Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Categories:
Fandom:
Relationships:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2025-08-22
Updated:
2025-10-26
Words:
13,168
Chapters:
7/?
Comments:
4
Kudos:
27
Bookmarks:
6
Hits:
389

The Absurd Love Story I’m Not Signed For!

Summary:

Stelle tahu kalau teman masa kecilnya, Dan Heng, suka sama dia. Dia juga suka, tapi dia mau Dan Heng yang gerak duluan. Eh, malah orang lain yang tiba-tiba nyatain perasaan ke dia. Terus, sekarang dua cowok ini malah rebutin dia?!

“Aku punya dua pilihan. Pertama, mumpung aku punya dua tangan, aku pacaran sama mereka berdua atau, kedua, mereka berdua aja yang pacaran!"

Chapter 1: Rakun, Kucing Hitam, dan Anjing Samoyed

Chapter Text

Dulu, waktu mereka masih SD, Stelle pernah manjat pohon dan jatuh. Lututnya berdarah, tapi dia bilang dia bisa jalan sendiri ke UKS, padahal matanya sudah berkaca-kaca. Dan Heng yang maksa gendong dia dan nemenin sampai dia selesai diobatin. Stelle masang muka cemberut sepanjang waktu, tapi diam-diam merasa senang karena Dan Heng peduli sama dia. Di lain waktu, Stelle pernah berkelahi dengan seorang anak laki-laki yang suka mengolok-olok anak perempuan, termasuk dirinya.

“Dia bilang anak perempuan itu lemah dan seharusnya fokus belajar masak saja! Besok, aku akan kempesin bola sepaknya!”

Sambil membereskan kotak P3K, Dan Heng mengangguk. “Stelle anak perempuan kuat dan pintar.”

Gadis kecil berambut abu-abu itu nyengir lebar.

“Tapi berkelahi itu hal yang tidak patut.”

Mereka tidak pulang bareng seperti biasanya. Dan Heng mau minta maaf karena merasa sudah membuat Stelle marah, tapi besoknya dia melihat gadis itu berlari ke arahnya dengan sebuah bola sepak.

“Bantu aku kempesin bola ini dan sembunyiin di selokan!”

Dengan begitu, si anak laki-laki pemilik bola tersebut menangis sepagian dan menaruh dendam pada Stelle. Mereka menjadi musuh bebuyutan sampai SMP, beberapa kali ketahuan berkelahi di belakang sekolah dan akhirnya dicap problematik oleh guru BK. Untungnya, Dan Heng selalu membela Stelle sebelem kemudian menasehatinya dengan cara yang lebih efektif.

Terlepas daripada itu, nilai-nilai akademis Stelle termasuk salah satu yang terbaik. Antara secara natural demikian atau mungkin karena setiap Minggu sore belajar bareng Dan Heng di rumah salah satu dari mereka.

Kenakalan Stelle sudah berkurang sejak masuk SMA karena faktor sahabat baru mereka yang bernama March, yang mungkin sedikit banyak mempengaruhi Stelle untuk bersikap lebih feminim. Namun, bukan berarti sifat tomboy Stelle pergi begitu saja. Suatu saat di hari-hari pertama sekolah, seorang kakak tingkat bersiul-siul kepada March dan si rambut abu tidak takut untuk langsung mengancamnya. Kakak tingkat itu awalnya meremehkannya, tapi saat Stelle menggulung lengan baju, mengepalkan tinju, dan menatap dengan keseriusan penuh, kakak tingkat itu memutuskan untuk tidak cari gara-gara lebih lanjut.

“Kamu tidak perlu sampai segitunya…” ujar March.

Stelle melihat ke arahnya. “March, sebagian besar laki-laki di dunia ini masih terikat dengan sistem lama antara ‘kasta’ laki-laki dan perempuan. Jika kita tidak kasih mereka paham, mereka akan terus-terusan menginjak-injak harga diri kita. Jangan mau kayak gitu, March!”

March tertawa geli atas pidato menggebu-gebu itu. Sementara di sisi lain, di tempat yang cocok untuk menyaksikan kejadian itu, seorang anak laki-laki berambut putih menjatuhkan gelas es tehnya, membuat kawannya bersungut-sungut sambil keheranan.

***

Kelas trio kesayangan kita jarang mendapat jam kosong. Kebetulan di saat mepet istirahat makan siang ini, guru mereka yang seharusnya masuk kelas ada keperluan lain dan hanya memberikan mereka tugas. Tugasnya pun tidak sulit, hanya membaca sebuah bab di buku dan mendiskusikannya dengan teman-teman yang lain. Tapi “diskusi” Dan Heng, Stelle, dan March malah ngalor-ngidul ke mana-mana. Biasanya topik baru muncul dari pertanyaan asal bunyi Stelle atau March, lalu tiba-tiba Dan Heng ikut menyuarakan overthinking-nya, dan akhirnya mereka membahas mata pelajaran lain atau berkeluh-kesah tentang apa saja.

“Dan Heng, rambutmu rontok ya, akhir-akhir ini,” celetuk March tepat saat bel istirahat berbunyi.

“Hah? Apa?” Dan Heng refleks menyisir-nyisirkan rambutnya.

“Kalo menurutku, malah agak memanjang dikit lho,” ujar Stelle. “Terutama di bagian poni! Seingatku, dulu susah disisir ke belakang gini.”

Stelle mencondongkan tubuhnya ke arah Dan Heng, lalu menyelipkan seporsi rambut di bagian kiri wajahnya ke belakang telinga. Wajah Dan Heng memerah, sementara Stelle nyengir tanpa malu sama sekali, membuat March ternganga. Gadis itu melihat bagaimana sempurnanya cahaya matahari yang terbias dari jendela, jatuh menjadi garis tepi pada wujud dua orang itu. Semua suara teredam, kecuali kata-kata yang nyaring diserukan oleh tatapan mata mereka.

Ini… pemandangan yang keluar langsung dari komik shoujo atau gimana?

Singkat cerita, mereka menuju kantin. Di depan kantin yang cukup ramai, seorang gadis dari kelas sebelah terburu-buru menyalip mereka.

“Maaf, maaf, permisi…” gadis itu berlari-lari kecil menuju sebuah meja yang sudah diisi oleh dua temannya.

“Yo, Cassie! Baru aja kita omongin.” Phainon melambai.

“Jadi, gimanana?” Mydei pun langsung bertanya.

Castorice, yang baru saja kembali dari pertemuan dengan seorang editor buku, mendekap sebuah map sambil mengatur napasnya sejenak. Dia menatap kedua temannya yang tegang menunggui, lalu tersenyum lebar.

“Diterima!”

Mereka bersorak dan bertepuk tangan, menarik perhatian orang-orang, tapi mereka tidak peduli. Mereka harus merayakan Castorice yang akan menerbitkan novel pertamanya.

“Aku sudah janji buat traktir kamu, jadi bilang aja mau apa siang ini,” ucap Mydei.

“Aku juga, nggak?” Tanya Phainon, sedikit berharap.

“Kamu tiap hari juga udah minta traktir!”

Castorice tertawa kecil. “Makasih, Dei. Hmm… aku mau nasi campur ayam sama es teh!”

“Eh, pesen yang banyak dong, Cas. Mydei kan, banyak duit. Atau paling nggak, yang mahalan dikit,” ujar Phainon lagi.

“Heh, kurang ajar…”

Castorice tertawa lagi sambil menggeleng. “Nggak usah, ah. Aku cuman mau makan nasi.”

Akhirnya, kedua laki-laki itu beranjak untuk memesan makanan mereka. Saat di dekat sebuah rak yang memajang makanan ringan, Phainon tidak sengaja menyenggol salah satu bungkus makanan tersebut hingga jatuh. Dia menunduk untuk mengambilnya, di saat yang bersamaan seorang gadis juga melakukan hal yang sama, malah sekian detik lebih cepat dalam meraih bungkus itu. Mereka mengangkat wajah dan sempat beradu pandang sejenak.

Gadis berambut abu-abu itu kemudian tersenyum canggung sebelum kembali berdiri dengan makanan ringan tersebut. Phainon juga berdiri dan membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu yang sudah ada di otaknya, tapi entah mengapa suaranya tidak keluar dengan baik.

“Ah, a- ekhem-“ dia cepat-cepat berdeham dan mencoba berbicara lagi, hanya untuk diinterupsi oleh Mydei.

“Kamu ngapain, ‘njir?”

Kemudian, seseorang berseru, “Stelle! Udah, belum?”

Gadis itu menoleh. “Iya, bentar!” Dan tanpa mempedulikan Phainon, dia membayar makanan ringan tersebut dan berlari kecil kepada kedua sahabatnya yang menunggu.

Phainon membeku di tempat. Mydei menatapnya, lalu ke arah perginya gadis itu, lalu kembali ke arah kawannya yang satu ini, lalu menghela napas sambil menahan tawa geli. Phainon memelototinya jengkel dengan wajah merah, tapi itu tidak cukup untuk mencegah Mydei berbagi cerita kepada Castorice saat mereka sudah kembali duduk.

“Phai naksir sama anak kelas sebelah,” adalah kalimat pembukanya.

“Oh ya? Siapa?” Castorice langsung tertarik.

“Kalo nggak salah, namanya Stelle, ya? Tuh, yang di sana.” Mydei menunjuk tiga anak yang sedang asyik mengobrol di meja mereka sendiri, kemudian dia menceritakan secara singkat aksi luar biasa yang dilakukan gadis itu tempo hari.

Castorice tertawa kecil. “Oh, aku sudah dengar tentang anak angkatan kita yang hampir berkelahi sama kakak tingkat. Ternyata dia, ya. Phai, kamu ada rencana apa buat dekatin dia?”

Phainon yang dari tadi menyembunyikan wajahnya hanya bergumam tidak jelas, lalu tiba-tiba meletakkan kedua tangannya di atas meja sambil menarik napas. “Yang pasti, aku harus kenalan dengan baik dan benar sama dia!”

“Ah, aku ada ide, Phai! Cari tahu dia ikut klub apa, terus nanti kenalan di sana!”

Mydei mengangguk. “Boleh tuh, mumpung masih banyak klub yang buka pendaftaran.”

“Tapi aku udah ikut Klub Debat,” sahut Phainon.

“Kan, bisa ikut dua klub, Phaio’on. Kamu coba ajak dia ke klub-mu kalau dia belum masuk klub apa-apa.”

Tak perlu waktu lama untuk Phainon mengetahui klub yang diikuti oleh Stelle. Sehari setelah obrolan mereka, gadis itu salah masuk ke ruangan Klub Debat, padahal dia sedang mencari Klub Pemburu Hantu. Phainon terkejut waktu tahu ada klub seperti itu di sekolah ini. Dia mengikuti saran Mydei untuk mengajak gadis itu masuk ke Klub Debat, jadi dia memutuskan untuk menunggui Stelle selepas kegiatan klub nanti, berharap paling tidak mereka berpapasan di parkiran atau gerbang sekolah. Sayang, dia tidak tahu bahwa kegiatan Klub Pemburu Hantu itu agak… mistis sekaligus konyol.

Stelle sendiri terkejut begitu memasuki ruangan klub-nya, selain karena lampunya yang berbentuk lentera tradisional bergaya timur menyala dengan terang benderang dan poster-poster di dinding yang lebih mirip seperti poster band musik atau film jadul, ketua klub-nya terlihat seperti hantu itu sendiri! Namanya Hanya, satu-satunya anak kelas 3 yang tersisa di klub karena insiden tahun lalu.

“Boneka yang selama ini kita jadikan maskot klub tiba-tiba hidup,” Hanya menunjuk sebuah boneka rubah di tengah mejanya. “Huohuo tidak sengaja memanggil ‘makhluk penjaga’ yang diyakini dalam keluarganya dan membuat hampir semua anggota klub saat itu ketakutan. Huohuo, tolong minta Mr. Tail untuk menyapa anggota baru kita.”

Huohuo adalah anak kelas 2 bertubuh mungil yang penakut, tapi dia terlihat akrab dengan ‘makhluk’ bernama Mr. Tail ini. Jadi, meskipun dengan kaki gemetar, dia menghampiri boneka rubah tersebut dan berkata, “Mr. Tail, bangunlah.”

Stelle bukan satu-satunya anggota baru di klub ini. Ada dua anak kelas 1 bernama Sushang dan Guinafen. Mereka bertiga yang awalnya bingung dengan kata-kata Hanya, dibuat tekejut lagi dengan boneka rubah itu yang tiba-tiba bergerak dan mengeluarkan suara tawa. Huohuo mencicit dan bersembunyi di belakang Hanya.

“Hei, Anak Bodoh! Kenapa kau malah sembunyi?! Untuk apa kau membangunkanku, hah?!” Boneka itu berseru dengan kasar.

“Mr. Tail, semoga kamu sudah tidak marah terhadapku yang… bisa dibilang menyegelmu di dalam boneka ini. Klub Pemburu Hantu kedatangan anggota baru, sapalah mereka jika kamu berkenan.” Ujar Hanya tenang.

Boneka itu, Mr. Tail, menatap Hanya, lalu ke arah tiga gadis yang terlihat penasaran sekaligus ketakutan. Ia berdeham seperti bapak-bapak paruh baya. “Kalian pikir aku ini apa sampai harus menyapa anggota baru untuk klub konyol ini…!”

“Memangnya apa?” Celetuk Stelle.

“Aku adalah Heliobus! Roh Penjaga terkuat sepanjang sejarah yang tidak tunduk pada siapapun, termasuk Bocah Penakut di sana dan keluarga besarnya! Kebetulan saja di masa lalu aku memiliki kontrak dengan kakek buyut-buyut-buyut-buyut-buyutnya yang membuatku sekarang menjadi penjaganya! Bahkan walinya juga, kalau memungkinkan.”

“Yakin itu bukan boneka yang punya semacam pengeras suara?” Gumam Guinaifen, sedikit curiga.

“Aku mendengarmu, Rambut Merah Kurang Ajar! Apa kalian butuh bukti? Baiklah, kita ke lapangan sekarang dan mengadakan ‘Ritual Penerimaan Anggota Baru’! Hei, Ketua Klub, kenapa diam saja di situ? Anak Bodoh, bantu bawa barang-barang yang diperlukan, cepat!”

