannya? Apakah dia harus mengatakan sesuatu agar laki-laki itu kesal, berdebat, dan tinggal bersamanya lebih lama lagi? Dia ingin melakukannya, tapi dia tidak yakin apakah itu adalah hal yang tepat dalam keadaan seperti itu. Terlalu banyak berpikir. Ujung-ujungnya, dia tidak mengatakan apa pun ketika Tim menghilang dari balik pintu.
"Sialan," umpatnya pelan.
Suasana berubah menjadi lebih hening dari sebelumnya. Vendetta berdiri seorang diri di sana, di tengah Batcave, di dalam sebuah ruangan yang dibuat hanya untuk mengekangnya. Untung saja Tim tidak memasangkan borgol tersebut kembali ke tangannya atau dia bisa gila—mungkin laki-laki itu lupa. Dengan ini, setidaknya gadis itu bisa bersantai sedikit lebih lama sebelum balik beraksi. Karena bagaimana pun, dia harus menemukan jalan untuk keluar dari penjara terkutuk ini. Dia tidak bisa diam saja. Dia sudah bertekad untuk membalaskan dendamnya pada Black Water apa pun yang terjadi, dan dia harus menghentikan mereka bagaimana pun caranya.
Tangan Vendetta terangkat, memegang bagian belakang kepalanya. Rasa sakit menjalar begitu jarinya menyentuh kulit, membuatnya meringis. Tidak ingin memusingkannya lebih jauh, dia segera turun dari kursi, kemudian mulai mengitari ruangan yang terasa menyesakkan. Matanya memperhatikan banyak hal dan telapak tangannya menyentuh berbagai permukaan. Gadis itu mungkin tidak sepintar Tim atau Bruce, dia sedikit payah dengan alat-alat seperti ini—dia tidak pernah menggunakan alat canggih apa pun dalam pembunuhannya, tapi dia yakin dia akan menemukan sesuatu yang bisa dia hancurkan tanpa perlu mengundang banyak perhatian.
Sebagian besar bagian ruangan ini terbuat dari logam terkuat di dunia, Promethium, dan mungkin titanium. Untuk bagian lainnya, dia tidak terlalu yakin, yang pasti itu adalah sesuatu yang kuat, aman, dan mahal. Bukan berarti dia tidak bisa menghancurkannya. Dia bisa, hanya saja dia memilih untuk tidak membuat suasana lebih kacau balau dengan mengecewakan Tim. Tim pasti akan kecewa dan menyalahkan dirinya sendiri kalau laki-laki itu tahu bahwa dia menggunakan kekuatannya untuk kabur. Tunggu, kenapa dia memikirkan perasaannya?
Gerakan tangan Vendetta seketika terhenti begitu dia menyadari kehadiran orang lain di suatu tempat di sekitarnya. Samar, tapi dia dapat merasakannya, bertahun-tahun latihan keras tentu saja membuahkan hasil. Tanpa basa-basi lagi, dia bicara, "Aku tahu kau di sana, keluar."
Tidak ada jawaban yang terdengar selama beberapa saat, sampai akhirnya seorang laki-laki jangkung yang berbadan kekar menampakkan diri. Dia mengenakan baju berwarna hitam dengan tudung dan masker berwarna merah mencolok—bukan pemandangan yang asing.
"Tentu saja kau tahu. Kau si Weapon Master itu, 'kan? Justru aku akan kecewa kalau kau tidak tahu," ucapnya penuh gurauan, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang mengintimidasi.
"Red Hood, ternyata kau tahu nama itu," ucap Vendetta dingin, tidak senang dengan kehadiran laki-laki itu setelah apa yang dia lakukan padanya. "Kau yang memukulku." Dia menggeram.
"Jangan remehkan aku. Yang lain mungkin tidak tahu karena mereka tidak bergaul dengan orang sepertiku." Red Hood, atau Jason Todd, mengangkat kedua bahu acuh tak acuh. "Tentang itu, aku hanya iseng, loh. Ternyata kau tidak imun linggis," balasnya dengan nada main-main.
"Hei! Itu sakit, tahu!" Vendetta mendengus sebal sambil menghentakkan kaki.
Percakapan mereka mengalir begitu saja bagai sepasang teman dekat. Melihat reaksi gadis itu yang tidak cocok dengan pekerjaannya sebagai assassin, Jason tertawa renyah sambil berjalan ke depan ruangan. Kini hanya ada kaca setebal beberapa senti yang membatasi mereka berdua.
"Kau peduli padanya, 'kan?" Cara bicaranya tiba-tiba terdengar serius.
Vendetta menaikkan sebelah alis. "Siapa?" tanyanya.
"Robin," ujar Jason, matanya yang tersembunyi di balik masker memandang lurus gadis di hadapannya. "Kau menyelamatkannya. Kau hanya pura-pura kejam dan jahat agar dia mau menjauhi urusanmu. Tapi kita berdua tahu kalau kau hanya tidak ingin dia terluka, 'kan?"
Merasa terekspos, Vendetta tidak suka. "Jangan omong kosong, Jason Todd," ancamnya.
"Oh, ternyata kau tahu namaku." Jason mengerjapkan mata, sedikit terkejut karena identitas aslinya diketahui. Tapi tampaknya dia lebih tertarik dengan suasana ringan di antara mereka berdua. "Kau tahu, aku pernah bertemu denganmu," katanya dengan nada memancing.
Terpancing, Vendetta memicingkan mata. "Kapan?" tanyanya curiga. Seingatnya dia tidak pernah bertemu dengan laki-laki itu selain saat bertarung melawat Batfamily kemarin. Di luar itu, rasanya mustahil, dia selalu menghapus jejaknya dengan sempurna. Apa dia berbohong?
"Entahlah." Jason lagi-lagi mengangkat kedua bahu. "Coba tebak," godanya.
Vendetta mengerang, dia ingin sekali memecahkan kaca yang memisahkan mereka berdua lalu mengguncangkan tubuh milik sosok bernama Red Hood itu dan berteriak di depan wajahnya agar berhenti main-main dan langsung mengatakan apa yang dia inginkan. Tapi, dia mencoba tetap sabar dan tenang. Laki-laki itu pasti ada datang ke sini untuk melakukan sesuatu. Sambil menunggu apa yang kira-kira akan lawan bicaranya ucapkan, mata emasnya menatapnya tajam.
"Dengar,"
Jason perlahan mendekatkan wajahnya yang dibalut masker lebih dekat ke depan kaca. Vendetta dapat melihat bekas luka samar di wajahnya. Kalau saja tidak ada sesuatu yang menghalangi mereka, mungkin dia juga dapat merasakan hembusan napasnya yang hangat.
"Aku tahu apa yang kau lakukan," bisik Jason, suaranya rendah dan berat.
* * *
"Drake, apa saja yang kau lakukan dengan gadis itu?"
Begitu sampai di Gotham Clock Tower, Damian langsung melayangkan pertanyaan dengan raut wajah yang tampak tidak bersahabat. Sebelum menjawab, Tim mengedarkan pandangan ke sekitar. Di sana hanya ada Damian dan Barbara yang sedang duduk gelisah di atas kursi. Wanita itu pasti sudah menyadari kedatangannya, hanya saja dia tidak sempat menoleh atau menyapa. Sesuatu yang ada dalam komputer canggihnya pasti lebih penting dan tidak boleh terlewatkan.
"Dia menceritakan segalanya padaku," jawab Tim sambil mencuri pandang ke arah komputer. Dia dapat melihat dengan cukup jelas apa yang ditampilkan di layar, sepertinya Barbara sedang melakukan pencarian tentang gadis itu—seperti apa yang selalu mereka semua lakukan.
Damian melipat kedua tangannya di depan dada, sekarang raut wajahnya terlihat angkuh. "Segalanya, huh? Termasuk semua korban yang dia bunuh selama ini?" katanya sinis.
Fokus Tim otomatis teralih padanya. "Bukan, tapi apa yang Black Water laku—"
"Weapon Master," potong Damian penuh penekanan.
"Apa?" Tim mengerutkan dahi.
Damian berjalan pergi begitu saja dari hadapan Tim, melangkahkan kaki ke arah Barbara yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Dia menempatkan diri di hadapan komputer-komputer canggih yang sedang sibuk bekerja, mencari informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber yang sulit dijangkau. Penasaran, Tim berjalan mengikuti di belakang. Matanya memperhatikan layar komputer tersebut dengan benak yang bertanya-tanya apa yang akan mereka temukan.
"Weapon Master adalah nama lain yang gadis itu gunakan," ungkap Damian, tangannya terulur untuk mengetik sesuatu di atas keyboard. Beberapa saat kemudian, muncullah sebuah foto buram seorang gadis berkostum putih dengan tulisan 'Weapon Master' di sebelahnya.
Terkejut adalah reaksi yang Tim tunjukkan, matanya melebar, mulutnya menganga.
"Vendetta bukan nama yang dia gunakan sebagai assassin. Dia menggunakan nama lain, yaitu Weapon Master." Damian menjelaskan, suaranya tegas, menunjukkan kalau dia begitu serius. Setelah itu, dia menoleh ke arah Tim. "Dan kami butuh bantuanmu. Tidak hanya untuk mencari tahu semua tentang Black Water, tapi juga semua kejahatan yang gadis itu lakukan, Drake."
Tim bungkam, terpaku oleh informasi yang baru saja diungkapkan padanya. Informasi itu bagaikan seember air dingin yang ditumpahkan ke wajah. Dia menelan ludah, menahan napas, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau sekaligus mengendalikan perasaannya yang berkecamuk. Dia kira dia sudah tahu cukup banyak tentang gadis itu, tapi ternyata dia salah.
* * *
Chapter 21: Found And Lost
Chapter Text
Malam itu, di balik bayangan sebuah gedung yang menjulang tinggi, angin berhembus lebih dingin dari biasanya. Tidak masalah bagi Shawn, dia hanya perlu merapatkan jaket hitam yang selalu dia kenakan untuk membuat tubuh lemahnya tetap hangat. Di bawah sana, kekacauan mungkin akan segera terjadi, kekacauan yang telah dia perkirakan. Tapi tidak ada satu pun yang dapat mengganggunya, fokusnya saat itu tertuju pada seseorang pria berjubah hitam dengan logo kelelawar di dada. Semua orang mengenalnya. Itu adalah Batman, pelindung Gotham.
"Kalau kami menghentikannya?"
Suara berat, yang berbanding terbalik dengan sapaan lembut yang tadi wanita itu ucapkan, terdengar. Dari nadanya, tersirat amarah serta emosi yang ditahan sebaik mungkin.
"Kita lihat saja. Mungkin akan menyenangkan."
Shawn mengulas senyum. Perlahan, senyumnya berubah sinis saat dia menyadari ekspresi yang tersembunyi di balik masker hitam tersebut menjadi semakin kecut, sesuai perkiraannya.
"Apa kau benar-benar berpikir dia bisa lepas begitu saja dariku dan berpihak padamu?" sambung wanita itu dengan nada yang tenang dan terkendali. "Gadis itu, aku menciptakannya. Aku mengenalnya lebih baik daripada kau, Robin, atau bahkan siapa pun," ucapnya pasti.
Batman—Bruce Wayne—menahan geraman setelah mendengar jawaban yang Shawn berikan. Mengendalikan diri, dia tetap berdiri tegak di tempat yang dia pijak dengan kedua kakinya yang kokoh. Dia tahu bahwa wanita yang mengaku sebagai ketua Black Water itu bukanlah seseorang yang bisa dianggap remeh, apalagi mengingat kalau dia belum mengungkap kekuatan miliknya.
Tidak seperti apa yang biasa dia lakukan saat berhadapan dengan kriminal, Bruce tidak bisa asal serang dan menggunakan taktik untuk melumpuhkan lawan secepat mungkin. Gadis berambut pirang yang ada di sebelah wanita itu dapat mendeteksi ion yang ada dalam tubuhnya, itulah kenapa mereka bisa tahu dia ada di sana. Bukan tidak mungkin kalau kemampuan yang ketua Black Water itu miliki jauh lebih berbahaya darinya.
Saat itu, tidak ada pilihan selain mengamati dan bertindak setelah menemukan kelemahan, atau setidaknya mengetahui kemampuan wanita berjaket hitam tersebut. Karena dari cara wanita itu membawa dirinya, berdiri diam di sana tanpa satu pun kekhawatiran sambil tersenyum sinis, dia jelas memiliki sesuatu yang bisa dia gunakan untuk melawannya.
"Kau terlalu percaya diri, Shawn," ucap Bruce rendah, matanya memicing tajam. "Kau mungkin menciptakan sesuatu dalam dirinya, tapi kau tidak menciptakan siapa dia."
Hening menyelimuti sesaat. Langit malam semakin bertambah gelap, tapi kota yang sibuk itu tidak pernah tertidur. Hanya suara gemerisik jubah yang menyapu lantai beton serta gesekan dari jaket yang lagi-lagi dirapatkan. Mereka saling bertatapan dalam jarak yang terbentang lebar memisahkan keduanya. Mata tidak berkedip, mengisyaratkan kalau mereka tidak akan mundur.
Shawn, wanita misterius tanpa perasaan, dan Bruce, pria yang bertekad melindungi kota.
Black Water dan Batman.
"Ya, aku menciptakan segalanya yang ada dalam dirinya. Tanpa kami, dia bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa." Shawn sama sekali tidak goyah. "Kau tahu, Batman, dalam hatinya, dia masih senjata kami—seberapa pun keras kau mencoba menyangkalnya," katanya yakin.
Wanita itu menikmati percakapan yang terjadi di antara mereka berdua. Tidak setiap hari dia bisa berbicara dengan seseorang yang memiliki moral kompas yang kuat seperti Bruce Wayne. Sebagai ketua dari Black Water, organisasi rahasia yang bersembunyi di balik perusahaan besar bernama Paradeisos, wanita itu tidak bertemu banyak orang menarik dalam hidupnya. Orang yang dia temui biasanya terlalu patuh atau takut pada kekuatan serta kekuasaan, pada apa yang dia miliki. Tapi tampaknya, kali itu berbeda, dan dia menyukainya.
"Aku yang mengajarinya banyak hal, mulai dari cara membunuh sampai menggunakan seluruh kekuatannya," Shawn menjelaskan, dia meletakkan tangannya di depan dada, menunjuk dirinya sendiri. "Dia berbahaya dan tidak ada siapa pun yang pantas memilikinya selain aku," katanya.
Bruce segera membantah, "Tidak, dia bukan senjata yang bisa kau kendalikan semaunya dan aku tidak akan pernah membiarkan sesuatu yang berbahaya jatuh ke tangan yang salah," ucapnya penuh tekad, sama sekali tidak main-main. "Kalau kau melihatnya sebagai senjata, maka dia akan menjadi senjata makan tuan yang membawamu jatuh dan menghancurkanmu."
Seseorang yang sudah dia 'rawat' sejak kecil, seseorang yang dia ketahui asal-usulnya, seseorang yang diajarkan banyak hal olehnya, akan membawanya jatuh dan menghancurkannya? Shawn ingin tertawa kencang mendengar hal tersebut.
"Oh, please. Dia mengacau di kotamu, membunuh banyak orang, dan kau masih bisa berkata seperti itu tentangnya?" ujarnya penuh sindiran, tidak mengerti kenapa Bruce membelanya.
Shawn mendekat beberapa langkah, suaranya rendah dan matanya yang berwarna semerah darah menatap pria itu teduh tapi juga tajam. Di sisi lain, Bruce siap siaga, berjaga-jaga akan hal tidak diinginkan yang mungkin akan datang selanjutnya. Tapi wanita itu tidak melakukan apa pun, dia hanya menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinga dan merapatkan jaket.
"Kau lihat sendiri bagaimana dia bertindak," ucap Shawn tenang. "Dia tidak peduli pada siapa pun, tidak pada kota ini, tidak padamu. Dia akan terus membunuh karena dia marah, karena dia punya dendam, sekalipun dia tahu kalau itu semua adalah bagian dari rencanaku. Kau kira dia akan berubah hanya karena kau percaya dia bisa mendapat kesempatan kedua?"
Mengepalkan tinju, Bruce sekuat tenaga menahan dorongan untuk melancarkan serangan. Dia tahu kalau wanita itu ingin memprovokasi, memancingnya bereaksi, menunggunya kehilangan kendali. Tapi di tengah permusuhan itu, dia harus berpikir dengan kepala dingin. Itu bukan soal emosinya, itu soal bagaimana cara menghentikan Vendetta dan rencana gila Black Water.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanya Bruce, suaranya jauh lebih dingin dari malam.
"Itu mudah," Shawn membalas, senyumnya yang semula sinis kini berubah menjadi senyum tulus—dalam arti yang gelap. "Aku menginginkan gadis itu kembali padaku," jawabnya ringan.
Bruce dapat melihat segitiga yang ada di mata wanita itu menyala putih terang.
"Dia lebih berbahaya dari itu." Shawn memandangnya dengan tatapan penuh arti, seolah apa yang dia katakan benar adanya. "Apa kau tahu kalau dia bisa membunuh setiap orang di kota ini menggunakan kekuatannya? Yang perlu dia lakukan hanyalah berpikir, mengulurkan tangan, menciptakan senjata, dan menjentikkan jari. Itulah yang ingin aku capai," jelasnya.
"Kau ...." Kata-kata itu menggantung di udara.
Senjata pemusnah massal, pikirnya.
Ada perasaan senang dalam hatinya ketika Shawn melihat sosok bertubuh kekar dan berjubah hitam itu terdiam, tidak menduga apa yang dia ungkapkan. Perubahan ekspresi samar yang ada di balik masker mengisyaratkan kalau pria itu memikirkan apa yang baru saja terlontar dari mulutnya. Dia bisa merasakan sebuah celah kecil, nyari tidak terasa, yang bisa dia manfaatkan.
"Biar aku katakan ini lagi padamu," ucap Shawn, nadanya sedikit lebih tajam. "Dia tidak akan berhenti. Kau tidak bisa menghentikannya. Dia akan kembali padaku, karena itulah tempatnya."
Mata Bruce menyipit di balik masker, rahangnya mengeras saat mendengar kalimat tersebut.
"Itu tidak akan terjadi. Aku akan menghentikannya, dan aku juga akan menghentikanmu." Ancaman terdengar jelas dalam suaranya yang berat. "Aku tidak akan membiarkan gadis itu, atau kau menambah lebih banyak korban lagi," katanya penuh peringatan.
Bruce mulai melangkahkan kaki sambil diam-diam mengambil sesuatu dari utility belt, berniat untuk mengeksekusi rencana yang sudah dia pikirkan sejak tadi. Tapi sebelum dia sempat, gadis berambut pirang bernama Canon yang berdiri tepat di sebelah Shawn, maju ke depan, menjadi penghalang di antara mereka. Dia melepaskan sarung tangan yang membalut kedua tangannya, percikan-percikan listrik berwarna putih kebiruan yang bersinar muncul di antara jari-jarinya.
"Jangan mendekat," katanya, bibirnya membentuk seringaian lebar. "Kecuali kalau kau ingin keluargamu yang sangat berharga itu bernasib sama seperti gedung yang kami ledakkan."
Ancaman yang tidak main-main, bukan hanya sekedar gertakan.
Menghentikan langkah, pandangan Bruce dengan cepat berpindah ke arah Canon yang sudah siap untuk mengorbankan nyawa demi melindungi wanita itu. Kilatan listrik yang ada di jarinya membuat pria itu tetap waspada, tapi bukan itu yang membuat rahangnya semakin mengeras sekarang, melainkan ancaman yang baru saja dia dengar. Ancaman terhadap Batfamily adalah salah satu kelemahan terbesar miliknya, dan mereka tahu cara memanfaatkan hal itu.
Shawn merasa puas. "Terima kasih, Canon." Dia tersenyum pada gadis itu, kemudian melirik ke arah pria di hadapannya. "Optimisme yang menarik, tapi kau dan aku tahu kebenarannya."
Merasa tidak ada seorang pun yang akan menyerang, Canon kembali ke tempatnya semula.
Mata yang berwarna merah serta mata yang terhalang masker itu bertatapan dalam diam ketika kekacauan tiba-tiba terdengar dari arah bawah. Suara pukulan, suara senjata yang menancap, serta suara orang-orang yang berteriak sambil berlari panik. Wanita itu bisa mendengarnya semuanya dengan sangat jelas, pendengaran yang dia miliki jauh melampaui manusia biasa.
Sudah dimulai, pikirnya.
"Kau tidak akan bisa menyelamatkan gadis itu," Shawn memecah keheningan, kata-katanya terdengar seperti racun yang merusak. "Lihat bagaimana dia mendorong kalian jauh-jauh, bahkan saat Robin mencoba bersikap baik padanya. Dia tidak ingin diselamatkan," tekannya.
Sekali lagi, segitiga yang ada di matanya bersinar.
"Aku telah menanam sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa dihapus. Apa pun yang dia lakukan, apa pun yang dia rasakan, siapa pun yang dia pilih sekarang, dia akan selalu kembali padaku."
Shawn mengingat kalimat itu baik-baik dalam benak, percaya akan kebenarannya.
