Chapter Text
Bagi Poseidon, Percy itu spesial.
Bukan berarti anak-anaknya yang lain yang telah lebih dahulu menorehkan sejarah mereka tidak memiliki tempat di benaknya. Bukan berarti Triton tidak memiliki ruangan spesial yang ia miliki di dalam hatinya. Lagipula, mau bagaimanapun ia berhubungan dengan banyak wanita fana, Naiad, ataupun Nymph laut, Triton tetaplah putra pertamanya.
Namun, Poseidon tidak dapat menampik fakta bahwa Percy memiliki ruangan besar tersendiri di dalam cintanya.
Pada awalnya, Poseidon tidak memiliki banyak harapan padanya. Sebelum memasuki Camp Half-Blood, Percy hanyalah anak laki-laki biasa yang bahkan tidak tahu apa-apa tentang identitas sejatinya sendiri. Dia polos dan lugu, tidak pernah sekalipun berhipotesis bahwa identitasnya adalah anak dewa, meski Poseidon tahu bahwa Sally sering bercerita tentang mitologi Olympus kepadanya.
Entah Percy yang terlalu acuh terhadap keanehan di sekitarnya atau memang kecerdasannya yang seperti ganggang--Otak Ganggang, kalau kata putri Athena yang kini menjadi pacar putranya itu—tapi anak laki-laki itu tidak pernah curiga. Mungkin dia sendiri tidak pernah membayangkan bahwa ayahnya adalah seorang dewa. Di mata manusia biasa, barangkali hal itu nyaris mustahil. Poseidon menganggapnya lucu—putranya itu terlalu lugu untuk seorang putra Tiga Besar yang perkasa.
Percy tumbuh besar. Kepribadian khasnya mulai tampak. Dia tumbuh menjadi anak laki-laki yang cukup keras kepala, seperti Poseidon, namun sifat penyayang dan kebaikan hati Sally juga ada di dalamnya. Insting pertarungannya mungkin seringkali membuat anak laki-laki itu terlibat masalah, namun Poseidon tahu, kepedulian Percy terhadap Sally membuatnya sering menahan diri, meski acap kali tak berhasil.
Poseidon pun mengawasinya dari jauh. Dia mengakui, mungkin tanggungjawab dan kepentingan mendesak sebagai dewa seringkali membuatnya luput memperhatikan Percy, namun tidak pernah sekalipun Poseidon menghilangkan Percy dari radarnya. Selama bertahun-tahun, dia selalu menemani putranya, meski tak lekat.
Kemudian, peristiwa itu terjadi. Petir asali Zeus menghilang setelah dicuri seseorang. Raja Para Dewa terang-terangan menuduhnya dan Percy sebagai pelakunya, meyakini bahwa Poseidon sedang mempersiapkan kudeta terhadap kekuasaan sang Penguasa Langit.
Tentu saja, Poseidon berang.
Karena Zeus, Poseidon tidak bisa melihat kelahiran Percy di dunia untuk pertama kalinya. Karena Zeus, Poseidon tidak bisa berkomunikasi baik dengan Percy, layaknya ayah yang penuh perhatian kepada putranya. Karena Zeus, Poseidon tidak punya kesempatan untuk tinggal bersama Percy, menghidupi keluarga kecil mereka dengan kehangatan dan keharmonisan.
Sekarang, Zeus menuduh putranya mencuri senjata yang bahkan para Dewa tak boleh menyentuhnya. Poseidon tidak pernah berkomunikasi terhadap Percy. Apalagi bertatap muka. Putranya sendiri bahkan tidak tahu identitas sejatinya yang ia miliki. Bagaimana mungkin dia dan putranya bisa menciptakan rencana kudeta secara tiba-tiba?
Tuduhannya tidak beralasan.
Namun, Zeus adalah Zeus. Dia adalah adiknya. Sama-sama keras kepala, sama-sama angkuh, sama-sama arogan bak dewa pada umumnya. Baik Zeus maupun Poseidon tidak ada yang mau mengalah, dan dunia pun bergolak dalam bencana alam yang datang tanpa undangan.
Pada akhirnya, Poseidon tidak ada pilihan. Oracle pun berpendapat hal yang sama. Percy adalah satu-satunya jalan untuk menuntaskan ini semua. Poseidon harus menuntunnya, mengundangnya masuk ke dalam dunia Olympus mereka setelah sekian lama putranya itu hidup dalam ketidaktahuan.
Setelahnya, segalanya terjadi begitu cepat. Entah karena waktu yang terlalu lama untuk dewa sepertinya, atau karena putranya yang memang berkembang terlalu pesat, dunia Poseidon dan Percy berubah.