Hanya terdiam cukup lama tadi, sebelum akhirnya tersenyum tipis dan membawa ketiga anggota baru klub-nya ke lapangan.

“Mr. Tail hanya senang karena Huohuo bakal dapat teman,” bisiknya. “’Ritual’ ini hanya perayaan kecil-kecilan kok, sekaligus ‘pembuktian’-nya Mr. Tail. Tidak perlu malu bakal dilihat orang, toh tidak banyak juga yang masih menetap di sekolah selain klub kita, Klub Debat, dan Klub Sastra.”

Dan Heng bergabung dengan Klub Sastra, makanya Stelle masuk satu di antara dua klub lainnya yang berkegiatan di hari ini, sementara March masuk Klub Fotografi yang berkegiatan di hari lain.

Klub Pemburu Hantu pun sudah berdiri di pinggir lapangan, membentuk setengah lingkaran menghadap bangku pendek tempat Mr. Tail berdiri. Ketiga anggota baru bertanya-tanya ‘pembuktian’ apa yang akan dilakukannya. Hanya menyalakan lilin aroma terapi, sementara Huohuo terlihat sibuk menggambar sesuatu dengan kuas di atas papan klip yang dipinjamkan Hanya.

“Anak Bodoh, bisa-bisanya baru membuat segelnya sekarang!” Hardik Mr. Tail.

Huohuo mengerutkan kening. “Kemarin Mr. Tail bilang satu saja, jadi sudah kubuat satu dengan ukuran standar! Tapi tadi tiba-tiba suruh aku bikin 3 dengan ukuran kertas HVS!”

“Harus ada sedikit yang spesial, dong! Ayo cepat selesaikan dan langsung kasih satu ke masing-masing mereka!”

Stelle, Sushang, dan Guinaifen saling pandang.

“Segel apa?” Sushang bertanya.

“Sebentar ini akan dijelaskan,” sahut Mr. Tail, lalu Huohuo pun memberikan sebuah kertas kepada masing-masing gadis itu. Rupanya isinya adalah gambar karikatur dari wajah mereka dan kaligrafi estetis dari nama mereka.

“Kalian harus membubuhkan tanda tangan di kertas itu sebagai tanda bahwa kalian bersedia, dengan kesadaran penuh, bergabung dengan klub ini!”

Hanya berdeham. “Kegiatan kita pada intinya adalah menyelidiki dan membuktikan cerita horror atau rumor-rumor tentang sekolah ini. Kadang juga mengadakan jurit malam, itu sebabnya jadwal kegiatan klub kita di hari Jum’at. ‘Segel’ di tangan kalian itu ibaratnya seperti ‘kontrak’… dan meskipun kita punya roh sungguhan di sini, aku akan menjamin kalau kalian bisa keluar dari klub dengan aman sesuai aturan sekolah. Tidak, ‘ritual’ ini bukan ritual penukaran jiwa atau semacamnya, jadi Pak Anaxagoras tidak terlibat dalam hal apapun. ‘Ritual’ ini murni ide Mr. Tail.”

Boneka rubah itu menoleh ke arah Hanya, sepertinya sedang memelototinya, tapi Hanya tetap memasang wajah datar dan berkata, “Jadi, apakah kalian bersedia bergabung dengan Klub Pemburu Hantu?”

“Kak, kenapa bagian atas kepalaku sangat besar?” Stelle bertanya kepada Huohuo tentang gambar di kertasnya, tidak terlalu memusingkan penjelasan Hanya.

“I, itu namanya karikatur. Kugambar sesuai impresi pertamaku kepadamu…” Huohuo menjawab dengan gugup, seolah dia sedang berhadapan dengan kritikus seni profesional.

“Wah, berarti kakak menganggap mataku besar dan bulu mataku lentik?” Guinaifen terlihat kagum dan tersenyum senang. “Hehe, terima kasih, kak! Apa aku boleh simpan gambar ini?”

Mr. Tail berdeham keras-keras, berusaha mengembalikkan topik pembicaraan mereka ke awal. “Dengarkan aku! Apa kalian sungguh-sungguh bersedia bergabung dengan Klub Pemburu Badut ini?! Itu artinya kalian harus meluangkan waktu setiap hari Jum’at sore, terkadang bahkan sampai Minggu, untuk kegiatan klub sialan ini!”

“Apakah memburu hantu termasuk berkelahi dengan mereka?” Tanya Stelle lagi.

“Ya, kurasa, kalau diperlukan, meskipun aku tidak menyarankan-“

“Maka aku bersedia!”

“Aku juga bersedia!” Sambung Sushang cepat-cepat.

“Kalau bisa dijadikan konten, aku bersedia!” Kata Guinaifen.

Ketiga gadis itu pun membubuhkan tanda tangan mereka di atas kertas masing-masing, lalu tiba-tiba kertas itu terbakar api biru yang tidak menyakiti mereka dan menghilang begitu saja.

“Selamat bergabung,” ucap Hanya. “Tenang saja, Guinaifen, kamu boleh menyimpan gambar itu setelah kita kembali ke ruang klub.”

Saat itulah Stelle baru menyadari kehadiran seseorang di teras dan melambai ke arahnya. “Eh, Dan Heng! Sudah pulang?”

Dan Heng hanya menghela napas, lalu melirik anak laki-laki di sebelahnya yang terhalang pilar dari pandangan Stelle. “Yah, kuharap kamu beruntung mengajaknya masuk Klub Debat, Phainon.”

Karena baru pertemuan pertama, kegiatan Klub Debat selesai lebih cepat sehingga Phainon berpikir rencananya akan berjalan lancar, tapi baru sekarang dia menyadari bahwa idenya untuk mendekati Stelle melalui kegiatan klub sudah gagal total sejak awal. Dia melihat gadis itu di lapangan dan terlihat menikmati entah apa yang sedang Klub Pemburu Hantu itu lakukan. Lalu, dia berpapasan dengan Dan Heng yang juga berencana untuk menunggui Stelle. Mereka berkenalan dan sempat mengobrol sedikit, terutama soal gadis berambut abu-abu berjiwa bebas itu. Tidak butuh waktu lama untuk Phainon menyadari bahwa Dan Heng, bisa dibilang, adalah saingan-nya.

***

Chapter 2: Panduan Untuk Berteman

Chapter Text

Castorice dan Mydei adalah teman terbaik Phainon, meskipun mereka tertawa terbahak-bahak dulu setiap anak laki-laki itu tertimpa kesialan, seperti saat mereka mendengar detail cerita itu lewat group call malamnya.

“Terus akhirnya, mereka pulang bareng! Aku nggak sempat kenalan sama sekali!”

Tawa Mydei cukup kencang sampai ibunya yang di lantai bawah keheranan, Castorice juga sampai menyeka air matanya.

“Kayak cerita rom-com klasik, nggak, sih? Berat sebelah juga karena Stelle sendiri nggak pernah jauh-jauh dari Dan Heng.” Komentar gadis penyuka kupu-kupu itu.

“Haa… aku harus gimana?” Phainon menggaruk kepalanya.

Mydei akhirnya berhenti tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Senin nanti, berharap dia sedang kesulitan dan kamu kebetulan liat, terus bantuin dan kenalan lewat situ.”

“Boleh dicoba. Apa butuh kita yang bikin ‘kesulitan’ itu?” Castorice tertawa kecil lagi.

“Kalau Phai setuju. Kita bisa minta bantuan Hyacine buat hal itu.”

Phainon menatap kedua temannya lewat layar komputer, sambil menimbang-nimbang ide Mydei. “Entah mengapa aku agak meragukan idemu, jadi aku mau denger kata Hyacine dulu!”

Tiga sekawan ini sudah saling mengenal sejak SMP, terutama karena mereka mengikuti les di tempat yang sama. Di tempat les itu jugalah mereka mengenal Hyacine yang lompat kelas sehingga sekarang duduk di kelas 2 SMA, sementara ketiganya di kelas 1. Gadis yang memiliki peliharaan kuda itu merupakan penggemar berat komik shoujo, jadi waktu mendengar cerita Phainon, dia langsung antusias menawarkan bantuan.

“Biasanya, kesulitan yang dialami female lead adalah masalah membawa buku, dokumen, atau PR yang hendak dikumpulkan kepada guru.”

Hari Senin itu, kelas Stelle tidak punya PR tertentu yang harus diantarkan ke ruang guru. Tapi kelas Phainon ada, jadi dia mengajukan diri untuk mengantarkan buku-buku tugas teman-temannya dengan harapan bertemu Stelle di tengah jalan. Kondisi terbalik, tidak masalah, pikirnya. Dia tidak mendapat bantuan dari siapa-siapa baik di awal, di tengah, maupun di akhir jalan.

“Kalau kebetulan bertemu di perpustakaan dan dia kesulitan mengambil buku di rak yang tinggi, bantulah!”

Stelle bukan penggemar perpustakaan. Dia, Dan Heng, dan March berada di perpustakaan pada waktu istirahat hanya untuk membuat kartu perpustakaan dan satu-satunya yang langsung meminjam buku adalah Dan Heng. Phainon rasa gadis itu cukup tinggi untuk meraih buku di rak yang tinggi, kalaupun tidak, dia pasti memiliki sejuta ide agar dapat meraihnya sendiri.

“Bagaimana kalau strategi ‘berbagi makan siang’? Makanannya terjatuh dan Phai akan datang untuk menawarkan makan siangnya!”

Stelle membawa bekal siang itu, sama seperti Dan Heng. March menyipitkan matanya, memperhatikan betul-betul isi kotak bekal kedua sahabatnya yang terlihat mirip. Dia curiga mereka sudah janjian. Lalu, karena merasa sedang ditatap, March menoleh kesana-kemari dan melihat seorang anak laki-laki berambut putih sedang menunduk dalam-dalam.

“Cara terkeren dalam memperkenalkan diri adalah dengan tiba-tiba muncul untuk membantu female lead yang sedang dirundung!”

“Hyacine, kamu belum dengar kalau gadis itu pernah memukul kakak kelas? Kamu pikir ada yang berani merundungnya?” Mydei mengingatkan.

“Kalau begitu…” Castorice menopang dagu di atas meja, memasang pose keren dengan kacamata yang berkilat-kilat. “Phai saja yang dirundung.”

“Maaf?” Phainon mengangkat kepalanya.

“Nanti kalian pulang berdua, terus pura-pura kelahi. Aku sama Hyacine bakal mastiin anak itu datang dan nyelamatin Phai—asal bukan Dei yang jatuh duluan.”

Mydei terdiam sejenak, sebelum tertawa. “Boleh juga! Gimana, Phai?”

“Ehh… alasan apa yang membuat kita kelahi?” Tanya Phainon.

“Terserah. Kamu mengejek kue buatanku atau aku menginjak ekor anjingmu, apa saja selama tidak benar-benar menyulut amarah.”

Phainon berpikir cukup lama sampai waktu pulangan. Dia menarik Mydei ke parkiran dengan sedikit terburu-buru, lalu tiba-tiba berkata, “Dei… tadi aku sempat log-in ke akun ZZZ-mu terus tukerin semua polychrome-mu ke standart tape.”

Mydei terdiam beberapa saat. “HAH?”

Phainon mengedip-ngedipkan satu matanya, mengisyaratkan bahwa itu adalah alasan valid untuk mereka kelahi dan bahwa dia tidak sungguhan melakukannya. Mydei menarik napas. Sambil mengacak-acak rambutnya, dia bertanya-tanya, Kenapa di parkiran?

Dia pun mendorong sebelah bahu Phainon dengan sedikit kasar. “Sialan. Untung aku belum kebawa emosi.”

“Dei, dorong sampai jatuh dong,” temannya itu malah berbisik.

“Banyak motor di belakangmu, O’on, termasuk motorku.”

“Kalo pukul ke samping?”

“Semoga kamu nggak beneran kejedot tiang.” Mydei menjitak kepala Phainon dari samping, tidak terlalu keras, hanya reaksinya yang sedikit didramatisir.

“Eh, kok, kamu nyerang dua kali?”

“Ya, makanya pakai skill counter-mu itu, lah! Aku pukul beneran nanti!”

Entah siapa yang pertama kali menyebarkan berita bahwa ada perkelahian di dekat parkiran, tapi kerumunan dengan cepat terbentuk dan mereka sudah mendukung satu sisi. Tidak ada yang berminat melaporkan hal ini kepada guru atau petugas keamanan. Stelle, Dan Heng, dan March ada di antara kerumunan penonton yang menganggap ini adalah semacam hiburan dadakan di sore hari.

Phainon dan Mydei terkejut, kenapa mereka malah disemangati? Mereka melihat Castorice dan Hyacine juga nampak keheranan, tapi tiba-tiba Castorice mengangguk. Nampaknya, pekelahian yang niatnya hanya pura-pura ini telah menjadi ajang pertaruhan dan mereka harus sungguhan berkelahi. Jadi, mereka meletakkan tas masing-masing dan bersiap seperti atlet tinju di atas ring.

Teng! Teng!

Siapa pula yang membawa bel itu?

Buk! Buk! Duakk! Brugh!

Anjay, kameranya getar-getar.

Serius: Phainon dan Mydei adu jotos dengan cukup sengit. Tak jarang kaki ikut-ikutan melayang dari kanan, kiri, bawah, depan, untung saja tidak pernah mengenai ‘area vital’ lawan. Namun, gerakan itu cukup membuka beberapa titik lemah dan Mydei kebetulan sedang cepat menganalisis, sehingga dia dengan cepat menerjang ke depan, mendorong Phainon sampai jatuh terduduk. Para penonton bersorak karena mereka sudah mendapat pemenang. Sorakan mereka tambah heboh begitu seseorang masuk ke dalam ring.

“Bang, terima tantangan, nggak?”

Mydei, Phainon, Castorice, Hyacine, Dan Heng, March, Sushang, Guinaifen, Firefly, Silver Wolf, Mem (entah datang dari mana) terbelalak, lalu serentak menoleh ke arah Dan Heng dan March. Salah satu memegang kaleng kosong minuman berenergi sementara yang satu lagi memegang tas si rambut abu.