Dia juga mengingat dengan jelas ekspresi murka yang Bruce tunjukkan padanya.
Saat ini, pemandangan Gotham di malam hari terlihat memukau dari sebuah ruangan di lantai teratas gedung perusahaan Paradeisos. Dinding kaca yang membentang luas dari lantai hingga langit-langit memperlihatkan pemandangan kota yang begitu menakjubkan. Ruangan besar bernuansa putih bersih itu memiliki desain minimalis yang elegan, dipenuhi furnitur canggih yang tidak terlalu mencolok, menciptakan suasana yang tenang tapi juga mewah.
"Nona, laporan hari ini." Seorang wanita berambut hitam panjang masker oni —iblis—dengan dua gigi taring besar yang mencuat dari sisi mulutnya, menyerahkan sebuah tablet.
"Terima kasih, Roul." Shawn tersenyum, menerima tablet tersebut dengan hati-hati lalu melangkahkan kaki dan mendudukkan diri di sofa panjang yang lembut dan nyaman.
Jari-jari lentiknya menggulir layar sementara matanya membaca satu per satu informasi yang tertulis di sana dengan seksama. Di dalam tablet yang menyala, ribuan informasi bermunculan. Terdapat banyak foto serta data diri terkini yang sangat lengkap. Di bagian spesies, bertuliskan 'metahuman'. Di bagian tertentu, terdapat sidik jari, golongan darah, dan hal sebagainya. Tapi bagian paling penting adalah kemampuan yang mereka miliki dan perkembangan selama ini.
"Tampaknya sudah banyak subjek yang sudah siap," gumam Shawn puas, senyumnya melebar. "Apa kau dengar sesuatu tentang gadis itu?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.
Wanita jangkung bernama Roul itu terdiam sejenak. Kedua tangannya terlipat erat di belakang punggung. Tepai di sebelah bantalan tangan sofa, dia berdiri tegak bagai anjing penjaga, selalu siap melindungi tuannya tidak peduli kapan pun dan di mana pun.
Setelah beberapa detik, dia menjawab, "Ya."
* * *
Suasana di Gotham Clock Tower terasa lebih tegang dan sesak setelah informasi mengejutkan itu sampai di telinganya. Tim tidak bergeming di tempatnya berdiri, bibirnya bungkam. Banyak hal yang mulai dia pikirkan, tapi dia tidak mengatakan apa pun. Damian memperhatikan laki-laki itu dengan tekad yang tidak berubah, dia akan tetap mengungkap seluruh kejahatan yang telah Vendetta lakukan. Sementara itu, Barbara tetap fokus pada komputer yang ada di hadapannya.
Weapon Master.
Dua kata itu terus berputar-putar dalam kepala Tim. Dia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya, bahkan tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak. Selama ini dia selalu mengira Vendetta adalah nama assassin-nya—orang waras mana yang diberi nama Vendetta?
Kalau dipikir-pikir, mungkin masuk akal jika sejak awal Vendetta tidak ingin mengungkap sebuah nama penting yang dia miliki padanya. Mungkin baginya, lebih baik Tim mengetahui nama aslinya yang aneh daripada nama yang dia gunakan saat membunuh orang. Ditambah, dengan begitu, tidak akan ada siapa pun yang bisa mencari tahu semua perbuatannya.
"Oke, aku akan melakukannya," ucap Tim serius, berusaha menyembunyikan perasaannya.
Mendengar jawaban tersebut, Damian tersenyum puas.
Tim segera mendudukkan dirinya di depan barisan komputer canggih yang sibuk bekerja. Dia mengangguk ke arah Damian dan Barbara yang sudah siap melakukan pencarian mereka. Detak jantung laki-laki itu mulai berpacu seiring dengan jarinya yang mulai menari di atas keyboard.
Di antara para Robin, kejeniusan adalah ciri khas yang Timothy 'Tim' Drake miliki. Dia adalah seorang detektif alami yang bisa memecahkan banyak masalah. Pada usia tiga belas tahun, Tim berhasil mengungkap identitas Batman dan Robin pertama, Dick, hanya dengan deduksi, tanpa bantuan siapa pun. Selain itu, dia juga tidak dipilih oleh Batman untuk menjadi Robin, justru dialah yang meyakinkan Bruce kalau Batman membutuhkan Robin di sisinya.
Dengan keahlian teknologi serta kemampuan investigasinya yang hebat, Tim mengerahkan seluruh tenaganya. Suara ketukan halus menggema di ruangan ketika jarinya bergerak kian cepat di atas keyboard. Setiap detiknya, dia semakin terhubung ke ratusan sistem yang dapat mereka jangkau, mulai dari bank data internasional hingga arsip rahasia pemerintah.
Setiap jaringan yang Tim masuki memberinya potongan informasi. Di satu tempat, dia menemukan laporan tentang kematian berdarah dingin dengan senjata yang hilang entah kemana. Di tempat lainnya, dia menemukan desas-desus tentang seorang assassin baru yang katanya tidak bisa terluka oleh senjata. Dia memproses semua data tersebut dengan sangat cepat, menggabungkan setiap potongan kecil menjadi sesuatu yang jauh lebih besar.
Sampai akhirnya, Tim mencapai sebuah kesimpulan, dan pergerakannya pun terhenti.
"Ada yang salah, Drake?"
Damian menoleh saat dia merasakan Tim yang tiba-tiba berdiam diri, suara ketukan keyboard dari arahnya tidak lagi terdengar. Seolah laki-laki itu terjebak di tempat, bagai ada seseorang yang menahan. Aneh, batinnya. Penasaran akan apa yang terjadi, Damian beringsut mendekat dan memperhatikan ratusan informasi yang terbentang di layar komputer di hadapan Tim.
"Jadi, dia membunuh hampir 300 orang," ucapnya, menjabarkan apa yang dia lihat.
Seluruh ruangan mendadak sunyi, suara detak jarum jam rasanya terdengar lebih kencang dan memekakkan telinga. Udara bagaikan disedot secara paksa dari paru-paru mereka, terutama Tim. Keadaan di sekitarnya menyesakkan, seakan perlahan mencekiknya. Damian mengerutkan wajah. Barbara yang semula duduk di kursinya, kini beranjak turun dan menempatkan diri di antara mereka. Matanya yang berada di balik bingkai kacamata bulat ikut memperhatikan layar.
"300? Itu gila." Dia memecah keheningan, tidak percaya melihatnya.
Tim tidak bereaksi lewat kata-kata, dia hanya mengusap wajah gusar dan menghela napas berat. Dadanya sedikit terasa sakit. Tanpa perlu melihat bagaimana reaksi Damian dan Barbara pun, dia sudah bisa menebak kalau mereka berdua tidak senang mendengar hal tersebut. Termasuk dirinya sendiri. Segala hal yang berpusat pada gadis itu membuat logikanya goyah.
"Dan Cassandra Cain hampir menjadi salah satu korbannya, 'kan?" ujar Damian kecut sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sejak awal, dia memang tidak suka dengan gadis itu.
"Ya, kurasa begitu." Tim mengangguk lemah.
Jauh di dalam hatinya, Tim sudah tahu kalau orang yang Vendetta bunuh tidak mungkin kurang dari lima puluh. Tapi, melihat bukti sekaligus mendengar faktanya secara langsung membuat hatinya mencelus. Tentu saja, sebagai seorang vigilante yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, akan selalu ada satu sisi dalam dirinya yang tidak bisa mentoleransi hal tersebut sampai kapan pun. Tidak peduli seberapa buruknya seseorang, jangan pernah membunuh.
"Bagus." Damian mengulas seringaian bangga. "Kalau begitu, kita tinggal mencari tahu tentang Black Water sekarang," katanya sambil memutar tubuh dan kembali ke hadapan komputernya.
Barbara hendak melakukan hal yang sama, tapi sesuatu yang muncul dalam alat komunikasinya menghentikannya. "Bruce menghubungiku," dia berucap sambil menahan napas.
Tim dan Damian otomatis saling pandang, kemudian mereka berdua menoleh ke arah wanita berambut merah itu. Barbara mengangkat kedua bahu, tanda kalau dia juga tidak tahu apa alasan Bruce tiba-tiba menghubunginya. Tapi, mereka diam-diam merasakan hal yang sama, firasat buruk dan perasan tidak enak. Penasaran, dia pun segera menjawab panggilan tersebut.
"Ada apa, Bruce?" tanya Barbara sambil menelan ludah.
Jawaban yang terdengar selanjutnya bagaikan petir yang menyambar.
"Dia kabur," ucap Bruce, suaranya tegas dan tajam.
"APA!?"
Mereka semua serempak berteriak, dengan suara Tim yang paling kencang di antara mereka.
"Kenapa itu bisa terjadi!?" Barbara tidak kalah panik, suaranya serak.
Di sisi lain, dada Tim seolah dipukul keras-keras. Bukan hanya karena mendengar gadis itu kabur, tapi karena dia seketika teringat kalau dia lah yang melepaskan borgol tersebut dan tidak memasangkannya kembali. Itu pasti satu-satunya alasan kenapa Vendetta bisa melarikan diri. Semua ini adalah salahnya. Hatinya seketika bergejolak dipenuhi rasa bersalah dan khawatir.
Tim menggigit bibirnya hingga terasa nyeri. "Maafkan aku, Bruce. Aku—"
Belum sempat Tim melanjutkan kalimat, Bruce sudah lebih dulu memotongnya.
"Tidak. Seseorang membantunya kabur," katanya, terdengar geraman yang tertahan dari sana.
Jawaban itu seolah menyambar mereka untuk yang kedua kalinya. Waktu seakan terhenti selama beberapa saat. Tim membelalakkan mata, debaran jantungnya sudah tidak bisa lagi dia kendalikan. Matanya yang berwarna biru beralih ke Damian dan Barbara, yang terlihat sama kagetnya. Kening mereka berkerut, mencoba memproses informasi yang baru saja diberikan.
Pikiran mereka serentak bertanya:
Siapa? Siapa yang membantunya kabur?
* * *
Pergelangan tangannya masih terasa kebas, wajahnya sedikit memerah, dan bagian belakang kepalanya masih terasa sakit. Tapi, Vendetta akhirnya bisa bernapas lega ketika dia berhasil keluar dari penjara serta borgol yang membelenggunya. Menghirup udara malam dalam-dalam, dia merentangkan tangan, merasakan angin berhembus yang membawa kebebasan padanya.
"Sudah gila," dia bergumam pelan, tapi bibirnya tersenyum lebar.
Vendetta memang pernah melarikan diri dari markas Black Water yang dijaga begitu ketat, tapi, itu bukan berarti melarikan diri dari Batcave otomatis menjadi hal yang mudah. Meskipun mendapat sedikit bantuan dari seseorang, dia harus tetap berhati-hati. Berbuat salah sedikit saja, dia bisa memicu setiap alarm yang ada dan membuat dirinya kembali menjadi tahanan.
Vendetta tidak bisa menahan tawa. "Benar-benar sudah gila," ucapnya sambil menggeleng.
"Membantumu kabur dari Batcave? Ya, tampaknya dia memang sudah gila—sangaaat gila!"
Sebuah suara yang sangat dia kenali terdengar, seseorang berjalan ke sebelahnya. Itu adalah seorang wanita berkuncir dua ikonik dengan dua cat berbeda, biru dan merah. Siapa lagi kalau bukan Harley Quinn yang kini sedang sedang berdiri dengan senyuman lebar di bibir merahnya. Harley tahu kalau sahabatnya itu pasti akan berhasil dan dia selalu senang akan hal tersebut.
"Tapi, kita semua memang gila, bukan begitu?" Senyumnya kian melebar.
Vendetta mengangguk setuju. "Benar, dan apa yang akan kulakukan akan jauh lebih gila lagi."
* * *
Chapter 22: The Real Crisis
Chapter Text
Semenjak secarik kertas itu dikirim ke kamarnya dengan misterius, tanpa meninggalkan satu pun jejak, ada kemungkinan kalau rumahnya telah disadap. Telinga Black Water bisa ada di mana-mana, mendengarkan setiap kata yang diucapkannya dari segala sisi, bahkan dengan suara paling lirih sekalipun. Vendetta harus sangat berhati-hati, organisasi itu tidak pernah main-main. Sehabis melarikan diri dari Batcave, dia tidak kembali ke sana. Dia meninggalkan barang-barangnya begitu saja dan pergi ke tempat yang lebih aman, apartemen temannya.
"Kau bilang kau akan melakukan sesuatu yang jauh lebih gila lagi! Apa itu akan seperti: bang bang!? Atau boom boom!? Atau piu piu!? Menurutku, piu piu terdengar seru! Bukankah begitu!?"
Harley berkata dengan mulut penuh popcorn, beberapa remahan popcorn berjatuhan dari mulutnya. Kedua tangan wanita itu membentuk pistol yang dia tembakkan dengan dramatis seolah itu adalah pistol sungguhan, menirukan adegan yang pernah dia lihat secara langsung di depan mata. Film dokumentasi kriminal membosankan yang ditayangkan di televisi diabaikan begitu saja, dia jauh lebih tertarik pada rencana gadis bermata emas yang lebih muda darinya.
Vendetta mengusap wajah, menghela napas melihat kelakuannya. Meskipun Harley berusia di atasnya, wanita itu bersikap kekanakkan. "Ya, itu bagian dari rencana. Mungkin semuanya," katanya. Meskipun begitu, dia tetap meladeni—dan mentolerir—ocehannya.
Walaupun apartemen Harley tidak senyaman rumahnya dan tampak berantakan hingga susah melangkah dan membuat geleng-geleng kepala, setidaknya gadis itu mendapat tempat baru yang aman untuk sementara waktu. Dia bisa tinggal di sini sampai rencananya tersusun dengan sempurna lalu mulai bergerak begitu persiapan balas dendamnya telah selesai. Dia tidak butuh tempat yang bagus untuk menjalankan aksi, yang dia butuhkan hanyalah otak yang bekerja memikirkan cara yang tepat untuk mengajak orang yang sudah tersusun dalam kepalanya.
"Semuanya!? Seru! Seru!" Harley memekik senang, kemudian dia meraup sekepal popcorn.
Vendetta dan Harley bertemu beberapa waktu lalu di tengah malam Gotham yang ramai. Keduanya berteman begitu saja—atau lebih tepatnya, Harley berteman begitu saja dengan Vendetta. Alasannya sederhana, karena Harley suka dengan kostum yang gadis itu kenakan. Rompi dengan kombinasi celana pendek high waist. Unik, berbeda dengan kebanyakan kostum superhero atau vigilante atau bahkan villain yang pernah dia temui sebelumnya. Itu cocok sekali dengan selera fashionnya, jadi dia secara otomatis ingin berteman dengan gadis mata emas itu.
Asalkan Harley tidak membocorkan identitas dan keberadaannya—yang entah bagaimana dia berhasil melakukannya sampai sekarang meskipun dia adalah wanita yang banyak omong dan gemar mengatakan segala hal yang ada dalam pikirannya—Vendetta tidak keberatan berteman dengannya. Lagipula, daripada terus sendirian, dia lebih memilih untuk memiliki seseorang di sisinya, terutama setelah orang terakhir berpisah dengannya. Dan di sinilah mereka sekarang.
"Aku tidak bisa kembali ke gedung itu lagi," ucap Vendetta. Dia mengetuk dagunya dengan jari, menunjukkan kalau dia sedang berpikir keras. "Batman dan yang lain sudah tahu kalau Black Water bermarkas di sana. Tentunya, Black Water pun tidak akan bergerak sesuka mereka."
Harley mengangguk. Dia tahu. Dia tahu hampir segala rencana milik gadis itu karena sejak awal, dialah orang yang membantunya. Tapi, ada sedikit perasaan tidak enak yang dia rasakan dalam hatinya. Pikirannya terbawa ke beberapa hari lalu, ketika Batman dan Robin mendatanginya. Wanita itu mungkin hanya memberitahu sedikit informasi tentang Black Water pada mereka, tapi dia tidak menyangka mereka bisa mengetahui markas Black Water hanya bermodalkan secuil informasi tersebut. Kalau urusan kepintaran, Batman dan Robin memang mengerikan.
"Hey, V," panggil Harley, membuat sang pemilik nama menoleh ke arahnya dengan alis yang terangkat. "Maaf kalau tempatku menjijikkan, tapi hanya tempat ini yang kupunya," katanya.
Mendengar hal tersebut, Vendetta mengerjapkan mata, tapi kemudian tertawa kecil. "Tidak masalah," katanya. Toh, dia tidak akan tinggal di sini setelah semua rencananya terlaksana.
Meskipun bukan karena hal itu dia meminta maaf, Harley cukup senang dengan jawabannya. Dia mencondongkan tubuh, mendekat ke arah gadis itu dengan mata yang berbinar. "Jadi, apa yang akan kau lakukan? Mau beri tahu aku apa yang ada di kepalamu itu?" tanyanya penasaran. Sambil menunggu jawaban, dia kembali mengambil sekepal popcorn dan melahapnya rakus.
Vendetta merenung sejenak. Jujur saja, awalnya, balas dendam besar yang dia rencanakan hanya melibatkan dirinya sendiri. Tidak kurang, tidak lebih. Sebut saja dia terlalu percaya diri atau sebagainya, tapi dia yakin kalau dirinya cukup kuat untuk mengalahkan ketua Black Water bersama antek-anteknya sendirian—jumlah mereka tidak terlalu banyak. Dan bagaimanapun pun juga, dibanding Batman atau vigilante lainnya, dialah yang lebih mengenal Black Water.
Dia tinggal di sana, dia dibesarkan di sana. Mereka yang mengajarinya berbagai cara untuk membunuh orang, menggunakan seluruh jenis senjata, memaksimalkan kekuatan super, serta menghilangkan jejak bagai hantu. Secara otomatis, mereka juga mengajarinya bagaimana cara mereka berpikir dan cara mereka bekerja di balik bayangan selama ini. Dulu, baginya, tempat itu adalah rumah dan wanita itu adalah sosok panutannya. Tapi sekarang, yang ada dipikirannya hanya mimpi buruk. Itu adalah kesalahan, dan dia harap mereka akan menyesalinya.
Menghancurkan Black Water hingga ke akar-akarnya adalah rencana Vendetta sejak dia berada di dunia luar dan tersadar kalau tempat seperti itu tidak seharusnya ada di muka bumi ini. Sayangnya, karena rencananya diinterupsi oleh duo vigilante menyebalkan, Batman dan Robin, mau tidak mau dia harus mencari cara lain. Dia tahu Tim dan Bruce akan menghentikannya. Sama sepertinya, mereka juga tidak akan pernah berhenti. Ini tidak hanya tentang masalah siapa yang jauh lebih kuat—karena dia menang dalam hal itu—tapi ini juga tentang seberapa
"Orang sepertiku mungkin tidak hanya satu," ucap Vendetta. Seakan tersadar oleh sesuatu, dia menggeleng. "Tidak, mereka pasti tidak hanya satu." Sorot matanya penuh keyakinan.
"Itu rencana gilamu?"
Harley menyeringai lebar, sepertinya dia yang jauh lebih bersemangat daripada gadis itu.
* * *
Sementara Barbara tetap tinggal di Gotham Clock Tower dan melanjutkan pekerjaannya dari sana, Tim dan Damian pergi ke Batcave secepat mungkin. Speedometer yang ada di bagian depan motor menunjukkan kecepatan hampir maksimal. Kabar tidak menyenangkan yang mereka dengar beberapa saat lalu membuat kedua laki-laki itu pergi dengan tergesa-gesa. Yang satu pergi dengan kesal, sedangkan yang lainnya pergi dengan cemas. Pemandangan kota yang ada di sekitar mereka tampak kabur saking cepatnya mereka melaju. Sekarang, keselamatan Gotham dipertaruhkan. Bukan hal baik yang akan gadis itu lakukan sehabis melarikan diri.
Tidak butuh waktu lama bagi Tim untuk memarkirkan motor berwarna merah yang dia naiki dan berjalan masuk dengan langkah cepat, disusul oleh Damian yang ikut memarkirkan motor dan mengikuti di belakangnya. Sekilas, Tim dapat melihat ekspresi wajah laki-laki itu tampak jauh lebih serius dari sebelumnya, bahkan lebih menyeramkan daripada saat mereka berdua berdebat tentang gadis assassin itu beberapa waktu lalu. Suasana hatinya pasti buruk.
Tim yakin sekali Damian gatal dan ingin berkata 'Sudah kubilang, 'kan?' padanya dengan wajah merengut, lalu bersikeras kalau pilihannya untuk mencoba berbicara dengan gadis itu adalah sebuah kesalahan. Mungkin Damian benar, mungkin juga tidak. Tapi yang sudah terjadi biarlah terjadi. Lagipula, dia yakin kalau itu sebenarnya tidak sia-sia. Bagaimana gadis itu menceritakan segalanya, bagaimana gadis itu membiarkannya mendengarkan, Tim tahu kalau ada salah satu sudut di dalam hatinya yang ingin mengikuti perkataannya. Hanya saja, dia tidak bisa.