Musim panas pertamanya di Camp Half Blood, Percy berhasil menyelesaikan misi pertamanya, mengembalikan petir asali Zeus ke tangan sang Penguasa Langit. Musim panas kedua, Percy membawakan Bulu Domba Emas kepada perkemahan yang di ambang kehancuran setelah Pohon Pinus Thalia diracuni. Berbagai musim panas selanjutnya, Percy terus berkontribusi, menuntaskan ramalannya dan mempertahankan Olympus dari banyaknya ancaman yang membahayakan dunia mereka.
Bahkan dalam perang selanjutnya melawan Gaia, sebagai bagian dari tujuh demigod dalam Ramalan Besar, Percy tak pernah gentar, terus-menerus bertarung di lini depan melawan para monster yang menjadi musuh Olympus, meski sebelumnya ia hampir mati karena Polybotes di Alaska dan terjatuh ke dalam Tartarus bersama Annabeth di Roma.
Pada saat Poseidon tahu dan menyaksikan sendiri bahwa putranya-lah yang memainkan peran besar untuk memimpin para Demigod dalam kedua perang yang berbeda, sang Dewa tak bisa lebih bangga daripada sebelumnya.
Putranya, yang sebelumnya bahkan tidak mengenal identitas sejatinya, tumbuh pesat dan berubah menjadi pahlawan besar yang menyelamatkan seluruh Olympus.
Bahkan setelah banyaknya rasa sakit, kekecewaan, dan pengkhianatan yang Percy rasakan, putranya masih setia di sana, mempertahankan kebaikan hati dan kesetiannya yang tak ternilai harganya.
Percy selalu mendekatinya dengan cara yang berbeda daripada putranya yang lain. Dia tak pernah begitu sopan, namun juga tak pernah begitu kasar—dia apa adanya. Dia jujur, selalu jujur. Meski dia berusaha menutupi perasaannya dengan berbohong, gerak-geriknya akan dengan jelas menunjukkan apa yang ia rasakan.
Percy selalu apa adanya, tak pernah berusaha bersikap manis di hadapan Dewa Laut, namun nyatanya dia selalu taat, setia mendampingi Poseidon dan patuh menjaga nama baiknya sebagai putra Penguasa Lautan.
Setelah ribuan tahun hidup sebagai dewa dan menghadapi banyak konflik dari berbagai pihak bermuka dua, kecantikan karakter Percy bak ombak segar yang membuat Poseidon tak bisa berlari dan menghindar melainkan hanya untuk datang dan mencintai.
Bagi Poseidon, Percy adalah hampir segalanya.
*****
"Yang Mulia Poseidon? Ini saya, Annabeth. Jika Anda bersedia, bolehkah saya meminta waktu untuk berbicara?"
Fajar itu jauh lebih temaram daripada hari sebelumnya saat Poseidon yang tengah mengawasi proses renovasi istana bawah lautnya yang rusak parah pasca dua perang besar melawan Kronos dan Gaia—dia sudah pernah bilang pada Percy bahwa renovasi istananya membutuhkan waktu lama, paling sedikit tiga ratus tahun—menerima panggilan dari Annabeth Chase di Camp Half Blood.
Dewa Laut yang sedang sibuk itu mengerutkan kening. Tidak biasanya putri Athena yang juga pacar putranya itu menghubunginya dalam komunikasi batin secara pribadi seperti ini. Annabeth memang pernah berkomunikasi dengannya beberapa kali, tapi biasanya selalu ada Percy yang menjadi perantara mereka.
Pada awalnya, Poseidon berniat untuk tak meresponsnya, namun nada suara Annabeth yang terdengar getir membuatnya terusik. Setelah menimbang, Penguasa Lautan akhirnya memisahkan diri dari para bawahannya, bergerak menuju kamar pribadinya yang sudah dibangun kembali sebelum membuka ruang untuk komunikasi batin secara pribadi di antara mereka.
"Ya, Annabeth. Aku di sini."
Ruang komunikasi batin mempunyai sensitivitas sihir yang tinggi, dan berkat itulah Poseidon bisa mendengar suara tercekik kecil dari Annabeth yang terdengar kaget bercampur lega.
"Terima kasih, Yang Mulia," ucap Annabeth, melanjutkan, "Sejujurnya, ini agak mendesak. Anda tahu ... ini tentang Percy."
Jantung Poseidon berdegup lebih cepat ketika nama putranya meluncur keluar dari bibir putri Athena dengan suara mengkhawatirkan. Poseidon seketika tahu bahwa ini bukanlah sekedar perkara mabuk cinta remaja demigod biasa.