“Terima! Terima! Terima!” Seseorang mulai berseru dan kerumunan penonton mengikuti. Castorice dan Hyacine saling pandang, mereka baru saja menyadari siapa dalang di balik semua ini.

Mydei mengerang sambil mengacak rambutnya. “Aku tidak mau menambah lukamu!” Dia menujuk betis Stelle yang diplester.

“Ini cuman kegores ujung meja-“ sahut Stelle, tapi jelas laki-laki itu tidak mau mendengarnya.

“Apapun itu, tetap luka. Aku sudah cukup lelah. Kalau ngotot mau kelahi, sama si o’on ini aja!” Mydei menyambar tasnya dan cepat-cepat melangkah menuju motornya, memasang helm, menyalakan mesinnya, lalu melaju keluar parkiran.

Namun, baru setengah meter, dia berhenti dan mundur sampai ke dekat Castorice. Castorice menerima helm dan segera menaiki jok, lalu mengacungkan jempol kepada Phainon. Tepat saat suara motor itu menjauh, kerumunan penonton bubar, meninggalkan Stelle menghadap anak laki-laki yang duduk bengong di tanah itu.

“Jadi…” Stelle mengulurkan tangannya. “Siapa namamu?”

“Phaio’on.”

***

Meski tertangkap basah oleh Hyacine pagi itu, Cipher masih ingat wajah konyol Phainon hari sebelumnya dan itu selalu membuatnya tertawa geli. Pun dengan Dan Heng yang sepertinya tertular sifat iseng teman masa kecilnya itu, dia jadi ingin mengejek Phainon setiap melihatnya lewat. Tentu dengan cara yang tidak langsung karena Stelle-lah yang mewakilinya.

“Phaio’on!”

Kabar baiknya, Phainon selalu disapa oleh gadis itu. Kabar buruknya, hampir satu sekolah sekarang memanggilnya demikian. Beberapa kali para guru seperti Pak Anaxa dan Bu Jade nyaris keceplosan mengucapkan panggilan keramat itu, sementara guru seperti Bu Herta mengucapkannya dengan lantang seolah beliau selalu mengharapkan waktu itu tiba. Untungnya, masih ada guru seperti Bu Aglaea yang mengingat nama aslinya, atau guru baru yang belum paham konteks dan sejarah para murid di sekolah ini.

“Setidaknya kamu sudah melewati tahap pertama, Phai. Ayo semangat, kita langsung masuk tahap kedua!” Ucap Hyacine, mencoba menghibur.

“Tahap kedua?” Phainon memandangnya.

“Berteman! Ini artinya kamu juga harus berteman sama Dannie dan yang satu lagi.”

“Hyacine kenal sama anak cowok itu?” Tanya Mydei, cukup terkejut mendengar sapaan akrab yang diucapkan gadis itu.

“Hehe, iya. Kami sempat ketemu di UKS pas dia nyari obat luka, kayaknya buat si Elle.” Jawab Hyacine. “Dia anggota Klub Sastra, sama kayak Cassie, kan?”

Castorice mengangguk. “Dia suka sastra klasik. Jum’at nanti niatnya mau kukasih tunjuk karyaku.”

“Heh, jadi yang belum pernah ngobrol sama dia cuman Dei, ya?” Ujar Phainon.

Mydei memutar bola matanya. “Besok kita pelajaran olahraganya gabungan sama kelas mereka. Nanti kucoba cari waktu buat ngobrol.”

“Olahraga gabungan? Phai, itu saatnya kamu unjuk gigi!” Hyacine tiba-tiba berdiri dengan bersemangat. “Kamu pasti punya keunggulan di bidang olahraga kalau dibandingkan sama Dannie. Skenario paling buruk—atau malah baik, tergantung akhirnya—adalah kamu dapat panggilan baru lagi!”

Guru olahraga mereka adalah seorang pria paruh baya yang mendekati usia pensiun dan agak memiliki masalah pendengaran. Di kelas olahraga gabungan Rabu pagi itu, dia membagi murid-muridnya menjadi dua grup: perempuan dan laki-laki.

“Huh… tahun ini perempuannya lebih banyak, ya?” Guru membaca daftar presensi lagi. “Hari ini kita main games saja, grup perempuan melawan grup laki-laki. Permainannya mirip bola basket, tapi lebih melatih kecepatan kalian. Pemain utama terdiri dari dua orang dari masing-masing grup, lalu sekitar 10 sampai 14 orang akan menjadi ‘pagar’, sisanya menjadi cadangan, tim hore, atau penghitung skor. Bola hanya dilempar dari pagar ke pagar, pemain utama harus mengangkapnya di tengah jalan dan berusaha untuk memasukkannya ke dalam ‘basket’. Basketnya mana, kalian tanya? ‘Basket’ adalah salah satu dari barisan pagar yang menjadi ketuanya. Jika bola berhasil melewati mereka, dianggap telah mencetak satu poin.”

Kedua grup mulai berdiskusi dan bertanya ini-itu. Untungya, Bapak Guru bukan penjahat berkerah putih yang sedang ditanyai wartawan, meskipun beliau salah mendengar beberapa kata. Mereka pun memainkan satu ronde sebagai pemanasan dan demonstrasi. Setelah semuanya paham, mereka dapat memulai.

“Baik, saya tunjuk pemain utama untuk ronde ini. Dari grup perempuan ada Stelle dan Sil… er?”

Ah iya, beliau juga payah dalam Bahasa Inggris.

“Silvia,” fans Widah Habatusauda (atau siapapun namanya) yang merasa terpanggil itu berbaik hati memberitahu nama kecilnya.

“Sipera?”

“Itu nama kakak kelas, Pak. Nama saya Silvia.”

“Sliva? Sali-“

“Siwol, Pak. Panggil aja Siwol!”

Stelle, selaku pembuat julukan itu, ngakak paling kencang. Silver Wolf bersumpah dalam hati akan mengalahkannya di game lain yang memposisikan mereka jadi lawan.

“Si Wol? Oke, Wol. Kamu akan menjadi pemain utama melawan, dari grup laki-laki, Dan Heng dan Phainon!”

Entah siapa yang mengomando, tapi semua orang langsung besorak dan bertepuuk tangan, seolah Bapak Guru barusan membacakan nama pemenang OSCAR. Stelle berdiri sambil masih terkikik-kikik geli, lalu melambai dengan penuh semangat ke arah Dan Heng, yang melambai balik.

“Oke, para pagar, silakan ambil posisi!”

Yang menjadi “basket” di grup perempuan adalah March, sementara di grup laki-laki adalah Mydei. Peluit pun ditiup dan bola langsung terbang ke mana-mana, memantul di tanah, menghindar dari para pemain utama, dan berbelok tajam di setiap “sudut”. Beberapa kali ia juga terselip dari tangan satu pemain pagar atau terlempar terlalu jauh sampai keluar lapangan, itu tidak dihitung poin karena tidak melewati pemain basket. Saat itu terjadi, pemain basket bisa melemparkan bola ke pemain utama dari tim yang sama.

Kebetulan, March mendapat kesempatan untuk melakukannya, tapi dia melempar bola terlalu tinggi sehingga melewati atas kepala Silver Wolf dan malah ditangkap oleh Phainon. Phainon pun melemparkannya balik ke arah March, tapi Stelle sudah siap di depannya sehingga berhasil menangkap bola. Dia pun berlari ke samping untuk mencari bukaan sebelum melemparkannya ke basket lawan, tapi Phainon ternyata cukup cepat untuk sampai di arah datangnya bola dan berhasil menangkapnya lagi. Silver Wolf memprediksi arah bola itu dilemparkan dan sudah bersiap di posisi, tapi ternyata bola memantul di sebelahnya dan ditangkap oleh pemain pagar di belakangnya.

Bola dilemparkan kembali dan Stelle nyaris gagal menangkapnya, tapi untungnya dia segera berlari lagi dengan bola di tangan, lalu melemparkan bola tersebut sekuat-kuatnya ke arah Mydei. Anak laki-laki itu tidak perlu diteriaki untuk melihat bolanya datang, tapi alih-alih bola, yang tertangkap oleh kedua tangannya adalah… Dan Heng?!

Mydei terkejut. Dan Heng terkejut. Stelle terkejut. Semua orang terkejut. Lalu, peluit ditiup.

“Waktu pelajaran kita sisa 40 menit dan selama ronde ini, belum ada grup yang mencetak poin. Jadi, kita akan mengadakan pergantian pemain. Para pemain di lapangan, istirahat dulu. Yang belum main, siap-siap!” Jelas Bapak Guru.

“Eh, Dan Heng, ya? Kamu nggak apa?” Mydei melihat telapak tangan yang digunakan Dan Heng untuk menangkap bola memerah.

“Iya,” jawab Dan Heng tenang, tapi si pelempar bola tidak tenang sama sekali.

“Dan Heng!!” Teriak gadis itu panik sambil meraih tangan Dan Heng, lalu memeriksa sekujur tubuhnya dari atas sampai bawah. “Sori! Sori banget! Sakit, ya? Atau ada tempat lain yang sakit?”

Dan Heng tersenyum lelah, lalu menggeleng. Mydei mundur selangkah dan melirik ke arah Phainon, yang berjalan mendekatinya perlahan. Mydei menepuk bahunya, memberikan isyarat agar dia mengatakan sesuatu kepada dua orang itu. Phainon diam sebentar, memikirkan kata-kata yang bagus, tapi ketika dia terbatuk kecil di samping Dan Heng dan Stelle untuk menarik perhatian mereka, yang dia katakan malah:

“Mainnya bagus, Partner!” Sambil mengacungkan jempol.

Mydei menepuk jidat.

***

Chapter 3: Dilema (Interlude)

Chapter Text

Kalau menurut Hyacine, itu adalah langkah pertama dalam berteman. Langkah kedua adalah bertukar nomor telepon, akun media sosial, dan yang paling utama adalah menghabiskan banyak waktu bersama. Dalam artian, kalau bisa, Phainon duduk di meja yang sama atau paling tidak berdekatan dengan Stelle, Dan Heng, dan March saat makan siang. Hal itu berarti Mydei dan Castorice juga harus ikut. Itulah yang terjadi siang hari berikutnya.

March yang paling semangat menyambut, berkenalan, dan mengobrol dengan mereka. Dan Heng juga terlihat tidak masalah, membuat Stelle banyak mengambil inisiatif untuk mengakrabkan diri di hari-hari berikutnya, tidak sebatas menyapa saat bertemu saja, tapi mulai mengobrol dan berbasa-basi sejenak. Phainon jadi percaya diri untuk bergerak lagi, kali ini mengikuti saran Castorice: “Coba buatkan puisi untuknya.”

Namun, katanya orang yang pandai Matematika tidak pandai dalam berbahasa. Hampir dapat dipastikan puisi buatannya akan membuat dosen Sastra author sakit mata, sama seperti Bu Aglaea (yang kebetulan bertetangga dengannya) ketika melihatnya mengenakan baju dengan kombinasi warna terkutuk. Jadi, Castorice berbaik hati membantu. Setelah mendedikasikan sebagian besar waktu akhir pekan mereka, terciptalah bait-bait yang dapat membuat para penyair terbengong-bengong.

Kamu adalah bintang

Memancarkan cahaya sendiri

Meskipun berbeda dari ekspektasi

Kebanyakan orang

Kamu adalah angin

Terbang bebas tanpa peduli

Peraturan yang suka menghakimi

Lalu masalah panjang terjalin

Kalau ada kehidupan sebelumnya

Mungkin kita pernah bertemu

Mungkin sampai waktu membisu

Dan namamu diingat olehnya

Puisi itu disalin ke sebuah kertas yang bahkan diberi wewangian, lalu dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam sebuah amplop. Pagi-pagi sekali, ia diletakkan di laci meja Stelle. Saat gadis itu melihatnya, dia terkesiap karena berpikir isinya adalah uang, lalu kecewa karena ternyata bukan, lalu bertanya, “Kita ada tugas bikin puisi, kah?”

March mengambil kertas tersebut dan berkedip. “El, kertas ini lebih wangi dari kamu!”

Stelle memelototinya. “Heh, aku sudah mandi pagi ini, ya! Itu untuk kalian aja deh, aku nggak tertarik.”

“Yakin? Tapi, kayaknya ini effort banget dibikin loh, El!”

“Tapi, aku nggak paham maksudnya.”

Dan Heng pun membaca puisi itu dan menahan tawa geli. March menatapnya. “Kenapa, Heng?”

“Nggak, aku hanya sadar kalau yang nulis puisi ini amatir. Pada dasarnya, siapapun dia lagi muji kamu, El.”

“Hmm… yang aku nggak ngerti itu kenapa dia nggak ngomong langsung aja? Kenapa harus lewat puisi?” Stelle menggaruk kepalanya.

Dan Heng diam-diam melirik ke pintu kelas, di mana sedari tadi ada dua sosok yang mengintip dan jelas bukan murid dari kelas ini.

Sore harinya, Bu Aglaea terkejut melihat Phainon di depan pintu rumahnya, tiba-tiba minta diajarkan cara membuat boneka. Bu Aglaea yang hobi merajut memang beberapa kali pernah membuatkan boneka untuk anak-anak tetangganya. Kalau ada salah satu anak, khususnya anak laki-laki, yang meminta untuk diajarkan cara membuatnya, maka itu artinya ada sesuatu, atau seseorang, di pikiran anak itu. Kebetulan, Phainon adalah anak yang mudah dibaca, jadi tebakan Bu Aglaea tepat.

Dalam waktu dua minggu, Phainon berhasil membuat sebuah boneka, meskipun hanya kepala rakun berukuran sedang yang kemudian dia berikan tali gantungan untuk digantung di ponsel. Dia berniat untuk memberikannya langsung kepada Stelle di sekolah, tapi pagi itu…

“Ibuku baru pulang dari Jepang. Ini buat kalian dari beliau.” Dan Heng menyerahkan sebuah kemasan warna-warni pada masing-masing Stelle dan March.