Mudah untuk menemukan sosok berbadan kekar dan tinggi di tengah Batcave yang didominasi oleh warna abu-abu suram. Dengan jubah hitam besar yang menjadi ciri khasnya, Bruce berdiri disertai raut wajah yang sudah bisa ditebak. Marah, tapi juga kecewa. Alisnya menukik tajam, ujung bibirnya tertekuk. Menampilkan ekspresi seperti itu, siapa pun pasti tidak akan berani menoleh ke arahnya. Dia jelas-jelas tidak akan membiarkan seseorang beromong kosong.
"Bruce," sapa Tim, dia berjalan mendekat, keraguan menyelip di hatinya.
"Ayah," ucap Damian, mengikuti dengan langkah yang lebih tegas.
Bruce tidak menjawab, tapi dia mengangkat kepala dan memicingkan mata untuk merespon sapaan mereka. Tidak hanya Tim dan Damian saja, dia juga merasakan emosi yang bercampur aduk, seolah dia tahu sesuatu yang buruk akan terjadi. Segera, dia membalikkan tubuh, jubah hitamnya berkobar seiring dengan langkah kaki. Dia melambaikan sebelah tangannya yang terbalut sarung, memberi kedua laki-laki itu isyarat untuk berjalan mengikutinya.
Ketiganya pergi ke ruangan berkaca anti peluru dimana mereka sempat menahan Vendetta menggunakan alat-alat yang membuatnya tidak bisa bergerak ataupun memakai kekuatan super. Sama seperti saat pertama kali mereka memodifikasi ruangan ini, kursi yang berada di tengah ruangan kosong melompong. Mengingat seorang pembunuh profesional yang pernah duduk dan ditahan di ruangan ini, suasana berubah hening dan menegangkan.
"Tidak ada kerusakan atau tanda-tanda perlawanan," Tim berkesimpulan. Tangannya menyentuh permukaan dinding yang dingin, sementara matanya tertuju ke arah kursi tersebut.
Damian tidak mengatakan apa pun, dia memperhatikan sekeliling dengan fokus yang tinggi. Dia ikut mengamati kursi dimana gadis itu pernah duduk sebelum berjalan mengelilingi ruangan untuk mencari petunjuk sekecil apa pun itu yang barangkali Tim lewatkan—dia berharap dia bisa menemukannya. Tidak hanya Tim, dia juga pernah ke sini sebelumnya, ketika gadis itu tidak sadarkan diri. Tidak pernah sedikitpun terpikirkan olehnya kalau gadis itu akan kabur. Apalagi dengan fakta kalau ada seseorang yang membantunya, seseorang di antara mereka.
"Siapa yang membantunya?" Tidak menemukan apa pun, Damian memutuskan untuk bertanya.
Bruce tidak menjawab. Bukan karena dia tidak tahu, tapi karena dia tahu siapa itu.
Keheningannya terbaca oleh mereka berdua, tidak butuh kata-kata untuk mengetahui apa yang pria itu pikirkan dalam benak. Karena rasa penasarannya, Tim juga sebenarnya ingin bertanya dan memaksanya untuk menjawab pertanyaan yang membuat keadaan berbanding terbalik. Tapi dia tahu kalau itu akan berakhir sia-sia, Bruce adalah orang yang jauh lebih keras kepala dari siapa pun yang pernah mereka kenal. Memaksanya hanya akan memperkeruh suasana.
"Drake," panggil Damian tiba-tiba, bibirnya sedikit mengerucut.
Di saat itulah Tim tahu kalau dirinya akan terjebak dalam masalah, lagi.
Damian tahu ini sedikit kekanakkan, tapi dia tidak terlalu peduli. "Bukan kau yang membantunya kabur, 'kan?" tanyanya dengan nada penuh tuduhan.
Tim tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Kau serius berpikir aku yang membantu gadis itu melarikan diri?" katanya, memasang ekspresi datar alih-alih sebal. "Aku bersamamu waktu kita mendengar kabar tentangnya melarikan diri. Kau ingat itu, 'kan?"
"Tetap saja, siapa tahu kau membantunya dari jarak jauh, kau tahu?"
Damian melihat tangannya di depan dada, mengundang ketidaksukaan Bruce.
"Jangan mulai," pria itu memperingatkan dengan tajam.
Tim tidak merespon, begitu pula dengan Damian. Mereka tidak melanjutkan percakapan mereka yang tentunya hanya akan menjadi adu mulut dan argumen tidak berujung. Lebih baik mereka diam karena keduanya tahu kalau berdebat tidak akan menyelesaikan apa pun dan hanya akan membuat pria dengan wajah suram itu tidak terkesan dan kecewa dengan kelakuannya. Untuk saat ini, mereka harus fokus pada satu tujuan—meskipun tampaknya itu lebih sulit bagi Damian karena sejak awal dia tidak menyukai gadis bernama Vendetta itu.
Tidak bisa menahan rasa penasarannya, Damian kembali bertanya, "Lalu, siapa?" desaknya.
Bruce menoleh ke arahnya, tapi dia lagi-lagi tidak menjawab, membiarkan pertanyaan tersebut menggantung di udara. Tanpa aba-aba, dia membalikkan tubuh, kemudian melangkah keluar dari ruangan yang dingin, pergi menuju ke hadapan Batcomputer. Tim dan Damian saling pandang penuh tanda tanya sebelum akhirnya mereka berjalan mengikutinya.
Komputer yang ada di Batcave merupakan komputer paling canggih yang pernah ada di dunia, jauh lebih canggih daripada komputer milik Barbara di Gotham Clock Tower, atau komputer manapun. Informasi yang akan didapatkan di sini tentunya sangat luas, akurat, dan mendalam, bisa menjangkau seluruh jaringan terkecil dan tersembunyi sekalipun asalkan tahu bagaimana cara menggunakannya. Biasanya, mereka memantau seluruh penjuru Gotham dari sini.
Bruce menggerakan tangan di atas keyboard, mengetikkan beberapa kata, lalu mengklik lihai beberapa tombol rumit, mencari informasi yang mereka butuhkan. Informasi tentang gadis itu.
Damian mencondongkan tubuhnya. "Aku tidak percaya selama ini kita mencari dengan cara yang salah," ujarnya sambil mengamati layar-layar yang sedang memuat data pencarian.
"Tidak," sanggah Bruce cepat, pandangannya tidak pernah lepas dari layar tersebut. "Kita tidak mencari dengan cara yang salah. 'Vendetta' adalah kata kuncinya, sementara 'Weapon Master' adalah nama lain yang dia gunakan untuk menutupi semua kasus pembunuhannya."
"Dia sudah membunuh sekitar 300 orang," Tim ikut menimpali ke dalam percakapan, "300 orang sejak dia mengambil nama 'Weapon Master' beberapa tahun lalu." Dia merasakan gumpalan aneh di tenggorokannya begitu mengucapkan kalimat tersebut, sangat tidak enak.
"Aku sudah tahu," kata Bruce monoton.
Damian otomatis mengernyitkan dahi. "Kau sudah tahu tapi kau tidak memberitahu kami?"
"Aku melakukan seluruh pencarian."
Fokus Bruce tidak pernah luput dari layar-layar komputer besar yang menyala dengan terang, menampilkan berbagai data yang datang silih berganti. Data-data itu adalah data yang jauh lebih lengkap dibanding data yang Damian, Barbara, atau bahkan Tim bisa dapatkan. Mereka mungkin ahli dengan komputer, tapi Bruce berada jauh di atas mereka. Bagaimanapun, dia adalah The Dark Knight, dialah orang yang mengajari mereka semua hal tentang itu.
"Dia mulai membunuh sejak dia menjadi bagian dari Black Water," ujar Bruce, menampilkan sebuah file tentang Black Water yang sayangnya masih terenkripsi, butuh usaha lebih untuk membukanya. "Dia pernah bercerita padamu tentang itu, 'kan, Tim? Bagaimana mereka membentuknya menjadi senjata pembunuh." Dia menoleh ke arah Tim, ekspresinya serius.
Tim menelan ludah. "Ya, tapi ...." Kata-katanya tertahan.
Tim ingat dengan sangat jelas—bagaimana dia bisa melupakannya? Tidak terlalu detail dan mungkin ada beberapa hal yang disembunyikan, tapi gadis itu menceritakan bagaimana Black Water menyiksanya selama ini. Menghapus semua ingatannya, melukai tubuhnya dengan senjata, serta eksperimen gila lainnya yang tidak pernah berhenti. Itu dimulai ketika gadis itu berusia sembilan tahun dan berakhir ketika gadis itu memutuskan untuk melarikan diri. Kalau Tim menjadi dirinya, dia sendiri tidak tahu apakah dia bisa menahan semua rasa sakit yang ada.
"Entah bagaimana, dia berhasil melarikan diri dari mereka. Dan di saat itulah dia menjadi assassin dengan nama 'Weapon Master'," ungkap Bruce, tapi yang datang selanjutnya jauh lebih mengejutkan. "Dia pernah bekerja sama dengan Deathstroke—Slade Wilson," katanya.
Mata Tim dan Damiak sontak melebar.
"Apa?"
Deathstroke yang itu? Deathstroke The Terminator, assassin paling mematikan di dunia yang pernah menjadi musuh mereka beberapa kali? Sulit dipercaya. Deathstroke atau yang bernama asli Slade Wilson adalah assassin yang dikenal profesional dan selalu berhasil menyelesaikan kontrak yang ditawarkan padanya. Korban yang terbunuh di tangannya nyaris mencapai angka seribu, hampir tidak terhitung. Bayarannya sangat tinggi, kliennya kebanyakan berasal dari orang kaya dan berpengaruh. Tidak hanya itu, dia juga memiliki otak yang terlampau jenius, kemampuan yang di luar nalar, serta armor kuat yang membuatnya tidak terkalahkan.
"Setelah bekerja sama dengan Deathstroke, angka pembunuhannya meningkat," Bruce melanjutkan. Sekarang di layar komputer terpampang foto gadis itu bersama seorang pria bermasker dua warna, hitam dan oranye. Jarinya menunjuk salah satunya. "Itu adalah saat angkanya mencapai 300. Tidak semuanya adalah perbuatan gadis itu, ada campur tangan Deathstroke di dalamnya. Kita tahu orang seperti apa Slade Wilson itu," ujarnya.
"Apa yang kau coba katakan, ayah?" Damian menginterupsi penjelasannya. "Pada titik ini kau semakin membuatku membencinya—membenci semua perbuatannya," katanya kasar.
Ekspresi Bruce tetap serius, seolah tidak ada satu pun yang bisa menggoyahkannya. "Mereka tidak lagi bekerja sama sekarang, tapi di sinilah semua masalah dimulai. Di sinilah gadis itu mulai memutuskan untuk balas dendam pada mereka. Itu adalah garis waktunya."
Tim tidak berkedip, menatap layar komputer tersebut dengan kedua mata yang melebar. Semuanya tampak masuk akal sekarang. Black Water tidak pernah benar-benar membiarkan Vendetta melarikan diri dari mereka. Mereka sengaja membiarkannya kabur, membiarkannya berkembang dan menjelajahi dunia luar untuk mempelajari hal baru yang menjadikannya jauh lebih kuat. Apa yang gadis itu lakukan justru membuat mereka semakin menginginkannya kembali, semakin membuat apa yang mereka rencanakan mendekati kata sempurna. Karena mereka tahu, dia bisa menjadi senjata yang berbahaya begitu rasa benci menguasainya.
"Tapi, jumlah orang yang gadis itu bunuh bukanlah masalah utama di sini sekarang," Bruce kembali angkat bicara, pergerakan tangannya akhirnya berhenti. Dia melirik ke arah Tim dan Damian yang sejak tadi mendengarkan dengan seksama. "Keadaan sudah berubah, ini tentang Black Water. Mereka akan membuat gadis itu membunuh lebih banyak orang lagi," katanya.
Tim sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, dia menatap Bruce lurus. "Kau pernah bilang gadis itu punya sesuatu yang berbahaya yang menjadi bagian dari rencana besar mereka. Rencana seperti apa, Bruce?" tanyanya. Dia bersumpah dia tidak pernah seserius ini sebelumnya.
Mendengar itu, Bruce memicingkan mata, suaranya dingin. "Rencana pembunuhan massal."
* * *
"Apa kau serius?"
Vendetta berkacak pinggang bagai seorang gadis yang sedang jengkel. Dahinya sedikit berkerut dan ujung bibirnya menukik ke bawah, cemberut. Dia sebisa mungkin tidak menunjukkan rasa herannya, tapi apa yang baru saja dia dengar dari mulut laki-laki jangkung berbadan kekar di hadapannya itu terasa tidak masuk akal baginya—setelah semua yang terjadi di antara mereka.
"Kenapa?" tanyanya lagi, dia tidak mengerti. "Kau pernah membantuku sekali, Jason."
Kebingungan, Vendetta hendak melanjutkan ucapannya, mengatakan pada laki-laki itu kalau perbuatannya bertentangan. Tapi ponsel yang dia simpan di sakunya bergetar, membuatnya mengurungkan niat. Ada sebuah panggilan di sana, dan ujung bibirnya seketika terangkat begitu melihat nama yang terpampang dengan jelas di layar ponselnya. Jarinya dengan cepat menggulir tombol berwarna hijau, lalu membawa ponsel tersebut ke telinga.
"Ya, Joey, ini aku."
* * *
Chapter 23: Looking For Shadow
Chapter Text
Tim memijat pelipisnya sambil menahan helaan napas berat yang ingin dia hembuskan. Dadanya terasa sesak, perasaannya bercampur aduk. Semua informasi yang dia dapatkan beberapa saat terakhir terasa begitu berat untuk diterima. Tidak mudah baginya mendengar banyak kabar buruk secara beruntun, dia tidak pernah terbiasa dengan hal itu meskipun dia telah cukup lama menjadi Robin. Apa yang gadis itu lalui, jumlah korban yang dia bunuh, dirinya yang melarikan diri, seseorang yang membantunya kabur, dan sekarang fakta kalau organisasi jahat tersebut ingin menggunakan gadis itu untuk menjadi senjata pemusnah massal.
Tim tidak tahu apa lagi yang bisa terdengar lebih gila dari ini, dan dia tidak mau memikirkan kemungkinan terburuknya. Keadaan yang mereka lalui sudah memakan banyak korban. Gadis itu maupun mereka tidak akan pernah berhenti. Sekalipun korban yang berjatuhan berasal dari pihak yang terbukti jahat, dia tidak bisa membiarkan seseorang mati lagi. Mereka manusia yang pantas mendapat kesempatan kedua. Jika terus seperti ini, bukan mustahil kalau kedepannya tidak hanya mereka berdua saja yang terlibat dalam masalah, tapi juga orang lain yang tidak berdosa. Dan kalau itu terjadi, artinya mereka gagal melindungi kota, atau bahkan dunia.
"Senjata pemusnah massal," ulang Tim, menahan napas. "Kau bercanda, 'kan?"
Itu adalah pertanyaan yang tidak berarti. Tim lebih tahu dari siapa pun kalau pria berjubah hitam dengan ekspresi serius itu tidak pernah bercanda sekali pun seumur hidupnya, terutama dalam situasi seperti ini. Keheningan yang sempat menyelimuti di antara mereka menjawab lebih banyak daripada kata-kata yang pernah terucap. Lebih dari siapa pun, dia tidak ingin mempercayai hal itu. Dia mungkin pernah menghadapi masalah yang jauh lebih berbahaya sebelumnya, tapi entah mengapa, kali ini perasaannya juga ikut terseret ke dalamnya.
"Gadis itu, Vendetta, dia punya sesuatu yang mereka inginkan. Kekuatan."
Bruce berpikir tidak ada gunanya menyembunyikan hal ini lebih lama lagi ketika sesuatu yang berada jauh di luar perkiraannya telah terjadi. Benaknya kembali ke beberapa waktu lalu ketika dia berbicara dengan ketua Black Water, Shawn. Dimana wanita itu mengatakan kalau dirinya lah yang menciptakan gadis itu, berpendapat kalau gadis itu tidak peduli pada apa pun selain amarah yang bergejolak dalam dirinya, mengungkap kalau dia menanam sesuatu dalam gadis itu yang tidak bisa dihapus, dan menganggap gadis itu hanya sebagai sebuah senjata, sebuah senjata yang akan kembali pada tuannya yang telah sabar menunggunya di rumah.
Tim memperhatikan dengan seksama. Detak jantungnya semakin berpacu setiap kata yang diucapkan terdengar. Dia adalah orang yang pertama kali mendengar dan mengetahui secara langsung dari gadis itu tentang bagaimana cara mereka memperlakukannya—sangat buruk. Pada titik ini, dia tidak lagi terkejut kalau Black Water menginginkannya kembali. Seseorang selalu menginginkan sesuatu yang telah hilang, yang mereka rawat dengan sangat baik untuk pulang dan kembali ke dalam pelukan. Tapi, dia tetap tidak menyangka kalau mereka ingin menggunakan seseorang sepertinya sebagai senjata pemusnah massal. Dia tidak perlu tahu apa alasan di balik rencana tersebut, kedengarannya saja sudah tidak masuk akal dan tidak normal.
"Mereka bilang, dia bisa membunuh setiap orang di kota ini hanya menggunakan kekuatannya. Kekuatan dari potensi tertinggi yang bisa dia capai. Dan mereka ingin kekuatan tersebut. Mereka ingin menjadikan gadis itu sebuah senjata mematikan dan menggunakannya untuk membunuh banyak orang," kata Bruce. Suaranya kasar, wajahnya mengerut. Dia marah dengan keadaan.
"Jadi, gadis itu adalah kunci utama dalam rencana mereka," Damian menarik kesimpulan, tapi setelahnya, dahinya mengernyit samar. "Tapi, kenapa mereka tidak memanfaatkan gadis itu sejak dulu, sebelum dia melarikan diri, sebelum dia jadi Weapon Master?" tanyanya.
Bruce menoleh ke arahnya, ekspresinya serius. "Karena dunia luar bisa mengajarkan segala hal yang tidak bisa mereka ajarkan," jawabnya tegas. "Sejak dia bekerja sama dengan Deathstroke, angka pembunuhannya meningkat. Itulah kenapa mereka tidak melakukan apa pun pada saat itu. Mereka sengaja membiarkannya karena dia berkembang. Potensinya, pengalamannya, dan pola pikirnya. Mereka menginginkannya kembali sekarang karena gadis itu telah menjadi kuat, bahkan mungkin jauh lebih kuat dari perkiraan dan ekspektasi mereka sebelumnya."
"Atau, bisa juga mereka baru tahu kalau gadis itu bisa mencapai potensi tersebut setelah dia melarikan diri," tambah Tim. Kedua kesimpulan tersebut tidak ada yang melesat.
"Itu rencana mereka. Mereka benar-benar membuat gadis itu berada dalam rencana."
Jari Bruce bergerak lincah di atas keyboard, mengklik beberapa tombol rumit dan menu. Layar Batcomputer yang terbentang lebar satu per satu menampilkan beberapa dari sekian banyak berita tentang kekacauan yang Vendetta—atau lebih tepatnya Weapon Master—buat di Gotham. Seorang assassin yang selama ini sama sekali tidak diketahui keberadaannya tiba-tiba muncul dan membuat keributan yang menarik perhatian seolah dia sama sekali tidak peduli tentang apa pun lagi selain menghancurkan organisasi bernama Black Water sampai ke akar-akarnya.
Ini bukan masalah kecil. Tim yakin kalau Vendetta tahu mereka menginginkannya kembali. Dia mungkin keras kepala dan ceroboh, tapi dia tidak sebodoh itu. Ada kemungkinan kalau Black Water menyembunyikan rencana mereka yang sebenarnya untuk menghindari masalah. Mereka pasti sudah memperkirakan kalau gadis itu tidak akan bertindak seperti ini jika saja dia tahu kalau mereka ingin menjadikannya senjata untuk membunuh banyak orang. Benar-benar kacau. Tidak ada pihak yang jahat dalam kedua rencana itu, semuanya harus dihentikan.
"Mereka melakukannya untuk membuat gadis itu menjadi senjata yang sempurna. Karena senjata yang sempurna adalah senjata yang tidak ragu menghancurkan, tidak ragu menghabisi nyawa orang lain. Seperti apa yang mereka ingin capai," kata Bruce, matanya memicing. "Dia melarikan diri beberapa tahun lalu dan memutuskan untuk balas dendam sekarang karena mereka melakukan sesuatu yang membuatnya berubah dan dibutakan oleh amarah untuk balas dendam. Tidak salah lagi, apa pun yang gadis itu lakukan merupakan bagian dari rencana."
"Mereka gila," gumam Tim. Hanya itu yang bisa dia ungkapkan, dari sekian banyak perasaannya. "Tapi, masih banyak hal yang belum kumengerti." Dia tertegun sesaat.
"Kau tidak perlu bertanya-tanya kenapa gadis itu baru balas dendam sekarang." Bagaikan bisa membaca pikirannya, Bruce tiba-tiba berkata padanya, membuat laki-laki itu mengerjapkan mata. "Dia masih kecil ketika mereka memanfaatkannya. Kemungkinan, ketika dia melarikan diri ke dunia luar, hal yang ingin dia bunuh bukanlah mereka, melainkan dirinya sendiri."