"Apa yang terjadi, Annabeth?" Poseidon bertanya, nadanya halus namun tajam, "Apakah ada sesuatu yang tengah mengganggu putraku saat ini?"
Hening sejenak di antara mereka. Annabeth kelihatannya sedang menimbang apa yang harus ia ucapkan selanjutnya. Dewa Laut merasa tidak sabar namun pada akhirnya memutuskan menunggu sebelum Annabeth kembali menjawab.
"Yang Mulia, Percy sedang sakit."
Kali ini, sang Penguasa Lautan benar-benar mengerutkan kening. Putranya sedang sakit? Apa maksudnya itu? Bukankah Camp Half Blood memiliki putra-putri Apollo sebagai healer yang bertanggungjawab mengenai kesehatan para demigod kamp? Bahkan Chiron pun mempunyai pengetahuan yang cukup untuk menyembuhkan seseorang, tidak terkecuali putra Tiga Besar seperti Percy. Lantas kenapa Annabeth melaporkan hal ini padanya?
"Apa maksudmu, Annabeth?" tanya Poseidon hati-hati, "Maafkan aku, Nak. Bukannya aku bermaksud untuk tidak peduli, tapi aku percaya bahwa kamp kalian memiliki anak-anak keponakanku, Apollo, yang bisa menyembuhkan sakit seseorang. Bukankah begitu?"
"Benar, Yang Mulia," Annabeth menyetujui, "Namun, permasalahannya tidak sesederhana itu. Sakit Percy bukan hanya sekedar fisik, namun juga di dalamnya," Suara Annabeth mengecil, "Mentalnya ... sedang tidak baik."
Poseidon diam mendengarkan.
"Percy tidak mau bercerita padaku, dan dia juga tidak mau mengakuinya, namun saya tahu ada sesuatu yang salah dengannya, Yang Mulia. Semenjak perang melawan Ibu Bumi selesai ..." Annabeth berdeham, "Saya rasa dia tidak pernah lagi tidur dengan benar."
"Dia tidak pernah lagi makan banyak, dan sudah sebulan ini dia seringkali melewatkan waktu sarapan, entah karena kesiangan atau kepentingan mendesak yang tak jelas, seolah ia memang sengaja melakukannya. Fokusnya juga tak stabil, terkadang intensitas insting pertarungannya terlalu tinggi atau bahkan tak ada sama sekali. Dua hari lalu, Percy bahkan hampir menebas Jason yang sedang berkunjung hanya karena dia mengagetkannya. Dia juga sering demam akhir-akhir ini tanpa penyebab pasti. Dia ... sedang tidak baik-baik saja, Yang Mulia."
Poseidon tidak tahu harus berkata apa sekarang.
"Apa yang sebenarnya kamu inginkan untuk aku lakukan, Nak?" Penguasa Lautan menghela napas lelah, "Katakanlah dengan jujur padaku."
Hening lagi. Namun, sedetik setelahnya, Poseidon bisa mendengar Annabeth menarik napas panjang, sebelum pada akhirnya menjawab dengan mantap, "Tolong kunjungilah dia, Yang Mulia."
"Dengan segala hormat, saya tahu Anda sedang sibuk dengan segala urusan sebagai dewa. Namun, saya harap Anda bisa meluangkan waktu untuk bertemu Percy. Bicaralah empat mata dengannya. Tanyakan kondisinya. Mungkin dia akan bisa untuk lebih terbuka dan menceritakan apa yang sebenarnya ia rasakan pada Anda."
"Bagaimanapun, Anda adalah ayahnya," ucap Annabeth lembut, "Bukankah begitu, Yang Mulia?"
Ayahnya.
Dia adalah ayahnya.
Poseidon adalah ayah Percy.
Percy adalah putranya.
Dan sebagai ayah yang baik, sudah tugasnya untuk memastikan bahwa Percy, putranya, akan selalu dalam kondisi sehat dan baik-baik saja.
Senyuman lembut Poseidon terukir tanpa bisa ditahan.
"Baiklah, Annabeth," Suara penuh kasih sang Dewa melantun dengan tulus, tidak ada kebohongan yang tersimpan di sana, "Kurasa, akan kuterima saranmu."
Di ujung sana, di pinggir danau Long Island yang berkilau ditimpa sinar mentari pagi yang mulai menyingsing, Annabeth Chase tersenyum lega.
"Terima kasih, Yang Mulia."
Ruang komunikasi batin di antara mereka pun terputus. Sekali ini, Poseidon bersyukur putranya memiliki selera yang bagus dalam memilih kekasih.
'Tunggu aku, Nak. Aku akan segera mengunjungimu.'