Kedua gadis itu tersenyum girang melihat isi kemasan tersebut, yaitu gantungan ponsel yang serupa, yaitu boneka akrilik berkimono tapi dengan warna dan hiasan tambahan yang berbeda. March mendapat warna biru pastel dengan hiasan bunga sakura, sementara Stelle mendapat warna kuning dengan hiasan burung Shima-Enaga. Gantungan itu terlihat lebih bagus dan berkualitas dibanding boneka buatan Phainon, jadi dengan kepala tertunduk anak laki-laki itu mengurungkan niatnya.

Bu Aglaea yang diam-diam memperhatikan dari ujung lorong hanya bisa tersenyum iba.

***

Mendekati ujian tengah semester, ide baru pun muncul: belajar bersama! Tapi mengajak Stelle untuk belajar bersama tentu sama dengan mengajak Dan Heng dan March juga, dan untungnya ketiga anak itu setuju untuk belajar bersama dengan Phainon, Castorice, dan Mydei. Mereka memilih rumah Dan Heng di Minggu pagi sebelum hari pertama ujian. Untungnya untuk Phainon, dia bisa tahu di mana rumah Stelle karena dua teman masa kecil itu tentu tinggal berdekatan, jadi suatu hari nanti bisa susun rencana untuk mengantarnya pulang.

Satu hal yang tidak dia sangka adalah rumah Dan Heng itu sendiri. Ukurannya sedikit lebih kecil dari rumah Mydei, dengan gaya arsitektur China. Phainon masih melongo saat Mydei menelpon Dan Heng untuk memberi tahu bahwa mereka sudah di depan rumahnya, lalu mereka dipersilakan masuk hanya supaya Phainon lebih melongo lagi. Interiornya adalah perpaduan dari tradisional dan modern, beberapa ruangan seperti kamar Dan Heng sendiri menggunakan pintu geser. Di dalam kamar tersebut, selain tiga gadis yang sudah sampai duluan, terdapat dua rak buku yang penuh, satu rak khusus pajangan, dan yang paling menarik adalah lukisan seekor naga Asia yang membentuk simbol Ying dan Yang dengan tubuh panjangnya.

Sekolah mereka memiliki peraturan yang membatasi siswa-siswanya mengenakan aksesoris selama di lingkungan sekolah, jadi ini pertama kalinya Phainon, Mydei, dan Castorice melihat Dan Heng mengenakan anting, pun dengan Dan Heng sendiri dengan Stelle dan March yang melihat Mydei juga mengenakan anting dan, yang paling membuat mereka terkejut, Phainon mengenakan choker.

Jadi ini alasan ada peraturan seperti itu… batin mereka sambil mencoba meredakan perasaan campur-aduk yang mendadak muncul.

Sesi belajar bersama hari itu berlangsung dengan cukup lancar. Paling tidak mereka saling tahu pelajaran apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan satu sama lain. Dan Heng hampir sempurna di semua mata pelajaran, kecuali mungkin Sosiologi yang bagi Stelle adalah pelajaran termudah. Castorice unggul dalam pelajaran bahasa dan pernah membuat Bu Kafka, guru Bahasa Asing mereka, terkesan akan penguasaannya dalam dua bahasa. Ketika kita semua tahu Phainon cerdas dalam Matematika, ada Mydei dan March yang membuat Bu Himeko, guru Matematika mereka, menangis terharu jika nilai mereka lebih dari 4 atau 5.

Berita baiknya, ujian pertama besok adalah Sejarah dan Bahasa Asing. Berita “buruk”-nya, Dan Heng dan Castorice yang seharusnya mengajarkan teman-teman mereka malah memulai sesi diskusi karya Sastra tentang sejarah berdua saja menjelang sore hari. Akibatnya, Castorice tidak mau pulang karena terpincut buku-buku bagus di rumah Dan Heng. Stelle yang tidak berusaha menyembunyikan wajah cemberutnya membantu Mydei dan Phainon dalam membujuk gadis itu pulang. Kode itu terlihat cukup jelas dan membuat Castorice merasa bersalah, tapi tidak ada yang bisa menyalahkan kesukaannya pada Sastra. Stelle menyadari hal itu sedikit terlalu malam dan meminta maaf melalui chat pribadi kalau dia terkesan kasar. Untungnya, Castorice juga masih bangun dan membalas bahwa dia maklum.

Saat itu, Castorice sedang bingung memikirkan siapa yang harus dia dukung. Apakah mengatasnamakan pertemanan untuk Phainon yang rela menjatuhkan Kalkulus demi Stelle, atau mengikuti tradisi woman support woman untuk Stelle yang rela menggulingkan pemerintahan demi Dan Heng? Dia sendiri heran situasi cinta segitiga apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara orang-orang ini, sampai dia iseng membaca ulang sebuah komik keramat yang disebut BL… dan tangannya pun bergerak sendiri untuk menulis sebuah cerita di platform online kesayangannya. Cerita yang membuat cenayang peramal masa depan harus menghormatinya karena ternyata kalimat pertamanya sungguhan terjadi tak lama setelah mereka naik kelas.

“Stelle! Aku menyukaimu!”

Tolong jangan tanya kenapa author butuh 3 chapter untuk menjadi pembuka.

***

Chapter 4: Pilihan Stelle, Jangan Heran

Chapter Text

Kalimat itu diucapkan dengan berani, tegas, lantang, tepat di hadapan seluruh sekolah dan membuat semua orang sampai Pak Satpam, sekeluarga kucing liar yang beliau rawat, dan Mem juga ikut terbengong-bengong. Stelle tidak terkecuali, tasnya sampai melorot dan jatuh. Dia menggaruk kepalanya, menoleh ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung, sebelum menatap anak laki-laki di depannya yang semerah tomat.

“…Seriusan?” Dia bertanya dengan pelan.

Phainon mengangguk kuat-kuat. Terdengar pekikan pelan dari kejauhan dan bisik-bisik penonton, lalu berubah menjadi sorakan, seruan, siulan, dan tepuk tangan. Stelle berbalik badan, menarik napas dalam-dalam, berbalik badan lagi untuk melihat tatapan serius Phainon, lalu menggaruk kepala lagi sampai sedikit mengacak rambutnya.

“Maaf, tolong kasih aku waktu sebentar,” katanya dan sejurus kemudian, dia sudah melesat dengan ke luar gerbang sekolah.

March berlari-lari mengejarnya. “Elle! Stelle! Kamu mau ke mana?! Sebentar lagi masukan!!”

Yah, nampaknya gadis itu bolos. Sore harinya, March izin dari menghadiri kegiatan klubnya dan menarik Dan Heng ke rumah Stelle tanpa meminta persetujuan salah satu apalagi keduanya.

“Aku kan, pernah bilang kalo kamu harus gerak lebih aktif! Sekarang keduluan orang lain, kan! Hm? Kok, kamu nggak kelihatan panik sama sekali sih, Heng?” March mengomel di boncengan motor Dan Heng, lalu keheranan melihat anak laki-laki itu terlihat tenang-tenang saja sejak tadi pagi.

Dan Heng menghentikan motor di perempatan lampu merah, lalu menghela napas pelan. “Maaf, March, sebenarnya aku sedang punya masalah lain. Tolong wakilkan aku bicara sama Stelle nanti karena aku harus pulang sesegera mungkin.”

March membuka mulut, tapi tidak mengatakan apa-apa. Rumah Stelle dan rumah Dan Heng hanya dipisahkan oleh sebuah tikungan yang sedikit menanjak, jadi dengan mempertaruhkan nilai 7 pada ujian Matematika-nya kemarin, March menghitung waktu yang diperlukan untuknya masuk ke rumah Stelle, mengeluarkan unek-unek pikirannya, mengisyaratkan bahwa ada suatu hal yang sangat mendesak, lalu secepat mungkin menarik sahabatnya itu ke rumah Dan Heng. Satu hal yang dia yakini sepenuh hati adalah bahwa masalah apapun dapat diselesaikan kalau mereka bersama, apalagi ketika dua orang ini sudah bersahabat sejak kecil.

“Stelle!!” Teriaknya sambil mengetuk dengan terburu-buru pintu rumah gadis itu, hampir seperti menggedornya.

“Sebentar, sebentar!” Terdengar suara Stelle, lalu suara kunci yang diputar, dan akhirnya pintu terbuka. Gadis itu terlihat sedikit terkejut. “Kenapa, March?”

“Astaga! Kamu kabur dari sekolah habis ditembak Phainon, harusnya aku yang tanya kenapa! Kenapa, El? Kenapa kamu nggak terus terang aja, tolak dia dan bilang kalo kamu sudah suka lama sama Dan Heng!! Kalian tuh, sudah saling suka tahu!! Nggak mungkin kan, cuman kalian berdua aja yang nggak sadar?!” March hampir membanting helm di tangannya dengan gemas. “Dan Heng harusnya juga di sini, tapi tadi dia bilang dia punya masalah lain dan dia baru aja pergi! Aku nggak tahu masalah apa, tapi kamu harusnya mau bantu, kan? Please bilang iya supaya kita bisa ke rumahnya sekarang, mumpung masih sempat!”

Stelle menutup mulutnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menepuk bahu March untuk menenangkannya. March terengah-engah sambil memandangi Stelle dengan keheranan karena sahabatnya itu… terlihat seperti menahan tawa?

“Aku… tahu kok, Dan Heng suka sama aku. Benar aku juga suka sama dia dan mungkin dianya yang nggak tahu. Si Phainon ini masalah rumit, March. Dia tuh, tadi pagi kayak anak anjing yang minta diadopsi, sementara aku lagi nyoba narik kucing hitam yang diam-diam gitu sebenarnya cemburuan. Mungkin kabur adalah pilihan yang akan dipilih pecundang, tapi aku harus pikir betul-betul situasi ini, March. Aku dua pilihan, tapi bukan antara Phainon atau Dan Heng… Pertama, mumpung aku punya dua tangan, apa aku terima dua-duanya sekaligus, atau kedua, mereka aja yang pacaran berdua?”

Helm di tangan March ikut tercengang sampai memilih untuk jatuh secara mandiri. Ada keheningan yang canggung di antara mereka berdua sampai Stelle memilih untuk bicara lagi, “Aku pikir opsi kedua itu yang terbaik habis nggak sengaja ketemu cerita BL—"

March tiba-tiba menarik lengan Stelle. “Kita ke rumah Dan Heng sekarang!”

“Eh, eh! Sebentar, March! Aku pake jaket dulu!!”

Sebelum genap 2 menit, Stelle sudah kembali dengan mengenakan jaket, lalu membiarkan dirinya ditarik oleh March ke rumah Dan Heng. Mereka cukup terkejut melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah tersebut dan berharap Dan Heng tidak berhadapan dengan orang aneh-aneh. Tapi Stelle ingat dia pernah melihat mobil itu, jadi dia mempercepat langkah dan menjadi yang menarik March. Pintu depan rumah Dan Heng sedikit terbuka, membuat mereka dapat mendengar sebuah percakapan di baliknya.

“Mau sampai kapan kamu bersikap dingin begini?”

“Sampai pertunangan kalian dibatalkan, mungkin. Tapi aku nggak bakal ngelakuin apa-apa untuk saat ini.”

“Hm? Apakah itu caramu berterima kasih atas buku-buku berkualitas yang sudah kubawakan dari luar negeri?”

Ada suara decakan pelan yang pasti dari Dan Heng. Stelle membayangkan seekor kucing hitam yang sedang mendesis marah kepada seekor anjing sombong berukuran dua kali lipat lebih besar darinya. Kedua gadis itu saling pandang, lalu mengangguk. Pintu depan itu pun dibuka lebar-lebar.

“Dan Heng!!” March berseru agak panik seolah si anjing sombong hendak menerkam sahabat mereka.

Untungnya, tidak ada anjing sungguhan di ruang tamu itu. Ia hanya perumpamaan untuk seorang pria tinggi besar yang sedang berbicara dengan Dan Heng. Dan Heng sendiri terkejut melihat dua gadis itu “mendobrak” masuk dan Stelle seperti pasang badan di depannya.

Pria tinggi itu mendenguskan tawa heran. “Déjà vu, ya? Cuman sekarang ada yang baru.” Dia mengisyaratkan March.

“Habis Kak Ren dari dulu mukanya kayak ngajak gelut,” sahut Stelle sambil tersenyum miring. “Siwol kangen lho, kak. Dia bilang dia bete banget nge-game sendirian di rumah.”

“Siapa…?” Bisik March kepada Dan Heng.

“…Kakaknya Silver Wolf yang kebetulan tunangan kakakku,” jawab Dan Heng dengan setengah hati.

March mengerjab. “Kakakmu kan, cowok?”

Belum sempat Dan Heng membalas, seseorang muncul dari arah tangga. “Tiba-tiba ramai banget rumah ini, ternyata ada Stelle.”

“Kak Feng!” Sahut Stelle.

Ini bukan pertama kalinya March melihat kakaknya Dan Heng, tapi kali ini dia lupa cara menutup mulut karena pria itu sudah berdandan sedemikian menawannya, hampir seperti model yang mau jalan di catwalk, padahal Dan Feng adalah seorang dokter. Dan Feng sebenarnya sedikit heran kenapa hanya Stelle yang tidak mengenakan seragam atau menyandang tas sekolah, tapi ada hal lain yang lebih baik dipikirkan, yaitu agendanya malam ini. Jadi, dia mengapit lengan Ren dan berpamitan kepada trio sahabat itu.

“Nginap aja, ya! Temenin A-Heng!” Ujarnya sebelum masuk mobil.

“Iya, kak! Selamat bersenang-senang!” Balas Stelle sambil melambaikan tangan ke arah mobil yang mulai melaju.

Dan Heng masih berdiri diam di ruang tamu. Saat Stelle menutup pintu, dia tiba-tiba menghempaskan diri ke atas sofa, membuat March segera ingat untuk menutup mulutnya.

“Dan Heng! Eh, ehm… mulai dari mana nih, jelasinnya?” Gadis berambut pink itu menatap sahabat mereka yang satu lagi, tapi yang dimaksud terlihat melangkah dengan santai ke sisi sofa dekat kepala Dan Heng, dengan tangan di dalam kantong jaketnya.