Tim jadi teringat tentang pertanyaan miliknya yang belum terjawab. Kenapa Vendetta masih memilih untuk tetap menjadi assassin meskipun dia berhasil melarikan diri dari Black Water? Ini tidak semudah yang dia kira, mungkin ini tidak sepenuhnya tentang balas dendam. Meskipun telah berusaha keras, sejauh apa pun gadis itu pergi, dia tidak akan bisa lari dari masa lalunya. Karena dia hanya tahu tentang membunuh dan membunuh. Hingga akhirnya perasaan itu perlahan mulai mengonsumsinya dan membuatnya terpaksa mengambil keputusan ini. Gadis itu pasti mengira kalau balas dendam adalah salah satu cara untuk membebaskan dirinya.
Layar komputer yang ada di hadapan mereka kini menampilkan data tentang Paradeisos dan Black Water. Data-data tersebut tidak terlalu banyak, tapi cukup untuk menunjukkan kalau mereka juga tidak diam saja di sini. Sebagian besar data yang muncul berisi tentang Paradeisos yang merupakan perusahaan yang tidak bermasalah, sedangkan segelintir data yang ada berisi tentang Black Water masih belum terbuka sepenuhnya. Seolah ada seseorang yang sengaja menghalangi mereka setiap kali mereka mencari, membuat apa yang mereka dapatkan satu per satu hanyalah informasi kecil sebesar gumpalan tanah yang perlu waktu untuk menggunung.
"Sialnya, mereka jago," Bruce, dengan enggan, mengakui. "Mereka layak disebut organisasi rahasia karena hal itu. Butuh waktu untuk mengakses dan membuka file tersembunyi tentang Black Water. Tapi kita tidak bisa hanya duduk diam saja dan menunggu di sini," katanya.
Bruce bangkit dari duduknya, jubah hitamnya berkobar seiring dia mulai melangkahkan kaki dan berjalan pergi dari sana. Di hadapannya, Bat-Computer sama sekali tidak berhenti bekerja. Malah, komputer itu bekerja lebih cepat dan efisien dari sebelumnya. Informasi yang mereka dapatkan tidak seminim dulu lagi. Sekarang, setelah mengetahui siapa sebenarnya Vendetta dan rencana Black Water, yang harus mereka lakukan adalah mencari keberadaannya. Semakin lama gadis itu berada di luar, semakin besar pula peperangan yang menghadang di depan.
"Kita semua mencari gadis itu. Sekarang," ucap Bruce final.
Keputusannya adalah mutlak. Tim dan Damian mengangguk setelah saling pandang. Mereka mengepalkan tangan penuh determinasi, kemudian berjalan mengikuti pria itu dari belakang dengan langkah tegas. Tepat setelahnya, setiap anggota dari Bat-Family pun dipanggil. Mereka meninggalkan semua kegiatan yang sedang mereka lakukan karena keadaan sekarang jauh lebih penting dan darurat. Batman membutuhkan mereka, tidak—
Gotham membutuhkan mereka.
"Akan kulakukan." Di Gotham Clock Tower, Barbara menjawab dengan lugas ketika Bruce menghubunginya. Bat-Computer sedang memproses beberapa data tanpa henti dan pria itu ingin dia mengambil alih komputer tersebut setelah prosesnya selesai. Matanya yang ada di balik bingkai kaca tidak pernah luput dari layar yang sedang memuat, jarinya tidak berhenti bergerak di atas keyboard. Menurutnya, dia hanya perlu melakukan beberapa hal lagi untuk membuka semua file tersebut. Setelah data-data tentang Black Water berakhir diungkapkan, perang yang sesungguhnya mungkin akan dimulai.
"Aku dalam perjalanan kembali ke Gotham." Dick mengendarai motornya yang berwarna senada dengan kostumnya, biru. Dia berpacu di tengah jalanan malam yang ramai, dari Bludhaven ke Gotham. Dia menaikkan kecepatan, melewati setiap rintangan yang ada. Jika keluarganya membutuhkannya, dia tidak akan ragu untuk pulang pergi ke kota mana pun.
Jason mungkin terbilang absen dari komunikasi. Dia tidak mengatakan banyak hal, nyaris tidak merespon pesan yang mereka kirim padanya. Tapi mereka tahu dia ada di sana, mendengarkan. Dengan tudung merahnya, dia berdiri di gang sempit yang becek. Dia memikirkan tentang gadis itu, dan seberapa besar kekacauan yang akan dia ciptakan. Hanya perlu menunggu waktu sampai masalah semakin membesar dan sampai padanya. Dia harus siap untuk hal itu.
The Signal atau Duke Thomas dan Batwoman atau Kate Kane, yang sebelumnya tidak hadir, kini ikut bergabung ke peperangan yang mungkin akan pecah sebentar lagi. Mereka bertugas di sisi kota terpencil yang paling dekat dengan tempat yang mereka pijak, mengintai setiap sudut.
Di dekat Paradeisos, Damian mengamati dengan pandangan tajam. Alat-alat canggih yang dia miliki bekerja. Dari detang jantung serta pergerakan, dia bisa menghitung berapa banyak orang yang menghuni gedung tersebut. Dia menunggu, menunggu sesuatu yang besar terjadi. Tidak menutup kemungkinan kalau gadis itu ada di sekitar sini dan menyamar menjadi orang biasa.
Sedangkan Bruce, seperti biasa, melakukan semuanya seorang diri. Dia punya cara tersendiri.
Sementara itu, Tim berhenti sejenak di atap sebuah gedung untuk mengambil napas panjang. Dia tidak sendiri. Stephanie dan Cassandra mengikuti di belakangnya—sepasang sahabat itu selalu berduaan. Dia sempat menyuruh mereka untuk berpencar saja agar bisa mempercepat pencarian, tapi di satu sisi, dia juga tahu kalau lawan mereka mungkin tidak bisa dihadapi dengan seorang diri. Dia tidak biasanya merasa kalau banyak orang lebih baik selain hari ini.
Sudah beberapa puluh menit mereka melakukan apa yang mereka bisa untuk menemukan gadis bermata emas itu di setiap sudut yang tidak terjangkau sekalipun. Tapi mereka tidak mendapat kemajuan, seolah sekali lagi mereka dibuat berjalan di tempat. Desahan frustasi mulai terdengar dari bibir Tim, mungkin sebaiknya mereka memang berpencar. Dia berpikir begitu. Sampai akhirnya, alatnya tiba-tiba berbunyi, mencuri perhatian ketiga dari mereka.
"Kurasa aku menemukannya," ucap Tim tidak menyangka.
* * *
Itu adalah sebuah malam yang mencekam di Gotham, seperti malam-malam lainnya. Tidak ada satu pun malam yang terasa menyenangkan atau hangat di kota yang dikenal penuh kejahatan tersebut. Vendetta baru saja melangkahkan kaki jenjangnya keluar dari sebuah pub terpencil yang hanya beberapa orang saja yang tahu keberadaannya. Langkahnya ringan dan hening, tidak akan ada yang bisa mendengarnya kalau tidak seksama. Pergerakannya tersembunyi di balik bayangan. Matanya yang berwarna emas berkelip bagai bintang yang bersinar di balik awan malam. Dia menghela napas, tinggal sedikit lagi sampai rencananya bisa berjalan.
Tidak lama setelah gadis itu mulai berjalan, inderanya seketika merasakan ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang datang dari kejauhan, atau lebih tepatnya dari atas. Dia berhenti bergerak, kemudian mendongakkan kepala ke berbagai atap bangunan yang menjulang tinggi mengelilinginya, mencari sesuatu. Dan benar saja, beberapa detik kemudian, sosok segelap malam dengan jubah hitam muncul tanpa diundang, melesat dengan sangat cepat ke arahnya.
Vendetta menggertakkan gigi. Itu Batman—Bruce Wayne. Sekali dia tertangkap, tentu saja The Dark Knight akan menemukan posisinya untuk yang kedua kalinya, dan tentu saja dia akan menjadi orang pertama yang menemukannya dibanding yang lain. Di antara semua orang, vigilante berkostum serba hitam berkesan suram itu merupakan lawan yang paling sulit dihadapi. Itulah kenapa sejak awal dia tidak berniat untuk bertarung melawannya.
"Hentikan apa pun yang akan kau lakukan." Bruce menggertakkan gigi.
Vendetta cepat-cepat melompat mundur, menghindar. "Dalam mimpimu," balasnya kasar.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, gadis itu bergerak cepat. Dengan lincah, dia menciptakan sebuah belati dan melemparkannya. Ujung senjata yang mengkilap tajam itu hampir mengenai armor miliknya, tapi Bruce cekatan memutar tubuh, menghindari serangan. Tidak ingin kalah, dia menerjang dan melancarkan sebuah tendangan rendah yang diarahkan ke kaki gadis itu.
Vendetta melompat ke udara, mengelak. Dia mendarat dengan sempurna di atas jalanan aspal yang becek sambil menciptakan belati lainnya untuk menyerang Bruce dari dua arah. Belati di tangan kanannya melesat cepat dan lurus, sementara belati di tangan kirinya berbelok dari samping. Serangan pengecoh. Tapi Bruce tidak akan terkecoh. Dia mengangkat lengannya, menggunakan sarung tangan Kevlar-nya untuk menahan serangan pertama. Terdengar sebuah dentingan logam, belati tersebut menciptakan percikan api saat mengenai pelindung di lengannya. Kemudian, dia memutar tubuhnya untuk menghindari serangan kedua.
Bruce melancarkan serangan balasan, memukul dengan kombinasi tinju dari kedua tangan yang terkepal. Meskipun tidak bersenjata, setiap gerakannya memiliki tenaga dan teknik yang tidak tertandingi, hasil dari puluhan tahun berlatih bela diri. Vendetta, sekuat tenaga, menghindari setiap serangan dengan gesit dan lincah sambil menggunakan belatinya untuk balik melawan. Tapi, bukan hanya gadis itu saja yang memiliki serangan pengecoh. Bruce mengambil sesuatu dari balik tubuhnya, sesuatu yang tajam, mengkilat, dan berwarna hitam. Batarang.
Teralihkan oleh pukulan yang sekarang dikombinasikan dengan tendangan dan teknik lainnya, Vendetta tidak melihat itu datang. Batarang melesat cepat ke arah wajahnya. Beruntung, detik terakhir, dia berhasil menghindari serangan tersebut. Menyisakan pipinya yang sedikit tergores dan meneteskan darah. Tapi, serangan selanjutnya datang lebih cepat dari yang dia perkirakan.
Buk!
Sebuah tinju mendarat di wajahnya. Kuat, keras, dan tanpa ampun. Vendetta terdorong hebat ke belakang. Dia terpaksa melompat mundur. Matanya tidak pernah teralihkan dari sosok yang ada di hadapannya, tapi tangannya terangkat untuk menyentuh pipinya yang terasa sakit. Dia dapat merasakan rasa asin campur manis yang muncul di mulutnya. Sudah berapa lama sejak terakhir kali seseorang berhasil memukulnya sekeras ini? Selama ini, dia nyaris tidak tersentuh. Dia bekerja dalam diam, tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya atau cukup kuat untuk mendaratkan sebuah serangan padanya. Apa dia terlalu meremehkan lawannya?
"Kau jadi ceroboh sejak terakhir kali kita bertarung," ucap Bruce dingin.
Batman dan sikap arogannya, mencoba mengintimidasinya. Vendetta tidak suka. Tapi pria itu benar, dia akui dirinya memang menjadi sedikit ceroboh. Dia terburu-buru untuk melakukan balas dendam. Dia harus melakukan ini secepat mungkin karena dia tidak bisa lagi menahan perasaannya lagi. Semakin lama dia menunda rencananya, maka dia semakin memberikan Black Water waktu untuk melakukan hal gila pada anak-anak berkekuatan super lainnya. Kengerian di tempat itu membuat tidak pernah ada seorang pun yang berani melawan, dan kalau bukan dia, siapa lagi? Dia adalah satu-satunya orang yang akan membawa mereka jatuh.
"Kau pikir aku akan diam saja ketika mereka tidak berhenti melakukan sesuatu yang buruk, seperti apa yang mereka lakukan padaku? Aku di sini datang menghampiri mereka untuk mengakhiri semuanya." Vendetta berkata dengan lantang. "Karena kau," dia menunjuk Bruce, "vigilante tidak berguna, yang bahkan tidak tahu mereka ada sampai aku muncul," katanya.
Keadaan akan berbeda kalau saja vigilante seperti Batman, atau bahkan superhero lainnya, mengetahui apa yang Black Water lakukan dan menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat. Kalau itu terjadi, dia tidak akan pernah memilih jalan ini. Mungkin dia akan tetap menjadi assassin dalam bayang-bayang, atau mungkin dia akan mencoba menjalani hidup normal sambil melupakan segalanya dan mencari keluarganya. Itu adalah impiannya sejak dulu. Tapi, keadaan tidak berbeda. Karena hal buruk yang terjadi, sudah terjadi.
"Apa pun yang kau lakukan merupakan bagian dari rencana besar mereka. Mereka ingin kau melakukan ini. Dan kau masuk ke dalam jebakan mereka begitu mudahnya," respon Bruce tajam. Meskipun perkelahian terhenti, ketegangan masih melekat, dia tidak menurunkan kewaspadaannya. Serangan bisa datang kapan saja, dan dia tidak mau mengambil resiko.
"Kau pikir aku tidak tahu?" Gadis itu mengelap pipinya yang berdarah sambil tetap menjaga jarak aman di antara mereka. Dia juga sama sekali tidak menurunkan kewaspadaannya.
Bruce menggeram. "Tidak. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan."
Kalimat itu membuat Vendetta memicingkan mata. Pria itu serius, dia tidak melakukannya hanya demi menggertak atau membuatnya lengah. Dan kalimat tersebut seketika membuatnya berpikir, perasaan ragu mendadak muncul dalam hatinya, membuatnya mulai bertanya-tanya. Apa dia melewatkan sesuatu? Apa yang dia lewatkan? Apa masih ada hal yang tidak dia ketahui tentang mereka setelah sekian lama menjadi bagian dan merencanakan balas dendam?
Dia tidak tahu, Bruce membatin. Berarti, rencananya untuk mengalihkan perhatiannya berhasil.
Dia bersiap untuk melancarkan serangan. Sebelah tangannya terkepal, sebelah tangannya lagi memegang Batarang dan bersiap mengambil sesuatu dari utility belt. Tapi Vendetta melompat mundur, menjauh darinya. Dari kejauhan, seorang gadis yang seumuran dengannya tiba-tiba muncul entah dari mana. Gadis itu berambut biru panjang, tapi dengan shade yang berbeda. Mendekat perlahan ke arah sang Weapon Master dengan ekspresi datar, gadis itu menoleh ke arah Bruce dengan sorot mata kosong, kemudian menggenggam tangan Vendetta erat.
"Bruce, Tim bilang dia berhasil menemukan gadis itu. Apa kau dekat dengan posisinya?"
Suara Barbara yang mendadak terdengar dari earpiece sedikit mengalihkan perhatian Bruce, menghentikan pergerakannya sesaat. Dia tidak sempat membalas, tapi tepat ketika matanya berkedip, kedua gadis itu sudah menghilang dari hadapannya. Lenyap, bagai tidak pernah ada di sana. Alat pendeteksi panas tubuh serta pergerakan yang ada di maskernya bahkan tidak merasakan apa pun. Kalau mereka memang melarikan diri, seharusnya terdengar suara sekecil dari langkah kaki atau nafas yang memburu. Tapi, tidak ada apa-apa di sekitarnya.
Bruce tidak tahu, apakah penglihatan yang menipu atau pendengarannya yang salah.
* * *
Chapter 24: City In The Darkness
Notes:
IM BACKKKK gonna finish this fic real quick
Chapter Text
Dalam melaksanakan aksi balas dendam yang merupakan tujuan utamanya, Vendetta tentu saja tidak akan pergi seorang diri seperti sebelum-sebelumnya. Kali ini, dia akan menyatakan perang yang sesungguhnya, bukan lagi mendatangi markas mereka satu per satu yang ada di beberapa bagian negara berbeda dan membunuh semua orang di sana hanya dengan tujuan mengurangi kekuatan mereka. Melawan Black Water sendirian, setelah mengetahui fakta bahwa sang ketua, Shawn, menginginkannya untuk sebuah tujuan, sama saja dengan bunuh diri. Itu berarti, pasti wanita itu juga punya rencana. Memang benar, Vendetta bisa dibilang sengaja mendatanginya karena 'undangan' mereka. Tapi sesungguhnya, dia melakukannya karena telah memutuskan untuk berhenti kabur dari masa lalunya dan menunjukkan kalau dia bukan seorang pengecut.
Maka dari itu, Vendetta pun memperbesar kekuatannya. Dia membentuk sebuah kelompok yang akan membantunya kali ini. Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil. Tapi, itu cukup untuk dia kendalikan dalam genggaman tangannya. Kalau mencari jauh lebih dalam lagi, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menemukan metahuman lainnya yang ingin menghentikan Black Water atau organisasi jahat serupa setelah diiming-imingi beberapa hal. Vendetta bukan satu-satunya orang yang tahu tentang keberadaan organisasi itu dan bersembunyi di dunia luar. Black Water juga pernah menjadi desas desus bagi para metahuman dengan 'pekerjaan' biasa yang selama ini selalu menyembunyikan diri mereka di publik daripada memilih untuk menjadi superhero. Tapi sekarang, semuanya akan berubah. Kesempatan untuk menggulingkan kejahatan tiba.
"Kita tidak bisa menghancurkan Paradeisos begitu saja." Vendetta berdiri tegak dan tampak penuh percaya diri di hadapan sekumpulan orang yang memperhatikannya. "Kita mungkin kuat, tapi pertahanan dan perlawanan di sana juga pasti tidak akan main-main," katanya.
Ada sekitar sebelas orang yang berkumpul secara melingkar di sana. Mereka semua adalah metahuman dengan berbagai jenis kekuatan super yang telah sukses Vendetta rekrut untuk bergabung. Bukan tanpa bayaran, tentu saja. Gadis itu sudah berjanji akan memberikan apa pun yang mereka minta, asalkan mereka mau bergabung dengannya dan membantu rencana balas dendamnya. Beberapa dari mereka ada yang meminta uang, ada yang meminta diskon atau bahkan gratis untuk jasanya, dan ada pula yang meminta senjata. Semua itu bukanlah masalah baginya asalkan semua rencananya berjalan dengan lancar. Dan kalau mereka berkhianat, taruhannya adalah nyawa. Mereka tahu kalau gadis itu tidak main-main.
"Sesuai rencana, kita akan melawan Black Water. Menghabisi mereka semua sampai ke akar-akarnya adalah tujuan utama kita, sekaligus satu-satunya cara untuk menghentikan mereka. Tapi, kita juga harus berhati-hati. Kalau kalian berada di sini, kuanggap kalian sudah siap."
Vendetta menampilkan banyak data ke sebuah layar yang menyala terang di hadapan mereka semua. Data itu adalah data-data rahasia tentang Black Water. Berisikan tentang daftar anggota organisasi yang berhasil dia temukan, blue print dari Paradeisos yang sebagian susah payah dia petakan sendiri, dan biodata beberapa metahuman bahan eksperimen yang pernah dia 'temui'. Mungkin sedikit sulit untuk melacak metahuman baru yang datang setelah kepergiannya dari sana, dan itu adalah salah satu dari sekian banyak tantangan yang harus mereka hadapi.
"Wanita itu, Shawn, tubuhnya memang lemah. Tapi, dialah yang paling berbahaya."
Meskipun kedatangan sang Weapon Master padanya adalah apa yang Shawn inginkan, Black Water pasti tidak akan menerima kedatangannya begitu saja. Mereka pasti akan melawan baik dan salah satu dari bentuk perlawanan itu adalah perlindungan pada sang Ketua yang pastinya tidak main-main. Shawn memiliki banyak sekali bawahan yang rela mengorbankan diri mereka untuknya. Mengetahui dirinya menjadi target utama, bukan tidak mungkin kalau mereka lebih memilih untuk melindungi wanita itu dibanding seluruh aset berharga yang mereka miliki. Karena, wanita itu merupakan Black Water sendiri. Otak yang mengendalikan segalanya.
Malam itu, Harley, yang tentu saja merupakan salah satu anggota dari pasukan balas dendam si Weapon Master, sedang bermain-main dengan tongkat baseball-nya, memukul-mukul sebuah bola karet yang dia temukan entah dari mana—meskipun Vendetta tidak yakin kalau tongkat baseball itu akan mempan melawan metahuman dalam pertarungan. Selain dirinya yang sedang asik mengoceh seorang diri, suasana hening di sekitarnya. Joey, termasuk beberapa anggota lain yang ada di tempat, tidak banyak berbicara, mereka fokus memantapkan rencana.
"Satu, dua, TIGA!"
Tepat ketika Harley memukul bola karet itu sekuat tenaga untuk yang kesekian kalinya, sosok Vendetta tiba-tiba muncul begitu saja dari udara kosong, ditemani oleh seorang gadis berambut biru panjang yang menggenggam erat lengannya. Gadis itu adalah seorang metahuman dengan kemampuan teleportasi, yang pastinya akan sangat membantu dalam rencana mereka kali ini.