“Eh, Heng, gimana pendapatmu soal Phainon-“

“Jangan—” Dan Heng bangkit duduk, lalu terkejut sendiri atas seruannya. Dia langsung mengalihkan pandangannya dari Stelle yang nyengir lebar. March mengepalkan tangannya dan menggeretakkan gigi gemas, berharap Dan Heng akhirnya akan mengungkapkan perasaannya dengan jujur.

Dan Heng diam sejenak, menangkap sinyal semangat dari ekspresi wajah March, lalu mengerang sambil mengacak-acak rambutnya. “Jangan diterima,” lanjutnya pelan.

Stelle tertawa. “Bentar, belum ke situ. Aku mau nanya, gimana pendapatmu soal Phainon yang pakai choker?”

Dan Heng mengerjab dan menatap gadis itu dengan tidak percaya, lalu menghela napas. “Bilang aja apa rencanamu kali ini, El.”

“Ah, kamu ini,” Stelle terlihat berpikir sejenak. “Kamu tahu kan, aku suka kamu? Aku soalnya tahu kamu juga suka aku.”

Dan Heng mengalihkan pandangan lagi dengan wajah memerah, sementara March melongo lagi atas keterusterangan yang tiba-tiba itu.

“Phainon tuh kan, anaknya lumayan kompetitif, nah gimana kalo aku kasih tantangan buat kalian?”

***

“Bikin aku terkesan—dalam artian apapun!”

Dia mengumumkan di depan sekolah, hampir persis seperti yang dilakukan Phainon kemarin. Teman-teman mereka saling pandang, sementara penonton yang tertarik mulai menebak-nebak hasil tantangan ini.

“Marchie, Dannie sama Elle kan, udah tahu kalo mereka saling suka, tapi kenapa Elle kayak mau nerima Phai juga?” Tanya Hyacine.

“Sebenarnya, dia ngide mau jodohin mereka,” jawab March.

Castorice tersedak, Mydei menghela napas, Hyacine melongo, dan Cipher yang sengaja menguping langsung tertawa ngakak.

***

Chapter 5: Si Peri Kecil dengan Sihir "Pink"-nya

Chapter Text

Dengan cepat, terciptalah dua kubu di sekolah ini: kubu pendukung Dan Heng dan kubu pendukung Phainon. Beberapa orang bahkan mengadakan taruhan.

“Ven, kamu ikut taruhan siapa yang menang, tidak?” Topaz bertanya kepada kawan baiknya yang terkenal tidak pernah kalah taruhan.

Aventurine tertawa kecil. “Mengingat Stelle orangnya sulit ditebak, aku taruhan kalo dia sendiri yang bakal menang.”

“Maksudnya?”

“Yah, mungkin tantangan ini cuman buat senang-senangnya dia? Atau dia punya tujuan tertentu selain ‘milih cowok buat dijadikan pacar’.”

“Aku sempat dengar dari kakak kelas kalo niat aslinya Stelle pengen agar mereka akrab, sih,” teman mereka yang lain nimbrung. “Jangan-jangan dia pengen pacarin dua-duanya?”

“Bisa jadi!”

Sementara itu, di sisi para kompetitor…

“Dan Heng, ayo kita tukaran murid buat diajarin Matematika!”

Serangan langsung!!

“Dua-duanya atau yang paling bodoh?”

Serangan balasan yang juga nusuk kawan!! March sampai melemparinya dengan penghapus, sementara Stelle tertawa di belakang kelas sambil main game dengan Silver Wolf.

Phainon bingung mau menjawab seperti apa. Haruskah dia bilang dia cuman mau menukar Castorice dengan Stelle? Tapi kenapa kesannya kasar begitu, ya? Dia diam-diam melirik ke arah Castorice yang menunggu di depan pintu kelas, yang tiba-tiba terlihat seperti anak kucing kebasahan sedang menatapnya dengan mata besar penuh harap. Jadi, dengan sedikit berat hati, Phainon berkata, “Dua-duanya.”

“Kok, aku merasa kita kayak dijual, ya?” Gumaman March teredam oleh seruan Silver Wolf dan Stelle yang lebih mementingkan game mereka.

“El! Dikit lagi itu!!”

“Aku sekarat, Wol! Kamu yang maju, cepat!!”

***

Beberapa waktu yang lalu di semester genap, Klub Pemburu Hantu sempat menyelidiki tentang kematian misterius seorang murid teladan di sekolah ini. Kebetulan murid itu satu angkatan di atas Hanya dan pernah bergabung dengan klub ini, tapi kemudian keluar beberapa minggu sebelum insiden Mr. Tail merasuki boneka maskot mereka. Jadi, Huohuo sempat mengenalnya.

“Namanya… Kak Cyrene,” gadis mungil itu mengambil arsip mantan anggota klub, lalu mengeluarkan salah satu kertas berisi gambar karikatur wajah murid tersebut. “Di, dia tiba-tiba meninggal tepat di hari wisudanya. Awalnya diduga karena sebuah penyakit yang memang dideritanya, tapi ada juga yang bilang karena kecelakaan… Pokoknya, beritanya simpang-siur, bahkan orang tuanya juga terlihat tidak yakin, tapi… tapi katanya, roh Kak Cyrene gentayangan di sekolah ini…!”

“Jadi, kasus ini masih baru, ya?” Guinaifen berlagak bak detektif. “Kalau ada rumor, berarti ada yang pernah lihat. Mumpung kakak-kakak kelas 3 belum sibuk banget, ayo kita tanyakan ke mereka!”

“Gui semangat banget…” gumam Sushang.

Mereka pun menghabiskan satu minggu mewawancarai orang-orang di seluruh penjuru sekolah. Beberapa petunjuk yang mereka temukan saling bertentangan, ada juga yang saling berkaitan, tapi belum cukup untuk menyusun gambar besarnya. Akhirnya, mereka mencoba mengunjungi rumah murid itu, tapi ternyata sudah dijual karena penghuni lamanya pindah. Mereka terkejut begitu menyadari bahwa rumah ini sangat dekat dengan rumah Bu Aglaea dan Phainon, jadi mereka menduga bahwa dua orang ini memegang petunjuk paling krusial. Terlebih karena Bu Aglaea adalah guru BK, beliau pasti mengenal Cyrene dengan baik.

Benar saja, Cyrene punya satu buku khusus berisi catatan baiknya selama sekolah sehingga pantas dinobatkan sebagai murid teladan. Namun, mereka sama sekali tidak mendapat sesuatu yang mengacu pada petunjuk akan kematiannya yang tiba-tiba, apalagi rumor tentang rohnya yang gentayangan.

“Kalau saya boleh menyarankan, mungkin kalian harus periksa tempat favoritnya di sekolah, yaitu kebun bunga yang baru-baru ini diurus kembali oleh seorang alumni. Ah, alumni ini juga sempat dekat dengan Cyrene.” Ujar Bu Aglaea.

Alumni yang dimaksud bernama Tribios. Klub Pemburu Hantu menemuinya di kebun bunga sekolah suatu sore ketika dia sedang bersama tiga anak kembar.

“Maaf, permisi… apakah Anda adalah Nona Tribios?” Huohuo menyapa.

Perempuan berambut merah itu menoleh dan tersenyum ramah. “Iya, benar, saya Tribios. Apa ada yang bisa dibantu?”

“Ehm… kami dari Klub Pemburu Hantu…”

“Mau tanya-tanya sedikit…”

“Tentang murid yang bernama Cyrene!”

Stelle memandang tiga anggota klub-nya itu yang saling menyambung kalimat. “Kalian koordinasi bilang gitu tanpa aku?”

“Eh? Enggak, tadi spontan aja karena aku hampir lupa nama anaknya,” sahut Sushang.

“Ng, kami dengar dari Bu Algaea kalo Nona Tribios cukup dekat dengan Kak Cyrene karena sering bertemu di kebun ini. Apakah benar?” Huohuo mengembalikkan topik utama.

Tribios menatap mereka berempat satu per satu. “Ah, kalian Klub Pemburu Hantu sedang menyelidiki rumor itu, ya? Aku baru-baru ini lulus kuliah, jadi punya waktu untuk kembali mengurus kebun ini. Kebetulan aku dua angkatan di atas Rene dan kami cukup dekat karena berada di Klub Berkebun bersama. Bahkan setelah aku lulus dan klub dibubarkan, Rene kerap mengirimkanku perkembangan dari kebun ini yang masih dia urus. Lalu, tiba-tiba dia meninggal…”

“Apa dia pernah cerita soal penyakitnya?” Tanya Stelle.

Saat itu, Tribios lengah dan tidak menyadari tiga anak kembar yang diurusnya diam-diam keluar lewat pagar belakang. Mereka mengejar sebuah kerlap-kerlip menarik yang meninggalkan jejak menuju sebuah pohon

“Ada sesuatu di balik pohon itu,” bisik salah satu dari mereka.

“Ayo kita dekati pelan-pelan,” kata salah satu yang terlihat paling tua.

Mereka pun mengendap-endap mendekati pohon itu. Terdengar seperti ada orang yang sedang bersenandung. Mereka mengintip, lalu dibuat terkesiap kagum.

“Tribbie! Trianne! Trinnon!” Tribios berseru panik dari arah pintu pagar. Tiga anak kembar itu segera balik kanan dan berlari ke arahnya.

Ane! Ane! Ane! Lihat apa yang kami temukan!” Ketiganya berebut meraih tangan Tribios dan menariknya ke pohon tadi. Klub Pemburu Hantu menyusul dekat di belakang.

Di dekat pohon yang tadi, mereka semua dapat mendengar seseorang bernyanyi dengan gemerincing lonceng sebagai musik pengiringnya. Tribios terkejut, Sushang sibuk mencatat, sementara Guinaifen merekam dengan penuh semangat. Mereka semua melihat ke balik pohon dan menyaksikan pemandangan yang spektakuler. Ada tujuh lonceng melayang-layang mengelilingi seorang gadis, sudah seperti di cerita-cerita dongeng saja. Tapi jelas ada yang aneh dengan gadis itu, yang menyadari kehadiran mereka dan kemudian menunduk, musik memasuki bagian outro, lalu dia menghilang bersamaan dengan lonceng-lonceng itu.

Huohuo memegangi tangan Stelle erat-erat. “I, itu…!”

“…Rene.” Tribios menghela napas.

“Ah, kenapa dia sudah menghilang? Kan, kita mau tanya-tanya!” Ujar Guinaifen sedikit kecewa.

“Jangan kecewa gitu, mem!” Tiba-tiba terdengar suara yang justru membuat Huohuo berteriak, lalu makhluk aneh berwarna pink terbang ke depan mereka dari puncak pohon. “Hehe, halo, Kak Tribios, Huo-mem!”

“Rene?! Bentar, suaranya memang mirip kayak Rene, tapi… bentuknya kok, kayak… tupai? Eh, atau apa?” Tribios keheranan.

“Mem, sekarang aku adalah Mem, seekor peri ajaib penunggu sekolah! Soalnya, kalo tetap berwujud manusia, aku bakal disebut roh gentayangan dan ditakuti, mem, jadi aku ambil wujud ini biar disebut ‘Peri Penjaga Taman Bunga’ aja yang bisa bikin keajaiban! Tadi salah satunya yang sudah kalian lihat, mem!”

Guinaifen menyorot makhluk itu lurus-lurus. “Kak Cyrene! Eh, Mem! Tolong ceritakan bagaimana kamu meninggal, karena beritanya simpang-siur tanpa kejelasan sama sekali. Kami sudah berusaha bertanya sama orang-orang terdekatmu, tapi nggak ada yang dirasa meyakinkan!”

Mem diam sebentar. “Mengesampingkan orang tuaku, kalian yakin sudah bertanya dengan semua orang, mem? Karena, kurasa ada seseorang yang harusnya paling tahu kejadian itu, mem…”

Stelle menepuk jidatnya. “Si Phaio’on belum kita tanyain!”

“Oh iya?” Huohuo dan Sushang juga baru teringat.

Mem terbahak mendengar panggilan itu. Stelle cepat-cepat mengeluarkan ponselnya, lalu Guinaifen bertanya lagi dengan penasaran, “Apa hubunganmu dengan si Phaio- eh, Phainon?”

“Kami tetangga, mem! Sering main bareng sejak dia sekecil anak-anak ini. Eh iya, aku sampai lupa nanya, mereka anak-anak Kak Tribios, kah? Mirip banget soalnya, mem!”

Tribios menggeleng. “Aku belum nikah, Rene, mereka adik-adikku.”

“Maksudku, apakah kalian punya hubungan yang lebih spesial?” Guinaifen meralat pertanyaannya.

Mem tersenyum. “Bisa dibilang dia hampir kayak adikku sendiri, mem, hehe~”

Tak lama kemudian, mereka kembali ke kebun bunga karena Stelle menyuruh Phainon untuk ketemuan di sana. Anak laki-laki itu tiba lebih cepat dari dugaan, masih mengenakan seragam dan menyandang tas dan nampaknya telah berlari dari tempat yang jauh. Tanpa basa-basi, Stelle langsung menanyainya.

“Kamu kenal kakak kelas yang namanya Cyrene, kan? Yang katanya meninggal secara misterius terus jadi hantu gentayangan di sekolah ini? Kamu tahu sesuatu mengenai hal itu?”

Phainon tersentak. Dia masih menebak-nebak siapa orang-orang yang bersama Stelle kali ini dan tiba-tiba mereka harus membahas soal Cyrene? Dia menghela napas.

“Ah, Kak Cyrene…” dia menggaruk kepalanya. “Ceritanya tidak rumit, intinya cuman dia jatuh dari pohon karena dikagetin sama tupai yang tiba-tiba niup terompet. Kepalanya terantuk batu, pendarahan parah, dan… yah, meninggal.”

Semua orang terbengong-bengong. “Tupai yang… apa? Niup terompet?”

“Jadi, di setiap pagi di taman kompleks kami ada anak kecil yang suka main terompet, tapi bukan yang asal-asalan—dia beneran lagi latihan. Di hari wisudanya, aku kebetulan anterin dia dan kami lewat taman itu, terus tiba-tiba ada tupai yang nyuri terompetnya anak itu pas nggak ada yang lihat selain kami berdua. Kak Cyrene langsung minta turun dan ngejar tupai itu sampai naik pohon, tiba-tiba tupai itu niup terompetnya dan akhirnya… begitu.” Jelas Phainon, ringkas dan lengkap.