"V! Kau kembali!" Harley berseru senang, kedua tangannya terangkat seolah dia bersuka ria.
Tapi tampaknya Vendetta sedang tidak mood untuk meladeni wanita itu. Dia mengelap pipinya yang tadi sempat tergores, ada sedikit darah yang sudah mengering di sana. "Sialan. Tentu saja di antara mereka semua, Batman akan menemukanku lebih dulu," gumamnya pada diri sendiri.
Kebingungan, Harley menaikkan sebelah alis dan melirik pada Joey, yang sudah siap dengan kostumnya. Joey, yang sama-sama tidak tahu, hanya mengangkat kedua bahu. Walaupun dia pernah bertemu dengan Vendetta saat gadis itu masih menjadi apprentice-nya Deathstroke—atau Slade Wilson—masih sulit baginya untuk membaca apa yang dia pikirkan dalam benak.
"Semuanya, aku butuh perhatian kalian!"
Vendetta sedikit menaikkan suara—nyaris berteriak—guna mengambil seluruh perhatian, membuat semua kepala sontak menoleh ke arahnya. Hanya dalam hitungan beberapa detik, mereka berkumpul mengelilingi gadis itu, siap untuk mendengarkan apa yang akan dia katakan.
"Batman, sesuai dugaan, bisa memperkirakan rencanaku. Setelah melihat aku berteleportasi, kemungkinan besar dia tahu kalau aku membentuk sebuah tim," ujar Vendetta, suaranya serius dan penuh penekanan. "Tapi, itu tidak akan mengubah apa pun. Kita bergerak sesuai rencana awal. Berpencar, kepung Paradeisos, hancurkan semua. Sedangkan aku berurusan dengan Shawn. Jangan biarkan apa pun, termasuk para vigilante itu, menghentikan kalian."
Mendengarkan perkataan Vendetta, kepala-kepala itu mengangguk, tidak ada lagi yang perlu mereka ragukan atau pertanyakan. Gadis itu sudah menjelaskan apa saja yang harus mereka lakukan secara detail dan matang—dia telah merencanakan balas dendam ini sejak lama. Belum lagi identitasnya sebagai sang Weapon Master, rencananya ini bukan main-main.
"Apa kau sudah siap?"
Vendetta menoleh ke seorang gadis berambut ungu muda berkacamata yang sekarang duduk di hadapan banyak komputer berteknologi tinggi. Gadis itu mengangguk dan tangannya bergerak untuk menekan tombol. Setelah itu, listrik mati dan rencana balas dendam mereka pun dimulai. Mengepalkan tangan, Vendetta memperhatikan satu persatu dari mereka mempersiapkan diri.
* * *
Jari Barbara berkedut samar di atas mouse ketika dia melihat teman-temannya berpencar ke setiap sudut kota dan mulai beraksi untuk menghentikan gadis itu serta perang yang mungkin akan pecah. Dalam hatinya, dia ingin sekali bergabung dengan mereka dalam pertarungan yang tidak akan terelakkan, merasakan bagaimana tubuhnya bergerak lincah melancarkan serangan. Tapi, dia kembali beraksi sebagai Oracle. Kini mereka lebih membutuhkan apa yang bisa Oracle lakukan di Gotham Clock Tower, lengkap dengan komputer canggih yang menyala di sekeliling. Mata berbingkai wanita itu tidak pernah luput mengamati setiap layar, mengawasi sudut kota, dan ikut mencari keberadaan gadis itu bersama anggota Bat-Family lainnya dari jarak jauh.
Merasakan proses yang tidak ada kemajuan, Barbara menghela napas lelah. Dick dan yang lain masih mencoba mencari keberadaan gadis itu, mereka berpencar ke berbagai tempat berbeda. Begitu juga dengan Bruce. Tapi, tidak seperti Stephanie dan Cassandra yang menghubunginya untuk memberi informasi, pria itu sama sekali tidak menjawab panggilannya sejak pencarian dimulai, membuatnya merasa sedikit cemas walaupun itu memang merupakan ciri khasnya.
Ngomong-ngomong tentang cemas, pikiran Barbara seketika teralih pada Tim. Laki-laki itulah yang selalu berada dalam masalah sejak awal, sejak pertama kali dirinya ditangkap dan diculik. Pertemuannya dengan gadis bernama Vendetta pun tidak membuat keadaan menjadi semakin baik, justru sebaliknya. Semua masalah dimulai sejak saat itu. Kalau saja ada salah seorang di antara mereka yang kembali terjebak masalah sekarang, pasti Tim adalah orangnya. Kasihan.
"Aku ingin kau berhati-hati, Tim," kata Barbara sambil melacak pergerakannya. Meskipun laki-laki itu terkadang menganggapnya enteng, dia tidak akan pernah lelah memperingatkannya.
"Aku akan berhati-hati," Tim menjawab lewat earpiece-nya. "Aku pasti akan menemukannya."
Suara Tim terdengar tenang dan bahkan penuh percaya diri. Barbara tidak yakin apakah laki-laki itu hanya berusaha menenangkan dirinya sendiri atau memang percaya kalau dirinya akan segera menemukan Vendetta. Gadis itu sulit sekali dilacak, dia sendiri belum menemukannya walaupun sudah menggunakan seluruh akses yang dia punya di Clock Tower dan Gotham.
"Kenapa? Karena kau tahu sesuatu tentang dia?" Barbara tidak bisa menahan dirinya untuk berkata demikian, dia tahu Tim dan gadis itu memiliki hubungan yang berbeda dengan Bat-Family yang lain. Pikirannya mulai pergi ke mana-mana, tapi matanya tetap fokus ke layar.
Hening selama beberapa saat, hanya terdengar suara angin dan tubuh yang bergerak dengan hati-hati. Barbara berpikir kalau Tim tidak akan meladeninya karena tidak suka ditekan dan dicurigai seperti ini. Sampai akhirnya, Tim tiba-tiba berucap, "Babs, aku melihatnya."
Tubuh Barbara otomatis menegak. "Di mana?" tanyanya, sigap untuk mengirim bala bantuan.
"Di—"
Kata-kata darinya terpotong. Sedikit sekali yang bisa Barbara dengar, membuatnya langsung mengernyitkan dahi ketika jawaban Tim yang seharusnya terdengar jelas kini tampak terputus. Meskipun begitu, dia akan tidak berlama-lama mempermasalahkannya, dia harus cepat beraksi. Tangan wanita itu langsung bergerak lincah di atas keyboard, melacak dan memperbarui posisi Tim sekaligus memperkuat koneksi komunikasi antara mereka. Tapi, setelah menunggu selama beberapa saat, firasat buruknya menjadi kenyataan. Posisi laki-laki itu tidak kunjung bergerak sejak terakhir kali, seolah dia berdiam diri di tempat atau terjebak sesuatu yang berbahaya.
"Tim?" Barbara memanggil namanya, cemas dan ragu. "Apa kau sungguh menemukannya?"
Tidak lama kemudian, terdengar suara gaduh pelan dari seberang sana. "Ya, aku akan—"
Kerutan di dahi Barbara semakin kentara. "Tim, jaringanmu putus-putus dan lokasimu diam. Lakukan sesuatu," katanya, nada panik yang ada dalam suaranya tidak dapat disembunyikan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Barbara tidak bisa berhenti bertanya-tanya dalam batinnya. Dia sibuk memperkirakan kemungkinan yang terjadi sambil terus-terusan melakukan apa yang dia bisa untuk mencapai Tim. Tapi karena tidak ada usaha yang membuahkan hasil, maka tidak ada pilihan lain. Dia memutuskan untuk menghubungi Bruce untuk meminta bantuannya, walaupun pria itu mungkin sedang tidak mau diganggu seperti biasanya. Berbeda dengan Tim, pria yang dikenal penyendiri itu memang sengaja mencari dalam mode hantu, atau tidak bisa dilacak.
"Bruce, Tim bilang dia berhasil menemukan gadis itu. Apa kau dekat dengan posisinya?" tanya Barbara tanpa perlu memastikan apakah pria itu ingin mendengar suaranya atau tidak.
"Gadis itu menghilang," Bruce membalas. Tapi bukan jawaban ini yang ingin siapa pun dengar.
"Apa?" Mata Barbara otomatis melebar, tidak percaya mendengarnya. "Apa maksudmu gadis itu menghilang? Kau sudah bertemu dengannya, Bruce?" dia bertanya dengan tidak sabaran. Tidak memberikan kesempatan untuk jawaban, dia melanjutkan, "Apa kau serius? Karena Tim bilang dia baru saja menemukannya. Dia sedang menuju lokasinya sekarang, tapi komunikasinya—"
"Dia melarikan diri. Ada seseorang yang membantunya. Dia tidak sendiri," jelas Bruce tegas.
Bruce tidak mungkin salah, dan dia tidak mungkin mengatakan sesuatu yang belum pasti.
"Kalau begitu, siapa yang Tim temui?" Bibir Barbara bergetar ketika dia bergumam, tapi dia harus tetap tenang dan terkendali. "Sesuatu terjadi, Bruce. Aku akan mencari Tim lebih dulu."
Tanpa menunggu apa pun lagi, Barbara langsung mengirim posisi terakhir Tim pada anggota Bat-Family yang masih mencari gadis bernama Vendetta itu sambil mengirimkan sebuah pesan singkat untuk berjaga-jaga. Pesan yang memperingatkan mereka kalau masih ada sesuatu yang salah yang masih belum bisa dia ungkapkan. Anehnya, komunikasi mereka semua masih bisa terhubung, berbeda dengan Tim. Fokus Barbara kembali teralih pada Robin secepatnya. Dia tidak pernah berhenti mencoba dan berusaha untuk berhubungan dengan laki-laki itu.
"Tim, mundur." Barbara kembali berbicara lewat earpiece-nya. "Ada sesuatu yang aneh."
Tapi Tim masih belum merespon, suaranya benar-benar menghilang sekarang.
"Tim, lapor! Apa kau mendengarku!?" Barbara nyaris berteriak panik sekarang. "Tim—!"
Pats!
Di saat itu juga, listrik tiba-tiba mati. Seluruh layar yang berada di hadapannya berubah hitam, kegelapan menguasai seisi ruangan. Tidak ada waktu untuk terkejut, tangan Barbara langsung bergerak cepat untuk memeriksa alat-alat di sekitarnya dengan bantuan cahaya ponsel. Tidak salah lagi, ini adalah perbuatan musuh mereka, Vendetta, atau bahkan lebih buruk lagi, Black Water. Begitu Barbara hendak mengambil langkah lain dan menggunakan tenaga cadangan, listrik kembali menyala. Tapi sayangnya, dia tidak kunjung mendengar balasan dari Tim.
* * *
Tim tidak tahu apa yang membuat menggigil, angin malam yang berhembus atau fakta kalau meskipun perasaannya tidak enak, dia tetap mengikuti instingnya. Sambil terus bergerak, dia berkali-kali memanggil nama Barbara untuk memberinya informasi terkini dari yang dia temui. Sampai sekarang belum terdengar jawaban apa pun darinya. Sudah jelas kalau wanita itu juga tidak bisa mendengar suaranya, komunikasi mereka sudah dikompromi. Tapi dia tidak pernah berniat untuk berhenti. Tidak saat dia akhirnya sukses menemukan keberadaan gadis tersebut.
Beberapa menit lalu, Tim melihat sosok yang selama ini dia cari, sosok yang sangat dikenalinya. Gadis berambut biru tua pendek, tubuh ramping yang tidak lebih tinggi darinya, serta sepasang mata berwarna emas yang berkilau begitu terkena cahaya. Seperti yang sudah diduga, tepat saat keberadaannya diketahui, Vendetta tidak melakukan penyerangan dan melarikan diri darinya. Alasannya, tidak lain dan tidak salah, pasti karena Robin bukanlah targetnya.
"Vendetta!" panggil Tim, suaranya tampak menggema dan memantul di antara bangunan.
Vendetta tidak pernah menghiraukan walaupun posisinya telah terungkap. Semakin jauh gadis itu berlari, semakin hening dan gelap pula keadaan di sekeliling mereka. Tidak ada waktu untuk berlama-lama, Tim membulatkan tekad. Dia akan memberikan gadis itu kesempatan sekali lagi. Kalau gadis itu masih tidak mau menjawab panggilannya, maka dia akan melakukan sesuatu. Mungkin menembak kaki atau tangannya dengan grapple gun, atau cara lain yang bisa dia pikirkan tapi tidak melukai. Robin jelas tidak hanya punya satu alat dalam utility belt-nya.
"Vendetta, berhenti!" Tim berteriak untuk yang kesekian kali, berharap ini yang terakhir.
Di luar dugaan, Vendetta tiba-tiba menghentikan langkah dan membalikkan tubuh ke arah Tim. Lebih parah lagi, dia melesat ke arahnya dengan sebuah tangan yang terkepal. Sama sekali tidak menahan tenaganya. Detik itu juga, Tim merasakannya. Tujuan gadis itu adalah menghabisinya.
"Tidak—!"
Untungnya, tinju tersebut hanya berhasil menghantam udara kosong ketika Tim memiringkan tubuhnya di detik terakhir guna menghindar. Tapi serangan tersebut membuat tubuh Vendetta berada terlalu dekat dengannya. Dan dalam sekejap mata, gadis itu melancarkan serangan lain. Lututnya sukses menghantam perut Tim. Tim terhuyung, tapi dia terluka atau tidak kehilangan keseimbangan—terima kasih kepada armor-nya. Merasakan keadaan sudah berubah, laki-laki itu pun mau tidak mau menciptakan jarak di antara mereka. Mungkin dia bisa membujuknya.
"Vendetta, cukup." Tim menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju.
Seolah memberi laki-laki itu kesempatan untuk berbicara, Vendetta terdiam di tempatnya berdiri. Tubuhnya berada dalam kondisi siaga bertarung, siap untuk menyerang kapan saja.
"Aku tahu kenapa kau mau melakukan ini," ucap Tim mencoba sabar, seperti apa yang selama ini dia lakukan. "Kau marah, kau kecewa. Kau lelah dikhianati, dan disakiti. Percayalah, aku juga pernah merasakan sesuatu yang seperti itu. Tapi ini bukan jalan keluarnya, dan kau tahu itu."
Ternyata, Vendetta memang tidak berniat untuk mendengarkannya. Gadis itu sontak melompat tinggi ke langit dan menyerang dari atas dengan kakinya. Tim menangkis tendangannya dengan lengan bawah, tapi dampaknya membuatnya terjatuh ke atas tanah dan berlutut. Vendetta tidak memberinya kesempatan untuk bernapas. Belati yang ada di tangannya diayunkan secepat kilat ke dada laki-laki itu. Dengan refleks yang bagus, Tim menghindar, tubuhnya hampir tergelincir di atas tanah. Sebelah tangannya mengambil tongkatnya untuk menahan tebasan itu. Kedua senjata berbeda tersebut beradu, menciptakan percikan kecil yang menyinari kegelapan.
"Kau bukan dia."
Daripada pertanyaan, kalimat itu adalah sebuah pernyataan, meluncur yakin dari bibir Tim.
Gadis itu, dengan seringaian yang sangat sinis, akhirnya membuka suara. "Oh, ternyata Robin yang satu ini memang pintar, ya? Atau ... aku yang sengaja membuatnya mudah untukmu?"
Pertanyaan itu memancing sesuatu dalam diri Tim. Sesuatu yang membuatnya marah atau mungkin kecewa karena gadis di hadapannya ternyata bukanlah Vendetta yang sebenarnya. Mengerahkan tenaga, dia mendorong gadis itu keras hingga terlempar lalu melompat mundur, lagi-lagi menciptakan jarak. Belati tersebut tidak tercipta dari udara kosong, karena hal itu Tim tahu kalau gadis itu bukan Vendetta. Meskipun samar serta nyaris terlewat, dan belati itu adalah belati yang sama dengan belati yang Vendetta ciptakan, dia sempat mendapatinya 'mengambil' belati tersebut dari udara. Dan mungkin juga alasan lainnya. Mungkin karena dia tahu kalau Vendetta tidak akan pernah mengabaikannya dan melihatnya dengan tatapan seperti itu. Tatapan haus darah, tatapan yang datar dan dingin seakan ingin sekali menghabisinya.
"Di mana dia?" tanya Tim, meskipun dia tahu pertanyaannya tidak akan terjawab.
Dan benar saja, gadis yang berpenampilan sama persis dengan Vendetta itu kembali melesat dan menyerangnya sambil mengacungkan belati tersebut. Tanpa memberikan kesempatan, dia menebas ke arah Tim, memaksa laki-laki itu melompat mundur dengan cepat dan menangkis serangan yang berikutnya dengan tongkat. Sulit baginya untuk melucuti belati tersebut dari tangannya, dia butuh rencana untuk memenangkan pertarungan ini. Kekuatan gadis itu doppelganger itu tidak main-main dan belati tersebut pasti memiliki racun yang bisa melumpuhkan atau bahkan lebih parah lagi, membunuhnya dalam seketika.
Setiap ayunan belati yang disertai kekuatan metahuman membuat tulang Tim nyeri hanya dengan menahannya. Tongkatnya bergetar saat menangkis tiap serangan. Hanya dengan satu hentakan kuat dari gadis tersebut, dikombinasikan dengan beberapa pukulan dan tendangan, belati itu hampir menembus pertahanan. Keringat menetes di pelipis. Dia tidak punya banyak waktu. Kalau dalam pertarungan fisik dia tersaingi, maka dia bisa menggunakan hal lainnya.
Dengan tangan kirinya yang bebas, Tim diam-diam mengambil sebuah smoke pellet kecil dari utility belt dan melemparkannya ke tanah. Seketika, kabut tebal memenuhi sekitar, membuat penglihatan mereka terbatas. Saat gadis itu mencoba melancarkan serangan, Tim meluncur ke samping, menghindar dari hantaman dengan gerakan cepat yang nyaris tidak terlihat. Dalam asap, dia menarik bola jaring otomatis dari sabuknya dan melemparkannya ke arah di mana gadis itu pasti berada. Jaring itu melesat cepat, melilit tubuh dan membuatnya terjerat. Tapi rencananya tidak efektif, dengan belati dan kekuatan tubuhnya, lawan membebaskan diri.
Tim tidak gadis itu memberi kesempatan. Dia mengeluarkan shock disk kecil—sebuah piringan tipis yang dialiri listrik—dan melemparkannya tepat ke dada gadis tersebut yang terbuka lebar saat dia mengulurkan tangan untuk mengambil belatinya yang sempat meluncur di udara. Begitu menempel, arus listrik berwarna biru memancar, membuat gadis itu terkejut dan kehilangan fokus. Tapi, walaupun terhuyung, dia masih bergerak, masih berbahaya.
"Kau tidak bisa mengalahkanku. Aku metahuman, aku lebih kuat darimu."
Tersulut emosi atas apa yang Tim lakukan padanya, gadis itu menggertakkan gigi. Rahangnya mengeras dan alisnya menukik tajam ketika dia menatap nyalang ke arah Tim. Belati yang ada di tangan gadis itu dilempar sebagai pengalih perhatian, sementara dia menyerang ke arahnya dengan tangan kosong. Tim berniat untuk menangkis serangannya, tapi sesuatu yang berada di luar dugaan terjadi di hadapannya. Penampilan gadis itu tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang sangat dia kenali, ayahnya yang sudah meninggal, membuat matanya sontak melebar.
"Dapat kau."
Rencananya sukses besar, tidak sia-sia gadis itu mencari tahu tentang latar belakang Robin, termasuk siapa saja yang paling berpengaruh dalam hidupnya, yang akan mengguncangnya saat dia mereplika penampilan mereka. Dan inilah yang terjadi sekarang. Memanfaatkan Tim yang terkejut setengah mati bagai melihat hantu, gadis itu—yang kembali menjadi Vendetta—meluncur ke arahnya secepat kilat. Kali ini, bukan pukulan atau belati, melainkan cakar-cakar tajam mematikan di jemarinya yang akan dia gunakan. Ketika Tim tesadar, terlambat baginya untuk menghindari. Tapi, saat gadis itu hampir mengakhiri hidupnya, sesuatu menghantam tubuhnya dari samping dengan begitu keras, membuatnya terpental hebat ke dinding gang.
Napas Tim tertahan. Terdengar suara retakan keras yang memekakkan telinga dan beberapa serpihan mata yang runtuh dari atas, meninggalkan jejak retakan memanjang di dinding yang rapuh. Debu mengambang di udara, dan dari tengah kabut, Superboy, atau yang bernama asli Conner Kent dan lebih akrab dipanggil Kon, perlahan muncul. Tubuh tegap dengan dada yang membusung bangga, lengkap dengan jaket hitam dan logo serupa huruf 'S' di kostumnya. Tim sempat meminta bantuannya beberapa waktu lalu, tapi kemunculannya tetap tidak diduga.
"Kau berhutang penjelasan padaku. Kau tidak bisa memintaku datang begitu saja tanpa menjelaskan apa pun, kau tahu?" Kon berkata sambil melipat tangannya di depan dada, berakting seolah dia kesal. Padahal, dia senang sahabatnya itu mengajaknya ikut serta.
Tim menepis debu yang membuatnya batuk, tidak meladeni ucapan laki-laki itu. "Komunikasi terputus. Aku tidak bisa menghubungimu dan yang lain. Bagaimana kau bisa menemukanku?"
"Uh ...." Kon mengangkat kedua bahu, telapak tangannya terangkat ke samping. "Terbang?" katanya, dia sendiri tidak yakin. "Pokoknya aku punya caraku sendiri dengan kekuatan superku."
Tim menghela napas lelah. Untuk seseorang yang super kuat, otak Superboy terkadang tidak sebanding. Tanpa mengatakan apa pun, dia berjalan mendekat ke arah si gadis doppelganger yang berbaring lemah tidak sadarkan diri. Kelihatannya, Kon sama sekali tidak tidak menahan kekuatannya. Tim tidak tahu apakah dia harus merasa kasihan atau tidak. Dan saat dia dengan hati-hati berjongkok di dekat gadis itu, penampilan Vendetta yang dicurinya perlahan berganti dengan sebuah penampilan asing yang berbeda sekali dengan wajah cantik gadis tersebut.
"Ngomong-ngomong, listrik mati di seluruh kota," ucap Kon memecah keheningan. Dia ikut menyaksikan bagaimana wajah gadis tersebut berubah, nyaris membuatnya merinding.
Mendongak, Tim melihat sekeliling. Seperti apa yang sahabatnya katakan, semuanya gelap. "Sepertinya begitu," gumamnya, kemudian perhatiannya kembali pada gadis itu. Dia terdiam selama beberapa saat, memikirkan bagaimana bisa sosoknya mencuri penampilan seseorang yang telah lama meninggalkannya. Tidak, bukan ini yang harus dia khawatirkan sekarang.
"Listrik mati ini bukan hal sepele." Kon mengernyitkan dahi, lalu memasang tampang berpikir yang tampak sedikit konyol. "Sepertinya semua akan bertambah semakin parah, Tim. Ada beberapa kekacauan kecil yang terjadi di beberapa titik. Kau sudah dengar kabarnya?"
"Huh?"
Perkataan Kon kali ini sukses membuat atensi Tim sepenuhnya teralihkan dalam jarak yang lebih luas. Dia terdiam di tempatnya berdiri. Selama pertarungan dengan gadis tersebut, dia terlalu fokus untuk menjatuhkannya dan menjaga dirinya tetap hidup. Tapi sekarang, saat dia menajamkan inderanya, dia mulai dapat merasakan perbedaannya. Sesuatu memang terjadi. Dari sudut matanya, dia melihat percikan cahaya kecil berwarna merah-oranye. Di saat yang bersamaan, bau asap yang samar mulai menusuk hidungnya, terbawa oleh angin malam.
"Aku sempat berniat untuk mengecek, tapi kau lebih membutuhkan pertolonganku. Jadi ...."
Tim tidak lagi mendengarkan apa yang Kon ucapkan. Kata-katanya menjadi kabur saat otaknya mulai bekerja, seolah suaranya ditelan oleh bau asap yang semakin pekat. Pikirannya berputar cepat, menyusun ulang berbagai informasi kecil yang sebelumnya tampak tidak berhubungan. Komunikasi yang terputus, listrik yang mati, kekacauan kecil, dan si gadis peniru di depannya. Tidak butuh waktu lama bagi Tim untuk menyusun semua potongan secara berurutan. Dalam sekejap, potongan-potongan itu menyatu dalam pikirannya. Gambaran besar mulai terbentuk.
"Mereka memisahkan kita," ucap Tim menarik kesimpulan, suaranya penuh keyakinan yang terasa berat. "Sesuatu yang terjadi padaku ... mungkin juga terjadi pada Dick, dan yang lain."
Jantung Tim berdegup keras, bukan hanya karena sisa adrenalin dari pertarungan, tapi karena rasa cemas yang kini merayap di dalam dirinya dan kemungkinan buruk yang terlintas dalam benaknya. Dia pun meraih tongkat, menggenggamnya erat, dan membulatkan tekad.
"Kita harus bergerak," kata Tim, suaranya tegas dan serius. "Sekarang."
* * *
Chapter 25: The Inevitable War
Chapter Text
Ini adalah saat yang dinanti-nanti bagi mereka. Semua persiapan yang sudah direncanakan selama beberapa hari kebelakang, semuanya untuk hari ini. Tentu saja Vendetta tidak begitu saja mempersiapkan segalanya semalaman. Kalau dia mencari sekutu tepat setelah melarikan diri dari cengkraman Batman, maka dia telah merencanakan ini jauh sebelumnya. Yang mereka perlu lakukan hanya mendengarnya, karena dibanding siapa pun, dialah yang lebih tahu segala hal tentang Black Water. Gadis itu tidak memiliki waktu untuk disia-siakan, dia bergerak tanpa henti hanya demi hari ini. Dia juga rela mengorbankan segalanya selain waktu. Hari ini harus berjalan dengan sempurna. Kalau tidak, dia tidak tahu apa dia bisa menahan dirinya lagi.
Sekarang, setelah listrik seluruh kota yang mati, walaupun hanya beberapa menit dan masih bisa dihitung jari sebelah tangan, mereka berhasil menyelinap masuk ke dalam jaringan Black Water. Mungkin tidak cukup lama untuk meretas dan memodifikasi data yang tersembunyi dan dilindungi dengan keamanan yang super ketat. Tapi, cukup untuk membuat mereka masuk ke dalam bangunan. Untuk selanjutnya, akan dilakukan setelah mereka masuk ke sana. Meretas dari dalam lalu dikirim ke tim yang berada di hadapan komputer untuk diproses lebih lanjut.
"Ayo, kita mulai."
Satu persatu dari mereka menggenggam tangan gadis berambut biru panjang bernama Carol secara bergiliran. Ketika keduanya menghilang dan Carol kembali seorang diri dengan tangan kosong, yang lainnya melakukan hal serupa. Mereka yang tidak kembali sudah berada di posisi masing-masing sesuai yang telah ditetapkan, menyebar di berbagai sudut bagian luar gedung Paradeisos—ini tentu saja lebih efektif daripada datang menggunakan mobil. Memang, akan lebih efektif lagi kalau mereka berteleportasi langsung ke bagian dalam gedung. Tapi karena syarat pengaktifkan kemampuan gadis itu adalah 'tempat yang pernah dikunjungi dan juga masih diingat', bagian dalam Paradeisos bukan pilihan. Dia bukan bagian dari Black Water.
"Aku akan masuk," Harley berucap sambil berbisik pelan pada alat komunikasinya.
Jeda sejenak, sebelum suara Vendetta terdengar dari seberang sana. "Ya, sesuai rencana."
Harley tidak perlu diberitahu dua kali untuk menjalankan bagian favoritnya. Tangannya yang menggenggam tongkat baseball mengepal lebih kuat, siap untuk menghadapi pertempuran. Dengan tarikan napas panjang, dia pun melompat dari persembunyiannya dan menyerang.
"Halooo, para psikopat korporat! Mama's home! Ayo kita mulai pestanya!"
Teriakan Harley yang kencang memantul di dinding bangunan yang menjulang. Dua orang penjaga yang berdiri tegak di sana, sontak menoleh ke arahnya dengan mata yang melebar, tidak memiliki kesempatan untuk menghindari serangan mematikan tongkat baseball yang diarahkan tepat ke arah kepala. Harley memukul keduanya dengan cukup keras, senyuman lebar menghiasi wajahnya ketika dua penjaga itu berbaring tidak berdaya di atas lantai. Siap untuk menghajar penjaga lain yang pastinya akan menghalangi jalannya masuk, wanita itu berpikir kalau Vendetta terlalu dramatis akan aturan 'jangan menarik perhatian siapa pun'.
Berbeda dengan Harley yang menciptakan keributan, di sisi Timur, Joey masuk dengan sangat hening—ditambah dengan alasan dia memang tidak bisa bicara. Yang lainnya, yang telah dibagi menjadi dua kelompok dengan tugas yang berbeda, akan menyusul masuk setelah Harley dan Joey berhasil membukakan pintu untuk mereka dari dua sisi yang telah dipersiapkan untuk kedatangan. Listrik yang mati dan jaringan yang berhasil disusupi, membuat mereka bisa membuat kedua pintu masuk itu lebih mudah untuk diakses. Setelah itu, mereka akan melakukan semua yang telah direncanakan. Termasuk mengeliminasi semua orang.
* * *
"Kau siap, V?"
Suara Carol terdengar, membuyarkan lamunan Vendetta yang sedang menunggu anggota tim yang lainnya memberi informasi lebih lanjut tentang kemajuan mereka yang menyusup masuk ke dalam Paradeisos. Gadis berambut biru panjang itu mengulurkan sebelah tangannya ke arah Vendetta yang merupakan orang terakhir yang harus pergi setelah memastikan segalanya aman. Selain Ginny, gadis berambut ungu muda yang duduk di depan komputer juga bertugas untuk mengendalikan semuanya dari balik layar besar, mereka semua turun langsung ke lapangan.
"Oke, bawa aku ke sana."
Vendetta mengangguk dan menerima uluran tangannya dengan erat. Carol ikut mengangguk dan mulai menggunakan kemampuan teleportasinya. Hanya dalam sekejap mata, tempat yang ada di sekitar keduanya berubah. Bukan lagi bangunan yang sepi dan rahasia dimana kelompok tersebut berkumpul dan menyusun rencana secara diam-diam, melainkan di sekitaran sebuah gedung Paradeisos yang menjulang tinggi. Gedung yang akan dihancurkan berkeping-keping.
Memutar kepala, Vendetta memperhatikan sekeliling dengan seksama. Meskipun tidak bisa dibilang sepenuhnya sepi, suasana tampak mencekam. Menggunakan grapple gun-nya yang masih dia simpan baik-baik, dia pun berayun ke sebuah menara yang berada tepat di sebelah gedung. Berbeda dengan anggota timnya yang bertugas membunuh, membebaskan 'tawanan', dan menghancurkan semua proyek Black Water, dia memiliki rencana yang berbeda. Dan kalau wanita itu memang ingin dia datang padanya, maka dia tidak akan berada jauh-jauh dari sana. Berkebalikan dengan prinsip Black Water yang selalu rahasia, wanita itu tidak akan sembunyi.
Mata emas Vendetta memicing begitu dia mengamati gedung Paradeisos, tampaknya listrik yang ada di tempat itu sudah menyala. Pihak sana tentu tidak akan membiarkan pemadaman listrik berlangsung lebih lama lagi. Semua fasilitas mereka, fasilitas yang biasa digunakan untuk eksperimen atau hal lainnya, pastinya menggunakan listrik. Selain itu, mereka juga pasti sudah tahu jika dia akan datang. Apa pun yang mereka persiapkan di sana, dia akan menghadapinya.
Vendetta mengulurkan sebelah tangan, menciptakan sebuah sniper rifle dalam genggamannya. Dia mengangkat sniper itu, mengarahkannya tepat ke atap gedung. Matanya menelusuri dengan bantuan scope. Tidak perlu waktu lama baginya untuk mendapati sosok wanita yang selama ini dia benci segenap hatinya. Wanita itu, Shawn, sedang berada di atas sana, yang Vendetta duga sebagai tempat favoritnya—atau mungkin memang sengaja agar dia dapat menemukannya dengan mudah sekaligus berkata dengan halus kalau dia tidak perlu bersembunyi darinya.
Dengan anggun, Shawn duduk di kursi, kakinya terlipat. Di depannya, ada sebuah meja putih bundar dengan piring makanan serta gelas wine yang terhidang, seperti jamuan makan malam romantis di atas gedung—sesuatu yang sama sekali tidak dianggap serius. Kemarahan Vendetta meluap-luap. Bagaimana bisa wanita itu seperti ini, di saat apa yang dia miliki sedang terancam dalam genggamannya? Gadis itu bisa saja menggunakan sniper lalu menembaknya dari jarak jauh. Tapi, itu tidak akan membuatnya puas, dan anjing penjaganya yang setia itu pasti akan menghalau pelurunya dengan perisai. Meskipun pelurunya nyaris bisa menembus apa pun, yang dia lawan adalah Black Water, pihak yang mengetahui segala tentangnya. Termasuk kekuatan supernya. Dia harus tetap terkendali, untuk sekarang. Dia tidak bisa berjanji.
"V, ada sesuatu yang aneh di sini!"
Tubuh Vendetta membeku selama sepersekian detik saat dia mendengar suara seseorang menghampiri lewat sebuah alat komunikasi kecil di telinganya—Harley. Dan dari caranya berbicara, tidak salah lagi, sesuatu yang tidak terduga, atau bahkan buruk, telah terjadi.
Vendetta menarik napas dalam-dalam, sebelum membalas dengan singkat. "Ada apa, Harl?" tanyanya sedikit tajam, tidak bisa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.
Terdengar kegaduhan dari sana. "Ini gawat, V! Kami sudah berhasil mengalahkan semua orang yang ada di sini—mereka orang biasa, sama sekali bukan ancaman. Mereka lemah, dan mereka bahkan tidak bisa menahan pukulan tongkatku. Terutama yang pakai jas ... langsung tumbang! Tapi aku tidak bisa menemukan mereka yang katamu 'pasukan metahuman' sepertimu. Semua yang ada di sini hanya anak-anak yang sedang tidak sadarkan diri! Seharusnya tidak seperti ini, bukan? Maksudku, selain orang yang pakai jas dan kacamata dan para penjaga, tidak ada yang melawan kami! Tidak ada lawan sebenarnya di sini!" Harley berbicara panjang lebar, tampak panik, dan bahkan itu pun terasa tidak cukup untuk menggambarkan kebingungannya.
Seolah ada sesuatu yang menghantam dadanya, Vendetta terpaku di tempatnya berdiri. Tegang. Kata-kata yang teman dekatnya ucapkan terasa sulit untuk diproses. "Apa maksudmu, Harley? Apa kau baru saja bilang kalau yang ada di sana hanya mereka yang belum 'siap'?" tekannya.
Sambil menunggu jawaban dari Harley, otak Vendetta bekerja. Black Water adalah tempat di mana metahuman, yang berhasil menarik perhatian sang ketua, terutama yang masih berusia anak-anak, dilatih untuk menjadi mesin pembunuh. Ingatan yang mereka miliki dihapus untuk mempermudah proses eksperimen sekaligus latihan yang berbeda setiap individu, tergantung kemampuan yang mereka miliki. Proses ini tidak pernah berhenti, tidak ada waktu yang pasti kapan anak baru akan datang karena semuanya tidak berpola—tergantung kapan wanita itu berhasil menemukan seorang metahuman yang menurutnya layak dijadikan senjata hidup.
Meskipun seluruh eksperimen dan pelatihannya belum selesai, beberapa anak biasanya sudah dapat dikirim untuk melakukan aksi pembunuhan secara diam-diam sesuai yang secarik kertas perintahkan seperti para agen rahasia yang tidak boleh membongkar penyamarannya—ini juga termasuk sebagai latihan. Selain untuk kepentingan serupa, mareka hampir tidak pernah keluar dari fasilitas milik Black Water. Semua ini penting dilakukan demi menutup keberadaan mereka.
Itu artinya, sekarang, seharusnya mereka semua ada di dalam sana. Vendetta sangat yakin dengan hal itu karena dia telah menghancurkan markas yang lain. Tapi, kalau tidak ada siapa pun di sana, seperti apa yang Harley bilang, di mana mereka? Kemana mereka pergi? Bukankah, untuk sekian lama, target mereka hanyalah dirinya, si Weapon Master? Apa ini semua jebakan?
"Aku ingin kalian mencari tahu kemana dan apa yang mereka rencanakan. Temukan apa pun yang bisa kalian temukan di sana, lalu hancurkan semuanya." Saat Vendetta mengatakan ini, suaranya dingin dan serius. "Meskipun kemungkinan besar mereka semua pergi mencariku."
Keheningan yang menegangkan sempat menguasai selama beberapa saat, angin dingin berhembus kencang di atas menara. Harley menjelasakan sesuatu tentang anak-anak yang berbaring, terikat dengan tidak berdaya di atas meja alumunium dan data-data penting yang ternyata jauh lebih sulit ditembus walaupun tetap berhasil. Tapi, sebelum Vendetta sempat menyuruhnya untuk melakukan hal lain dan berjaga-jaga, kabar buruk lainnya datang.
"Mereka menyebar di seluruh kota!" Suara Ginny tiba-tiba terdengar menggelegar di telinga. Melengking, panik, serta merusak ketenangan yang ada. "Mereka—pasukan metahuman dari Black Water!" Gadis itu bertugas untuk mengendalikan di balik komputer, pasti dia yang akan mendapat informasi tersebut lebih dulu. Dan saat itu juga, peta digital pada di monitor di depannya berkedip. Titik-titik merah bermunculan, menjalar seperti wabah di Gotham.
"Brengsek!"
Vendetta menggertakkan giginya, kuat sekali hingga menimbulkan bunyi. Hanya satu kalimat saja yang dia butuhkan untuk tahu jika dia telah salah menduga—sangat salah. Betapa naifnya dia mengira kalau Shawn akan mengirimkan pasukannya untuk mengincarnya kali ini. Padahal, sejak awal memang selalu seperti itu. Wanita itu tidak pernah sekalipun mengirimkan pasukan padanya. Tujuan Black Water, tidak salah lagi, adalah menimbulkan kekacauan di seluruh kota.
"Keadaan berubah, kita juga harus mengubah rencana." Kali ini suara Joey yang menghampiri, membawa Vendetta kembali ke kenyataan yang membuatnya harus cepat mengambil kendali.
"Kalau mereka melakukan hal ini, maka tidak ada yang perlu dilakukan lagi di sana. Tinggalkan saja!" ucap Vendetta tegas, suaranya mendesis tajam seperti ular. Marah. "Para metahuman itu jauh lebih berbahaya dibanding apa pun yang Black Water punya di Paradeisos—mereka bisa dengan mudah membangunnya lagi kalau semua pionnya masih ada. Semuanya berpencar! Dan pergi ke lokasi setiap metahuman tersebut! Hentikan apa pun yang mereka lakukan!"
Para mesin pembunuh yang Shawn ciptakan berpencar, sementara wanita itu duduk dengan tenang di depan meja makan. Shawn memang jenius, dia punya seluruh pengetahuan tentang bertarung, tentang menghancurkan sesuatu—dialah otak dari segalanya. Tapi tubuhnya lemah, dan kemampuan yang dia miliki bukanlah kemampuan yang digunakan untuk bertarung secara langsung, melainkan untuk mengendalikan seseorang. Metahuman yang berpencar di seluruh kota, jelas merupakan keinginannya. Sesuatu yang dia capai. Dan sekarang, menghancurkan gedung itu tidak akan menghasilkan apa pun, tidak saat yang akan hancur adalah seisi kota.
Vendetta tidak mengerti, kepalanya sulit mencari jawaban yang benar. Yang Black Water lakukan sejak dulu adalah membuat para metahuman menjadi senjata hidup. Menjadikan mereka mesin pembunuh yang tidak banyak tanya, taat aturan, dan dapat dikendalikan hanya dengan sebuah perintah sederhana. Seumur hidupnya mengenal Black Water, organisasi itu sama sekali tidak pernah membahas tentang kehancuran kota atau sejenisnya. Tapi, kenapa sekarang mereka melakukan ini? Setelah sekian lama bersembunyi sebagai organisasi rahasia? Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan dan semakin berisik dalam benaknya, tidak juga terjawab.
"Bergerak!"
Mempercayakan semuanya pada rekan satu timnya, bukan karena ingin tapi karena tidak punya pilihan lain, Vendetta melompat dari menara. Gadis itu meluncur ke atas gedung Paradeisos dan bersiap untuk mengkonfrontasi sang ketua Black Water yang telah menunggu kehadirannya. Dia tidak perlu pergi ke kota untuk menyelamatkan orang atau sejenisnya. Sejak awal, dia bukanlah seorang pahlawan, dan dia tidak akan mengubah tujuannya sendiri hanya demi semua orang. Biar saja yang lain yang akan mengurusnya. Dia akan tetap meminta jawaban dari wanita itu, menyuruhnya menghentikan semua ini, sebelum mengakhirinya dengan caranya sendiri.
* * *
"Komunikasi sudah kembali. Oracle terhubung. Lapor pada Oracle."
Dick menghela napas panjang, seolah udara yang memenuhi paru-parunya baru benar-benar terasa setelah mendengar kabar tersebut. Dia telah menanti-nanti suara Barbara terdengar di telinganya, dan untuk sesaat, dunia terasa sedikit lebih stabil. Listrik kota yang tiba-tiba mati beberapa menit lalu serta seluruh jaringan komunikasi yang mendadak terputus, tidak gagal membuat dirinya merasa cemas. Sesuatu seperti ini sering kali terjadi sebelumnya, di mana mereka berhadapan dengan musuh yang tidak bisa diremehkan, yang tahu cara memecah koordinasi lewat kekacauan. Tapi kali ini, hal itu membuat mereka sempat hilang arah.