Ane, apa itu sebabnya peri tadi bentuknya kayak tupai?” Satu dari si kembar tiga bertanya kepada Tribios.

Phainon yang baru saja hendak mengeluarkan botol minum jadi terdiam sejenak. “Hah? Peri?”

Stelle otomatis mencari keberadaan Mem, yang sedang bersembunyi di balik semak-semak berbunga, cekikikan melihat semua orang kebingungan. Nantinya ia menjadi dekat dengan Stelle dan mengungkapkan bahwa ia tidak ingin Phainon mengetahui keberadaannya dan cepat atau lambat akan menyebar ke orang-orang lain, jadi Klub Pemburu Hantu memutuskan bahwa kebenaran ini hanya akan diketahui oleh mereka-mereka saja. Setelah bekerja keras, mereka pun berhasil mengubah rumor hantu Cyrene yang gentayangan menjadi cerita tentang “Peri Penjaga Taman Bunga”, bahwa di waktu spesifik di taman bunga sekolah, akan ada keajaiban yang dibuat oleh seekor peri berwarna pink yang bisa menjelma menjadi gadis cantik.

***

Kembali ke waktu sekarang, di hari Minggu, Stelle melompati pagar belakang sekolah dan menyusup masuk ke taman bunga di mana Mem sedang membuat rangkaian bunga. Stelle mengendap-endap ke belakangnya.

“Mem,” sapanya pelan. Namun, Mem yang sedang fokus sambil asyik bersenandung tentu jadi terperanjat.

“Memi-mem! Siapa di-?! Oh, Elle ternyata…” Mem menghela napas, lalu mengomel, “Jangan kagetin aku gitu terus dong, mem!”

Stelle tertawa kecil. “Maaf~ eh, aku lagi butuh saran, nih.”

“Langsung to the point seperti biasanya… Saran apa, mem?”

“Kamu harusnya tahu dong, ada yang lagi panas-panasnya di sekolah ini, yaitu tentang Dan Heng sama Phainon. Mereka mulai all out mainnya dan aku sebenarnya agak pusing pas nentuin ‘pilihan ketiga’ untuk nilai mereka.” Stelle duduk selonjoran. “Maksud ‘pilihan ketiga’ tuh kayak kemarin Jum’at, pas pulang kan, hujan dan aku sudah tahu mereka bakal berlomba-lomba buat nawarin jas hujan atau boncengan ke aku. Aku naik motor sendiri, Mem, jadi nggak perlu boncengan, sementara untuk jas hujan… Dan Heng selalu bawa dua dan kebanyakan orang bakal berpikir, ‘jadi Dan Heng menang hari ini?’. Tidak, ‘pilihan ketiga’ yang kuambil adalah aku diam-diam ambil dua jas hujannya Dan Heng itu dan pulang sendiri agar Phainon nggak punya pilihan lain selain menggunakan otaknya yang inovatif buat bantuin!”

Mem melongo, lalu menggeleng pasrah. “Kutebak salah satu di antara mereka sakit, mem.”

“Yah… Phainon katanya pilek dikit, sih… tapi, kamu bisa tebak apa yang mau kukatakan, kan?”

“Kamu butuh saran agar alih-alih mereka lanjut bersaing, mereka jadi akrab?”

Lebih dari akrab, Mem,” Stelle nyengir iseng. “Aku rencananya pengen bikin sesuatu besok, kayak kompetisi resmi, tapi cuman buat mereka berdua dan tentu saja dengan budget seminimal mungkin. Ada saran?”

“Phainon itu lumayan pintar masak, mem, coba pinjam dapur kantin terus suruh mereka bikin kamu ‘terkesan’ sama masakan mereka.” Jawab Mem. “Untuk ‘pilihan ketiga’ yang bikin mereka ‘akrab’… itu benar-benar terserah ke kamu, mem, aku nggak bisa baca masa depan, apalagi pikiranmu. Suruh mereka saling cicip atau apa mungkin?”

Stelle tiba-tiba terpikir sesuatu. “Mem, kamu bisa bikin sedikit ‘keajaiban’, tidak?”

Jangan berharap ada ruang untuk kata “normal” kalau Stelle sudah mengatakan sesuatu untuk kompetisi antara Dan Heng dan Phainon ini. Mereka memilih waktu pulang sekolah karena waktu istirahat makan siang terlalu sebentar. Ibu Kantin dengan senang hati memperbolehkan mereka menggunakan semua isi dapur, mulai dari peralatan sampai bahan-bahan yang tersisa, yang tentunya tidak terlalu banyak sore itu. Stelle duduk manis di bangku paling depan sambil main game santai, padahal sahabatnya, March, terlihat tidak santai. Castorice duduk tak jauh darinya, memelototi sebuah novel seperti novel itu baru saja mengkhianatinya, sementara Mydei menguap lebar.

“Tidak ada batas waktu, yang paling cepat, yang paling enak, atau paling bagus penyajiannya belum tentu yang paling membuat ‘terkesan’. Memperhatikan selera juri—alias Stelle—mungkin mendapat pertimbangan.” March membacakan pesan Stelle semalam, yaitu peraturan untuk kompetisi ini. “Oke, kedua peserta siap? Kita bisa mulai dalam tiga, dua, satu!”

Langsung saja kedua anak laki-laki itu bekerja. Para penonton menyemangati. Ibu Kantin berdoa semoga dapurnya tidak tambah berantakan. Stelle masih asyik bermain game memancing, sesekali menunjukkan kepada Castorice dan March hasil tangkapan ikan langkanya.

Beberapa menit kemudian, Phainon yang duluan berseru sambil keluar dari dapur. “Sudah!” Dia meletakkan piringnya di depan Stelle, yang kemudian meletakkan ponselnya dan bersikap seperti penilai makanan profesional. Namun, kalau boleh jujur, dia sedikit kecewa melihat isi piring tersebut adalah… salad. Potongan tomat dan timun tertata rapi di atas selada, lalu dihias dengan mayones yang membentuk hati dan biji wijen. Sederhana, tapi ada perasaan yang sangat kentara di sana.

Saat Stelle masih memperhatikan penampilan salad itu, satu piring lagi diletakkan di atas meja. Semua orang terkejut melihat Dan Heng ternyata membuatkan mi goreng dengan telur omelet dan sayur-mayur yang tatanannya terlihat lebih menarik ketimbang salad-nya Phainon. Ketika menyadari bahwa Dan Heng memberikan tambahan cabai persis selera Stelle, gadis berambut abu-abu itu tidak bisa menahan air liurnya, tapi dia harus menghargai usaha Phainon juga! Jadi, dia mengambil garpu dan mencicipi salad tersebut.

“Nggak pakai kentang?” Celetuk Mydei.

“Rebus kentang lama, Dei,” sahut Phainon sambil tersenyum miring.

Tiba-tiba, sebuah panci meluncur keluar dari dapur dan isinya adalah kentang yang baru saja direbus. Stelle langsung tahu itu kerjaan Mem dari jejak pink gemerlapan di belakang panci tersebut. Panci tersebut berputar seperti gasing di atas mereka. Guinaifen tidak melewatkan momen itu untuk live streaming, sementara Huohuo sudah membaca berbagai macam doa tolak bala. Sebuah sendok pun terbang untuk mengambil “kentang tumbuk” yang tidak ditumbuk di dalam panci itu, meletakkannya di atas salad Phainon, dan menyendok bagian itu secara kurang elegan. Di saat yang bersamaan, garpu di tangan Stelle terbang ke mi gorengnya Dan Heng dan menggulung sesuap mi termasuk telur dan sayurnya. Sesaat kemudian, sendok dan garpu itu bertukar posisi dan memasukkan makanan masing-masing ke mulut kedua anak laki-laki itu, yang masih terkejut.

Dan Heng refleks menelan suapan itu dan tersedak, membuat March panik. Phainon sempat mengunyah, tapi itu berarti lidahnya harus merasakan topping mematikan bernama cabai, membuat wajahnya merah dan matanya berair dan Castorice panik. Mydei baru saja membuka lemari pendingin untuk mengambilkan minuman, tapi minuman yang dimaksud langsung terbang keluar ke depan wajah Phainon. Phainon segera meraihnya, tapi minuman itu gesit menghindar dan malah terbang ke arah Dan Heng.

Stelle melihat sosok peri pink itu mengintip dari pintu dapur, memberinya sebuah kode, tapi dia tidak terlalu paham dan memutuskan untuk menghampirinya. Botol minuman itu sudah berada di depan Dan Heng dan dia tentu juga hendak meraihnya, tapi tiba-tiba botol itu melemparkan diri ke seberang meja, tempat Stelle sebelumnya berada. Tanpa menghitung jarak-kecepatan-waktu, otomatis kedua anak laki-laki itu mengejar botol tersebut dan…

Gubrakk!!

Satu meja kantin pun rusak.

“Apakah ini sesuai dengan bayanganmu, mem?” Mem berbisik.

Stelle mengaga, tapi mengacungkan jempol. Mem tertawa kecil. “Hehe~ ngisengin Phainon masih sama serunya kayak dulu, mem~”

Sementara itu, botol minuman yang tadi berdiri bak seorang pemenang sejati di hadapan dua anak laki-laki. Phainon yang lebih dulu sadar bahwa posisi mereka rasanya agak aneh jika hanya kebetulan. Mereka berdua tersungkur, tapi rupanya Phainon yang menabrak Dan Heng dan membuat meja ini ambruk, sehingga Phainon kini sedikit tertungging di atas Dan Heng.

Terdengar March berseru-seru panik. “Dan Heng!! Kamu nggak mati, kan?! Jangan mati dulu, please! Kita belum sempat ke Clock Studio Theme Park!” Disusul dengan Castorice yang sama paniknya, “Phai!! Bisa bangun?! Oh-“

Entah kenapa ada “oh” yang seperti seruan tertahan di akhir kalimat itu.

Phainon cepat-cepat menyingkir dari atas punggung Dan Heng, lalu membantunya untuk duduk. Dia menyambar botol minum itu dan menyuruh Dan Heng untuk minum, karena Dan Heng nampak setengah pingsan. Stelle berniat memastikan keadaan mereka, tapi kemudian dia melihat Castorice memelototi novelnya lagi dan tiba-tiba saja memiliki firasat bahwa mereka mungkin menumpangi kapal yang sama.

***

Chapter 6: Tragedi Yunani

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Stelle memutuskan untuk mengkambinghitamkan “hantu” lain untuk insiden di kantin itu. Dia membuat-buat cerita tentang hantu anak kecil yang mati tersedak makanan dan akan mengisengi orang yang sedang makan kalau lagi mood. Lalu, Klub Pemburu Hantu diminta untuk “me-ruqyah” kantin agar insiden yang sama tidak terjadi lagi. Mr. Tail menjadi satu-satunya yang sadar akan perbuatan Stelle dan memilih untuk melindunginya, jadi ia mengarahkan Huohuo untuk melaksanakan ritual “Penangkapan Heliobus”. Namun, wadah yang biasa digunakan untuk menampung Heliobus diganti dengan lentera berbentuk mirip yang diatur agar menyala setelah Huohuo merapalkan doa, sehingga terlihat seperti Heliobus—yang dalam hal ini adalah “hantu anak kecil” karangan Stelle—telah tertangkap.

Satu bulan kemudian, guru olahraga mereka akhirnya pensiun dan digantikan oleh seorang pria awal 30-an yang cukup menarik perhatian. Gallagher namanya. Cukup banyak siswi yang diam-diam menjadi pengagumnya dan paling tidak dua kali seminggu dia akan dibicarakan oleh trio kesayangan kita. Dengan kehebatannya, March menemukann akun media sosial pria itu.

“Dia belum menikah,” ujarnya. “Tapi punya anak asuh!”

March menunjukkan satu foto Pak Gallagher dengan seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam SMP. Di caption-nya, tertulis bahwa hari saat foto itu diposting adalah hari pertama anak laki-laki bernama Misha itu masuk SMP.

Sewaktu-waktu setelah ujian tengah semester, ada rumor tentang pintu menuju atap yang biasanya terkunci tiba-tiba terbuka sendiri di waktu-waktu tertentu. Mungkinkah ada “Hantu Atap Sekolah”? Klub Pemburu Hantu berniat untuk menyelidikinya, tapi agak banyak hal yang kurang mereka pertimbangkan (lagi). Hingga suatu hari Stelle ada jam kosong setelah istirahat makan siang dan dia tidak sengaja melihat seorang kakak kelas yang digadang-gadang menjadi murid teladan tahun ini, Sunday, naik ke atap alih-alih ke kelasnya. Stelle pun diam-diam membuntutinya, melihat bagaimana pintu menuju atap dibuka dengan mudah, dan kemudian disuguhkan dengan sebuah fakta yang cukup mencengangkan. Sang sekretaris OSIS dan guru olahraga yang kebetulan masih muda bertemu di atap sekolah berdua saja, seperti memang janjian?!!

Stelle menuruni tangga tanpa suara sambil memastikan bahwa hanya dirinya yang melihat. Dia berpikir, bagaimana kalau dia karang lagi cerita untuk “Hantu Atap Sekolah” ini demi kakak seorang teman baiknya, Robin? Apa Mr. Tail mau berkoorperasi lagi? Ah, sebentar, membicarakan soal Robin…

“Stelle! Dan Heng dan Phainon masih berkompetisi untuk membuatmu ‘terkesan’, kan?” Gadis tersebut mendatanginya esok hari. “Suruh mereka ikut lomba nyanyi saja, gimana? Kamu kan, juga suka musik.”

“Aku suka musik karena game rhythm, sih,” Stelle mengakui, lalu berpikir sejenak. “Emang ada lomba nyanyi dekat-dekat ini?”

Robin pun menunjukkan sebuah poster. “Nih! Terbuka untuk umum. Kebetulan aku diundang buat nampil!”

Stelle refleks terbatuk kecil, tapi segera menguasai diri lagi. “Oke… tapi gini, Bin, aku nggak mau ada satupun dari mereka yang menang.”