Udara malam menerjang wajahnya ketika Dick memacu motor birunya lebih cepat. Di kejauhan, gadis yang dia kejar, Vendetta, masih melaju tanpa keraguan. Sangat gesit juga lincah, seperti bayangan yang tidak bisa disentuh. Dia menyipitkan mata, mencoba menakar jarak sambil bertanya; apa yang membuat motornya bisa bergerak secepat itu? Atau mungkin, bukan motornya yang cepat. Mungkin memang gadis itulah yang sulit dihentikan. Mereka butuh jawaban. Dan malam ini, dia tidak akan membiarkan Vendetta menghilang lagi begitu saja.
"Dengarkan baik-baik."
Suara Barbara kembali terdengar, menembus suara jalanan raya dan segelintir kendaraan yang berlalu-lalang ketika motor yang Dick kendarai melaju secepat kilat. Walaupun samar, dia dapat merasakan sesuatu yang berbeda dari suara wanita itu, kali ini tampak tajam tapi panik seolah dia sedang dikejar oleh sesuatu. Dia menahan napas. Jantungnya berdetak lebih cepat, siap untuk menerima kabar darinya. Dia tahu suara itu. Dia tahu Barbara. Dan jika saja Oracle terdengar panik, itu berarti situasinya jauh lebih buruk dari yang mereka perkirakan.
"Vendetta yang kalian kejar sekarang bukan Vendetta yang asli."
Kalimat itu seolah menariknya keras. Dick sontak mendongak ke arah gadis yang selama ini dia duga sebagai Vendetta, yang entah sejak kapan sudah menghentikan motornya dengan sebuah manuver tajam, berbalik dan kini berdiri menghadapnya di tengah jalanan yang tegang. Refleks, Dick ikut menarik rem keras-keras. Motornya mendecit di atas aspal, ban bergesekan dengan keras hingga meninggalkan bekas melingkar yang gelap. Dia memutar setang sedikit untuk menjaga keseimbangan sebelum akhirnya berhenti, hanya beberapa meter dari gadis itu.
"Sialan," desis Dick, rahangnya mengeras. Dia menggertakkan gigi, menahan tekanan yang naik ke tenggorokan. Kenapa baru sekarang, Babs? batinnya. Kenapa kau baru bilang sekarang?
Gadis berdiri tegak di tengah jalanan yang mendadak lenggang. Lampu memantul di matanya yang berwarna emas—meskipun itu jelas mata pinjaman, mata hasil teknologi atau mungkin ilusi—berkilau. Matanya terasa familiar tapi asing di saat bersamaan. Dan ketika pandangan mereka bersatu, Dick tahu. Dia pernah bertemu Vendetta. Dia pernah melihatnya bertarung, menciptakan masalah, dan tertahan. Tapi, tatapannya tidak pernah seperti ini. Tatapan itu kosong dan tidak berperasaan, seolah ingin membunuhnya. Ini berbeda dengan Vendetta.
Suara Barbara kembali terdengar, mengisi ketegangan yang menyelimuti. "Aku tidak tahu rencana siapa ini. Gadis itu atau Black Water. Tapi, mereka pasti melakukan ini untuk memisahkan dan menjauhkan kalian dari Paradeisos." Suaranya tegang tapi tegas.
"Oh, tidak mungkin."
Di sisi lain, Stephanie, yang ke mana-mana selalu berduaan dengan Cassandra, mendongak ke sosok 'Vendetta' yang kini berdiri tidak jauh di hadapan mereka. Gadis itu bergantung di tiang besi sebuah gedung, siap melompat kabur atau mungkin menerjang mereka. Di sebelahnya, Cassandra memasang kuda-kuda, bahunya menegang, siap mulai bertarung jika perlu.
"Vendetta yang asli ada di Paradeisos." Kabar yang Oracle sampaikan tidak bertambah baik.
Stephanie menoleh cepat ke Cass. Mata birunya melebar, jantungnya berdegup tidak karuan. "Jadi ... siapa yang kita semua kejar selama ini?" Tapi Cass tidak menjawab. Dia tidak perlu.
Seketika, saluran komunikasi dipotong oleh suara lain yang lebih sinis.
"Kupikir kalian sudah tahu kalau dia itu memang palsu—seorang peniru. Bagaimana kalian semua bisa tertipu hanya karena komunikasi mati total? Kalian semua tidak bisa dipercaya."
Damian berdiri di atap sebuah gedung yang remang, Robin muda itu berdiri tegap, menatap dingin ke arah seorang gadis di hadapannya—seseorang yang selama ini mereka kira sebagai Vendetta. Tubuh gadis itu terhuyung, sebagian wajahnya mengelupas, memperlihatkan wajah asing yang tidak sepenuhnya milik siapa pun yang mereka kenal. Damian mengangkat dagunya sedikit. Dia tidak terkejut. Sejak awal pertarungan, dia sudah tahu ada yang salah dengan gadis tersebut. Gerakannya terlalu bersih, terlalu sempurna—terlalu buatan. Untuk seseorang yang juga pernah dilatih untuk menjadi senjata sepertinya, membedakan bukanlah hal yang sulit.
"Oh, apa kau ingin menyerangku lagi?" Damian mengepalkan tangannya. "Ayo, kalau begitu." Dengan seringai sinis, dia kembali melancarkan serangan. Tanpa ampun dan lebih mematikan.
Tapi, bukan dia saja yang akan menghadapi pertarungan yang akan pecah. Satu persatu dari para peniru itu, yang tersebar di seluruh Gotham dengan vigilante berbeda yang mengejarnya, mendadak berubah. Mereka tidak lagi melarikan diri dan berpura-pura untuk memisahkannya dari yang lain. Penyamaran mereka mengelupas, memperhatikan wajah-wajah lain yang sama sekali tidak pernah dikenali. Rahasia telah terbongkar, untuk sekarang. Dan di tengah-tengah kebingungan itu, yang mengejutkan bukanlah serangan, melainkan siapa target mereka.
* * *
"Ternyata memang bukan cuma aku saja."
Informasi yang baru saja Tim dapat dari Barbara membuatnya menggerutu kesal campur tegang sambil menembakkan grapple gun-nya ke gedung terdekat. Dia menarik tuas dan membiarkan tubuhnya melesat naik di udara dengan cepat. Dengan mulus, dia mendarat di atap bangunan. Dia berlari ke ujung atap lalu kembali menembakkan grapple gun. Di sisinya, Conner terbang sejajar. Tangannya menyilang di depan dada seperti biasa, santai seolah dia tidak baru saja menghantam tubuh seseorang dengan kuat sekali. Sekarang, mereka sedang dalam aksi penyelamatan, melaju cepat ke kekacauan terdekat. Orang-orang pasti butuh bantuan.
"Apa?" Penasaran, Conner menoleh singkat ke arahnya.
"Berarti itu benar," respon Tim. "Ada orang lain—banyak orang—yang meniru gadis itu dan mengecoh kami semua. Karena komunikasi yang tiba-tiba hilang, tidak ada satu pun yang sempat mengonfirmasi idenitias siapa pun sampai tadi. Dan kekacauan itu, jelas sekali disebabkan oleh si peniru tersebut." Langkahnya tegap dan kuat di atas lantai beton.
"Wow, itu tidak bagus." Conner menggelengkan kepalanya.
Mereka baru saja meninggalkan peniru yang sebelumnya menyerang Tim, yang berhasil dibuat pingsan hanya karena satu dorongan Conner. Tim yakin, peniru-peniru lainnya juga berhadapan dengan teman-temannya di beberapa sudut kota. Perkelahian mungkin akan pecah, seperti apa yang baru saja terjadi padanya. Tapi, dia juga yakin kalau mereka semua tidak akan jatuh dan kalah dengan begitu mudah—tidak pernah. Sayangnya, sebelum dia dan Connor pergi jauh, ledakan keras tiba-tiba mengguncang area di belakang mereka. Cahaya berwarna oranye menyambar langit malam, disusul jeritan panik warga yang muncul dari berbagai arah.
Sontak, Tim mendarat dan menoleh tajam ke belakang. "Itu ... dari arah tempat kita tadi."
"Gadis itu," gumam Conner dengan nada gelisah, tubuhnya berhenti melayang di udara. "Pasti gadis itu yang melakukannya." Dia memicingkan mata, memperhatikan kawasan tersebut.
Asap tebal mulai membubung dari sebuah jalan raya yang baru saja mereka lewati. Bau logam terbakar dan kabel meleleh menyengat di udara malam, bercampur dengan teriakan panik dan kepulan debu menyesakkan yang tertiup angin. Puing-puing berserakan di jalanan, beberapa kendaraan terbakar, dan lampu-lampu jalan berkedip seperti sedang sekarat. Tanpa berpikir panjang, mereka bergerak serempak. Tim menembakkan grapple gun- nya, dan Conner meluncur turun dalam garis lurus. Tapi belum sempat mereka mendekat lebih jauh—
Sesuatu menghantam Conner dari arah bawah. Sebuah ledakan energi mendadak meledak tepat di kakinya, melemparkannya tinggi ke udara sebelum hantaman kedua datang dari atas dan membanting tubuhnya keras ke dinding bangunan terdekat. Beton retak, serpihan puing beterbangan, dan debu menyelimuti udara. Dari balik kepulan asap tebal, sosok peniru yang sebelumnya tumbang kini perlahan muncul kembali. Tapi, ada hal yang berbeda. Wajahnya berubah drastis, wajah yang berbeda, yang menampakkan ekspresi sinis dengan senyum menyeringai. Tubuhnya berpendar, dikelilingi oleh kilatan energi berwarna oranye yang berdenyut liar. Tanah di sekitarnya retak, bergetar ringan setiap kali dia melangkah.
Conner terbatuk sambil perlahan berdiri, debu menempel di kostumnya. "Oke. Itu baru terasa."
Gadis itu mengangkat tangan, dan sebuah gelombang energi dilepaskan tepat ke arah Conner, seperti sebuah palu raksasa yang tidak terlihat. Conner terdorong mundur beberapa langkah, rahangnya mengencang. Peniru itu tidak hanya bisa meniru wajah—dia punya kekuatan, dan dia menggunakannya tanpa peduli siapa pun di sekitarnya. Serangan berikutnya dia arahkan pada sekelompok warga sipil yang berusaha melarikan diri. Tim dan Conner menyadarinya. Gadis itu berhasil mengelabui dan memisahkan mereka, dan sekarang dia berniat untuk menghancurkan sekitar, mengancam keselamatan warga. Kekacauan kecil yang terjadi sebelumnya, itu pasti hanya sebuah permulaan dari peniru-peniru yang lainnya.
"Ini bukan kekacauan kecil lagi!"
Tanpa menunggu, Conner melesat sangat cepat dan menyambar gadis itu. Dia membawanya hingga menabrak gedung sebelah. Dan mereka pun bertarung di udara, membentur tembok, menghancurkan papan iklan, sebelum jatuh ke atas mobil yang terparkir di pinggir jalan.
Tim baru saja mendarat di trotoar terdekat, napasnya masih berat setelah meluncur cepat dengan grapple gun. Dia menarik satu Batarang elektrik dari utility belt untuk melumpuhkan lawan dan siap melempar. Tapi energi si peniru itu makin menggila, memancarkan gelombang kejut dari tubuhnya hingga membuat udara terasa bergetar. Dia pun perlahan melangkah maju ke depan. Kamera khusus di balik lensanya bekerja, memindai setiap pergerakan Conner dan gadis itu dengan presisi tinggi. Sorot matanya tajam, menangkap setiap detail yang tidak kasatmata bagi orang biasa—denyut energi, pola serangan, dan ukuran kekuatan.
Tubuh Tim menegang, siap melempar Batarang dan bahkan melompat masuk jika keadaan semakin memburuk. Tapi, sesuatu menghentikannya. Suara motor meraung keras dari ujung jalan berhasil menarik perhatiannya. Sebuah motor sport berwarna merah mengkilat meluncur cepat di antara bangunan yang terbakar sebelum mengerem tajam tepat di samping Tim. Dia langsung tahu siapa laki-laki itu. Warnanya yang merah menyala sangat menarik perhatian.
"Jason!" seru Tim setengah terkejut setengah bingung.
Jason tidak menjawab. Dia hanya memiringkan motor dan berteriak kencang. "Naik!"
"Tapi—"
Belum sempat Tim menyelesaikan kalimatnya, ledakan besar mengguncang udara di belakang. Cahaya ungu menyambar langit, menghancurkan sisa tiang-tiang jalan. Orang-orang berlarian panik, teriakan mereka bercampur dengan suara sirene yang muncul entah sejak kapan. Tim memutar kepala. Conner terdorong mundur di udara, tubuhnya terpental setelah menahan semburan energi dari gadis tersebut. Puing beterbangan, dan gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Energi ungunya meledak-ledak ke segala arah dengan liar.
Tim mengepalkan tangan. Ragu.
"Naik saja!" Conner berteriak dari medan pertarungan, masih terbang sambil menahan hantaman energi yang membabi buta. "Dia makin liar! Tapi aku bisa tangani ini sendiri!"
Tidak ada waktu untuk berpikir. Tim menghilangkan rasa ragunya lalu segera melompat dan mendarat di belakang Jason. Motor langsung melesat pergi, suara mesinnya menggeram liar seperti binatang yang dilepaskan ketika Jason menaikkan kecepatan hingga maksimal. Roda menggores aspal, memercikkan bunga api kecil saat motor tersebut menembus jalanan kota.
Angin malam menerpa wajah mereka, tajam dan dingin, membuat jubah Tim berkibar keras ke belakang. Kota di sekitar mereka seolah berubah menjadi garis-garis cahaya yang berlalu cepat—lampu jalan, papan iklan, dan bangunan-bangunan gelap yang mereka tinggalkan di belakang tampak buram. Tim mencondongkan tubuh ke depan, mencoba melawan dorongan angin yang kuat agar tidak terhempas. Ini terlalu cepat, tapi memang harus dilakukan atau semuanya akan terlambat. Udara penuh aroma asap dan debu, sisa dari kekacauan yang baru saja ditinggalkan.
"Aku tidak mengerti, Jason!" seru Tim, "Kau yang mengalahkan gadis itu dan membawanya ke Batcave. Tapi, kau sendiri juga yang membebaskannya. Sebenarnya, apa yang kau lakukan!?"
Beberapa detik hanya diisi suara mesin dan hembusan angin yang memekakan telinga. Jason tidak langsung menjawab, tubuh kekarnya kaku, pandangannya fokus lurus ke depan. Tidak akan aneh kalau ternyata laki-laki itu berpura-pura tidak mendengar. Sampai akhirnya, suaranya yang berat dan serak terdengar, nyaris teredam oleh deru angin malam.
"Aku yakin kau lihat apa yang kulihat," jawab Jason singkat, tidak perlu menjelaskan.
Tim terdiam. Ekspresinya berubah, pandangannya jatuh ke jalanan di bawah mereka—seolah jawaban itu menegaskan sesuatu yang selama ini coba dia abaikan. Tatapannya, sikapnya, cara bagaimana gadis itu berbicara padanya, memang menyembunyikan sesuatu. Tapi kalau Jason juga melihat hal yang sama, maka Tim tidak perlu lagi menganggap kalau dirinya dibutakan.
* * *
Chapter 26: A Means To An End
Chapter Text
Angin malam menyapu atap gedung Paradeisos yang luas, membawa debu dan aroma asap samar yang sulit disadari. Langit di atas gelap, tanpa bintang. Dari kejauhan, gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahaya yang tampak seperti bintang yang berkedip. Suara kota yang biasanya riuh terasa jauh di bawah sana, tenggelam di antara jurang beton dan bayangan. Mungkin ada seseorang yang berteriak meminta bantuan, atau memanggil orang lain dengan harapan orang itu bisa menyelamatkannya. Tapi dari atas sini, sulit untuk mendengarnya. Mereka yang datang ke tempat ini hanyalah orang yang peduli pada diri mereka sendiri.
Vendetta melesat ke arah di atap, ditemani grapple gun miliknya. Tidak akan ada yang bisa menghentikannya. Begitu dia mencapai tepi, dia langsung melepaskan kait grapple gun-nya dan mendarat mantap. Kedua kakinya menekuk, menyerap benturan, lalu berdiri tegak tanpa ragu. Lantai beton di bawahnya berderak pelan menahan berat tubuhnya, tapi dia sama sekali tidak bergeming. Tidak ada satu pun usaha untuk bersembunyi. Tidak ada langkah pelan yang diam-diam. Dia datang bukan untuk mengendap-endap. Dia datang untuk menunjukkan kalau dia datang dan siap menghadapi segalanya. Biarkan saja sang ketua Black Water, musuh, atau siapa pun itu yang ada bersamanya mengetahui kedatangannya. Dia tidak akan mundur lagi.
"Shawn!"
Suara Vendetta memecah keheningan malam yang mencekam, menggema di atap yang lapang. Sambil meneriakkan namanya, dia berlari cepat, mendekat ke arah wanita tersebut yang masih duduk dengan tenang di kursi, seolah sama sekali tidak terganggu dengan kehadirannya—atau apa pun yang akan datang di antara mereka. Tanpa memperlambat langkah kakinya, Vendetta menciptakan sebuah belati dengan kekuatan super yang dia miliki dan melemparkan senjata yang sangat tajam itu ke arah wanita tersebut. Belati melesat dengan bagai kilat dan penuh presisi. Tapi, sebelum senjata itu sempat mencapai target, sesuatu menghentikannya.
Suara benturan antar logam dan logam terdengar. Belati itu terpental ke samping, melesat sembarang arah sebelum memantul di lantai beton disertai bunyi yang memekakkan telinga. Seseorang muncul di hadapan Shawn, berdiri seperti tembok baja yang kokoh dengan sebuah perisai di tangannya. Seorang wanita tinggi dengan rambut hitam panjang serta masker iblis yang menutupi setengah wajah bagian bawahnya, dua gigi taring besar yang mencuat dari kedua sisi mulutnya sangat khas. Wanita itu adalah sang anjing penjaga takhta, Roul.
Roul berdiri dengan ekspresi dingin, satu lengan terangkat sebagai bukti betapa cepatnya dia merespons ancaman—dan betapa nyaris mustahilnya menyentuh Shawn saat dia ada di sana. Tangan tersebut memegang sebuah perisai yang baru saja dia gunakan untuk menahan belati. Itu bukan perisai biasa. Itu adalah perisai berbentuk khusus yang merupakan gabungan antara tameng dan senjata tajam. Ukurannya besar dan memanjang dengan ujung yang runcing bagai pedang raksasa. Bentuknya sedikit asimetris, dengan sisi yang lebih tebal di pangkal dan makin meruncing ke arah ujung. Permukaannya terdiri dari bagian-bagian berlapis dengan potongan tajam dan sudut lancip yang dirancang untuk menebas sekaligus menahan serangan lawan.
Vendetta sontak menghentikan langkah kakinya, memutuskan untuk mengulur waktu lebih lama sambil membaca kondisi. Tubuhnya tetap berdiri tegap, tapi mata emasnya memicing tajam. Dia tidak boleh bertindak ceroboh, melawan Roul secara gegabah dan tanpa berpikir panjang mungkin hanya akan mempercepat kekalahannya. Walaupun kekuatan super milik wanita itu tidak sepenuhnya untuk merusak—karena itulah dia dipilih untuk menjaga sang ketua seorang diri—dia tidak bisa melakukan kesalahan apa pun. Menatap lurus tepat ke incarannya, Shawn, matanya sama sekali tidak pernah sekali pun teralihkan darinya.
"Daripada cepat-cepat berbincang denganku, bagaimana kalau kau berbincang dengan temanmu lebih dulu? Mereka pasti sudah menunggumu," Shawn berucap disertai sebuah senyum tipis yang palsu. Tangannya bergerak mengambil segelas wine dari meja sebelum menyesapnya dengan hati-hati, menikmatinya, seolah ini hanyalah malam santai lainnya.
Kening Vendetta otomatis berkerut, matanya menyipit curiga. "Apa?"
Lalu, dia merasakannya. Sebuah perubahan halus, hampir tidak terasa, dalam aliran angin di belakangnya. Nalurinya bereaksi lebih cepat dari pikirannya. Vendetta berputar secepat kilat, tubuhnya refleks menegang. Dan di sanalah mereka. Dua sosok meluncur dari langit, siluet mereka tampak jelas di bawah cahaya bulan: jubah hitam dan kuning yang berkobar ditiup kencangnya angin malam. Batman dan Robin. Tiba-tiba, dunia terasa mengecil dan sesak.
"Aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini lagi!" Robin—Tim—berseru penuh tekad.
Waktu seakan berhenti sejenak. Detik berikutnya, kedua vigilante tersebut langsung bergerak.