Robin kebingungan, jadi engan singkat dan cepat, Stelle menceritakan niat aslinya saat membuat Dan Heng dan Phainon saling berkompetisi. Robin terdiam, masih sedikit, tapi akhirnya setuju untuk memberikan “pilihan ketiga”.

***

Hari H lomba, March datang pagi-pagi dan menghambur lemari pakaian Dan Heng demi mencari kombinasi yang bagus, tapi dia kesulitan mencari warna selain hitam dan putih yang mendominasi isi lemari tersebut.

“Kamu sudah tahu mau nyanyi lagu apa?”

“Aku sudah mencari dan mendengarkan semua lagu yang ada di game rhythm kesukaannya Stelle, terus membuat beberapa pilihan,” Dan Heng menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan sebuah playlist dari beberapa lagu tersebut.

March melihat lagu-lagu tersebut, kemudian memandang Dan Heng dengan sedikit ragu. “Ini semua dalam bahasa Jepang?”

“Aku bisa bahasa Jepang dan aku sudah memutuskan satu lagu yang rasanya oke. Bagaimana menurutmu?” Dan Heng memutar satu lagu, March mendengarkan.

“Saranku, bajumu harus cocok sama vibe lagunya!” Gadis berambut pink itu kembali mengaduk-aduk isi lemari Dan Heng dan menemukan sebuah jaket putih dengan pinggiran emas, motif sisik di bawahnya, serta sebuah penggalan syair. Dia pun tersenyum lebar seperti baru saja memenangkan jackpot.

Di tempat lain, Bu Aglaea juga pagi-pagi datang ke rumah Phainon untuk mendandaninya sebelum anak itu tampil dengan sesuatu yang mengkhianati semua desainer pakaian. Beliau membawakan sebuah scarf hitam dengan gambar matahari yang dijahit sendiri, kemudian menyisir rambut putih itu ke belakang sampai dapat dibuat kuncir kecil. Namun, Bu Aglaea masih merasa ada yang kurang meski Phainon sudah mengenakan setelan yang matching.

“Bu, aku hanya pergi ke lomba nyanyi,” ujar Phainon.

“Tapi bukan berarti kamu bisa pakai baju sembarangan kecuali kalau memang mau nyanyi dangdut. Kamu kan, mau bikin Stelle terkesan, bukan nyanyi dangdut,” Bu Aglaea menatapnya datar, kemudian melihat apa yang kurang. Beliau pun membuka dua kancing teratas kemeja Phainon dan tersenyum puas.

“Sip! Ah, terakhir,” beliau mengambil lip gloss dari tempat make-up dan mengoleskannya ke bibir Phainon. “Oke, kamu siap!”

Mydei yang datang menjemputnya dibuat terbengong-bengong. “Kamu mau debut jadi idol atau lomba nyanyi, dah?”

Phainon nyengir malu.

Mereka pun berangkat ke tempat lomba. Phainon baru saja turun dari motor ketika sebuah motor parkir tak jauh dari mereka. Pengemudi dan pemboncengnya terlihat familiar dan, memang, karena itu adalah Dan Heng dan March. Penampilan Dan Heng hampir berubah drastis. Poni depannya disisir ke belakang, eyeliner merah di bawah mata kirinya, dan anting emas berbentuk bunga teratai di sisi yang sama. Bajunya adalah turtle neck hitam yang agak ketat dilapisi jaket putih yang sengaja diturunkan di satu sisi, diteruskan dengan celana jeans abu-abu dan sepatu hitam. Batas ganteng dan cantik tidak pernah setipis ini.

“Eh, kebetulan banget kita datang barengan!” Sapa March riang. “Si Stelle nggak ada kabar, nih. Castorice gimana?”

“Cas nyusul agak siangan.” Mydei yang menjawab.

Tak lama, Robin pun muncul bersama seorang panitia. Penampilannya hari ini juga sedikit berbeda. Rambutnya dikuncir kuda dan memakai bandan. Yang biasanya mengenakan dress kini mengenakan kaos lengan panjang off-shoulder diteruskan dengan rok kotak-kotak, lalu dilapisi dengan blazer tanpa lengan yang memiliki motif not-not musik.

“Halo! Kalian kelihatannya sudah siap banget, ya? Rundown acaranya udah tahu, kan?”

“Oh, halo, Robin. Iya, kita registrasi dulu terus briefing, tapi kita kayaknya datang kepagian…” jawab Dan Heng.

Panitia yang bersama Robin tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Peserta atas nama Dan Heng dan Phainon, ya? Mungkin bisa ikut saya buat registrasinya.”

“Baik.” Dan Heng mengangguk, lalu menoleh ke arah Phainon yang mematung di tempat sedari tadi. Mydei menyikutnya.

“Oi, Phai. Kamu kenapa? Demam panggung?”

Phainon tersadar dan cepat-cepat menggeleng. “Nggak! Eh, sori, maksudku-“

Dia melihat Dan Heng lagi, yang balas menatapnya dengan heran. Tidak ada tanda-tanda meremehkan apalagi mau mengejek. Tiba-tiba saja indera penciumannya menjadi lebih tajam ketika ada wangi bunga lotus yang malah membuatnya tegang—maksudku, gugup. Hm, aneh sekali, pikirnya.

“Phainon?” Dan Heng memanggil.

“Iya- Maaf, iya, hadir!” Kenapa dia terbata?!

Dua anak laki-laki itu pun pergi mengikuti si panitia, sementara Robin masih lanjut mengobrol dengan March dan Mydei yang bertugas menunggui dua kawan mereka lagi. Tiba-tiba…

“Dor!”

“KYAAAA!!” March melompat ke arah Mydei persis seperti seekor kelinci. “Stelle! Jangan gitu, ah!!”

Stelle tertawa, kemudian segera melemparkan beberapa komentar. “Eh, itu Dan Heng kamu yang dandanin, March? Mirip sama Kak Feng loh, kaget aku. Sama Phainon lebih cakep dari biasanya, asli. Besok mereka debut jadi idol aja lah!”

“Hmm… Stelle, apa rencanamu kali ini?” Mydei berhasil membaca pikirannya.

Gadis berambut abu-abu itu nyengir sambil bertukar pandang dengan Robin. “Nanti mereka bakal nyanyi bareng sama Robin, tapi diinformasikannya tiba-tiba alias nggak disebutkan di briefing.”

“Aku bakal ngarahin momennya agar mereka benar-benar nyanyi berdua aja, nggak ada aku atau kakakku.” Robin mengamini.

Mydei pun menggeleng-geleng, lalu tiba-tiba bergumam, “Ngomong-ngomong, ternyata punya Dan Heng lebih kecil…”

“Apanya?” March dan Stelle tertegun sejenak.

“Pinggang.”

“Oalah, genetik itu,” ujar Stelle. “Kamu bandingin sama punya Phainon, ya?”

Mydei mau menjawab ketika Castorice berlari kecil menghampiri mereka dengan membawa sebuah kantong kertas.

“Phai mana?” Tanyanya. “Aku bawain minuman penyegar tenggorokan buat dia, dan mungkin Dan Heng juga.”

“Lagi registrasi sama briefing peserta. Mau aku anterin?” Tawar Robin.

“Ah, boleh. Makasih, Robin!”

“Boleh ikut, nggak?”

Mereka pun mengikuti Robin ke belakang panggung. Castorice dan March yang memastikan satu-dua hal dengan “trainee” mereka masing-masing. Di depan panggung terdapat kios-kios kecil yang berjualan makanan ringan, minuman, hingga pameran seni kontemporer. Jadi, setelah itu, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sana sambil menunggu dimulainya acara.

“Jadi, ini diadakan sama kampus idamannya Robin?” Tanya Mydei.

“Iya, dia bahkan sudah mengamankan posisi, makanya diundang jadi penampil spesial nanti.” Jawab Stelle. Lalu, March menariknya ke sebuah kios es krim.

“Eh, jangan bilang-bilang Dan Heng lho, ya!” Pinta keduanya sebelum membeli.

Sesaat kemudian, intro dari sebuah lagu diputar dari arah panggung dan para penonton bersorak. Terlihat dua orang berdiri di atas panggung, yang satu adalah perempuan berambut pink dan mengenakan topi bertanduk sedangkan satunya adalah laki-laki berambut putih-hitam dan mengenakan topi koboi.

“Mau bikin SIM!?”

“BAYAR POLISI!!!”

1312.

Penampilan itu ternyata adalah pembukaan dari lomba menyanyi yang agaknya mirip seperti konser. Setelah berbasa-basi dengan para penonton dan membacakan teknis serta peraturan lomba, MC pun memanggil para peserta sesuai urutan yang sudah ditentukan. Dan Heng rupanya mendapat urutan awal-awal dan semua orang, termasuk Stelle, tidak menyangka bahwa anak laki-laki itu akan (dan bisa) nge-rap. March menyeka air mata terharu seolah dialah guru vokal Dan Heng selama ini.

(https://youtu.be/RMzZ-qcNhGk?si=QI5wOIBeLMm_N2Gt)

Selanjutnya adalah Phainon, dan nuansa musiknya langsung berubah 180 derajat. Lagi-lagi Stelle tidak menyangka bahwa anak laki-laki satu ini akan (dan bisa) bernyanyi seperti itu. Castorice, selaku yang menyarankan lagu itu, diam-diam menangis entah karena terharu juga atau teringat konteks asli di balik lagu itu.

(https://youtu.be/0CXBV2vX93M?si=vebjV_SJFtq1s7CM)

Pukul 12 siang, MC naik panggung untuk mengumumkan bahwa mereka akan istirahat dulu sebelum penampilan spesial dari Robin. Dan Heng hendak mencari teman-temannya yang lain ketika si perempuan bertopi tanduk berlari ke arahnya.

“Kamu! Yang nyanyi rap tadi! Keren banget, yo!! Dari kampus mana?” Perempuan itu mencecar dengan penuh semangat.

“…saya masih SMA,” jawab Dan Heng tenang.

“Hah?!”

“Ooh, berarti temannya Robin, ya?” Si laki-laki bertopi koboi datang menyusul. Dan Heng mengangguk.

“Kalau gitu, nanti masuk sini, ya! Gabung band aku!!” Si perempuan menunjuk dirinya sendiri dan laki-laki tersebut. “BTW, namaku Rappa! Ini-”

“Boothill, salken.”

Dan Heng menerima uluran tangannya, lalu mereka saling bertukar akun media sosial sampai seseorang menepuk pelan bahunya. Dan Heng sebenarnya sudah merasa ada yang berdiri di belakangnya dari tadi, jadi dia langsung menoleh. Ternyata Phainon, seperti dugaannya.

“Anu, kita ditungguin.” Anak laki-laki itu berkata agak terlalu cepat.

Dan Heng menahan tawa. Dia pun berpamitan kepada Rappa dan Boothill, lalu berjalan dengan Phainon ke tempat teman-teman mereka berada. Awalnya, mereka saling diam-diaman, memikirkan pikiran masing-masing. Dan Heng memeriksa beberapa pesan yang belum sempat dia baca, sementara Phainon merasa dia harus memulai obrolan supaya keheningan ini tidak menjadi canggung. Mungkin dia bisa mengomentari penampilan Dan Heng?

“March yang nata rambutmu?”

“Hm? Iya.”

“Bagus… besok-besok, mau tampil gitu ke sekolah?”

“Nggak,” Dan Heng menggeleng dan menyentuh rambutnya. “Aku ngerasa terbuka banget pas ada matahari atau lampu terang, kayak silaunya langsung kena ke mata.”

Mendengar itu, Phainon tanpa sadar mendekat ke salah satu sisi Dan Heng.

Akhirnya, tiba waktunya Robin naik panggung untuk penampilan spesialnya. Kalau mengikuti rencana Stelle, dia tidak akan bernyanyi lagu-lagu seperti “If I Could Stop A Heart From Breaking” atau “Hope Is A Thing With Feathers”. Sebelum mulai, dia mengakui bahwa dia ingin bernyanyi dengan dua orang dari kalangan penonton. Stelle sudah membawa teman-temannya ke barisan depan agar Robin mudah melihat mereka dan berpura-pura untuk “kebetulan” memilih dua anak laki-laki itu.

“Ayo, naik panggung lagi, Dan Heng, Phainon!”

Terdengar Rappa memulai sorakan dukungan sambil beberapa orang penonton tertawa kecil. Dengan sedikit bingung dan terpaksa, Dan Heng dan Phainon pun naik panggung lagi. Stelle mengacungkan jempol kepada Robin, March mengeluarkan kameranya, Castorice tidak kalah dengan ponselnya, sementara Mydei hanya menggeleng kecil.

Intro pun diputar. Robin melambaikan tangannya, menyuruh dua anak laki-laki itu lebih dekat ke tengah panggung.

(https://youtu.be/Wv_b1XKAvUk?si=IKnJyMzzKQcVhB7_)

Phainon tahu lagu ini, tapi tidak terlalu hafal liriknya. Dia menatap Dan Heng, yang terlihat tetap tenang meski menggenggam mic kuat-kuat. Robin yang sudah mulai menyanyi, melihat mereka dan memberikan isyarat untuk mengikutinya saja.

I love this feeling, but I hate this part,” Dan Heng memasukkan suaranya duluan, melangkah ke sisi kiri Robin sambil menurunkan sebagian poninya. “I wanted this to work so much, I drew up our plans on a chart.

Lirik bagian itu cocok dengan dirinya. Robin menyanyikan sendiri bait selanjutnya, lalu Phainon memutuskan untuk memasukkan suaranya juga di bagian reff pertama.

She hits like ecstasy… Comes up and bangs the sense out of me…

Stelle menginisiasi tepuk tangan penonton, sambil memberikan sebuah kode kepada Robin yang kemudian tertawa kecil tanpa suara. Gadis itu pun sedikit mendekat ke arah Dan Heng dan mengisyaratkan agar mereka nyanyi bareng di bait ini.

The tarot cards say it’s not so bad and the blades rotate, there’s just no landing pad. And better have said it, but darling, you’re the best.

I’m just tired of falling up the Penrose steps.” Dan Heng terkejut karena dia menyanyikan bait itu berdua saja dengan Phainon. Robin berpindah ke dekat si rambut putih.