Batman—Bruce—meluncur ke arahnya seperti peluru, jubahnya mengepak liar tertiup angin saat tubuhnya melayang di udara. Baru sekarang Vendetta menyadari, ada bayangan besar di sisi gedung, hampir tidak kasat mata dalam kegelapan. Bentuknya ramping dan tajam, seperti siluet kelelawar yang bersembunyi merupai malam itu sendiri. Sayapnya membentang cukup lebar dalam desain stealth, tidak meninggalkan jejak suara apa pun selain desiran angin tipis. Itu pasti Batplane—atau apa pun itu namanya Vendetta tidak mau tahu. Posisinya cukup jauh dari sana, suaranya dapat tersamarkan deru angin. Itulah kenapa vigilante itu bisa sampai di sini, melayang diam-diam, tanpa ketahuan olehnya. Sementara itu, Tim menyusul tidak jauh dari sisi lain dengan gesit dan tanpa ragu, perhatiannya hanya fokus pada satu hal: dirinya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Vendetta melompat mundur dengan gerakan yang terkalkulasi. Lompatannya kuat dan tinggi, cukup untuk menciptakan jarak guna mengukur situasi yang akan datang. Napasnya pelan, rendah, dan terkendali. Sorot matanya berubah, menjadi jauh lebih dingin dan fokus, Siap membaca gerakan mereka dalam sekejap mata.
Bruce yang datang dan menyerang pertama. Cepat dan tanpa ragu. Tinju dari tangan kanan, yang dikendalikan dengan kekuatan penuh, meluncur tepat ke wajah Vendetta, sedangkan yang kiri menyusul dalam serangan rendah yang mengarah ke tulang rusuk. Vendetta cepat memutar tubuhnya, membiarkan serangan pertama lewat di udara, lalu menunduk ke bawah untuk menghindari yang kedua. Dalam gerakan yang begitu mulus, tangannya terangkat. Di antara angin yang berhembus di sekelilingnya, sebuah belati pun tercipta dalam sekejap mata. Dia mengayunkan tangan untuk menargetkan titik vital. Tapi vigilante itu menjatuhkan sesuatu—sebuah pelet kecil—ke beton tempat mereka berpijak.
Pelet kecil itu meledak dalam sekejap, menyebar di sekitar keduanya. Kabut pekat dan tajam memaksa Vendetta mundur dengan dua lompatan ringan ke belakang. Di dalam bayangan abu-abu itu, dia menahan napas dan mendengarkan, berjaga-jaga akan adanya kemungkinan racun tambahan sekaligus mencari di mana posisi dan ke mana lawannya bergerak selanjutnya. Tanpa menunggu apa pun, dia menggerakkan tangannya lagi, membuat beberapa belati yang langsung meluncur cepat ke sembarang arah di depannya. Serangan belati itu bukan untuk melukai, tapi untuk tahu di mana posisi lawan. Dan benar saja. Ada langkah yang ringan. Dari arah kanan.
Gerakannya cepat, hampir seperti tiupan angin. Tim meluncur dari balik asap, melompat dan memutar tubuh di udara, melemparkan dua buah Batarang ke arah Vendetta. Yang satu menuju bahunya, yang lain meluncur ke kakinya. Vendetta cepat beraksi, dia memiringkan badan untuk menghindari Batarang pertama lalu melompat mundur guna menjauh dari jangkauan Batarang kedua—Batarang bukan sepenuhnya senjata, jadi dapat melukai tubuhnya. Sambil melakukan gerakan tersebut, dia menggerakkan satu tangan. Sebuah pistol hitam tercipta dalam kepalan tangannya. Dia mengarahkan moncong pistol tersebut pada Tim, dan melancarkan serangan. Tembakannya terarah tapi bukan untuk membunuh. Lebih dari cukup untuk memaksa Robin sulit mendekat dan mencari perlindungan. Peluru menghantam lantai dengan percikan kecil.
"Berapa kali harus kukatakan padamu, kalau kau akan tidak bisa menghentikanku, Robin!?" Vendetta berseru sambil menahan emosi. Tidak peduli kemana pun Tim menghindar, dia menyerang dengan pelurunya tanpa henti, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah.
Langkah berat seketika muncul dari belakang. Bruce kembali ke dalam pertarungan ketika asap sudah hampir menghilang. Kali ini menukik dari sisi kiri, lebih cepat dari sebelumnya. Vendetta berputar, tapi jarak serangan tersebut terlalu dekat untuk pistolnya. Secara refleks, dia segera melempar senjata api tersebut dan menggantinya dengan sebuah pedang. Dia mengayunkan pedang tersebut secara horizontal, tapi Bruce menahannya dengan gerigi besi yang ada di sarung tangannya, menciptakan percikan lain lantaran hebatnya kekuatan kedua pihak.
"Kalau kau berpikir aku akan menyerah, maka kau salah!"
Tim muncul dari arah atas, dengan bantuan tali grapple gun yang tadi dia gunakan. Tubuhnya melayang rendah. Dia datang tepat dari atas kepala dengan tendangan yang terarah. Vendetta langsung menangkis serangan tersebut menggunakan lengannya, sementara tangan yang lain masih menggenggam pedang. Kekuatan dari serangan itu berhasil membuat tubuhnya goyah. Mendapat kesempatan ini, tanpa ragu Bruce mendorong keras tubuh gadis itu beberapa meter hingga menghantam tembok. Pedang tersebut terlepas dari genggamannya. Vendetta meringis samar. Bahunya terasa sakit, tapi dia tidak akan membiarkan tubuhnya terjatuh. Dengan satu gerakan cepat, dia merentangkan tangannya lebar. Beberapa belati muncul dan dilemparkan kedua arah sekaligus. Bruce menangkis dua atau tiga belati dengan sarung tangan bajanya, sementara Tim tidak punya pilihan lain selain menggunakan tongkatnya untuk bertahan.
"Sial," Vendetta mengumpat dan pergi dari hadapan tembok. Melawan seseorang, atau lebih tepatnya dua orang, tanpa membunuh mereka itu sulit sekali, memaksanya untuk melakukan hal yang tidak biasanya dia lakukan saat berhadapan dengan musuh. Yaitu; menahan diri. Dia bahkan tidak ada waktu untuk menyerang Shawn, kedua vigilante itu tidak membiarkannya.
Bruce menyerang lagi. Kali ini dengan kecepatan yang meningkat, mengeluarkan semua teknik yang dia simpan untuk lawan selevel—atau mungkin yang jauh lebih kuat darinya secara alami, metahuman. Dia maju dengan gerakan tidak terduga, lalu meluncur ke depan sambil menebar sebuah kapsul ke lantai—kapsul logam kecil yang meletup menjadi kawat baja tipis, menjerat pergelangan kaki Vendetta. Tapi Vendetta cepat memotongnya dengan sabetan pedang yang terbentuk dalam tangannya secepat kilat. Belum sempat mengkalkulasi, tubuhnya dipaksa mundur oleh tendangan kuat Bruce terarah ke dada yang kedua lengannya sempat tahan.
Vendetta terdorong cepat ke belakang, tapi dia tidak membuang momentum tersebut. Dengan gerakan yang terkalkulasi, dia merendahkan badan dan memusatkan seluruh kekuatannya pada kedua kaki sebelum melontarkan tubuhnya ke depan dalam sebuah lompatan kuat dan pedang yang siap menebas. Tapi Tim sudah siap. Dia menjejak lantai dengan kokoh, memutar tongkat ke posisi bertahan sebelum pedang tersebut menghantamnya penuh kekuatan. Suara logam bertemu logam tidak pernah berhenti memekakkan telinga dalam pertarungan sengit ini.
"Percayalah, kau bukan satu-satunya yang pernah diperlakukan seperti ini. Tapi membunuh mereka tidak akan mengembalikan apa pun!" seru Tim. Matanya tajam menatap gadis itu, sementara tangannya sedikit gemetar. Dia bersusah payah menahan dorongan tersebut.
"Jangan lawan aku, Robin!" Vendetta mendesis, napasnya memburu oleh adrenalin.
Dari sisi kanan, siluet Bruce meluncur sangat cepat. Dengan ketepatan yang diperhitungkan, Bruce melemparkan dua Batarang yang langsung menancap di lantai samping kaki Vendetta, meledakkan flashbang mini yang menciptakan kilatan cahaya dan gelombang kejut singkat—cukup untuk mengacaukan keseimbangan serta indera gadis itu selama beberapa detik tanpa perlu menyerangnya. Mengikuti ledakan, Bruce masuk dalam pertarungan. Dia mengayunkan pukulan keras ke arah sisi tubuh Vendetta yang terbuka, memanfaatkan jeda saat fokus gadis tersebut memilih apakah harus terkunci pada Tim yang masih dekat dengannya atau dirinya.
Kali ini, rencananya membuahkan hasil. Vendetta mengerang kesakitan. Pukulan itu akhirnya menghantam keras tepat di tulang rusuknya, suara benturan dari hantaman membelah angin malam. Gadis itu terbatuk pendek, rasa nyeri membakar sisi tubuhnya. Terpaksa, dia menarik diri untuk menghindar. "Aku sudah terlalu jauh untuk mundur," gumamnya tidak menyerah.
Melihat celah dalam reaksinya, Bruce melesat dan mengayunkan kaki ke samping dengan rendah, menendang keras pergelangan kaki Vendetta yang berniat mempersiapkan dirinya. Tendangan itu tepat mengenai sasaran, membuat keseimbangan gadis itu hancur. Tubuhnya condong ke samping, terjatuh. Tapi di detik terakhir, sebelum sepenuhnya menghantam latai, Vendetta menanamkan satu tangannya ke permukaan beton tersebut dengan kuat dan lentur. Hanya dalam sekejap mata, tubuhnya tertahan dan dia langsung memutar tubuhnya di udara. Kakinya terayun secara melingkar dengan cepat bagai baling-baling, menargetkan kepala Tim dan Bruce yang berada di kedua sisinya. Mereka yang hendak menyerang terpaksa mundur.
Dalam gerakan putarannya, Vendetta menyalurkan sisa kesempatannya dengan menciptakan belati dan melemparnya ke samping dari arah kakinya, membuat kedua vigilante itu terkejut dan tidak sempat menghindar. Belati itu melesat dan berhasil menoreh lengan kiri Tim yang terlambat menghindar. Bilahnya yang tajam sukses merobek kostumnya yang terbuat dari bahan kevlar, meninggalkan luka gores memanjang yang perlahan basah oleh darah. Tim menahan rasa perih, tapi tetap menjaga posisi bertahan dan tetap waspada. Bruce lebih beruntung menghindari serangan tersebut, belati itu hanya menyayat sisi jubahnya.
"Aku tidak merasakan racun apa pun, jangan khawatir," kata Tim sebelum Bruce sempat bertanya. Belati ini mungkin di desain berbeda dengan belati yang sebelumnya dia gunakan dalam pertarungan pertama mereka beberapa saat lalu, dia masih mengingatnya dengan jelas.
Menuntaskan putarannya, Vendetta mendarat dengan kaki yang kokoh di lantai, melompat ringan ke belakang. Dalam satu gerakan, dia menempatkan dirinya tepat di tengah-tengah mereka, berdiri tegak dengan napas yang hanya sedikit terengah-engah. Jarak di antara ketiganya terbuka—cukup dekat untuk menyerang, tapi cukup jauh untuk waspada.
"Kalau kau terus keras kepala, aku tidak yakin kalau aku bisa menahan diri selanjutnya loh," kata Vendetta, berkacak pinggang sebelah tangan. Sebuah peringatan yang tidak main-main.
Tim dan Bruce saling pandang penuh tekad dan rencana.
Pertarungan pun berlanjut dengan Vendetta yang pertama menyerang.
"Lihat dia." Dari jarak yang tidak terlalu jauh, duduk sambil menyilangkan kaki santai, Shawn bergumam dengan suara lembut. "Sangat keras kepala sekali, bukan? Dengan kebenciannya padaku, dia tidak mudah dipatahkan begitu saja. Ini sangat, sangat memuaskan," katanya.
Di sampingnya, Roul menundukkan kepala sedikit, tubuhnya tetap tegak dan siap melindungi. "Aku bisa melihatnya, Nona. Aku mengerti kenapa dia bisa menjadi aset yang sangat berharga," jawabnya sopan, suaranya rendah dan teredam oleh masker tapi selalu penuh rasa hormat.
Senyum Shawn melebar saat melihat belati yang lemparkan Vendetta berhasil mengiris armor dari The Dark Knight. Setitik darah gelap terlihat menetes dari sayatan di sisi baju besi Batman, membuat pria itu mengerutkan wajahnya tidak suka dan cepat-cepat menghindar ke samping. Sekarang pertarungan itu mulai menunjukkan siapa yang akan menang dan siapa yang kalah. Tapi wanita itu tidak perlu khawatir, semuanya akan berjalan sesuai rencananya selama ini.
"Indah sekali." Sebelah matanya yang berhiaskan iris segitiga berwarna putih berkilau samar. "Semua ini hanyalah alat untuk mencapai tujuan, tapi aku tidak keberatan menunggu sedikit lebih lama." Mendengar langkah kaki lain yang muncul dari belakangnya, senyuman Shawn menjadi seringai. Dia tidak perlu menoleh untuk tahu itu siapa. "Sabarlah, sebentar lagi."
* * *
Asap hitam tebal membumbung di langit malam, menelan gemerlap lampu kota. Gedung-gedung di sekitar tampak seperti dinding api yang menjulang, bau hangus memenuhi udara, membuat setiap tarikan napas terasa menyesakkan. Stephanie terengah-engah, keringat dan darah meluncur deras di pelipisnya. Sebagian besar karena luka lebam atau nyaris terkena api, beberapa kali dia hampir mati. Begitu pula dengan Cassandra, yang paling berpengalaman di keluarga mereka, yang biasanya hampir tidak pernah berkeringat saat menghadapi lawan.
Peniru yang mereka lawan telah menunjukkan wajah aslinya beberapa saat lalu, wajah yang sama sekali tidak dikenali. Tapi tidak hanya bisa meniru gadis yang sedang mereka incar saja, peniru itu memiliki kekuatan api yang mengerikan. Hanya perlu mengulurkan tangan, api pun muncul di sekitarnya. Lebih buruk lagi, gadis itu tidak berencana untuk membunuh mereka—justru tidak peduli sama sekali. Sasarannya adalah orang-orang di sekeliling, warga Gotham yang tidak berdosa, yang sekarang terjebak dalam kobaran api yang merayap semakin luas. Mereka sudah memanggil bala bantuan, tapi semuanya tidak semudah yang mereka duga.
Stephanie mengusap keringat dari dahinya, napasnya pendek dan berat. "Ini jauh lebih sulit dari yang kubayangkan," keluhnya sambil meringis. Terlalu panas. Matanya berpindah cepat pada Cassandra. "Untuk sekarang, kita harus prioritaskan keselamatan warga dulu—CASS!"
Perkataan Stephanie terpotong ketika Cassandra kembali menyerang gadis itu. Tapi, lagi-lagi serangannya dihalau dengan mudah dengan kekuatan apinya. Cassandra hampir saja terkena kobaran api tersebut, kalau saja sesuatu tidak melayang, menghalanginya. Pemandangan itu membuat Stephanie otomatis mengernyitkan dahi. Ada seseorang yang membantu mereka.
"Harley to the rescue! "
Belum sempat Stephanie mencari tahu apa yang terjadi, pekikan penuh semangat tiba-tiba datang dari atas, membuat keduanya refleks menoleh. Harley melayang—bagaimana bisa?—lalu meluncur turun ke bawah dengan senyum lebar yang khas, tongkat baseball dia acungkan, rambut pirangnya berkilau karena cahaya dari nyala api. Kakinya kemudian mendarat ringan di aspal yang mulai mendidih karena panas dari api yang berkobar. Di sebelahnya, ada seorang gadis dengan tangan yang terangkat dan beberapa barang yang melayang di sekelilingnya.
"Harley Quinn!?" Stephanie mengerjapkan matanya cepat. Saat menyadari kalau gadis asing itulah yang menghalau serangan musuh tadi dengan kekuatannya, dia masih sulit percaya.
"Yes! It's Harley Quinn, baby!" Harley mengangkat tangan ke depan poni seolah sedang hormat. Setelah itu, dia bersiap dengan tongkatnya. "Waktunya para gadis bertarung!" serunya lantang. Tanpa menunggu apa pun, dia dan gadis berambut tosca itu langsung melesat ke arah lawan.
Di sisi lain, jalanan dipenuhi bayangan hitam berbentuk manusia dimana tubuh-tubuh warga tadi berada. Bangunan-bangunan sekitarnya tidak ada yang hancur, tapi di dinding, tempat di mana beberapa orang sempat bersembunyi, dipenuhi oleh bayangan yang serupa. Dick berdiri, tubuhnya tegang, matanya tidak lepas dari sosok yang kini berdiri beberapa meter di depannya. Wajahnya masih tidak dia kenali, tapi seluruh tubuhnya dikelilingi aura hitam yang terus beriak, membuat dirinya tahu kalau dia sedang berada di keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Setiap langkah yang gadis itu ambil membuat aspal di bawahnya berubah hitam bagai jejak.
Napas Dick tercekat saat dia mengedarkan pandangannya pada warga yang berubah, bukan lagi manusia. "Apa yang kau lakukan ...?" Suaranya serak, bercampur antara marah dan kengerian.
Gadis itu akhirnya menoleh padanya, matanya menyala terang, berkebalikan dengan aura di sekelilingnya. "Aku hanya menunjukkan pada mereka, betapa indahnya kehampaan," ujarnya. Suaranya tampak menggema, bagaikan seseorang yang berbicara di ruangan kosong dan tua.
Dick menggenggam tongkat escrima-nya erat-erat di kedua tangan, otaknya memikirkan gadget apa yang bisa dia gunakan untuk mengalahkan gadis tersebut. Dia tidak pernah bertemu musuh seperti ini sebelumnya, apalagi dalam keadaan yang sangat terbatas. Tidak hanya Barbara, yang lain pun mengalami kesulitan yang sama dengan lawan yang mereka hadapi. Terlalu sulit untuk membantu satu sama lain di tengah pertempuran yang berlangsung di tempat yang berbeda.
"Nightwing, mundur sedikit."
Dick hendak bergerak dan mengambil salah satu dari sekian gadget-nya, ketika sosok lain tiba-tiba muncul dari arah belakang. Melayang, membuat angin berhembus sedikit lebih kencang di punggungnya. Meskipun suaranya datang dari alat komunikasi yang dia kenakan, dia mengenal suara tersebut. Bagaimana tidak? Pemiliknya merupakan teman lamanya di Teen Titans—yang kini menjadi Titans. Pria itu Joseph Wilson, atau Joey, yang masih menggunakan nama Jericho.
Dengan senyuman lega yang tidak bisa dia sembunyikan, Dick menoleh padanya yang telah memposisikan diri di sebelahnya. "Kau tepat waktu," katanya, tubuhnya kembali menegak.
"Yah, rencana kami sedikit berubah. Kau beruntung kau tidak perlu melawanku," jawab Joey dengan sedikit nada sombong. Tapi itu bukan apa-apa dibanding harapan yang mereka miliki.
Damian menangkis serangan dari musuh, napasnya berat meskipun gerakannya masih cepat. Dari balik asap, seorang gadis bermata tajam tiba-tiba muncul sambil menahan serangan yang nyaris menebas Damian, tangannya menyala saat dia membakar besi yang hampir menghujam tubuhnya itu dan melelehkannya. "Fokus pada yang di depanmu, bocah," ucap gadis itu singkat. Damian menggeram dan nyaris memprotes, tapi cara gadis itu menahan si lawan hanya dengan tangan kosong membuatnya mendengus. Tidak ada pilihan lain selain menerima bantuannya.
Di sisi kota yang lain, Jason terdorong mundur menahan ledakan yang membuatnya terhempas ke tiang. Hantamannya begitu keras, membuatnya mengerang sebelum dia mengangkat pistol. Sayangnya, peluru tersebut lagi-lagi tidak berarti apa-apa dalam ledakan lain. Hingga akhirnya sosok gadis berambut panjang mendadak muncul di hadapannya, rambut ungunya berkibar ketika tubuhnya tiba-tiba berlipat ganda di posisi yang berbeda. Tidak salah lagi, itu ilusi.
Jason melirik sekilas sambil melempar pistolnya yang ternyata sudah kehabisan peluru. "Kau, teman si gadis assassin itu, 'kan?" katanya acuh tidak acuh sambil dia bangkit berdiri—padahal sebenarnya dia senang ada teman. "Yah, kalau sudah berdua begini, sih, harusnya kita menang."
Seorang gadis—yang menjadi lawan Jason sejak dia mengorbankan dirinya untuk Tim agar dia dapat menyusul Vendetta—memandangi mereka berdua dengan ekspresi yang tidak berubah. Sebelah tangannya dengan gesit terangkat ke Jason yang langsung melompat dari tempatnya. Tapi ternyata serangan itu dimaksudkan untuk meledakkan ilusi yang gadis berambut panjang itu ciptakan dengan sangat mudah. Dan pada akhirnya, sebuah seringaian muncul di bibirnya.
Semua ini masih jauh dari kata 'akhir'.
* * *
HeatSyncope on Chapter 8 Fri 07 Jun 2024 04:41PM UTC
Comment Actions
vmndetta on Chapter 8 Wed 12 Jun 2024 04:53PM UTC
Comment Actions
kucingtoru on Chapter 13 Wed 10 Jul 2024 08:09AM UTC
Comment Actions
vmndetta on Chapter 13 Fri 12 Jul 2024 05:53AM UTC
Comment Actions