I hate this feeling, but I love this part. She really wants to make it work and-

“-I clearly want to let it start.

Entah mengapa, Phainon melirik Dan Heng saat menyanyikan lirik itu. Sesuatu yang tentu disadari Robin dan tak luput dari kamera March maupun Castorice. Si gadis berambut pink menganga sedangkan yang satunya hampir menjerit tepat di samping telinga Mydei.

Oh, and she hits like ecstasy… Comes up and bangs the sense out of me,” tiga orang di atas panggung itu pun bernyanyi bersamaan. “It’s wrong, but surely worse to leave!

Robin tiba-tiba menarik Phainon dan mendorongnya ke arah Dan Heng. “She hits like ecstasy~ So free up the cheaper seats… Here comes a Greek tragedy!

Asap dan percikan keluar dari pinggiran panggung tepat saat Dan Heng menahan tubuh Phainon, meski hampir jatuh ke belakang. March berhasil menjepret momen tersebut. Mereka sangat dekat. Para penonton bersorak dan bertepuk tangan. Stelle tertawa puas. Castorice hampir pingsan.

***

Notes:

Halo, maaf nunggu lama :'D
Chapter ini sebenarnya udah mulai kutulis sekitar awal September, tapi ada banyak kegiatan dan tugas, jadi baru bisa kuselesaikan sekarang... Terima kasih kepada perilisan Dan Heng Permansor Terrae dan sedikit konten phaiheng di main story🤤❤️
Kalo sekiranya kalian ada saran ide/masukan buat chapter2 seterusnya, silakan bagikan, yaa!

Chapter 7: Perkembangan Berarti (Interlude)

Chapter Text

“A-Heng, kamu kemarin pakai sampo Kakak, ya?”

Dan Heng yang sedang mengenakan sepatu menoleh ke arah kakaknya. “Disuruh March.”

“Kakak nonton dari siaran live-nya, lho. Ternyata kamu bisa nyanyi kayak gitu,” Dan Feng tertawa kecil. “Sudah sarapan, kan?”

“Sudah. Berangkat duluan ya, Kak,” Dan Heng mengambil helm-nya dan memutar kunci motornya sekali.

Di sisi lain, Phainon bengong di parkiran motor sekolah. Lalu, suara klakson mengagetkannya. Ternyata dua sahabat terbaiknya sudah sampai.

“Kamu bengong terus deh, dari kemarin, Phai. Kenapa?” Castorice bertanya setelah turun dari motor Mydei.

Phainon menatap mereka. “Aku lagi bingung… Dan Heng ternyata sewangi itu.”

Dua orang itu membeku untuk sedetik dan tiba-tiba Castorice memekik tertahan, sedangkan Mydei menatapnya dari atas ke bawah. Kemudian, mereka saling bertukar pandang.

“Ini… bisa dibilang sukses, kah?” Bisik Mydei.

“Sulit dipercaya, tapi kayaknya jangan langsung kasih tahu Stelle, deh.” Jawab Castorice.

“Oi, kalian bisik-bisik apa? Kenapa aku denger nama Stelle?!” Seru Phainon agak kesal.

Mydei berdeham. “Kita ke kelas dulu, yuk.”

Di kelas, dia bertanya dengan lebih tenang. “Tadi kamu bilang kamu lagi bingungin apa? Tentang Dan Heng?”

Phainon menghela napas dan mengangguk kecil. Ada rona pink samar di pipinya. “Kalian ingat kan, kemarin Robin tiba-tiba dorong aku ke dia. Pas itu, wanginya langsung tercium dan, jujur, enak banget. Kayak bukan wangi parfum.”

“Oh, kamu nyium wangi… bukan jidat?” Gumaman Castorice agaknya terlalu kencang dan mengandung kekecewaan.

“Itu sih, kalo si Phai sengaja jatuh ke arah Dan Heng,” timpal Mydei.

“Heh? Kok, kalian kayak jodoh-jodohin aku ke dia?!”

Mydei menggeleng, lalu bertukar pandang lagi dengab Castorice. “Kayaknya, dari semua orang, cuman kamu yang nggak sadar sama tujuan asli dari ‘kompetisi’ kalian berdua yang sudah diakalin sama Stelle.”

“Tujuan asli?” Phainon kebingungan.

“Kalau dirata-ratakan, seberapa banyak kamu sudah interaksi sama Dan Heng per minggunya sejak ‘kompetisi’ kalian dimulai?” Castorice memberikan pertanyaan dalam bahasa Matematika.

Otak si rambut putih langsung berputar untuk menghitung. Mendadak dia merasa seperti sedang mengisi Sudoku. “…jauh lebih sering daripada pas kita masih temenan biasa.”

“Itulah tujuan aslinya. Agar kalian lebih dekat, makin dekat, terus kalau sudah ‘dekat’ banget, tinggal…” Castorice segera menahan diri, padahal gerangan tangannya sudah memberi petunjuk kata apa yang sedang ada di pikirannya.

Phainon terdiam. “Jadi, ‘kompetisi buat Stelle terkesan’ itu cuman kedoknya agar aku sama Dan Heng bisa ‘dekat’ dalam artian lain?”

Dia merenungi fakta tersebut selama beberapa menit. Castorice dan Mydei di depannya bertukar pandang lagi. Si gadis berambut ungu menurunkan tangannya pelan-pelan.

“Uhm… jadi, Phai, gimana kamu ngelihat Dan Heng sekarang?”

Phainon membuka mulutnya ketika seseorang mengetuk pintu kelas mereka yang terbuka. Jawaban yang hendak diucapkan Phainon berubah menjadi bunyi-bunyi vokal tertahan, seperti suku kata yang tak pernah sampai membuat satu kata utuh.

“Permisi, ada Phainon?”

Panjang umur!! Castorice dan Mydei membatin, cukup terkejut.

Yang dicari melambaikan tangannya dengan sedikit canggung. Anak laki-laki berambut hitam itu pun mendekati mejanya dan sepertinya mengatakan sesuatu, tapi wangi bunga teratai itu masih terngiang-ngiang di pikiran Phainon, membuatnya setengah tidak fokus saat Dan Heng mengulurkan sebuah kotak earphone.

“Punya kita ketukar, kayaknya.”

“Oh… o-oh, bentar!” Phainon buru-buru meraba kantong celananya, sebelum membuka tas dan menggeledah setiap kompartemen yang ada.

Hal itu membuat Dan Heng tidak sengaja melihat isi tasnya. Ada satu buku yang bukan merupakan buku pelajaran standar sekolah yang menarik perhatiannya—Kalkulus. Phainon bawa itu tiap hari? Gilirannya yang melamun sampai Phainon akhirnya menemukan kotak earphone yang dicari.

Meskipun sama-sama hitam, Phainon baru menyadari ada stiker konstelasi bintang berwarna emas di salah satu sisinya dan goresan tipis seperti cakar kucing, tanda bahwa yang ini adalah milik Dan Heng. Sedangkan tanda milik Phainon sendiri adalah tutup kotak yang tidak bisa rapat dan noda tinta putih di bagian bawah. Setelah kedua barang itu kembali ke pemilik masing-masing, Dan Heng langsung pamit kembali ke kelasnya karena jam masuk akan segera tiba.

“Aku kayaknya paham deh, Phai,” tiba-tiba Castorice berkata pelan. “Itu bukan wangi parfum, sabun, sampo, ataupun pewangi pakaian. Itu fero-”

Dia dibungkam Mydei.

***

Stelle mendapat informasi dari Castorice bahwa Phainon mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan, utamanya sejak mencium wangi Dan Heng. Gadis berambut abu-abu itu nyengir sepanjang pelajaran pertama sambil mencatat poin-poin penting dari materi. Sebagian waktu sampai istirahat makan siang, dia memikirkan rencana selanjutnya yang bertujuan membuat “rasa itu” lebih tumbuh lagi pada Phainon—dan semoga saja Dan Heng.

Saat sedang memilih-milih kue yang menjadi titipan jualan Bu Ruan Mei, dia melihat Sparkle membeli satu hanya untuk memakan buah ceri pada topping-nya. Sparkle kemudian menyadari kehadirannya dan segera mendekatinya.

“Eh, Rambut Abu~! Aku belikan sesuatu buat kamu. Mau, nggak?”

Karena sudah menyaksikan perbuatan gadis kuncir dua ini, Stelle merasa sedang dihina. “Kamu makan buah cerinya!”

“Aduh, buah ceri aja tuh. Ini buatan Bu Ruan Mei loh, dijamin enak! Lagian, aku udah bayar, kok!”

Stelle tersenyum miring. “Oke. Makasih.” Katanya sambil menerima kue tanpa topping tersebut. Lalu, dia terpikir sesuatu.

“Eh, Sparkle, kamu masih di Klub Drama, kan?”

“Kamu mau aku bantu dalam ‘Kompetisi Membuat Stelle Terkesan’ yang kamu akalin agar justru mereka berdua yang jadian. Aku akan menerima kalau kamu ‘bayar’ aku dengan harga yang sepadan dengan kue ini,” Sparkle memotong.

Stelle melihat ke arah jajaran kue lagi.

“Tidak, bukan kue yang sama.”

“Bisa bilang aja langsung mau apa? Traktir di kafe?”

Sparkle tidak menjawab, hanya tersenyum seolah jawabannya bisa terbaca dengan jelas di wajahnya. Stelle memutuskan untuk memikirkannya nanti saja dan akhirnya membuat sebuah kesepakatan dengan Sparkle. Di rumah, dia membuat sebuah group chat berisi dirinya, March, Castorice, Mydei, dan Sparkle, lalu menjelaskan rencananya dengan Klub Drama. Setelah perdebatan sana-sini karena Sparkle mengatakan bahwa klub-nya belum tentu setuju, ditentukanlah bahwa Castorice akan menulis konsep cerita terlebih dahulu. Besok, mereka akan diskusi lebih lanjut dengan Klub Drama.

===========

Ayo jodohin 2 cowok cakep sampai jadian!

Castorice: #1 MC reinkarnasi ke dunia lain di mana dia nggak perlu punya kekuatan OP kayak di anime-anime, cukup punya satu kekuatan aja yang bagus dan berguna, sekaligus unik agar dia “stand out” sepagai MC. (09:56 PM)

Castorice: Dia diangkat jadi ksatria kerajaan dan suatu saat ditugaskan menyelamatkan Tuan Putri yang diculik sama orang jahat. MC nggak sendirian dalam tugas ini. Paling nggak dia punya satu atau dua teman di awal perjalanan, terus ketemu teman baru di tengah perjalanan. Nah, ini twist-nya… (09:57 PM)

Castorice: Alih-alih romance-nya antara MC sama Tuan Putri, MC bakal sama “teman yang nggak terduga” atau bahkan si orang jahat itu sendiri. Jadi kayak rute ala-ala Visual Novel gitu. (09:57 PM)

Castorice: Eh, sebut saja MC masuk ke dunia Visual Novel. (09:57 PM)

Castorice: #2 Fantasi murni tanpa unsur “dunia lain”—paling adanya “dimensi lain” yang memang bagian dari universe-nya. MC adalah pangeran mahkota, calon penerus takhta kerajaan, tapi dia nggak mau dijodohkan. Jadi suatu malam dia kabur dari kerajaan dan ketemu sama sekelompok pengembara. (09:59 PM)

Castorice: MC pun bergabung sama kelompok itu dan mengembara keliling dunia untuk menyelesaikan permasalahan di berbagai tempat yang mereka singgahi. Tak lama, dia mulai naksir sama seseorang di dalam kelompok tersebut. Twist-nya, ternyata yang dia taksir itu adalah orang yang dijodohkan sama dia di awal, yang juga kabur dari kerajaannya. (10:00 PM)

Castorice: #3 Gabungan antara yang pertama dan yang kedua, tapi kali ini MC harus melawan naga… twist-nya, MC malah jatuh cinta sama si naga. (10:00 PM)

===========

Besok sore, anggota grup itu berkumpul di ruangan Klub Drama. Ketua klub menjelaskan bahwa waktu yang paling mungkin untuk mementaskan drama mereka adalah di akhir semester, saat classmeeting setelah ujian dan sebelum libur Natal.

“Nah, sekarang kita punya 3 konsep cerita yang… romantis di luar nalar. Bagaimana kalau kita voting?” Ujar March. “Siapa yang pilih nomor 1?”

Dia dan Castorice mengangkat tangan.

“Siapa yang pilih nomor 2?”

Dia, Castorice, dan Stelle mengangkat tangan.

“Siapa yang pilih nomor 3?”

Semuanya mengangat tangan, membuat Castorice sedikit terkejut.

“Dei, kupikir kamu nggak pilih yang manapun.”

“Yah, aku rasa kamu sendiri paling suka yang nomor 3 ini karena Dan Heng kan, banyak kaitannya sama simbol naga,” jawab Mydei jujur.

Stelle terkikik. “Aku juga mikir begitu!”

“Eh, sejak kapan Phainon ditunjuk jadi MC-nya?” Tanya March. “Terus, kalau Dan Heng jadi naganya, Castorice jadi penulis ceritanya… kita sisasnya jadi apa, El?”

“Rekan seperjuangan atau karakter sampingan. Yang pasti nggak ada tokoh ‘putri yang harus diselamatkan’. Iya kan, Cas?” Stelle menoleh ke arah Castorice lagi, yang mengangguk pelan.

“Karena yang bakal ‘diselamatkan’ oleh MC adalah… ‘Tuan Naga’!”

Sparkle tertawa. “Oke, biar Klub Drama yang nyediain propertinya dan bantu merampungkan naskahnya. Terus tinggal nentuin jadwal latihan.”

Ketua klub menyarankan mereka mulai latihan setelah ujian tengah semester saja.

“Oh iya, jadwal latihannya Phainon sama Dan Heng dipisah ya, biar jadi kejutan kalau-kalau ada dialog yang agak ‘intim’. Mereka nggak bakal lihat reaksi satu sama lain sampai udah naik panggung,” tutur Stelle.

“Hmm, nanti aku sama Stelle aja yang atur jadwalnya. Mydei sama Castorice urusan naskah aja. Gimana?” Usul March.

“Boleh,” Mydei mengangguk. Yang lain juga setuju.

***